Begitu mendengar putranya sudah datang, nyonya tua makin semaput. Nafasnya terdengar berat, seolah sedang berjuang dari sergapan malaikat maut. Yan Yan juga berlagak makin panik. Dia mengipasi nyonya tua sambil memberi berbagai perintah pada pelayan di sekeliling.
"Tunggu apa lagi, cepat ambilkan sup tonik bibi." "Kau buka jendela lebih lebar agar udara masuk." "Kenapa diam saja? Cepat pijat kaki bibi." Saat Fei Yang masuk ke ruang dalam, suasana sudah mirip medan perang. Wajahnya yang biasa tenang terlihat tak nyaman, tetapi tak menghentikan aksinya sebagai putra berbakti. Tergesa dia mendatangi nyonya tua. "Mujin, anda kenapa? Apa yang terjadi pada ibuku?" Sebelum ada yang menjawab, Fei Yang segera membopong ibunya ke kamar. Dari balik tirai lipat, Ming Lan masih bisa mendengar suara batuk-batuk nyonya tua. Perempuan dari keluarga Yan memang hebat-hebat. Yang satu jago bersandiwara, sementara yang lain hebat menangis. Mereka bisa mengeluarkan air mata kapan pun mau. Ketika Fei Yang dan nyonya tua masih dalam kamar, Yan Yan menerobos masuk. Tangisan dan aduannya seperti menambah arang pada api yang berkobar. Dari sudut matanya, Ming Lan melihat bahwa semua orang siap menyaksikan pertunjukan menarik. Kepala pelayan Liu bahkan terang-terangan meliriknya. Seperti pohon yang kokoh, dia tetap berdiri tegak di tempatnya. "Furen hebat sekali rupanya." Fei Yang memulai obrolan saat sudah keluar dari kamar. "Baru dua hari sadar, tapi kediaman kita sudah ramai sekali oleh pertunjukan furen. Seharusnya, bergabung dengan kelompok opera saja." Sindiran perdana menteri sukses membuat seisi ruangan menundukkan kepala, menutupi seringai lebar di balik sapu tangan mereka. Bagus sekali! Orang-orang munafik memang layak diberi pelajaran. "Pujian xiangye terlalu berlebihan." Ming Lan menanggapi dengan senyum lebih lebar. "Saya hanya seorang perempuan rumahan, tidak tahu bagaimana bentuk pertunjukan opera. Hal seperti ini ... saya yakin Yan yiniang jauh lebih paham dibanding saya." Muka Yan Yan merah padam. Sejak kecil, dia memang hidup berkecukupan karena ayahnya memiliki rumah hiburan yang besar. Namun pada zaman feodal, dimana status kebangsawanan adalah yang paling mulia, kaum pedagang seperti mereka dipandang sebelah mata, jika bukan yang terhina. Kalau mau jujur, status pedagang bahkan lebih rendah dari pada petani. Hal ini telah lama menjadi duri di hati Yan Yan. Status rendahnya yang membuat sang bibi tak bisa terang-terangan mengangkatnya jadi furen di kediaman Chu. "Xiangye," ujarnya berurai air mata. "Maafkan hamba karena punya status rendahan. Hamba telah membuat anda jadi bahan olok-olok." Fei Yang jadi gusar. Betapa pun salahnya, Yan Yan memang masih kerabat. Cara sepupunya menarasikan sesuatu, membuatnya terdengar rumit. "Jangan bicara berlebihan, tak ada yang merendahkanmu di sini." Setelah itu dia kembali memusatkan perhatiannya pada Ming Lan. "Furen memang benar. Aku tak pernah membawamu melihat opera sebelumnya. Jadi, karena itukah kau membuat keributan seperti ini?" Nyaris Ming Lan berteriak. Ada apa dengan orang-orang ini? Dia hanya menginginkan tokonya kembali, kenapa harus membuatnya jadi rumit? Lagi pula, mana ada perempuan terhormat yang keluar menonton opera? Kalau pun ingin, wanita bangsawan akan mengundang rombongan pemain ke kediaman, bukan sebaliknya. Cara Fei Yang bicara sekarang seperti menyindirnya sebagai perempuan yang tak tahu aturan. "Saya tak sepenting itu untuk mendapat perhatian xiangye," sahutnya tenang. "Saya kemari hanya ingin menunjukkan bakti, tapi tak disangka malah membuat ibu jadi kesal." "Oh, dengan cara apa kau mau berbakti?" "Sejak aku sakit-sakitan, masalah keuangan serta bisnis kediaman, semuanya dibawah wewenang ibu. Akibatnya kesehatan beliau makin buruk, hingga mudah sesak nafas. Xiangye pasti sudah melihatnya tadi." Kilat geli melintas di mata perdana menteri. Tadi dia mampir ke kediaman Ming Lan untuk memenuhi janji bersantap siang. Saat tiba di sana, rasanya kaget juga melihat hidangan yang disajikan pelayan. Selain semangkok nasi dingin, hanya ada tumisan rebung dan sedikit kuah sop. Bagaimana mungkin gadis bangsawan seperti istrinya bertahan hidup dengan hidangan sederhana? Mungkinkah Ming Lan berkeras mau mengurus keuangan demi mendapat sedikit keuntungan? Ini cukup menarik sebab sejauh yang dia tahu, isterinya tak tertarik melakukan apapun selain menguntitnya kemana-mana. "Lalu apa hubungan semua itu dengan Tao yiniang?" "Soal itu, xiangye bisa menanyakan sendiri padanya." Kecubung yang sejak tadi duduk bersimpuh sambil bersimbah air mata, bicara terbata-bata. "xiangye, hamba yang membujuk nyonya tua agar tetap memegang keuangan kediaman. Semua hamba lakukan karena memikirkan kesehatan furen. Tapi siapa sangka... ." Setelah itu, dia tak berkata-kata lagi. Hanya isaknya yang terdengar memenuhi ruangan. Muak menyaksikan sandiwara yang mirip opera sabun, Ming Lan mencetus, "kalau begitu, kau bisa mengurusi masalah keuangan. Aku merasa terbantu, nyonya tua juga tak lagi terbebani." "Tidak mungkin." Yan Yan memotong cepat, dan baru sadar ada yang salah saat semua mata menatap ke arahnya. Dia segera memperbaiki nada bicara. "Ehm, maksud hamba itu melanggar aturan. Orang yang berhak memegang keuangan selalunya adalah nyonya utama kediaman." Lewat sudut matanya, Ming Lan bisa menangkap kebencian di wajah Kecubung. Ternyata, pihak lawan tidak sekompak yang dia kira. Ini bagus juga. Ketika tonggeret dan belalang berseteru, dia cukup jadi penonton yang akan memetik keuntungan. Sesekali menambahkan arang agar api semakin panas. Suasana berujung buntu. Kedua selir tak ada yang mengalah sedangkan nyonya tua masih pura-pura sekarat dalam kamar. "Karena situasi sudah begini, sebaiknya xiangye yang memutuskan," ujar Ming Lan berlagak jadi istri yang patuh. Perdana menteri memindai lebih lama ke wajah Ming Lan. Entah kenapa sang nyonya nampak semakin menarik. Wajahnya merona, cara berbusana juga lebih menarik. "Kalau furen sendiri, apa pendapatnya? Sebagai nyonya kediaman, sudah sepatutnya punya gagasan lebih baik." "Saya tak berani berpikir bahwa diri sendiri lebih baik dari pada xiangye. Akan tetapi, seperti yang sudah saya katakan, kedatangan kemari hanya mau meringankan beban ibu." Lihat betapa fasih Ming Lan bicara. Semalam saat cuma mereka yang ada, perempuan ini memanggilnya bukan dengan sebutan tuan perdana menteri (xiangye) seperti sekarang, melainkan kamu. Dan meski sasaran utamanya ingin mendapatkan kembali harta sesan, dia terus berputar-putar, bicara mengenai bakti pada ibu mertua. Benar-benar pembicara ulung! "Jadi, dalam pikiran furen, keuangan kediaman ini sepatutnya ditangani olehmu?" "Xiangye sendiri yang memutuskan." Suara batuk nyonya tua terdengar keras dari dalam kamar. Ada dua menit juga sebelum suara mengganggu itu akhirnya berhenti. Sebagai putera nyonya tua, tentu saja perdana menteri paham keinginan sang ibu. Namun dia jauh lebih penasaran akan kehidupan Ming Lan ke depannya. "Baik kalau itu maumu," sahutnya penuh penekanan. "Akan tetapi, atas tindakanmu yang sudah membuat keributan dalam dua hari ini, kau harus menjalani hukuman lebih dulu." Chu Fei Yang menoleh ke arah pintu. "Pelayan, sampaikan perintahku. Mulai hari ini, furen akan berlutut di aula leluhur dan tak boleh keluar sampai selesai menyalin empat buku untuk wanita."Mendapat pujian sedemikian, semua orang pasti merasa senang, tetapi Ming Lan justru waspada. Seingatnya, kakak ipar ini sangat dekat dengan Yan Yan. Siapa yang tahu ada bahaya terselubung dalam kalimatnya. "Terima kasih atas pujiannya, tetapi anda juga terlihat semakin muda."Pandai sekali Ming Lan berkelit. Alih-alih bilang cantik -yang mana memang tidak--, dia malah memujinya bertambah muda. Senyum Ming Wei lebih tulus dari sebelumnya. "Kudengar, adik ipar juga makin hebat membantu ibu di xiangfu. Rasanya bebanku berkurang mengetahui anda begitu mampu sekarang."Min Lan tersenyum dibalik sapu tangannya. Ternyata nyonya tua sudah mengadu tentang banyak hal, besar mau pun kecil. Dari seberang, Yan Yan ikut meramaikan suasana. "Kita semua mana bisa dibandingkan dengan furen. Beliau dari keluarga besar dan punya pengetahuan luas."Lihatlah si kunyuk satu ini. Tak berhenti menyerang di semua kesempatan. Masa hukumannya bahkan bel
Tiga hari berselang, acara pemasangan jepit rambut Lin Yue akhirnya diadakan secara sederhana. Bibinya yang sudah menikah ke tempat jauh, berperan jadi tetua yang memasang jepit rambut tersebut. Dalam satu ruangan yang hanya diisi oleh kaum wanita, bibinya mencuci dan mengeringkan rambut Lin Yue sampai bersih. Setelah itu memberi beberapa nasihat sebelum membentuk rambutnya jadi sanggul, dan memasang tusuk rambut (Ji) untuk menahannya. "Sekarang kau adalah gadis dewasa. Selalu berhati-hati dalam bicara dan bersikap.""Mulai saat ini, semua tindak-tandukmu akan jadi perhatian. Pastikan tidak mencoreng nama baik keluarga Chu.""Semoga jadi gadis dewasa yang bijaksana sehingga kelak mendapatkan jodoh yang baik."Berbagai macam nasihat diucapkan para kerabat perempuan selama rangkaian acara. Meski hatinya tak begitu senang dengan acara sederhana, Lin Yue berusaha tampil tenang dan murah hati. Selama kegiatan berlangsung, senyum tak lepas da
"An'er, sapalah furen. Mulai sekarang, beliau adalah ibumu yang sesungguhnya."Seorang bocah perempuan berusia sekitar enam tahun, melangkah ragu. Matanya yang polos tampak berkaca-kaca, menatap Ming Lan penuh harap. Hari ini dia mendengar bahwa ibunya telah diusir dari xiangfu. Sebagai putri yang lahir dan besar di sini, sudah lama dia tahu bahwa ikatan dengan ibunya hanyalah sebatas darah dan daging. Suatu saat, bila pemilik kediaman menginginkan ibunya pergi, maka tak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah. "Chu Yi An menyapa furen. Semoga anda hidup damai dan berumur panjang."Tangan kecilnya menyodorkan secangkir teh ke hadapan Ming Lan. Permukaan air nampak bergetar oleh gerakannya yang kaku. Ming Lan mengamati pasangan ibu dan anak dalam diam. Selayaknya putri Shu (anak tidak sah) yang lahir dari rahim seorang selir, Yi An agak pemalu. Meski begitu, postur tubuh dan pakaiannya nampak bagus. Sepertinya, selir Tao sungguh menghab
Kalau tadi dia tak melihat bahwa pelayan ini berbisik di telinga Chun Tao, mungkin Ming Lan masih bertanya-tanya kenapa pula ada manusia kurang kerjaan, sengaja lalu-lalang di tempat bermasalah. "Kau pergi ke bagian disiplin. Terima hukumanmu di sana."Pelayan yang ketakutan itu mengucapkan terima kasib sebelum beranjak pergi.Setelah episode kecil ini selesai, wajah Chun Tao sudah seputih kertas. Pelayan tadi berbisik jelas ditelinganya agar mengingat ibu dan kedua adiknya. Andai bicara jujur, dia yakin kehidupan ketiga orang yang dikasihinya akan ada dalam bahaya. Yan Yan selalu punya banyak cara untuk membuat para pembangkang mengalami kehidupan yang lebih buruk dari kematian. Menarik nafas dalam-dalam, dia pun bersiap menjemput takdirnya. "Furen, hamba mengerjakan semuanya sendiri tetapi atas inisiatif dari Tao yiniang.""Tutup mulutmu!" Kecubung berseru tak terima. "Aku bahkan bukan majikanmu, kenapa pula kau mau mengerja
Saat namanya disebut, Chun Tao langsung membantah keras. "Fei, aku tahu kau mau menyelamatkan diri. Tapi jangan sampai mengorbankan orang lain." Bersujud di tanah yang dingin, dia menoleh pada Ming Lan. "Furen, anda harus memberi hamba keadilan. Masalah ini sama sekali tak ada hubungannya dengan saya."Alih-alih menanggapi keluhannya, Ming Lan justru memberi isyarat, dan Shi Tao yang entah sejak kapan sudah di sini, langsung meringkus pendeta. "Langit menentang! Langit akan murka. Kalian berani memperlakukan seorang pendeta seperti ini!"Pria tersebut meraung sekuat tenaga, namun itu tak menghentikan Shi Tao dari menggeledah pakaiannya. Sejurus kemudian, buntalan koin perak disertai satu set perhiasan emas, terjatuh. "Bagaimana anda akan menjelaskan ini?" Ekspresi Ming Lan tetap datar saat dia memungut perhiasan. "Anda punya pekerjaan sampingan makanya sampai menyimpan aksesoris wanita?""Lancang! Itu perhiasan yang kubeli unt
Perintah Fei Yang membuat ketegangan Yan Yan memuncak. Kedua tangannya mengepal dalam lengan baju. Firasat jelek mulai menghampiri akibat perubahan dadakan ini. Bukankah kemarin benda tersebut sudah ditanam di halaman paviliun Feng Yue, kenapa sekarang tak ada di sana? Dia tak percaya ada benda mati yang bisa pindah sendiri. "Xiangye, bukankah ini tak adil juga terhadap ibu? Hal seperti memeriksa halaman, hanya akan mempermalukan beliau."Pada masa ini, para nyonya tinggal tersembunyi di kediaman dalam. Kaum pria yang bisa bertemu, selain suami dan anak, hanya kerabat dekat. Kalau sampai orang asing memeriksa setiap halaman, maka halaman dalam jadi terbuka ke dunia luar. "Segel xiangfu." perintah Fei Yang. "Berita hari ini tak boleh tersebar keluar."Dengan perkataan ini, tak ada lagi bantahan yang bisa diucapkan Yan Yan. Diliputi rasa cemas, dia hanya bisa menyaksikan para pelayan menggali halaman setiap paviliun. Menjelang