Share

Hukuman

Author: Auphi
last update Last Updated: 2025-07-23 13:56:37

Begitu mendengar putranya sudah datang, nyonya tua makin semaput. Nafasnya terdengar berat, seolah sedang berjuang dari sergapan malaikat maut. Yan Yan juga berlagak makin panik. Dia mengipasi nyonya tua sambil memberi berbagai perintah pada pelayan di sekeliling.

"Tunggu apa lagi, cepat ambilkan sup tonik bibi."

"Kau buka jendela lebih lebar agar udara masuk."

"Kenapa diam saja? Cepat pijat kaki bibi."

Saat Fei Yang masuk ke ruang dalam, suasana sudah mirip medan perang. Wajahnya yang biasa tenang terlihat tak nyaman, tetapi tak menghentikan aksinya sebagai putra berbakti.

Tergesa dia mendatangi nyonya tua. "Mujin, anda kenapa? Apa yang terjadi pada ibuku?"

Sebelum ada yang menjawab, Fei Yang segera membopong ibunya ke kamar. Dari balik tirai lipat, Ming Lan masih bisa mendengar suara batuk-batuk nyonya tua.

Perempuan dari keluarga Yan memang hebat-hebat. Yang satu jago bersandiwara, sementara yang lain hebat menangis. Mereka bisa mengeluarkan air mata kapan pun mau.

Ketika Fei Yang dan nyonya tua masih dalam kamar, Yan Yan menerobos masuk. Tangisan dan aduannya seperti menambah arang pada api yang berkobar.

Dari sudut matanya, Ming Lan melihat bahwa semua orang siap menyaksikan pertunjukan menarik. Kepala pelayan Liu bahkan terang-terangan meliriknya. Seperti pohon yang kokoh, dia tetap berdiri tegak di tempatnya.

"Furen hebat sekali rupanya." Fei Yang memulai obrolan saat sudah keluar dari kamar. "Baru dua hari sadar, tapi kediaman kita sudah ramai sekali oleh pertunjukan furen. Seharusnya, bergabung dengan kelompok opera saja."

Sindiran perdana menteri sukses membuat seisi ruangan menundukkan kepala, menutupi seringai lebar di balik sapu tangan mereka.

Bagus sekali! Orang-orang munafik memang layak diberi pelajaran.

"Pujian xiangye terlalu berlebihan." Ming Lan menanggapi dengan senyum lebih lebar. "Saya hanya seorang perempuan rumahan, tidak tahu bagaimana bentuk pertunjukan opera. Hal seperti ini ... saya yakin Yan yiniang jauh lebih paham dibanding saya."

Muka Yan Yan merah padam. Sejak kecil, dia memang hidup berkecukupan karena ayahnya memiliki rumah hiburan yang besar. Namun pada zaman feodal, dimana status kebangsawanan adalah yang paling mulia, kaum pedagang seperti mereka dipandang sebelah mata, jika bukan yang terhina.

Kalau mau jujur, status pedagang bahkan lebih rendah dari pada petani. Hal ini telah lama menjadi duri di hati Yan Yan. Status rendahnya yang membuat sang bibi tak bisa terang-terangan mengangkatnya jadi furen di kediaman Chu.

"Xiangye," ujarnya berurai air mata. "Maafkan hamba karena punya status rendahan. Hamba telah membuat anda jadi bahan olok-olok."

Fei Yang jadi gusar. Betapa pun salahnya, Yan Yan memang masih kerabat. Cara sepupunya menarasikan sesuatu, membuatnya terdengar rumit.

"Jangan bicara berlebihan, tak ada yang merendahkanmu di sini." Setelah itu dia kembali memusatkan perhatiannya pada Ming Lan. "Furen memang benar. Aku tak pernah membawamu melihat opera sebelumnya. Jadi, karena itukah kau membuat keributan seperti ini?"

Nyaris Ming Lan berteriak. Ada apa dengan orang-orang ini? Dia hanya menginginkan tokonya kembali, kenapa harus membuatnya jadi rumit?

Lagi pula, mana ada perempuan terhormat yang keluar menonton opera? Kalau pun ingin, wanita bangsawan akan mengundang rombongan pemain ke kediaman, bukan sebaliknya.

Cara Fei Yang bicara sekarang seperti menyindirnya sebagai perempuan yang tak tahu aturan.

"Saya tak sepenting itu untuk mendapat perhatian xiangye," sahutnya tenang. "Saya kemari hanya ingin menunjukkan bakti, tapi tak disangka malah membuat ibu jadi kesal."

"Oh, dengan cara apa kau mau berbakti?"

"Sejak aku sakit-sakitan, masalah keuangan serta bisnis kediaman, semuanya dibawah wewenang ibu. Akibatnya kesehatan beliau makin buruk, hingga mudah sesak nafas. Xiangye pasti sudah melihatnya tadi."

Kilat geli melintas di mata perdana menteri. Tadi dia mampir ke kediaman Ming Lan untuk memenuhi janji bersantap siang. Saat tiba di sana, rasanya kaget juga melihat hidangan yang disajikan pelayan.

Selain semangkok nasi dingin, hanya ada tumisan rebung dan sedikit kuah sop. Bagaimana mungkin gadis bangsawan seperti istrinya bertahan hidup dengan hidangan sederhana? Mungkinkah Ming Lan berkeras mau mengurus keuangan demi mendapat sedikit keuntungan?

Ini cukup menarik sebab sejauh yang dia tahu, isterinya tak tertarik melakukan apapun selain menguntitnya kemana-mana.

"Lalu apa hubungan semua itu dengan Tao yiniang?"

"Soal itu, xiangye bisa menanyakan sendiri padanya."

Kecubung yang sejak tadi duduk bersimpuh sambil bersimbah air mata, bicara terbata-bata. "xiangye, hamba yang membujuk nyonya tua agar tetap memegang keuangan kediaman. Semua hamba lakukan karena memikirkan kesehatan furen. Tapi siapa sangka... ."

Setelah itu, dia tak berkata-kata lagi. Hanya isaknya yang terdengar memenuhi ruangan. Muak menyaksikan sandiwara yang mirip opera sabun, Ming Lan mencetus, "kalau begitu, kau bisa mengurusi masalah keuangan. Aku merasa terbantu, nyonya tua juga tak lagi terbebani."

"Tidak mungkin." Yan Yan memotong cepat, dan baru sadar ada yang salah saat semua mata menatap ke arahnya. Dia segera memperbaiki nada bicara. "Ehm, maksud hamba itu melanggar aturan. Orang yang berhak memegang keuangan selalunya adalah nyonya utama kediaman."

Lewat sudut matanya, Ming Lan bisa menangkap kebencian di wajah Kecubung. Ternyata, pihak lawan tidak sekompak yang dia kira. Ini bagus juga. Ketika tonggeret dan belalang berseteru, dia cukup jadi penonton yang akan memetik keuntungan. Sesekali menambahkan arang agar api semakin panas.

Suasana berujung buntu. Kedua selir tak ada yang mengalah sedangkan nyonya tua masih pura-pura sekarat dalam kamar.

"Karena situasi sudah begini, sebaiknya xiangye yang memutuskan," ujar Ming Lan berlagak jadi istri yang patuh.

Perdana menteri memindai lebih lama ke wajah Ming Lan. Entah kenapa sang nyonya nampak semakin menarik. Wajahnya merona, cara berbusana juga lebih menarik.

"Kalau furen sendiri, apa pendapatnya? Sebagai nyonya kediaman, sudah sepatutnya punya gagasan lebih baik."

"Saya tak berani berpikir bahwa diri sendiri lebih baik dari pada xiangye. Akan tetapi, seperti yang sudah saya katakan, kedatangan kemari hanya mau meringankan beban ibu."

Lihat betapa fasih Ming Lan bicara.

Semalam saat cuma mereka yang ada, perempuan ini memanggilnya bukan dengan sebutan tuan perdana menteri (xiangye) seperti sekarang, melainkan kamu. Dan meski sasaran utamanya ingin mendapatkan kembali harta sesan, dia terus berputar-putar, bicara mengenai bakti pada ibu mertua.

Benar-benar pembicara ulung!

"Jadi, dalam pikiran furen, keuangan kediaman ini sepatutnya ditangani olehmu?"

"Xiangye sendiri yang memutuskan."

Suara batuk nyonya tua terdengar keras dari dalam kamar. Ada dua menit juga sebelum suara mengganggu itu akhirnya berhenti.

Sebagai putera nyonya tua, tentu saja perdana menteri paham keinginan sang ibu. Namun dia jauh lebih penasaran akan kehidupan Ming Lan ke depannya.

"Baik kalau itu maumu," sahutnya penuh penekanan. "Akan tetapi, atas tindakanmu yang sudah membuat keributan dalam dua hari ini, kau harus menjalani hukuman lebih dulu."

Chu Fei Yang menoleh ke arah pintu.

"Pelayan, sampaikan perintahku. Mulai hari ini, furen akan berlutut di aula leluhur dan tak boleh keluar sampai selesai menyalin empat buku untuk wanita."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Uluran Tangan

    Nyonya tua tersenyum senang. Ming Lan masih menjaga muka di hadapan orang luar. Dalam suasana bahagia, dia meminta kepala pelayan Liu menyeduh koleksi teh terbaru yang didapatnya dari daerah pegunungan. "Xie furen, silakan duduk dan menikmati teh lagi. Tak usah begitu sungkan. Kita semua adalah kerabat.""Lao furen terlalu baik. Aku tak pantas mendapat kehormatan seperti itu. Teh yang Anda hidangkan sangatlah berharga.""Tidak ada yang terlalu berharga untuk keluarga sendiri."Mata jeli nyonya Xie memindai sekeliling, tidak terpengaruh sama sekali oleh keramahan palsu yang ditunjukkan nyonya tua. Menurutnya, keadaan Ming Lan jauh lebih buruk dari yang terlihat. "Lao furen, berhubung saya sudah lama tak bertemu Ming Lan, izinkan kami bicara secara pribadi di paviliunnya."Perasaan nyonya tua mulai tak enak. Bagaimana caranya mengizinkan nyonya muda keluarga Xie pergi ke halaman terjauh di xiangfu? "Bibi, jangan terburu

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Sandiwara

    Kepergian Yan Yan menyisakan lubang yang dalam di hati Ming Lan. Dia tak bisa lagi menulis dengan tenang karena pikiran mulai terbagi. Sepertinya, Yan Yan belum menemukan surat yang dibawa Mawar, makanya perempuan bermulut besar itu tak bisa memberi informasi lebih banyak. Akan tetapi, kalau surat itu belum sampai di kediaman Xie, maka nasibnya dan kedua pelayannya akan berakhir tragis. Firasatnya, cepat atau lambat, nyonya tua punya rencana melenyapkannya. Entah karena penyakit atau bunuh diri, keduanya adalah situasi yang mudah direkayasa. "Aku harus bagaimana sekarang?"Dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya, Ming Lan pun terlelap. Dalam mimpinya, dia kembali ke dunia modern, melihat kedua orang tuanya meratap di sisi tempat tidur. Memohon agar dia bangun dari koma. Bunyi gemerincing pintu yang berisik adalah hal yang membuatnya terjaga dari tidur yang panjang. Matanya mengerjap, dan mendapati bahwa pelayan utama Yan Yan yang

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Adu Siasat

    Siang berganti malam, penderitaan yang dialami Ming Lan semakin parah. Udara dingin menembus dinding yang berlubang, sampai terasa menggigit tulang. Di sekeliling hanya ada kegelapan, tak ada sebatang lilin atau dupa yang dibakar. Dia meringkuk di sudut ruangan, terlalu takut untuk merebahkan diri sebab satu-satunya yang dia punya hanya alas duduk. Sepanjang malam Min Lan dalam situasi seperti ini sampai esok harinya, kepala pelayan Liu yang bermuka masam datang kembali. Matanya sinis melihat mangkok air dan nasi yang tidak disentuh sang nyonya sama sekali. "Kelihatannya furen tidak bertobat juga. Duduk di aula leluhur, tapi masih menginginkan makanan enak.""Telingamu yang mana mendengarku meminta makanan?" Ming Lan merapikan ujung jubahnya yang kusut. "Lagi pula aku tak melihat makanan apa-apa di sini.""Furen jangan membuat hamba dalam kesulitan. Kalau orang luar mendengar, dikira anda dibuat kelaparan."Kepala pelayan Liu

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Kerja Sama

    Gadis muda bertampang lugu itu langsung tersungkur di hadapan Kecubung. Air matanya terurai di pipi kemerahan. "Nyonya, anda bisa jadi saksi. Kotak itu terlepas dari tangan Chun Tao bukan saya.""Berani sekali kau memfitnahku. Sekarang ikut aku ke paviliun Feng Yue untuk menjelaskan semuanya."Fei menggeleng keras, matanya memohon pada Kecubung. Siapapun yang tinggal cukup lama di kediaman pasti paham betapa buruk temperamen Yan Yan di belakang perdana menteri dan nyonya tua. Beberapa budak sudah kehilangan nyawa di tangannya. Kecubung menepis tangan Fei dari ujung sepatunya, lalu bangkit berdiri dengan anggun. "Untuk apa kau menangis di sini. Tentu saja kita harus menjelaskan semuanya pada Yan yiniang."Melihat pemilik kediaman He Xiang berusaha keras tampil seperti salah satu majikan, Chun Tao makin jengkel. Andai wajahnya sedikit lebih cantik, sudah tentu dia bisa seperti kecubung. Seekor ayam yang berubah jadi burung feniks hanya ka

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Muslihat Chun Tao

    Perintah ini nyaris membuat Ming Lan muntah darah. Entah mimpi atau nyata, dia pernah mengalami kehidupan di masa depan. Saat itu, orang-orang sudah menjunjung tinggi kesetaraan gender. Tak ada paksaan bagi perempuan untuk hidup dalam kepatuhan yang menyesakkan. Buku yang dibicarakan Fei Yang barusan adalah empat kitab yang memang diperuntukkan untuk mengekang kehidupan wanita di zaman feodal. Sebutlah misalnya mengenai Tiga Kepatuhan dan Empat Kebajikan. Seorang wanita harus mematuhi ayah mereka saat masih gadis, patuh pada suami ketika sudah menikah, dan pada putra waktu sudah janda. Selain itu, ada juga aturan yang membuat seorang wanita bisa diceraikan. Beberapa diantaranya bila tidak berbakti pada mertua, tak bisa melahirkan anak lelaki atau tidak mengizinkan suami mereka mengambil selir. Lucunya, hal ini tak akan pernah menimpa kaum lelaki. Kalau bukan ingin menindas wanita, apa lagi namanya? "Bagaim

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Hukuman

    Begitu mendengar putranya sudah datang, nyonya tua makin semaput. Nafasnya terdengar berat, seolah sedang berjuang dari sergapan malaikat maut. Yan Yan juga berlagak makin panik. Dia mengipasi nyonya tua sambil memberi berbagai perintah pada pelayan di sekeliling. "Tunggu apa lagi, cepat ambilkan sup tonik bibi.""Kau buka jendela lebih lebar agar udara masuk.""Kenapa diam saja? Cepat pijat kaki bibi."Saat Fei Yang masuk ke ruang dalam, suasana sudah mirip medan perang. Wajahnya yang biasa tenang terlihat tak nyaman, tetapi tak menghentikan aksinya sebagai putra berbakti. Tergesa dia mendatangi nyonya tua. "Mujin, anda kenapa? Apa yang terjadi pada ibuku?"Sebelum ada yang menjawab, Fei Yang segera membopong ibunya ke kamar. Dari balik tirai lipat, Ming Lan masih bisa mendengar suara batuk-batuk nyonya tua. Perempuan dari keluarga Yan memang hebat-hebat. Yang satu jago bersandiwara, sementara yang lain hebat menangi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status