Share

Sandiwara

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-21 13:00:49

Udara mendadak dingin. Keheningan menyelimuti ruangan nyonya tua, sampai Ming Lan mengira dia sedang sendirian.

Ka--kau!" Telunjuk sang mertua menunjuk ke arahnya. Ekspresi wajah itu tak perlu diceritakan lagi bagaimana bentuknya. Keriput di bawah mata dan kening nampak semakin dalam. "Dasar menantu durhaka! Kau pikir keluarga Chu peduli dengan mas kawinmu yang tak seberapa, hah?"

Kedua bola mata Ming Lan refleks memutar. Kalau memang tak peduli, kenapa harus dipertahankan? Gengsi orang tua memang selalu lebih besar dari kemampuan mereka.

"Maaf, Ibu." Dia berkata dengan sikap tenang, seperti menantu yang penurut. "Saya hanya merasa berdosa selama ini sudah jadi menantu tak berbakti. Gara-gara kesehatan yang buruk, terpaksa merepotkan anda untuk mengelola toko tersebut."

Alasannya yang rendah hati membuat raut muka nyonya tua sedikit membaik. Wanita yang sudah berumur setengah abad itu memperbaiki kalung mutiara, dan berbicara penuh martabat.

"Soal itu, kau tak perlu khawatir. Sebagai mertua yang baik, sudah sepatutnya aku berbagi beban denganmu. Apa yang paling penting bagi wanita adalah merawat tubuh agar keharmonisan dalam rumah tangga tetap terjaga."

Keharmonisan apanya?

Wanita licik yang tersenyum lebar ini bahkan tak sabar menjejalkan selir ke kediaman putranya saat umur pernikahan mereka masih tiga bulan, lalu keharmonisan apa lagi yang diharapkan?

Sejak zaman dulu, sudah jadi hukum alam bahwa cinta ingin selalu memiliki. Wanita hanya ikhlas berbagi kasih sayang jika memang tak peduli lagi dengan suaminya.

Dia yang dulu sangat mencintai perdana menteri, tetapi tanpa ragu, wanita yang tersenyum ini mengundang Yan Yan dan juga Kecubung ke dalam kediaman serta seorang selir lagi sudah dipukuli sampai mati karena ketahuan mencuri.

Jiwa yang naif dipaksa bersaing dengan tiga wanita yang lebih muda, bagaimana mungkin tidak depresi?

"Menantu berterima kasih atas kebaikan ibu." Ming Lan pura-pura dilema. "Akan tetapi, jika orang luar mendengar bahwa nyonya muda keluarga Chu tak bisa mengurus apapun, kemana lagi wajah menantu mau ditaruh? Jangan-jangan, mereka juga akan menertawakan xiangye karena tidak bisa mendidik istri sendiri."

"Tidak mungkin. Chu Yang selalu punya reputasi yang baik. Tak mungkin ada yang berani bergosip."

Berlagak seperti bangsawan tulen, nyonya tua menghirup teh dari cangkir porselen yang dikenali Ming Lan sebagai salah satu hadiah dalam mas kawinnya. Set cangkir yang nampak polos ini sebenarnya sangat berharga. Kaisar terdahulu memberikannya sebagai hadiah pada keluarga almarhum ibunya, keluarga Xie.

Saat ibunya menikah ke kediaman keluarga Hua, nyonya tua di keluarga Xie memberikan benda ini sebagai harta sesan untuk putri tunggal mereka.

Waktu dia menikah ke kediaman keluarga Chu, ibu tirinya yang berasal dari kalangan pejabat rendahan, mengira benda ini tak bernilai, lalu memasukkannya jadi bagian harta sesan untuknya.

"Lagi pula, keluarga Hua kalian adalah keluarga bangsawan tinggi (guo), mana mungkin ada yang berani menggosipkanmu?"

Bukan main! Nyonya tua kembali mengolok situasi keluarganya. Di ibu kota, siapa yang tak menggunjing keluarga Hua?

Putra pertama yang diharapkan jadi pewaris, sibuk di rumah bordil sedangkan guo (duke) yang sekarang menghabiskan waktu di meja judi. Hampir setiap hari ada saja surat hutang yang mampir ke kediaman keluarga Hua.

Kalau bukan karena segan pada keluarga Xie, mungkin saja nyonya tua sudah memaksa perdana menteri untuk menceraikannya. Punya besan yang penuh skandal, memang sangat memalukan.

"Ibu terlalu menyanjung. Mau keluarga Hua atau pun Xie, saat ini keluarga Chu adalah tempat saya bernaung. Menantu tak ingin ada kritik sedikit pun terhadap xiangye. Bisa saja itu menghambat karir beliau. Anda tentu tak menginginkan hal ini, kan?"

"Baam!"

Hilang kesabaran, nyonya tua memukul meja. "Kenapa kau susah sekali dikasih tahu? Sejak kemarin, selalu membawa-bawa nama Fei Yang untuk menekanku."

Selir Yan yang sejak tadi menikmati camilan sambil menonton pertunjukan gratis, berlagak panik. Dia pura-pura mengusap kening nyonya tua penuh kekhawatiran.

"Bibi, tolong jangan terbawa emosi. Kesehatan anda yang paling penting. Kalau xiangye tahu anda begini, beliau pasti akan khawatir."

Nyonya tua bersandar lemah ke kursi. Tubuhnya dibuat seringkih mungkin, seperti mau mati. "Yan'er, apa lagi yang kuharapkan? Langit sedang menghukum keluarga Chu. Kalau tidak, kenapa dapat menantu seperti ini?"

"Tidak mungkin, Bibi. Keluarga Chu kita selalu berbakti dan berbuat baik. Hukuman apa yang bisa diberikan langit?"

Mata Yan Yan tampak berkaca-kaca. Wajahnya menatap Ming Lan dengan sedih. "Furen, anda tak boleh begini. Bibi jadi sedih karena anda selalu membantah."

"Yan yiniang, telingamu yang mana mendengarku membantah? Aku hanya mau berbakti pada ibu, tak punya maksud lain."

"Kalau begitu terima saja niat baik, Bibi. Tak usah membawa nama xiangye untuk menekan beliau. Sebagai ibu kandung, sudah pasti Bibi menginginkan yang terbaik untuk putranya."

Wah, betapa hebat pasangan Bibi dan keponakan memutar-balikkan fakta. Dua cecunguk ini bahkan bisa mencampur hitam dan putih sesuka hati, tanpa berkedip.

Baiklah, dia akan meladeni permainan ini.

"Kurasa pun begitu. Tak mungkin ibu mau putranya jadi bahan gunjingan hanya karena harta sesanku yang tidak seberapa."

Pasangan Bibi dan keponakan saling tatap, mencoba memahami makna sebenarnya dari kalimat yang terdengar ambigu ini.

Saat mereka masih bertanya-tanya dalam hati, Ming Lan melanjutkan, "sebab itu, aku jadi curiga. Jangan-jangan ada pihak yang membujuk ibu agar tetap mengerjakan hal merepotkan seperti itu untuk kepentingan pribadi."

Tampak serius berpikir, Ming Lan berjalan mengitari ruangan sambil bicara penuh keyakinan.

"Coba kita pikirkan.Kesehatan ibu sudah memburuk, bahkan bicara dua tiga kalimat saja, beliau langsung kelelahan. Tetapi orang licik ini tetap membujuk ibu untuk mengelola keuangan keluarga, termasuk toko kecil yang untungnya tidak seberapa. Kalau bukan bermaksud membuat ibu sakit parah, apa lagi maksudnya?"

Semua orang saling pandang, penuh kebingungan. Selir Yan yang dikenal paling pintar bersandiwara pun, tidak berkutik.

Ketika Ming Lan mulai sakit-sakitan karena depresi, dia langsung bersiasat agar dirinya dan nyonya tua yang mengelola keuangan keluarga, beserta semua bisnis. Dengan begitu, pasangan bibi dan keponakan keluarga Yan, bisa menikmati keuntungan pribadi.

Tetapi sekarang, tak mungkin lagi nyonya tua berkeras sehat saat dirinya pura-pura sekarat. Selain itu, jika Yan Yan mengakui bahwa dia yang membujuk, bagaimana penilaian Fei Yang terhadapnya kelak? Selama ini, perdana menteri selalu memandangnya sebagai sosok lembut dan pengertian.

Saat keduanya dilanda dilema, Kecubung yang sejak tadi berdiri sebagai latar belakang, maju dan bersimpuh di depan Ming Lan.

"Maafkan hamba, Furen." Sembari mengusap wajahnya dengan sapu tangan bersulam dedaunan, dia bicara begitu lirih. "Hamba yang sudah membujuk nyonya tua agar tetap mengelola keuangan karena khawatir akan kesehatan anda. Siapa sangka, gagasan saya malah membuat kesehatan beliau memburuk. Hamba siap menerima hukuman."

Ming Lan memandangi perempuan yang pernah jadi pelayannya acuh tak acuh. Dulu dia menyelamatkan Kecubung dari perdagangan manusia. Mendidiknya dengan berbagai keahlian, termasuk baca-tulis. Sekarang, orang yang sama memilih untuk berdiri di pihak lawan.

Mendadak sebuah pengumuman terdengar dari penjaga pintu.

"Tuan perdana menteri, datang!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Kasih Sayang Keluarga Xie

    Lewat tengah hari, setelah Xie furen pergi meninggalkan xiangfu, barulah dua wanita dari keluarga Yan bernafas lega. "Kalau begitu, panggil Ming Lan kemari. Aku mau tahu apa saja yang diceritakannya pada Xie furen."Ketika Ming Lan menghadap, nyonya tua mendapati dirinya agak kaget dengan penampilan menantunya. Bukankah hanfu yang dipakainya terbuat dari brokat Shu yang terkenal? Bagaimana Ming Lan punya barang semahal itu?"Kelihatannya, keadaaanmu sangat baik makanya masih bisa pakai hanfu yang indah.""Terima kasih, ibu. Semua ini cuma bentuk perhatian bibi padaku."Aroma semerbak dupa dalam ruangan, mulai membuat Ming Lan pusing. Entah apa maksud nyonya tua memanggilnya lagi kemari. Padahal, dia sudah sengaja berbaik-baik agar wanita ini tak curiga. Untuk saat ini, kekuatannya belum cukup untuk perang terbuka. "Apakah ada hal lain yang mau ibu sampaikan? Sebenarnya, aku berniat memasak makan malam untuk xiangye."S

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Uluran Tangan

    Nyonya tua tersenyum senang. Ming Lan masih menjaga muka di hadapan orang luar. Dalam suasana bahagia, dia meminta kepala pelayan Liu menyeduh koleksi teh terbaru yang didapatnya dari daerah pegunungan. "Xie furen, silakan duduk dan menikmati teh lagi. Tak usah begitu sungkan. Kita semua adalah kerabat.""Lao furen terlalu baik. Aku tak pantas mendapat kehormatan seperti itu. Teh yang Anda hidangkan sangatlah berharga.""Tidak ada yang terlalu berharga untuk keluarga sendiri."Mata jeli nyonya Xie memindai sekeliling, tidak terpengaruh sama sekali oleh keramahan palsu yang ditunjukkan nyonya tua. Menurutnya, keadaan Ming Lan jauh lebih buruk dari yang terlihat. "Lao furen, berhubung saya sudah lama tak bertemu Ming Lan, izinkan kami bicara secara pribadi di paviliunnya."Perasaan nyonya tua mulai tak enak. Bagaimana caranya mengizinkan nyonya muda keluarga Xie pergi ke halaman terjauh di xiangfu? "Bibi, jangan terburu

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Sandiwara

    Kepergian Yan Yan menyisakan lubang yang dalam di hati Ming Lan. Dia tak bisa lagi menulis dengan tenang karena pikiran mulai terbagi. Sepertinya, Yan Yan belum menemukan surat yang dibawa Mawar, makanya perempuan bermulut besar itu tak bisa memberi informasi lebih banyak. Akan tetapi, kalau surat itu belum sampai di kediaman Xie, maka nasibnya dan kedua pelayannya akan berakhir tragis. Firasatnya, cepat atau lambat, nyonya tua punya rencana melenyapkannya. Entah karena penyakit atau bunuh diri, keduanya adalah situasi yang mudah direkayasa. "Aku harus bagaimana sekarang?"Dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya, Ming Lan pun terlelap. Dalam mimpinya, dia kembali ke dunia modern, melihat kedua orang tuanya meratap di sisi tempat tidur. Memohon agar dia bangun dari koma. Bunyi gemerincing pintu yang berisik adalah hal yang membuatnya terjaga dari tidur yang panjang. Matanya mengerjap, dan mendapati bahwa pelayan utama Yan Yan yang

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Adu Siasat

    Siang berganti malam, penderitaan yang dialami Ming Lan semakin parah. Udara dingin menembus dinding yang berlubang, sampai terasa menggigit tulang. Di sekeliling hanya ada kegelapan, tak ada sebatang lilin atau dupa yang dibakar. Dia meringkuk di sudut ruangan, terlalu takut untuk merebahkan diri sebab satu-satunya yang dia punya hanya alas duduk. Sepanjang malam Min Lan dalam situasi seperti ini sampai esok harinya, kepala pelayan Liu yang bermuka masam datang kembali. Matanya sinis melihat mangkok air dan nasi yang tidak disentuh sang nyonya sama sekali. "Kelihatannya furen tidak bertobat juga. Duduk di aula leluhur, tapi masih menginginkan makanan enak.""Telingamu yang mana mendengarku meminta makanan?" Ming Lan merapikan ujung jubahnya yang kusut. "Lagi pula aku tak melihat makanan apa-apa di sini.""Furen jangan membuat hamba dalam kesulitan. Kalau orang luar mendengar, dikira anda dibuat kelaparan."Kepala pelayan Liu

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Kerja Sama

    Gadis muda bertampang lugu itu langsung tersungkur di hadapan Kecubung. Air matanya terurai di pipi kemerahan. "Nyonya, anda bisa jadi saksi. Kotak itu terlepas dari tangan Chun Tao bukan saya.""Berani sekali kau memfitnahku. Sekarang ikut aku ke paviliun Feng Yue untuk menjelaskan semuanya."Fei menggeleng keras, matanya memohon pada Kecubung. Siapapun yang tinggal cukup lama di kediaman pasti paham betapa buruk temperamen Yan Yan di belakang perdana menteri dan nyonya tua. Beberapa budak sudah kehilangan nyawa di tangannya. Kecubung menepis tangan Fei dari ujung sepatunya, lalu bangkit berdiri dengan anggun. "Untuk apa kau menangis di sini. Tentu saja kita harus menjelaskan semuanya pada Yan yiniang."Melihat pemilik kediaman He Xiang berusaha keras tampil seperti salah satu majikan, Chun Tao makin jengkel. Andai wajahnya sedikit lebih cantik, sudah tentu dia bisa seperti kecubung. Seekor ayam yang berubah jadi burung feniks hanya ka

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Muslihat Chun Tao

    Perintah ini nyaris membuat Ming Lan muntah darah. Entah mimpi atau nyata, dia pernah mengalami kehidupan di masa depan. Saat itu, orang-orang sudah menjunjung tinggi kesetaraan gender. Tak ada paksaan bagi perempuan untuk hidup dalam kepatuhan yang menyesakkan. Buku yang dibicarakan Fei Yang barusan adalah empat kitab yang memang diperuntukkan untuk mengekang kehidupan wanita di zaman feodal. Sebutlah misalnya mengenai Tiga Kepatuhan dan Empat Kebajikan. Seorang wanita harus mematuhi ayah mereka saat masih gadis, patuh pada suami ketika sudah menikah, dan pada putra waktu sudah janda. Selain itu, ada juga aturan yang membuat seorang wanita bisa diceraikan. Beberapa diantaranya bila tidak berbakti pada mertua, tak bisa melahirkan anak lelaki atau tidak mengizinkan suami mereka mengambil selir. Lucunya, hal ini tak akan pernah menimpa kaum lelaki. Kalau bukan ingin menindas wanita, apa lagi namanya? "Bagaim

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status