Share

Muslihat Chun Tao

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-25 13:00:19

Perintah ini nyaris membuat Ming Lan muntah darah. Entah mimpi atau nyata, dia pernah mengalami kehidupan di masa depan. Saat itu, orang-orang sudah menjunjung tinggi kesetaraan gender. Tak ada paksaan bagi perempuan untuk hidup dalam kepatuhan yang menyesakkan.

Buku yang dibicarakan Fei Yang barusan adalah empat kitab yang memang diperuntukkan untuk mengekang kehidupan wanita di zaman feodal.

Sebutlah misalnya mengenai Tiga Kepatuhan dan Empat Kebajikan. Seorang wanita harus mematuhi ayah mereka saat masih gadis, patuh pada suami ketika sudah menikah, dan pada putra waktu sudah janda.

Selain itu, ada juga aturan yang membuat seorang wanita bisa diceraikan. Beberapa diantaranya bila tidak berbakti pada mertua, tak bisa melahirkan anak lelaki atau tidak mengizinkan suami mereka mengambil selir.

Lucunya, hal ini tak akan pernah menimpa kaum lelaki. Kalau bukan ingin menindas wanita, apa lagi namanya?

"Bagaimana? Furen tak setuju?"

Suara suaminya menarik Ming Lan kembali ke dunia nyata. Buru-buru dia tersenyum manis. "Tentu saja tidak. Saya yakin semua ini dilakukan xiangye demi kebaikan saya."

"Bagus kalau kau paham. Sekarang giliran Tao yiniang." Kembali Fei Yang menoleh ke arah pintu, menyampaikan titah yang baru. "Tao yiniang telah bertindak menyalahi wewenang sebagai seorang selir kediaman. Sebab itu, dia akan dikurung satu minggu dan tak mendapat gaji selama tiga bulan."

Usai memberi perintah, perdana menteri bergegas pergi diiringi orang kepercayaannya, Nan Feng. Tinggallah para wanita, saling tatap dengan pikiran berkecamuk.

Bila Ming Lan bersikap biasa, lain lagi dengan Kecubung yang diberi gelar sebagai Tao yiniang. Lemas seluruh persendiannya ketika mendengar keputusan perdana menteri.

Gajinya sebagai seorang selir kediaman adalah satu tahil emas setiap bulan, ditambah makanan, satu set pakaian baru untuk setiap musim, serta hadiah atau pemberian dari tuan lain di kediaman, cukup membuatnya hidup pas-pasan.

Tetapi sekarang, tanpa gaji selama tiga bulan, sementara uang yang tersedia dalam kotak perhiasannya tidak sampai dua tahil emas, dia bingung bagaimana cara bertahan. Satu-satunya harapan yang tersisa agar nyonta tua tidak menyia-nyiakan niat baiknya.

"Bawa aku pergi," lirihnya pada pelayannya setelah Ming Lan meninggalkan ruangan.

Jaraknya dengan bekas nyonya hanya beberapa langkah. Kesempatan ini tak disia-siakan Kecubung. Setahunya Ming Lan adalah perempuan berhati lemah. Jika dia pura-pura menyedihkan sekarang, mungkin saja akan mendapat sedikit bantuan.

"Furen, tunggu." Dia berjalan lebih cepat saat mereka sudah berada dibalik bukit buatan. "Maaf soal yang tadi. Hamba benar-benar tak punya pilihan."

Langkah Ming Lan berhenti. Rupanya si pengkhianat masih punya nyali untuk mendatanginya.

"Tak punya pilihan, ya?" ujarnya sambil tersenyum dingin. "Apakah kau tak punya pilihan juga saat membuat xiangye mabuk hingga tidur denganmu?"

Seolah belum cukup, Ming Lan mendekat hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Kecubung. "Lalu... tak punya pilihan juga saat memasukkan Tian Hua Fen dalam sayur sop yang kusantap?"

Kecubung yang lihai berusaha untuk terlihat tenang. "Furen, apa yang anda bicarakan? Saya bahkan tak pernah mendengar tanaman yang Anda sebutkan."

"Dari mana kau tahu itu tanaman?"

"Te--tentu saja dari namanya."

Sekali lagi, Ming Lan hanya tersenyum kecil. "Kalau begitu, aku yang salah sangka," pungkasnya seraya menjauhkan diri. "Saranku, jangan membiarkan dirimu hangus terbakar hanya karena berebut kasih sayang seorang pria."

Seperti seorang dewi, Ming Lan melangkah anggun meninggalkan bekas pelayannya. Saat dia berjalan, Anggrek menyusul cepat dari belakang.

"Furen, apakah Kecubung ada hubungannya dengan keguguran yang pernah anda alami?"

"Kita lihat saja nanti."

Ming Lan belum berani bicara terlalu banyak pada Anggrek. Barusan dia cuma memancing Kecubung terkait kejadian yang menimpanya dulu.

Dia pernah hamil anak ketiga, namun gugur saat usia kandungan menginjak tiga bulan. Seingatnya, dia minum sop sayuran yang dibawakan oleh Kecubung. Waktu itu, dia belum curiga pada mantan pelayannya meski sudah diangkat jadi selir.

Kelakuan busuk Kecubung baru terbongkar beberapa minggu jelang dia koma. Kalau bukan karena itu, sekarang tentu dia masih berhubungan baik dengan si pengkhianat.

"Segera keluar lewat pintu belakang dan kirimkan surat ini ke kediaman keluarga Xie," bisiknya pada Anggrek sebelum berbelok ke sayap kanan bangunan, dimana aula leluhur berada.

Begitu sampai di sana, Ming Lan mulai menekuni buku dan kuas yang sudah diletakkan di atas meja, menulis karakter demi karakter, dengan tekun.

Sementara itu di paviliun Feng Yue, tempat dimana selir Yan tinggal, terdengar bunyi berderak serta teriakan tertahan. Sikap ramah dan baik hati yang sudah jadi ciri khasnya, sedikit pun tak terlihat. Muka Yan Yan tak ubahnya siluman penguasa neraka.

"Katakan, apa yang dikirim bibiku ke paviliun He Xiang?"

Pelayan utama Yan Yan yang bernama Chun Tao menjawab takut-takut. "Sebuah gelang giok berwarna hijau lumut, yiniang."

Perasaan Yan Yan membaik sedikit. Benda yang diberi nyonya tua bukan barang mahal, yang berarti beliau menganggap pengorbanan Kecubung biasa saja.

Sampai sekarang, dia masih kesal karena dimarahi nyonya tua juga memikirkan kuasa atas keuangan kediaman (xiangfu) harus diserahkan ke tangan Ming Lan kembali.

"Dasar perempuan jalang!" makinya penuh benci. "Beraninya dia memanfaatkan situasi untuk cari muka."

Chun Tao hanya menunduk, membiarkan Yan Yan memuntahkan unek-uneknya. Nasib budak memang begini. Kalau pekerjaan bagus, tuan tak memuji. Tapi kalau gagal, maka bersiaplah untuk segala kemungkinan. Mulai dari makian, pukulan fisik, bahkan nyawa.

Pekerjaan beresiko ini dilakoni karena tak punya pilihan. Terlahir dari orang tua miskin, dia sudah dijual jadi budak sejak kecil. Seluruh tubuh bahkan nyawa, adalah milik majikannya.

"Bagaimana kalau anda juga mengirimkan sesuatu ke paviliun He Xiang?" tanya Chun Tao meminta pendapat. "Kalau kita diam saja, nyonya tua akan curiga."

Yan Yan mulai berpikir keras. Dalam penglihatan orang-orang, nyonya tua memang sangat sayang padanya. Akan tetapi, dia lebih tahu apa yang terjadi sesungguhnya.

Setiap bulan, ayahnya akan mengirim banyak barang ke xiangfu. Sebagian besar, masuk dalam perbendaharaan nyonya tua. Selain itu, bibinya juga memerlukan pendukung untuk menghadapi menantunya yang bangsawan. Hubungan mereka lebih kepada timbal-balik dari pada kerabat.

"Kau benar," sahut Yan Yan sebelum membuka kotak perhiasan dan memilih tusuk konde perak dengan hiasan peoni. "Kirimkan ini ke paviliun He Xiang. Katakan pada Kecubung agar lebih sering mampir kemari."

Setelah berjalan menyusuri taman buatan yang sangat indah, Chun Tao akhirnya sampai di paviliun He Xiang. Sejak awal didirikan, paviliun berisi tiga ruangan ini memang diperuntukkan untuk tempat tinggal para selir.

Setelah Ming Lan di usir ke paviliun Fu Yun yang letaknya paling ujung, Yan Yan membujuk perdana menteri dengan berbagai cara hingga berhasil dipindahkan ke paviliun Feng Yue, yang awalnya tempat tinggal seorang furen.

"Selamat siang Tao yiniang." Chun Tao menyapa Kecubung yang kebetulan sedang menyulam di teras.

"Wah, ada apa gerangan mengunjungiku siang-siang begini?"

Chun Tao memutar bola matanya, muak. Kalau bukan karena tugas, mana sudi dia berurusan dengan orang rendahan seperti Kecubung.

Kesadaran bahwa selir di depannya juga berasal dari golongan yang sama, membuat keberanian Chun Tao timbul. Sebuah muslihat timbul dalam pikirannya.

"Majikanku mengirimkan benda ini untuk anda."

Pelayan pribadi Kecubung yang bernama Fei hendak mengambil kotak dari tangan Chun Tao. Namun belum sempat dia menyentuh, kotak tersebut jatuh ke tanah, hingga jepit rambut yang di dalamnya keluar, dan patah.

"Lancang! Beraninya pelayan sepertimu menghina pemberian majikanku!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Uluran Tangan

    Nyonya tua tersenyum senang. Ming Lan masih menjaga muka di hadapan orang luar. Dalam suasana bahagia, dia meminta kepala pelayan Liu menyeduh koleksi teh terbaru yang didapatnya dari daerah pegunungan. "Xie furen, silakan duduk dan menikmati teh lagi. Tak usah begitu sungkan. Kita semua adalah kerabat.""Lao furen terlalu baik. Aku tak pantas mendapat kehormatan seperti itu. Teh yang Anda hidangkan sangatlah berharga.""Tidak ada yang terlalu berharga untuk keluarga sendiri."Mata jeli nyonya Xie memindai sekeliling, tidak terpengaruh sama sekali oleh keramahan palsu yang ditunjukkan nyonya tua. Menurutnya, keadaan Ming Lan jauh lebih buruk dari yang terlihat. "Lao furen, berhubung saya sudah lama tak bertemu Ming Lan, izinkan kami bicara secara pribadi di paviliunnya."Perasaan nyonya tua mulai tak enak. Bagaimana caranya mengizinkan nyonya muda keluarga Xie pergi ke halaman terjauh di xiangfu? "Bibi, jangan terburu

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Sandiwara

    Kepergian Yan Yan menyisakan lubang yang dalam di hati Ming Lan. Dia tak bisa lagi menulis dengan tenang karena pikiran mulai terbagi. Sepertinya, Yan Yan belum menemukan surat yang dibawa Mawar, makanya perempuan bermulut besar itu tak bisa memberi informasi lebih banyak. Akan tetapi, kalau surat itu belum sampai di kediaman Xie, maka nasibnya dan kedua pelayannya akan berakhir tragis. Firasatnya, cepat atau lambat, nyonya tua punya rencana melenyapkannya. Entah karena penyakit atau bunuh diri, keduanya adalah situasi yang mudah direkayasa. "Aku harus bagaimana sekarang?"Dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya, Ming Lan pun terlelap. Dalam mimpinya, dia kembali ke dunia modern, melihat kedua orang tuanya meratap di sisi tempat tidur. Memohon agar dia bangun dari koma. Bunyi gemerincing pintu yang berisik adalah hal yang membuatnya terjaga dari tidur yang panjang. Matanya mengerjap, dan mendapati bahwa pelayan utama Yan Yan yang

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Adu Siasat

    Siang berganti malam, penderitaan yang dialami Ming Lan semakin parah. Udara dingin menembus dinding yang berlubang, sampai terasa menggigit tulang. Di sekeliling hanya ada kegelapan, tak ada sebatang lilin atau dupa yang dibakar. Dia meringkuk di sudut ruangan, terlalu takut untuk merebahkan diri sebab satu-satunya yang dia punya hanya alas duduk. Sepanjang malam Min Lan dalam situasi seperti ini sampai esok harinya, kepala pelayan Liu yang bermuka masam datang kembali. Matanya sinis melihat mangkok air dan nasi yang tidak disentuh sang nyonya sama sekali. "Kelihatannya furen tidak bertobat juga. Duduk di aula leluhur, tapi masih menginginkan makanan enak.""Telingamu yang mana mendengarku meminta makanan?" Ming Lan merapikan ujung jubahnya yang kusut. "Lagi pula aku tak melihat makanan apa-apa di sini.""Furen jangan membuat hamba dalam kesulitan. Kalau orang luar mendengar, dikira anda dibuat kelaparan."Kepala pelayan Liu

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Kerja Sama

    Gadis muda bertampang lugu itu langsung tersungkur di hadapan Kecubung. Air matanya terurai di pipi kemerahan. "Nyonya, anda bisa jadi saksi. Kotak itu terlepas dari tangan Chun Tao bukan saya.""Berani sekali kau memfitnahku. Sekarang ikut aku ke paviliun Feng Yue untuk menjelaskan semuanya."Fei menggeleng keras, matanya memohon pada Kecubung. Siapapun yang tinggal cukup lama di kediaman pasti paham betapa buruk temperamen Yan Yan di belakang perdana menteri dan nyonya tua. Beberapa budak sudah kehilangan nyawa di tangannya. Kecubung menepis tangan Fei dari ujung sepatunya, lalu bangkit berdiri dengan anggun. "Untuk apa kau menangis di sini. Tentu saja kita harus menjelaskan semuanya pada Yan yiniang."Melihat pemilik kediaman He Xiang berusaha keras tampil seperti salah satu majikan, Chun Tao makin jengkel. Andai wajahnya sedikit lebih cantik, sudah tentu dia bisa seperti kecubung. Seekor ayam yang berubah jadi burung feniks hanya ka

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Muslihat Chun Tao

    Perintah ini nyaris membuat Ming Lan muntah darah. Entah mimpi atau nyata, dia pernah mengalami kehidupan di masa depan. Saat itu, orang-orang sudah menjunjung tinggi kesetaraan gender. Tak ada paksaan bagi perempuan untuk hidup dalam kepatuhan yang menyesakkan. Buku yang dibicarakan Fei Yang barusan adalah empat kitab yang memang diperuntukkan untuk mengekang kehidupan wanita di zaman feodal. Sebutlah misalnya mengenai Tiga Kepatuhan dan Empat Kebajikan. Seorang wanita harus mematuhi ayah mereka saat masih gadis, patuh pada suami ketika sudah menikah, dan pada putra waktu sudah janda. Selain itu, ada juga aturan yang membuat seorang wanita bisa diceraikan. Beberapa diantaranya bila tidak berbakti pada mertua, tak bisa melahirkan anak lelaki atau tidak mengizinkan suami mereka mengambil selir. Lucunya, hal ini tak akan pernah menimpa kaum lelaki. Kalau bukan ingin menindas wanita, apa lagi namanya? "Bagaim

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Hukuman

    Begitu mendengar putranya sudah datang, nyonya tua makin semaput. Nafasnya terdengar berat, seolah sedang berjuang dari sergapan malaikat maut. Yan Yan juga berlagak makin panik. Dia mengipasi nyonya tua sambil memberi berbagai perintah pada pelayan di sekeliling. "Tunggu apa lagi, cepat ambilkan sup tonik bibi.""Kau buka jendela lebih lebar agar udara masuk.""Kenapa diam saja? Cepat pijat kaki bibi."Saat Fei Yang masuk ke ruang dalam, suasana sudah mirip medan perang. Wajahnya yang biasa tenang terlihat tak nyaman, tetapi tak menghentikan aksinya sebagai putra berbakti. Tergesa dia mendatangi nyonya tua. "Mujin, anda kenapa? Apa yang terjadi pada ibuku?"Sebelum ada yang menjawab, Fei Yang segera membopong ibunya ke kamar. Dari balik tirai lipat, Ming Lan masih bisa mendengar suara batuk-batuk nyonya tua. Perempuan dari keluarga Yan memang hebat-hebat. Yang satu jago bersandiwara, sementara yang lain hebat menangi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status