"Kuberi tahu, ya." Revan menekan nada bicaranya. "Alu melakukan ini bukan karena dirimu. Aku juga melakukan ini untuk Diana," lanjut Revan mendadak menyebut nama Diana. Diana sontak mengangkat wajahnya ketika mendengar Revan berbicara begitu. Ia melihat ke arah Revan yang sekarang tepat berada di hadapan Kevin. Meski begitu, Kevin masih tidak menghilangkan emosinya. Keadaannya sangat sulit waktu itu, adakah yang bisa mengerti perasaannya? "Jika kau ingin marah dan melampiaskannya, kau bebas melakukannya padaku." Revan membuat Kevin heran dan ingin menebak-nebak isi pikirannya. "Kau merasa marah 'kan? Kau juga merasa ingin memukulku? Maka lakukanlah," lanjut Revan. Kevin mengerutkan keningnya. Ia berpikir, apakah Revan sengaja mengatakan itu dan membuatnya semakin marah? Apakah Revan sedang mengejeknya? "Tentu saja aku tidak akan melakukannya dengan percuma. Ada satu syarat jika kau ingin memukulku."
Mungkin berkelompok seperti ini bisa mendekatkan hubungan diantara mereka berdua, batin Diana. Ia tersenyum sembari melihat kedua anggota kelompoknya yang sama-sama berekspresi cemberut. "Perhatian! Sekarang kalian harus tahu apa tugas yang harus kalian kerjakan." Sang guru membuat para siswa yang tengah ribut membahas kelompok kembali memperhatikan ke depan kelas. Sang guru memperlihatkan tugas kelompok yang diberikan. Seketika sebagian murid histeris. Semua murid membulatkan matanya melihat gambar yang tampak dari hasil proyektor. Mereka harusnya tahu, tugas seperti apa yang membutuhkan waktu sebulan untuk mengerjakannya. Sudah tentu tugasnya itu tidak sedikit. Bolehkah
Diana terus kepikiran tentang dirinya yang mulai dibicarakan teman-temannya di sekolah. Mereka mengatakan bahwa Diana tak seharusnya bersama Revan saat dirinya memiliki Kevin. Apa-apaan itu?! Diana menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Revan adalah siswa yang dikagumi karena ketampanannya. Ia tentu populer apalagi dikalangan para gadis di sekolah. Sedangkan Kevin termasuk siswa yang bergaul dengan banyak orang. Ia tentu sangat dikenal di sekolah mereka. Apakah ini akan menjadi awal dari perundungan? Apa seharusnya aku tidak perlu berteman dengan mereka berdua? Dengan begitu aku akan kembali ke kehidupan sekolahku dulu. Kehidupan sekolah yang monoton, tapi tidak perlu merasa repot dengan masalah seperti ini. Diana terus berpikir. Kehidupan yang santai tanpa masalah merepotkan itu sangatlah indah. Memang benar, sesuatu akan terasa berharga saat sudah tak ada lagi. Tapi Dian
Revan ikut-ikutan melepas tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas kelompok. Ini karena Revan sebenarnya sibuk dengan kegiatan bersama kakaknya mengurus perusahaan keluarga mereka. "Sekarang waktunya kau menunjukkan kemampuanmu itu," lanjut Revan tak mengerti bahwa kalimat penjilatnya sangat tak efektif. Revan hanya tahu jika ingin mendapatkan sesuatu maka kalimat seperti ini sering digunakan. Menggunakan pujian. Diana berhasil melampaui nilai pelajaran Revan dengan nilai sempurna dan Revan kagum dengan itu. "Aku baru tahu kau adalah orang yang suka melepas tanggung jawab." Diana berkata sambil tersenyum. Sudah pasti itu senyum sinis untuk menyindir Revan. Revan segera sadar menatap Kevin dengan alis berkerut. Kenapa hanya aku yang dimarahi? ucapnya dalam hati. Karena Diana hanya melihat ke arahnya dengan pandangan menyeramkan. Kevin membalas tatapan Revan, Itu salahmu! Perkataanmu yang salah.
Berkat David yang merawat Diana saat sakit akhirnya Diana bisa sembuh dan bersekolah kembali. Ia harus menagih materi tugas kelompoknya pada Revan. Itulah yang membebani pikirannya. Diana adalah salah satu orang yang lebih menyukai tugas mandiri dibandingkan dengan tugas kelompok. "Kau sekolah?" Revan bertanya padanya saat Diana berpapasan dengannya tepat sebelum masuk ke kelas. Revan bertanya dengan wajah kaku di dekat pintu kelas. "Ya, kau lihat, aku sudah sembuh." Diana heran dengan ekspresi Revan yang terlihat sedikit aneh. Ada sesuatu yang salah. "Mana materi tugas kelompok bagianmu?" tanya Diana. "Aku membawanya kemarin dan tak membawanya hari ini." Kemarin Diana tidak datang sekolah jadi Revan kembali membawa tugasnya pulang ke rumah. Sekarang Revan tidak membawanya dan tugas itu berada di rumahnya. "Aku juga ingin tahu keseluruhan bagian tugas yang harus aku kerjakan." Revan m
"Lagi pula, tak perlu aku jelaskan lagi. Kau pasti tahu siapa yang mendatangi siapa. Jadi siapa yang tertarik disini? Aku hanya berniat mendekati orang yang punya urusan. Dan aku tak punya urusan untuk berdekatan dengan seseorang yang sepertimu," lanjut Diana. Ia berkata dengan terus menatap Michael, tapi sebenarnya ia juga membalas sindiran yang ia terima dari para gadis. Membalas mereka lewat Michael. Sebelum Michael membalas, Diana segera berdiri. Ia tak membiarkan Michael menyahut lagi. "Jika tak ada yang perlu dibicarakan lagi, maka kalian pergilah." Diana kali ini menatap Revan dan Kevin juga. Ia sadar mungkin mereka akan merasa tak nyaman karena terkena dampaknya. Diana hanya berharap mereka berdua tidak tersinggung. Meski Revan dan Kevin merasa tak enak. Sebenarnya mereka tidak tersinggung, menurut mereka wajar seseorang yang badmood melakukan hal seperti yang Diana lakukan. Ini sering terjadi.
Revan yang melihat ekspresi tidak biasa dari Diana menjadi tertegun. Diana menatapnya dengan tanpa ragu, meyakinkan Revan bahwa Diana mengkhawatirkannya. Baru kali ini Revan melihat ekspresi yakin saat mengkhawatirkan sesuatu bukan ekspresi takut saat cemas. Seolah Diana mengatakan 'aku peduli padamu' dengan tatapan pasti. "Dan ternyata kekhawatiranku itu benar. Kau terlihat tidak baik-baik saja." Diana melanjutkan karena Revan hanya diam tidak membalas perkataannya. "Begitu kah kelihatannya?" tanya Revan menyembunyikan ekspresi wajahnya. Tatapan Diana melemah sedikit saat melihat Revan yang mengalihkan tatapan darinya. Revan tidak menyangkal ucapannya dan malah bertanya seperti itu tanpa melihat Diana. "Karena hal seperti ini juga menjadi alasan aku ingin sendirian." Revan melanjutkan saat Diana diam belum membalas ucapannya. Ternyata Revan menyendiri itu karena tida
Revan membuka mulutnya untuk membela diri. “Hanya saja, bagaimana bisa kau mengatakan tertidur di sini. Kau itu 'kan perempuan dan ini alam terbuka.” Revan masih mencoba mencari alasan agar Diana tidak marah padanya. Diana berbalik dan tidak lagi membelakangi Revan. Ia memejamkan mata mencoba menerima alasan Revan sekaligus menghilangkan perasaan malu dan tidak nyamannya. Meski Diana sudah berbalik dan menghadap Revan, ia masih melipat kedua tangannya di depan tubuhnya. Semoga Revan tidak berpikiran Diana masih marah karena gayanya yang terkesan angkuh itu. “Seharusnya kau sudah tahu maksudku 'kan. Yah, terserah. Sekarang aku ingin bertanya,” kata Diana menatap Revan dengan serius. “Apa? Kau ingin bertanya apa?” tanya Revan tiba-tiba merasa harap-harap cemas dengan pertanyaan Diana. “Bagaimana kau ke sini?” tanya Diana. “Dengan mengendarai motor.” Revan menjawab dengan jujur. “Nanti aku numpang, ya?