Share

04. Sebuah Kebodohan

"Belum balik?"

Salsabila mengetuk kubikel yang membuat si wanita yang tengah melamun itu seketika terkejut. Rinda, satu-satunya sahabat karibnya di perusahaan ini. Pertemanan mereka terjalin sejak Salsabila masih menjadi pegawai biasa di tempat ini. Dan pertemanan mereka tetap terjalin meskipun Salsabila telah menjadi seorang direktur.

"Belum balik, Rin?" tanya Salsabila mengulangi pertanyaanya.

"Eh … Ibu Direktur, sedang apa di sini? Tidak biasanya," jawab Rinda sambil terkekeh. Dia cukup heran apa yang membawa wanita super duper sibuk itu menyambangi kubikelnya.

"Hush … jangan panggil seperti itu, aku tidak suka," ucap Salsabila dengan garang. Ia memang tidak menyukai sematan nama itu. Apalagi kalau sahabatnya yang memanggilnya dengan nama itu. Geli!

Rinda kembali tertawa. "Ini baru mau balik, Salsa. Mau pulang bareng, ya? Tetapi maaf, Mas Putra lagi otw ke sini." Rinda kemudian menoleh melihat semua timnya yang sudah tidak ada di tempat. "Ehh, mereka pada ke mana? Sudah pada balik, ya?" tanyanya terheran-heran.

Salsabila sedikit kecewa mendengar perkataan Rinda yang sudah akan dijemput oleh tunangannya, Putra.

"Kebanyakan melamun kamu. Sampai tidak sadar ditinggal sendiri. Memangnya sedang mikirin apa?" tanya Salsabila. "Oh, baiklah kamu bisa pulang bareng dengannya. Lagian aku hanya datang untuk menemui kalian. Aku rindu."

"Bukan apa-apa, Salsa. Maaf ya, lain kali aku janji kita harus hang out bareng," ujar Rinda dengan nada penuh permohonan maaf, lalu merapikan meja kerjanya. Kemudian ia kembali berkata, "Perasaan tadi aku masih melihat Pipit sedang ngemil di kubikelnya."

"Baru saja pulang, dijemput suaminya," ujar Rara. Wanita itu merapikan rambut sebahunya dengan dua tangan. "Eh ada Ibu Salsa. Bagaimana nih kabar Ibu, setelah menjadi direktur?" Wanita yang bernama Rara itu menyahut, lalu menyapa Salsabila setelah baru menyadari kehadirannya. Wanita itu sepertinya baru dari toilet.

Oh, iya dahulu mereka semua satu tim. Jadi, mereka sudah akrab dan berteman baik. Oleh karena itu, mereka tidak sungkan-sungkan saling menyapa atau saling bercanda.

"Aku baik," jawab Salsabila sambil tersenyum. "Lo sendiri kenapa belum balik?" tanya Salsabila kembali.

"Nunggu suami, Salsa," ujarnya seraya melirik ke arah ruang pintu manajer divisi, tempat suaminya. "Tuh, dia baru keluar," ujarnya lagi saat melihat suaminya muncul dari balik pintu. "Aku duluan ya, guys," teriaknya sebelum melangkah menghampiri suaminya, yang disambut rangkulan pria itu di pinggangnya.

Salsabila mengembuskan napas perlahan. Jadi, memang seperti itu fungsi suami sebenarnya. Iya, kan? Seperti suami Pipit yang mengkhawatirkan istrinya pulang malam sendirian, dan suami Rara yang selalu siaga setiap waktu. Bahkan sekelas Rinda yang masih bertunangan, tetapi memiliki seorang pria yang cukup perhatian terhadapnya.

Pertanyaanya, bukan, "Apakah suami seperti mereka apa memang ada?" Melainkan, "Mengapa suami seperti Alan harus ada?"

Salsabila menjejak lantai basement—masih terus berpikir tentang hal-hal tidak penting, memasuki Yaris putihnya dan segera keluar dari area pengap itu. Hari ini ia meminta Dimas untuk pulang terlebih dahulu dan membiarkannya menyetir mobil sendiri, semua itu ia lakukan semata-mata karena dia berencana untuk berjalan-jalan sebentar bersama Rinda. Tetapi Salsabila salah, teman-temanya sudah punya kehidupan masing-masing dengan pasangannya.

Di luar, jalan sudah basah. Tenyata malam ini sedang hujan. Para pedagang kaki lima memasang tenda-tenda, dan para pejalan kaki berlarian ke arah halte atau kanopi lain untuk berteduh.

Salsabila tidak pernah membenci hujan. Ia bahkan bisa diam berjam-jam menatap jatuhan air hujan di samping jendela kamar dan tidak melakukan apa-apa. Namun, untuk saat ini, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun menjalani sebuah pernikahan tanpa visi misi dia merasa begitu kesepian dan merasa sendiri. Untuk pertama kalinya, dia ingin cepat-cepat sampai di rumah. Tetapi semesta sama sekali tidak mendukungnya, hujan akan menghalangi semua rencananya.

Terbukti, jalanan macet. Membuat Salsabila tertahan di perjalanannya yang baru saja bergerak beberapa puluh meter. Ia berdecak, menghentikan laju mobil dan menunggu mobil di depannya kembali menjauh. Jakarta, jam pulang kantor, dan hujan adalah kombinasi sempurna.

Suara jatuhan hujan dan gerakan wiper di kaca mobil menemaninya, menyeka air yang menyerang kaca. Bias lampu-lampu dari kendaraan lain hadir di kaca mobilnya dan ia tidak melakukan apa-apa selain menunggu.

Seandainya ia tahu akan begini keadaanya. Ia tidak akan meminta Dimas untuk pulang lebih dahulu dan membiarkannya menyetir sendirian.

Mobilnya bisa bergerak di lima menit berikutnya, dengan sangat lamban. Suara klakson tidak sabar dari beberapa kendaraan mulai terdengar. Para pedagang kaki lima turun tangan ke jalan berubah menjadi pengatur laju kendaraan dadakan.

Setelah memberikan selembar uang dua ribuan pada pria jangkung berjas hujan plastik yang tengah mengatur laju kendaraan, mobilnya bisa melaju dengan lebih cepat. Tentunya setelah melewati rumah makan Seroja yang memang akan penuh di saat-saat seperti ini. Banyaknya mobil yang terparkir di area parkir rumah malan itu sampai memakan sebagian lahan trotoar dan memang cukup menghambat laju kendaraan.

Jika punya pilihan untuk itu, mungkin Salsabila juga akan melakukannya. Ia akan menunggu hujan reda dan jalanan macet yang entah berujung sampai di mana.

Namun, tempat tidur di rumah lebih nikmat untuk diabaikan. Ia lebih memilih merebah untuk mengistirahatkan otot-ototnya yang menegang karena kebanyakan duduk tegang di depan komputer. Ah, itu lebih menjanjikan.

Sesaat sebelum melewati keadaan itu, tatapannya terhenti pada sebuah Mercedes Benz E-Class yang merupakan salah satu kendaraan yang terparkir di depan restoran itu. Salsabila mengenal plat mobil itu, mobil yang selama ini berada di carport yang sama dengan mobil yang dipakainya ini.

Itu mobil Alan.

Sesaat sebelum memalingkan tatapannya kembali ke arah jalan, Salsabila menemukan sosok Alan berjalan mendekat ke arah mobilnya, bersama seorang wanita dengan anak berumur lima tahun berada dalam gendongan Alan.

Mereka layaknya seorang keluarga yang habis menikmati makan malam. Salsabila mencoba mengabaikan pemandangan itu, dia tidak kaget lagi. Dia sudah terlalu sering menyaksikan pemandangan itu, jadi katakanlah Salsabila sudah kebal dengan segala yang dilakukan oleh Alan.

Namun, tetap saja Salsabila tidak bisa mengabaikan pemandangan itu, pemandangan saat Alan tersenyum sambil menggendong bocah dan satu tangannya memegangi payung untuk wanita itu yang baru saja ingin memasuki mobil. Dengan cepat Salsabila mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyalakan radio, memutar volumenya kencang. Ia tidak suka ketika suara hujan membuat malam harinya sangat menyedihkan.

Tidak ada waktu untuk memikirkan pernikahan yang sampai saat ini masih Salsabila pertahankan, padahal dia tahu kalau semua itu hanyalah kebodohan. Bodoh, karena bertahan padahal ia akan tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya. Tentu saja wanita itu, wanita yang menjadi cinta sejati dari Alan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status