"Belum balik?"
Salsabila mengetuk kubikel yang membuat si wanita yang tengah melamun itu seketika terkejut. Rinda, satu-satunya sahabat karibnya di perusahaan ini. Pertemanan mereka terjalin sejak Salsabila masih menjadi pegawai biasa di tempat ini. Dan pertemanan mereka tetap terjalin meskipun Salsabila telah menjadi seorang direktur."Belum balik, Rin?" tanya Salsabila mengulangi pertanyaanya."Eh … Ibu Direktur, sedang apa di sini? Tidak biasanya," jawab Rinda sambil terkekeh. Dia cukup heran apa yang membawa wanita super duper sibuk itu menyambangi kubikelnya."Hush … jangan panggil seperti itu, aku tidak suka," ucap Salsabila dengan garang. Ia memang tidak menyukai sematan nama itu. Apalagi kalau sahabatnya yang memanggilnya dengan nama itu. Geli!Rinda kembali tertawa. "Ini baru mau balik, Salsa. Mau pulang bareng, ya? Tetapi maaf, Mas Putra lagi otw ke sini." Rinda kemudian menoleh melihat semua timnya yang sudah tidak ada di tempat. "Ehh, mereka pada ke mana? Sudah pada balik, ya?" tanyanya terheran-heran.Salsabila sedikit kecewa mendengar perkataan Rinda yang sudah akan dijemput oleh tunangannya, Putra."Kebanyakan melamun kamu. Sampai tidak sadar ditinggal sendiri. Memangnya sedang mikirin apa?" tanya Salsabila. "Oh, baiklah kamu bisa pulang bareng dengannya. Lagian aku hanya datang untuk menemui kalian. Aku rindu.""Bukan apa-apa, Salsa. Maaf ya, lain kali aku janji kita harus hang out bareng," ujar Rinda dengan nada penuh permohonan maaf, lalu merapikan meja kerjanya. Kemudian ia kembali berkata, "Perasaan tadi aku masih melihat Pipit sedang ngemil di kubikelnya.""Baru saja pulang, dijemput suaminya," ujar Rara. Wanita itu merapikan rambut sebahunya dengan dua tangan. "Eh ada Ibu Salsa. Bagaimana nih kabar Ibu, setelah menjadi direktur?" Wanita yang bernama Rara itu menyahut, lalu menyapa Salsabila setelah baru menyadari kehadirannya. Wanita itu sepertinya baru dari toilet.Oh, iya dahulu mereka semua satu tim. Jadi, mereka sudah akrab dan berteman baik. Oleh karena itu, mereka tidak sungkan-sungkan saling menyapa atau saling bercanda."Aku baik," jawab Salsabila sambil tersenyum. "Lo sendiri kenapa belum balik?" tanya Salsabila kembali."Nunggu suami, Salsa," ujarnya seraya melirik ke arah ruang pintu manajer divisi, tempat suaminya. "Tuh, dia baru keluar," ujarnya lagi saat melihat suaminya muncul dari balik pintu. "Aku duluan ya, guys," teriaknya sebelum melangkah menghampiri suaminya, yang disambut rangkulan pria itu di pinggangnya.Salsabila mengembuskan napas perlahan. Jadi, memang seperti itu fungsi suami sebenarnya. Iya, kan? Seperti suami Pipit yang mengkhawatirkan istrinya pulang malam sendirian, dan suami Rara yang selalu siaga setiap waktu. Bahkan sekelas Rinda yang masih bertunangan, tetapi memiliki seorang pria yang cukup perhatian terhadapnya.Pertanyaanya, bukan, "Apakah suami seperti mereka apa memang ada?" Melainkan, "Mengapa suami seperti Alan harus ada?"Salsabila menjejak lantai basement—masih terus berpikir tentang hal-hal tidak penting, memasuki Yaris putihnya dan segera keluar dari area pengap itu. Hari ini ia meminta Dimas untuk pulang terlebih dahulu dan membiarkannya menyetir mobil sendiri, semua itu ia lakukan semata-mata karena dia berencana untuk berjalan-jalan sebentar bersama Rinda. Tetapi Salsabila salah, teman-temanya sudah punya kehidupan masing-masing dengan pasangannya.Di luar, jalan sudah basah. Tenyata malam ini sedang hujan. Para pedagang kaki lima memasang tenda-tenda, dan para pejalan kaki berlarian ke arah halte atau kanopi lain untuk berteduh.Salsabila tidak pernah membenci hujan. Ia bahkan bisa diam berjam-jam menatap jatuhan air hujan di samping jendela kamar dan tidak melakukan apa-apa. Namun, untuk saat ini, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun menjalani sebuah pernikahan tanpa visi misi dia merasa begitu kesepian dan merasa sendiri. Untuk pertama kalinya, dia ingin cepat-cepat sampai di rumah. Tetapi semesta sama sekali tidak mendukungnya, hujan akan menghalangi semua rencananya.Terbukti, jalanan macet. Membuat Salsabila tertahan di perjalanannya yang baru saja bergerak beberapa puluh meter. Ia berdecak, menghentikan laju mobil dan menunggu mobil di depannya kembali menjauh. Jakarta, jam pulang kantor, dan hujan adalah kombinasi sempurna.Suara jatuhan hujan dan gerakan wiper di kaca mobil menemaninya, menyeka air yang menyerang kaca. Bias lampu-lampu dari kendaraan lain hadir di kaca mobilnya dan ia tidak melakukan apa-apa selain menunggu.Seandainya ia tahu akan begini keadaanya. Ia tidak akan meminta Dimas untuk pulang lebih dahulu dan membiarkannya menyetir sendirian.Mobilnya bisa bergerak di lima menit berikutnya, dengan sangat lamban. Suara klakson tidak sabar dari beberapa kendaraan mulai terdengar. Para pedagang kaki lima turun tangan ke jalan berubah menjadi pengatur laju kendaraan dadakan.Setelah memberikan selembar uang dua ribuan pada pria jangkung berjas hujan plastik yang tengah mengatur laju kendaraan, mobilnya bisa melaju dengan lebih cepat. Tentunya setelah melewati rumah makan Seroja yang memang akan penuh di saat-saat seperti ini. Banyaknya mobil yang terparkir di area parkir rumah malan itu sampai memakan sebagian lahan trotoar dan memang cukup menghambat laju kendaraan.Jika punya pilihan untuk itu, mungkin Salsabila juga akan melakukannya. Ia akan menunggu hujan reda dan jalanan macet yang entah berujung sampai di mana.Namun, tempat tidur di rumah lebih nikmat untuk diabaikan. Ia lebih memilih merebah untuk mengistirahatkan otot-ototnya yang menegang karena kebanyakan duduk tegang di depan komputer. Ah, itu lebih menjanjikan.Sesaat sebelum melewati keadaan itu, tatapannya terhenti pada sebuah Mercedes Benz E-Class yang merupakan salah satu kendaraan yang terparkir di depan restoran itu. Salsabila mengenal plat mobil itu, mobil yang selama ini berada di carport yang sama dengan mobil yang dipakainya ini.Itu mobil Alan.Sesaat sebelum memalingkan tatapannya kembali ke arah jalan, Salsabila menemukan sosok Alan berjalan mendekat ke arah mobilnya, bersama seorang wanita dengan anak berumur lima tahun berada dalam gendongan Alan.Mereka layaknya seorang keluarga yang habis menikmati makan malam. Salsabila mencoba mengabaikan pemandangan itu, dia tidak kaget lagi. Dia sudah terlalu sering menyaksikan pemandangan itu, jadi katakanlah Salsabila sudah kebal dengan segala yang dilakukan oleh Alan.Namun, tetap saja Salsabila tidak bisa mengabaikan pemandangan itu, pemandangan saat Alan tersenyum sambil menggendong bocah dan satu tangannya memegangi payung untuk wanita itu yang baru saja ingin memasuki mobil. Dengan cepat Salsabila mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyalakan radio, memutar volumenya kencang. Ia tidak suka ketika suara hujan membuat malam harinya sangat menyedihkan.Tidak ada waktu untuk memikirkan pernikahan yang sampai saat ini masih Salsabila pertahankan, padahal dia tahu kalau semua itu hanyalah kebodohan. Bodoh, karena bertahan padahal ia akan tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya. Tentu saja wanita itu, wanita yang menjadi cinta sejati dari Alan.Meira. Kekasih dari mas Alan itu bernama Meira. Salsabila cukup membenci menyebut nama itu. Tetapi mau bagaimana lagi, wanita itu kembali hadir yang mau tidak mau membuka kembali lembar kenangan menyakitkan itu. Salsabila tahu kalau mas Alan dan Meira sudah menjalin hubungan jauh sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Salsabila juga tahu kalau dahulu mereka pasangan saling mencintai tetapi terkendala di restu orang tua. Salsabila tidak tahu kenapa bunda Rena tidak merestui keduanya dan malah dirinya yang di jodohkan dengan mas Alan. Namun, lambat laung Salsabila pun juga mengetahui kalau Meira lah yang lebih dahulu di jodohkan. Orang tuanya punya banyak utang, sehingga memilih menggadaikan dan menikahkan anaknya dengan anak rentenir itu. Pernikahan mereka tidak bahagia, suaminya suka main tangan dan dengan bantuan dari mas Alan mereka akhirnya bercerai. Tetapi, ada anak di antara mereka. Ya, anak yang saya lihat kemarin itu adalah anak dari mantan suaminya bukanlah anak dari mas Al
Pagi harinya, Salsabila benar-benar merasakan pusing di kepala. Semalam ia menghabiskan waktu menangisi pria itu kembali. Selepas dia melihat suaminya kembali bersama wanitanya itu, rasa sakit yang selama ini berusaha ditepisnya kembali lagi dan membuatnya benar-benar hancur semalam.Terlebih lagi saat ia kembali membayangkan saat di mana ia untuk pertama kalinya melihat rupa seorang wanita cantik yang bernama Maira itu.Tak ingin terlihat kembali hancur, Salsabila menunjukkan kembali ketegaran penuh kepura-puraan itu. Ia kemudian keluar dari dalam kamarnya, kembali bersiap untuk ke kantor. Hanya di kantor ia bisa sedikit menenangkan diri dan berusaha menyibukkan diri sehingga tidak terlalu lama terpenjara dalam kesedihan ini.Saat Salsabila akan membelokkan tubuh ke arah dapur, ternyata pria itu sudah berada di sana tengah menikmati sarapannya. Entah sejak kapan pria itu kembali, Salsabila sama sekali tidak menyadarinya."Kau tidak sarapan?" Sebuah suara di belakangnya menghentikan
Obrolan mereka tidak terhenti begitu saja di situ. Setelah membahas soal Alexa, ibu Indrawan kembali membahas tentang Salsabila. Pengalihan yang begitu cepat. Sebenarnya Alan sudah jengah mendengar orang yang terus-terusan memuji Salsabila, tetapi mau bagaimana lagi wanita cerdas itu memang patut dipuji dan Alan hanya perlu berpura-pura merasa bangga karena wanita cerdas itu adalah miliknya sekarang."Salsabila itu hebat, Lan. Dia hebat karena bisa dengan cepat beradaptasi di lingkungan ini." Ibu Indrawan kembali mengeluarkan suara, dan tentu saja nama Salsabila yang diangkat menjadi topik perbincangan. "Jujur saja, dulu aku pikir dia akan meminta cerai darimu tidak lama setelah kalian menikah. Dari gadis yatim piatu di panti asuhan tiba-tiba jadi menantu keluarga Dirgantara. Aku yakin dia kaget dan tak terbiasa menghadapi dunia barunya. Tetapi siapa sangka dia masih bertahan, sampai di umur pernikahan kalian yang ke tiga. Aku salut dengannya," puji ibu Indrawan akan kegigihan dari s
Bicara tentang bulan madu, honeymoon atau apa pun itu yang patut dikerjakan sebagai ritual pasangan pengantin baru, menyimpan sebuah trauma yang besar untuk Salsabila. Jika orang yang baru kembali dari bulan madu, pasangan itu akan semakin berbunga-bunga, cinta di antara mereka semakin besar, dan tak terpisahkan.Tetapi berbeda bagi Salsabila dan Alan. Justru sekembalinya dari yang katanya honeymoon itu, malah semakin membuat hubungan keduanya dingin dan semakin kaku. Sejak saat itu, Salsabila merasa setiap ada orang yang membahas tentang honeymoon, membuat pikirannya akan melanglang buana ke kejadian tiga tahun yang lalu, tepat setelah dua bulan pernikahan keduanya.Sama seperti pasangan pengantin baru yang lainnya, ibu Rena tentu saja terus memaksa keduanya untuk melangsungkan bulan madu. Meskipun pada saat itu Alan dan Salsabila menolaknya secara terang-terangan, hanya saja tetap tidak bisa jika itu sudah menyangkut perintah dari orang tuanya.Sek
Dengan piciknya, Salsabila berpikir kalau mungkin saja honeymoon yang telah dirancang oleh kedua orang tua Alan mungkin saja akan menjadi jalan yang baik untuk hubungan pernikahannya dengan suaminya itu.Meskipun berat rasanya pergi hanya berdua dengan Alan, akan tetapi ada secercah harapan untuk masa depan pernikahannya, mungkin saja ada sesuatu yang membahagiakan untuk hubungannya dengan Alan.Hari ini adalah keberangkatan mereka ke Barcelona, keduanya sama-sama keluar dari dalam kamar seraya menarik koper masing-masing, mereka beradu pandang dalam jangka beberapa detik sebelum Alan melenggang lebih dulu menarik kopernya hampiri ruang tamu, ia sandarkan benda itu pada meja, kemudian menyusul duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya, tampak terlihat acuh tak acuh dengan keberadaan dirinya. Sebentar lagi Rena dan Dirgantara akan datang, beliau sampai jauh-jauh dari Surabaya ke Jakarta untuk mengantar langsung pasangan yang masih dikatakan baru itu ke bandara.
‘Aku mencintai wanita lain.’‘Kau tidak perlu berharap karena aku mencintai wanita lain.’Kalimat itu terus memenuhi kepala Salsabila, ucapan-ucapan menyakitkan yang sebelumnya dilontarkan oleh Alan terus terngiang-ngiang di dalam pikirannya. Sungguh, ia memang tahu bahwa ia menikah bukan karena cinta, tetapi bisakah Alan sedikit saja menjaga perasaannya. Haruskah dia sefrontal itu mengatakan bahwa ia mencintai wanita lain, wanita yang bukan dirinya yang notabene-nya adalah istrinya?Perjalanan yang ditempuh dalam jalur udara sama sekali tidak dinikmati oleh Salsabila. Saat ini menaiki pesawat sampai pesawat yang ditumpanginya mengudara, berat rasanya Salsabila membuka suara. Terlebih lagi Alan di sampingnya sama sekali tak sedikit pun menanggapinya. Dia hanya sibuk dengan majalah di sampingnya dan sama sekali tidak memedulikan dirinya yang tengah melamunkan banyak hal.Baru beberapa jam ia berduaan dengan Alan dan ia sudah makan hati sert
‘Katanya, tempat ini adalah akhir dunia. Kalau memang benar, izinkan aku kembali ke tempat ini untuk terakhir kali bersama seseorang yang benar-benar mencintaiku, menginginkanku, Tuhan!’Salsabila tersenyum kecil menatap keadaan sekitar, angin berembus cukup kencang di dekat pelabuhan La Corun, Galacia, Spanyol. Suara debur ombak lautan biru di dekat mereka terdengar seperti sebuah nyanyian yang cukup panjang, langit dan samudera sering kali bersaing di sana—perihal tentang siapa yang biru dan memikat, nyatanya sama saja, setiap sudut bisa dikagumi oleh orang-orang yang datang mengunjungi tempat tersebut.Salsabila dan Alan berdiri bersebelahan pada selasar yang membentuk sebuah setapak bundar mengitari sebuah mercusuar peninggalan Romawi setinggi 55 meter dengan posisi menghadap ke laut Atlantik Utara dari pesisir pantai Spanyol. Mercusuar yang dibangun pada paruh kedua abad pertama menjadikan tempat itu sebagai mercusuar tertua di dunia yang masih beroperasi.
Pada malam harinya, Alan tampak sedang berbicara dengan seseorang di balik ponselnya. Entah dengan siapa Alan berbicara melalui ponselnya di luar kamar, ia hanya sebentar—sebelum akhirnya kembali seraya mengarahkan layar ponsel di depan wajah, kali ini sebuah panggilan video berlangsung, terlihat wajah Rena di sana, artinya akting harus segera dilangsungkan. “Hallo, Ma.” Alan melambaikan tangan menatap layar ponselnya, ia duduk begitu saja di sisi Salsabila. Jika tadi ada jarak sekitar dua jengkal, kali ini Alan sengaja memangkasnya, kulit lengan bersentuhan –sengaja mempertontonkan kedekatannya dengan Salsabila pada sang ibu. “Salsa dan Alan lagi apa sekarang?” Salsabila tersenyum tulus saat melihat wajah sang ibu mertua, ia tak peduli lagi pada sikap sok harmonis Alan saat ini. Wanita itu masih sibuk mengunyah makanan yang baru pertama ia coba seraya melambaikan tangan pada layar ponsel. “Kita lagi makan, Ma. Salsa baru pertama ke Barcel