Mauryn tidak langsung pulang setelah jam kerja berakhir. Hari ini terlalu melelahkan, terlalu banyak drama, dan dia butuh pelarian.
Bagaimana tidak? Sepanjang hari, Mauryn seperti bermain petak umpet dengan Felix. Setiap kali dia mendengar langkah kaki di lorong, dia langsung menghindar. Setiap kali ada yang mengetuk pintu ruangannya, dia memastikan dulu dari jendela kaca sebelum membuka. Bahkan, surel yang dikirim Felix padanya pun sama sekali tak digubris. Hingga akhirnya, dia berhasil melewati satu hari itu tanpa bertemu Felix hingga dia pulang. Mauryn sudah membuat janji untuk menongkrong di kafe bersama Leona dan Tessa, tetapi Leona tidak bisa datang. Begitu tiba di kafe, Mauryn langsung melihat Tessa sudah duduk di meja pojok dengan dua gelas kopi di depannya. "Gue tau lo pasti butuh ini," kata Tessa sambil mendorong salah satu gelas ke arah Mauryn. "Makasih, ya. Lo emang penyelamat gue deh." Mauryn menyesap kopinya sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Hari ini ... benar-benar mimpi buruk tau nggak." Tessa menatapnya dengan penuh minat. "Emang ada apa, sih? Ceritakan semuanya." Mauryn menyandarkan punggungnya dan mulai berbicara. "Lo udah tahu kalo gue ketemu Felix di kelab malam, kan?" "Yaiyalah gue udah tau. Kan lo yang cerita. Lo mabuk, curhat ke dia, terus bangun di sebelahnya." Mauryn mengerang. "Tolong jangan diulang. Gue masih trauma." Tessa terkekeh. "Terus apa lagi? Apa dia menghubungi lo setelah itu?" Mauryn mengambil napas dalam-dalam. "Bukan cuma itu, Tes. Lo nggak akan percaya siapa CEO baru di perusahaan tempat gue kerja." Tessa mengangkat alis. "Siapa?" "Felix." Tessa terbatuk. "Tunggu. Apa?" "Felix. Felix Nathaniel Mahardika. Felix yang sama yang gue tolak mentah-mentah di kampus. Felix yang tidur sama gue. Felix yang sekarang jadi bos gue." Tessa menatapnya dengan mata membelalak. "Oh. My. God." Mauryn mengangguk pasrah. "Reaksi gue juga begitu waktu melihat tadi di aula." Tessa menutupi mulutnya, menahan tawa. "Tunggu ... jadi lo sekarang harus bekerja sama Felix setiap hari? Setelah apa yang terjadi di antara kalian?" Mauryn mengangguk lemah. "Gue nggak tau apa ini kutukan atau karma." Tessa akhirnya tidak bisa menahan tawanya. "Leona pasti bakal ketawa terbahak-bahak kalo mendengar ini. Gue nggak sabar ngeliat reaksinya." Mauryn tersenyum menyeringai. "Lo yakin? Sekretaris Felix yang selalu ke mana-mana sama dia itu mantannya Leona loh." Mata Tessa terbelalak. "Maksud lo, si Kayden? Yang dulu bela-belain ikut komunitas dance kampus gara-gara disuruh sama Leona?" Mauryn mengangguk pasti. "Kayaknya sampai sekarang dia belum bisa move on dari Leona." "Emang kayaknya mereka tuh masing saling cinta sebenarnya. Tapi entah kenapa malah putus tiba-tiba." "Tau tuh Leona. Walaupun agak cupu dikit, emang apa kurangnya sih si Kayden itu? Leona sampai sekarang juga masih gamon, kan? Gue penasaran banget alasan apa yang bikin dia mutusin Kayden." Tessa pun hanya mengendikkan bahunya karena dia juga tidak tahu. Setiap dia dan Mauryn membahas mengenai hubungan Leona dan Kayden, Leona selalu saja mengalihkan pembicaraan. Hal itu bisa membuat mereka mengerti bahwa Leona tidak ingin membahasnya. "Gimana hubungan lo sama Evan?" tanya Tessa. Mauryn terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Gue masih bingung." "Lo belum mutusin dia?" "Belum." "Gue masih nggak habis pikir kenapa sih ada perempuan yang mau jadi selingkuhan?" Mauryn tersenyum miring. "Lo tau nggak apa kesamaan Hugh Grant, Jude Law, sama Ethan Hawke? Mereka sama-sama tukang selingkuh. Kenapa para laki-laki sukses itu menyelingkuhi istri mereka yang nyaris sempurna? Karena perempuan-perempuan semacam itu selalu ada. Mereka nggak punya pendirian, jadi gampang ditangani, dan mereka tampak rela melakukan apa pun. Freya cocok banget sama deskripsi itu. Jadi nggak heran deh." "Terus, apa yang bakal lo lakukan setelah semua ini? Lo masih bingung buat mutusin dia atau nggak?" "Apa yang bisa gue lakuin? Setelah semua yang kami lalui, gimana bisa kami putus? Kalo dia bingung soal menikah dan bikin satu kesalahan bodoh, gue bisa membiarkan itu." Tessa menatapnya tajam. "Mauryn, lo tau dia bajingan, kan?" Mauryn tersenyum pahit. "Gue tau. Tapi ... gue juga tau kalo gue masih terlalu pengecut buat mengakhiri ini." Tessa menghela napas. "Lo harus tegas, Ryn. Jangan biarin diri lo tersakiti lebih lama." *** Evan datang ke bar milik Arhan, suami Tessa. Arhan pun mengajak Evan untuk pergi ke ruang tempat biasa mereka berbincang. "Ada apa?" tanya Arhan yang kini sudah duduk di hadapan Evan. Evan melirik ke sekelilingnya. "Tessa gimana?" "Emangnya Tessa kenapa?" "Dia nggak ngomong apa-apa sama lo?" "Ngomong apa?" Evan menghela napas panjang. "Ada apa, sih?" tanya Arhan. Evan memegangi pelipisnya. Dia terlihat sangat frustasi. Dan seharian ini, dia sudah dengan susah payah menghindari Mauryn di kantor karena tidak ingin urusan pribadi di antara mereka akan berimbas pada pekerjaan. Terlebih lagi, Felix, seniornya yang pernah menyukai Mauryn dulu kini menjadi CEO baru di perusahaan. "Gue butuh minuman," ucap Evan. Sementara itu, Mauryn dan Tessa juga sedang dalam perjalanan menuju bar yang sama karena mereka sepakat untuk menyesap beberapa gelas wiski. Tessa sudah meminta agar mereka pergi ke tempat lain, tetapi Mauryn bersikeras untuk minum di bar Arhan saja. Dan saat mereka tiba di depan bar, mereka melihat satu unit mobil yang tak asing terparkir di sana. "Kayaknya Evan ada di sini," celetuk Tessa. Mauryn memperhatikan mobil itu dengan saksama lalu berdecih. "Setelah melakukan semua itu, dia berani ke sini." "Terus gimana? Kita ke tempat lain?" "Emangnya kenapa? Ayo masuk. Kayaknya dia merencanakan strategi sama Arhan. Gue pengen tau apa yang mereka rencanakan." Mereka berdua pun segera masuk ke dalam bar. Namun, tak sengaja mendengar percakapan Evan dan Arhan. Mauryn dan Tessa langsung berhenti di tempat. "Wah, sial! Mauryn melihat itu? Gimana bisa lo tertangkap basah kayak gitu? Kalo itu terjadi sama gue-- nggak. Gue bahkan nggak mau mikirin itu." Mendengar suara Arhan yang menanyakan itu pada Evan, jantung Mauryn mulai berdegup kencang. Dia dan Tessa saling berpandangan, lalu berjalan mendekat ke arah pintu ruangan tempat dua pria itu berada. "Ngomong-ngomong, sejak kapan lo mulai memacari dia? Apa kalian ... udah bercinta? Apa cuma sekali itu aja? Ah gue yakin pasti udah sih. Lo nggak bisa ngomong apa pun," lanjut Arhan. "Itu--" Kata-kata Evan langsung dipotong oleh Arhan. "Nggak, jangan. Jangan kasih tau itu. Tessa bakal menanyai gue nanti. Gue nggak bisa nyimpan rahasia." Mauryn dan Tessa masih menguping pembicaraan mereka dari balik pintu. "Terus apa yang Mauryn bilang?" tanya Arhan. "Gue berusaha menghubungi dia, tapi nggak diangkat. Dia mungkin pengen gue memohon," ucap Evan dengan kepala tertunduk dalam. "Terus kenapa lo di sini? Sana pergi minta maaf dan berbaikan. Dari pengalaman gue, waktu lo menunda itu, lo harus menghadapi hal yang lebih berat." "Kalo kami baikan, gue mungkin harus nikahin dia." Dari balik pintu, Mauryn tertegun mendengarnya. "Maksud lo apa? Lo udah beli cincin," ucap Arhan. "Iya, gue emang berniat buat nikahin dia. Gue bisa aja nikahin dia. Tapi ... sekarang lebih jelas setelah apa yang terjadi. Dengan Mauryn, pernikahan itu nggak mungkin," ucap Evan. Mauryn merasakan hatinya mencelos. Sementara Tessa yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menutup mulut saking syoknya."Maaf tanpa penyesalan hanyalah jeda sebelum luka yang lebih dalam." *** "Maksud lo apa? Nggak ada cinta lagi? Lo nggak berdebar-debar lagi waktu bersama dia? Itu wajar. Gimana mungkin lo selalu berdebar-debar tanpa penyakit? Gue juga udah lama nggak berdebar-debar karena Tessa," ucap Arhan dengan suara yang terdengar setengah bercanda, tetapi juga setengah serius. Evan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap gelas di depannya. "Gue berdebar-debar saat berpikir bakal nikahin dia. Waktu gue bangun di pagi hari, Mauryn akan ada di rumah, sambil memegang segelas jus yang entah terbuat dari apa. Waktu gue pulang kerja, Mauryn bakal ada di rumah, sambil mengeluh tentang harinya lalu nyuruh gue mandi." "Yaiyalah. Itu alasan kebanyakan orang menikah. Selalu bersama saat weekend, hari raya, dan liburan. Selalu bareng 24 jam, 365 hari. Makan, tidur, dan melakukan semuanya sama-sama." Arhan meneguk minumannya. Kepala Evan menggeleng pelan, seakan ada beban besar yang menindih
"Kadang yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan adalah kehilangan penghargaan akan semua yang telah diperjuangkan."***Peristiwa yang terjadi tadi malam membuat tubuh Mauryn drop hingga terpaksa dia tidak bisa masuk kerja hari ini.Setelah mendengar Evan mengatakan hal-hal menyakitkan tentangnya tadi malam, dia merasa seperti kehilangan energi. Demamnya mencapai 40 derajat yang membuatnya hampir opname di rumah sakit, tetapi dia menolaknya dan memilih untuk diinfus di rumah saja. Jantungnya sakit, perutnya mual, bahkan untuk menelan makanan pun terasa sulit.Leona, yang sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya, dengan sigap mengambil alih segala yang dibutuhkan oleh Mauryn."Minum ini dulu, Ryn," kata Leona, menyodorkan segelas air putih.Mauryn menatap gelas itu dengan mata sayu. "Gue nggak haus.""Lo mau mati? Jangan bodoh."Leona memang bukan tipe yang lembut dalam berbicara, tapi dia tahu kapan harus menjadi sahabat yang baik. Dia membantu Mauryn duduk dengan hati-hati, lalu
"Kamu tau bukan kayak gitu. Terlepas dari dia, kita udah--""Kita kenapa? Apa? Kita udah punya masalah? Itu alasan kamu melakukan ini? Itu cuma hal yang mau kamu percayai. Meskipun seseorang udah mau mati, kalo kamu membunuh dia, tetap aja itu namanya pembunuhan. Meskipun kita punya masalah, kamu mengakhiri itu dengan buruk. Jadi, hentikan omong kosong itu!"Nada suara Mauryn meninggi, membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dia merintih, memegang sisi kepalanya yang terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat.Sementara itu, Evan tetap diam dengan wajah penuh kejengkelan yang dia tahan."Oke. Aku nggak bisa bilang kalo aku nggak tau sama sekali. Sikap kamu jadi dingin, aku jadi lebih gelisah. Aku juga sadar akan hal itu. Biarpun begitu, aku berusaha lebih keras. Karena itu semuanya menjadi lebih baik. Tapi kamu merusak semuanya." Mauryn menatapnya dengan mata penuh luka tak terlihat.Evan menghela napas, dia semakin lelah menghadapi Mauryn. "Berusaha itu bukan cinta.""Cinta? Apa hu
Pagi ini, sinar matahari menembus jendela taksi yang dinaiki Mauryn, memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang madih menyiratkan sisa-sisa kelelahan. Kepalanya bersandar pada kaca, matanya kosong menatap jalanan Jakarta yang ramai, tetapi pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sama sekali berbeda. Sesekali, dia menghela napas panjang, seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran yanh terus menghantuinya sejak tadi malam.Terlebih lagi, dia tidak tahu bagaimana bisa bersikap jika tak sengaja berpapasan dengan Evan di kantor. Itu akan menjadi suasana yang sangat canggung bagi mereka setelah hubungan yang berakhir dengan cara yang rendahan dan penuh drama.Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Bayangan Evan dengan senyum andalannya, yang dulu selalu berhasil membuatnya luluh, kini hanya meninggalkan perasaan pahit."Harusnya aku nggak usah khawatir. Emangnya kenapa kalo ketemu? Aku cuma harus berusaha move on sekarang dan buktiin kalo aku bisa bahagia meskipun tanpa dia," gumam Mauryn
Suara dering telepon dan notifikasi pesan bersahut-sahutan memenuhi ruangan open space, terkhusus Tim Product Development yang berada di bawah Divisi Product Lumora Tech. Monitor-monitor menyala dengan tab-tab penuh grafik dan dokumen, sementara para karyawan tampak sibuk menelepon, mengetik, atau berdiskusi dengan ekspresi tegang. Mauryn, selaku Senior Product Manager 1 baru saja meletakkan tasnya di meja ketika Nadine, Head of Product Development, bergegas menghampiri. "Mbak Mauryn! Klien besar kita, CloudWave, minta fitur baru di platform mereka diluncurkan dalam waktu tiga minggu! Mereka bilang kalo kita nggak bisa penuhi, mereka akan pertimbangkan pindah ke vendor lain!" Nadine hampir kehabisan napas saat mengatakannya. Mauryn membeku sejenak. Tiga minggu? Mustahil. Fitur yang diminta CloudWave, yaitu integrasi otomatis data pengguna lintas platform dengan tingkat keamanan tinggi, masih dalam tahap awal pengembangan. "Tiga minggu?! Mereka pikir kita punya tongkat sihir apa?!" M
Seakan tidak memberi kesempatan bagi Mauryn untuk bernapas sebentar saja, Felix menghampiri Mauryn yang sedang asyik menyantap makan siang di kantin kantor. Kebetulan, wanita itu sedang duduk sendiri.Saat menyadari kedatangan seseorang, Mauryn hanya menatapnya tanpa berkata apa pun sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya."Nggak enak kalau makan sendiri," ucap Felix, bersiap menyuap makanannya."Saya nggak makan sendirian." Mauryn melirik ke belakang, tepat saat Saskia dan Nadine berjalan membawa nampan makanan menuju ke arah mejanya, menggerutu karena pelayanan makan siang sangat lalai.Felix menyadari kehadiran mereka, sedikir canggung tetapi tetap mempertahankan sikapnya."Bukan kamu, tapi saya," ucapnya pada akhirnya.Dia kenapa, sih? Nggak bisa biarin aku tenang sehari aja, batin Mauryn.Saskia dan Nadine bergabung dengan mereka dengan ekspresi bingung. Bagaimana mungkin Mauryn sudah akrab dengan CEO baru mereka? Dan yang elbih aneh, untuk apa seorang CEO mekilih makan
Mauryn memandangnya dengan tatapan waspada. "Maksud Bapak apa?"Felix menyeringai kecil. "Kamu bilang, dulu, waktu kita masih kuliah ... kamu pernah suka sama saya."Mendengar itu, jantung Mauryn langsung berhenti satu detik."Saya—apa?""Ya," kata Felix santai. "Saya nggak tau apa kamu masih ingat. Tapi kamu mengatakan itu dengan cukup jelas malam itu."Mauryn terdiam. "Itu ... saya pasti lagi mengigau."Jujur, dia tidak ingat pernah mengatakan hal semacam itu.Felix tetawa pelan. "Mungkin." Lalu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya merendah. "Atau mungkin nggak."Mauryn berusaha keras mengingat apa benar dia mengatakan itu dengan gelisah. Apa benar dia memang mengatakannya? Jika iya, semuanya telah kacau.Namun, di tengah situasi yang menegangkan bagi Mauryn itu, seseorang datang membuyarkannya."Pak Felix!"Mauryn dan Felix langsung menoleh ke sumber suara. Seorang staf dengan pakaian ketat yang memperlihatkan tubuh seksinya, kancing bajunya sengaja dibuka sedi
Saat menunggu jadwal film mereka diputar, Mauryn dan Felix duduk di kafetaria yang ada di bioskop itu sembari menikmati popcorn dan kopi. Awalnya semua berjalan biasa saja. Obrolan ringan tentang pekerjaan, dilm, dan hal-hal sepele lainnya mengisi waktu mereka. Tapi, seperti takdir bermain-main, mata Mauryn tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing baginya. Evan. Bersama Freya. Seakan waktu melambat, mata mereka betemu sesaat. Alih-alih merasa bersalah atau canggung, Evan justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia tak pernah menyakuti Mauryn. Seolah-olah, mereka tidak memiliki sejarah panjang yang berakhir dengan pengkhianatan. Mauryn langsung merasa mual. Dia sudah cukup menjatuhkan air mata tadi siang. Tapi malam ini? Tidak lagi. Biar bagaimanapun, dia masih memiliki yang namanya harga diri. Jika Evan bisa hidup bahagia setelah mencampakkannya, maka dia juga bisa. Dia menegakkan punggungnya, mengambil napas panjang, lalu tersenyum kecil sebelum menoleh ke Felix.
Martha masih duduk sendirian di meja kerjanya. Pikirannya berkecamuk penuh campur aduk. Dengan perasaan sedikit ragu tetapi juga penuh tekad, dia membuka aplikasi khusus pegawai Lumora Tech yang terinstal di ponselnya. Lalu, kemudian ... mulai mengetikkan beberapa kalimat pada halaman survey kebahagiaan karyawan.Saya korban percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Pak Ian Wicaksono yang merupakan Kepala Manajer SDM dari Lumora Tech. Perkenalkan nama saya Martha Donna Harahap, Senior Product Manager dari Tim Product Development di Lumora Tech. Pada malam tanggal 30 Oktober, satu tahun yang lalu, saya menjadi korban percobaan pemerkosaan Pak Ian di hotel La Crystal. Pada saat itu, saya adalah seseorang yang ingin menang. Saya kira saya baik-baik saja, sampai akhirnya hal itu terjadi. Saya berniat untuk melaporkan dia atas kejadian itu, tapi rasa takut menguasai saya. Jadi, akhirnya saya memilih untuk lari. Saya bicara sekarang, setahun kemudian, karena saya menyadari Pak Ia
Mauryn berdiri di depan kaca kamar mandi lantai delapan, memandangi bayangannya sendiri yang terlihat jauh lebih tenang dari yang dia rasakan. Bibirnya mengulas senyum tipis, palsu tapi terlatih. Ini bukan tentang keberanian. Ini tentang kebenaran.Dia melirik jam tangan. Sudah hampir waktunya. Ian baru saja selesai memimpin rapat tim divisi lain. Berdasarkan informasi dari Evan, setelah ini biasanya pria itu kembali ke ruangannya selama satu jam sebelum lanjut ke pertemuan berikutnya. Dan itulah jendela waktunya.Namun kali ini, Mauryn tidak akan masuk ke ruangannya.Langkahnya membawanya ke pantry dekat ruang kerja tim engineering, tempat yang jarang dilewati saat jam-jam sibuk. Dia berdiri di dekat mesin kopi, pura-pura sibuk menyiapkan minuman ketika Ian melintas di koridor."Pak Ian," sapa Mauryn dengan suara pelan tapi cukup jelas.Ian menoleh dan tersenyum kecil. "Mauryn. Sedang istirahat sebentar?""Sedikit. Sebenarnya ..
Saat baru saja tiba di kantor, Evan melihat Freya sedang berbicara di telepon dan terlihat sangat frustasi. Dari yang dia dengar, sepertinya wanita itu tengah bertengkar dengan sang ibu. Lantas, dia pun menghampirinya setelah Freya menutup teleponnya.Begitu Freya menutup telepon dan menghela napas panjang, Evan menghampirinya dengan senyum kecil."Astaga. Hidup emang berat buat orang dewasa. Iya, kan?" ucapnya pelan.Freya mendongak. "Kamu denger?" tanyanya canggung.Evan tertawa kecil. "Kabur aja dari rumah. Gimana? Ide bagus, kan?"Freya tergelak. "Apa? Aku bukan bocah. Gimana bisa aku kabur kayak gitu?""Kamu masih kecil. Masih belum 30 tahun, kan?"Tawa Freya pecah lagi. Evan ikut tersenyum melihatnya. "Akhirnya kamu ketawa. Aku ngomong kayak gitu biar kamu ketawa.""Betul, aku jadi ketawa berkat kamu," ucap Freya dengan senyum masih setengah getir.Suasana ringan itu buyar saat ponsel Evan berderi
"Kalian bekerja keras untuk mengatasi krisis saat data pelanggan kita diretas, tapi saya baru sempat berterima kasih sekarang. Saya mengundang kalian makan malam untuk menunjukkan rasa terima kasih dan menyelamati promosi Pak Evan. Saya tau krisis itu telah berdampak buruk bagi semua orang. Ini semua karena ketidakmampuan saya, jadi salahkan saya untuk semua kesulitan. Sementara itu, seseorang kesulitan, jadi saya harap kalian bisa menunjukkan dukungan penuh. Untuk merayakan kesuksesan, kita akan minum anggur dan makan seperti raja dan ratu hari ini." Felix membuka jamuan makan malam bersama tim gabungan malam ini.Semua orang mengangkat gelas anggur mereka."Lumora Tech.""Lumora Tech!"Mereka semua bersulang lalu meneguk anggur itu.Gelas-gelas beradu dalam derai tawa. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan restoran rooftop itu, menyatu dengan obrolan yang riuh dari para karyawan Lumora Tech. Lampu-lampu gantung menyebarkan cahaya kekuningan yang hangat, menciptakan suasana akrab
Leona tertawa getir. "Selama ini lo semua kira gue memutuskan Kayden karena bosan? Karena gue capek? Bukan. Gue ... gue cinta dia, Ryn. Gue cinta dia lebih dari apapun. Tapi gue nggak bisa ngasih dia keturunan. Gue nggak bisa mengandung anak-anaknya. Gue mandul."Tenggorokan Mauryn tercekat. Dia memegangi mulutnya, tubuhnya mulai gemetar."Gue mutusin Kayden karena gue nggak mau mengikat dia dengan sesuatu yang rusak kayak gue," suara Leona pecah menjadi tangisan. "Gue pengen banget jadi seorang ibu, Ryn. Gue pengen banget punya bayi kecil yang bisa gue peluk tiap malam. Tapi gue nggak bisa. Tuhan nggak ngasih gue kesempatan itu."Leona menghapus air matanya kasar."Sedangkan lo ... lo dengan begitu gampangnya mau menyingkirkan kehidupan kecil itu. Seolah itu sampah. Seolah ... seolah lo nggak tau betapa berharganya dia. Dan lo liat Tessa. Udah berapa tahun dia nikah sama Arhan tapi belum juga dikasih anak, kan? Lo tau betapa sakitnya hati kita be
Felix berdiri di ruang rapat dengan ekspresi kaku dan rahang mengeras. Di tangannya, dia menggenggam hasil investigasi lengkap yang disusun oleh divisi keamanan siber dan CTO Sophia Zhang. Di sisi kanan meja, duduk Mauryn dengan tangan mengepal di pangkuan, berusaha menahan gemuruh yang bergema di dadanya. Hari ini, kebenaran akan diungkap."Sesuai hasil audit digital dan pemeriksaan forensik, tindakan penyusupan telah dikonfirmasi berasal dari perangkat pribadi milik Luna Sasmita," ucap Sophia dengan nada tajam namun terkendali. "Jejak komunikasi yang terekam menunjukkan keterlibatannya dalam percakapan terenkripsi dengan akun yang diketahui berafiliasi dengan SynaptIQ Technologies."Felix melirik Mauryn. Tatapan mereka bertemu—pendek, tapi cukup untuk menyampaikan betapa rumit dan menyakitkannya situasi ini.Luna kini berada dalam tahanan internal sementara menunggu proses hukum berjalan. Yang tertinggal hanyalah debu-debu curiga yang belum sepenuhnya mengendap di dalam tim Product
Pintu apartemen terbuka pelan. Suara kunci diputar nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang masih menetes ringan di luar sana. Sepatu hak tinggi Mauryn menyentuh lantai kayu dengan langkah lesu. Tubuhnya lunglai. Kepala berdenyut. Perutnya terasa seperti dipelintir sejak siang. Dia hanya ingin meresap dalam diam, mengganti baju, lalu tenggelam dalam kasur.Namun yang menyambutnya justru bukan keheningan yang dia harapkan.Leona duduk di ujung sofa dengan tangan menyilang di dada, wajahnya kaku seperti batu karang. Tatapannya menusuk tajam, seperti bisa menembus seluruh kulit luar Mauryn dan melihat apa yang tersembunyi di dalam.Tessa berdiri di dekat jendela, tak kalah tenang tapi jelas-jelas menyimpan badai di balik tatapan matanya yang lembut."Baru pulang?" ucap Leona tanpa basa-basi, suaranya dingin, tajam, mengiris seperti belati.Mauryn berdiri mematung di ambang pintu, merasakan tengkuknya mulai dingin oleh hawa yang tiba-t
Mauryn dan orang-orang yang berada di tim gabungan, menyisir ulang akses dan log login. Satu nama muncul berulang—dengan pola waktu mencurigakan, lokasi yang sama, dan durasi login yang panjang dengan nama Luna Sasmita. Mauryn menahan napas. Luna. Pegawai baru yang hampir tak pernah bersuara di rapat. Yang masih terlihat canggung dan sering duduk paling pojok. Pegawai yang baru bekerja di Lumora Tech sejak masalah ini terjadi. Dan yang dulu ... bekerja sebagai SPG makanan beku di kantin basement kantor. "Dia masuk lewat jalur rekrutmen vendor," ucap Felix sambil menelusuri data HR. "Direkrut cepat karena katanya punya background teknik dari universitas luar negeri, tapi nggak pernah bisa diverifikasi penuh. Sulit bagi saya untuk menelusuri setiap karyawan baru, karena saya nggak langsung mewawancarai mereka." Mauryn merasa dadanya sesak. "Perangkat pribadinya?" tanya Sophia. "Udah di-clone tim forensic. Kami temukan pattern log mirip di ponselnya. Dan ... ada jejak komunikasi
Mauryn membuka laptopnya dengan tangan sedikit bergetar. Dia nyaris tidak tidur semalam. Di otaknya, log aktivitas aneh dan alamat IP dari co-working space itu terus berputar seperti kaset rusak. Dia tahu kalau ini benar-benar ulah orang luar, maka ini bukan sekadar insiden. Ini sudah level sabotase.Felix belum terlihat sejak pagi. Tapi tak lama setelah jam kantor dimulai, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, pesan dari Sophia Zhang."Meet me at Lab 7, 10 AM. Bring everything."***Satu jam kemudian, Mauryn berjalan cepat menuju lantai bawah tanah tempat ruang Lab 7 berada. Ruangan ini jarang dipakai, kecuali untuk riset mendalam yang melibatkan sistem keamanan canggih atau pengujian teknologi baru. Dinding-dindingnya dilapisi bahan kedap suara, dan hanya bisa diakses dengan sidik jari.Saat dia masuk, Sophia sudah duduk di depan tiga layar besar. Di belakangnya, layar hologram memproyeksikan arsitektur sistem logging Lumora Tech, berpijar dalam bayangan biru."Duduk," kata Sophia t