Home / Romansa / Well, Hello Again, Mr. CEO! / Jeda Sebelum Luka yang Lebih Dalam

Share

Jeda Sebelum Luka yang Lebih Dalam

Author: pinkblush
last update Last Updated: 2025-03-05 17:17:44

"Maaf tanpa penyesalan hanyalah jeda sebelum luka yang lebih dalam."

***

"Maksud lo apa? Nggak ada cinta lagi? Lo nggak berdebar-debar lagi waktu bersama dia? Itu wajar. Gimana mungkin lo selalu berdebar-debar tanpa penyakit? Gue juga udah lama nggak berdebar-debar karena Tessa," ucap Arhan dengan suara yang terdengar setengah bercanda, tetapi juga setengah serius.

Evan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap gelas di depannya. "Gue berdebar-debar saat berpikir bakal nikahin dia. Waktu gue bangun di pagi hari, Mauryn akan ada di rumah, sambil memegang segelas jus yang entah terbuat dari apa. Waktu gue pulang kerja, Mauryn bakal ada di rumah, sambil mengeluh tentang harinya lalu nyuruh gue mandi."

"Yaiyalah. Itu alasan kebanyakan orang menikah. Selalu bersama saat weekend, hari raya, dan liburan. Selalu bareng 24 jam, 365 hari. Makan, tidur, dan melakukan semuanya sama-sama." Arhan meneguk minumannya.

Kepala Evan menggeleng pelan, seakan ada beban besar yang menindih dadanya. "Sekeras apa pun gue berpikir, gue nggak bisa."

"Jangan berlebihan. Lo cuma takut sama hal sepele. Mauryn itu orang yang tenang. Dia mungkin akan membiarkan itu."

"Mungkin aja dia akan membiarkan itu. Dia akan menganggap dirinya sebagai orang yang sangat pemaaf, jadi gue dimaafin. Tapi tetap aja dia bakal menganggap gue bersalah sampai mati." Suara Evan sedikit bergetar, nadanya tersengar getir.

"Selama 10 tahun gue menjalani hubungan sama dia, memang benar kalo gue cinta sama dia. Tapi satu tahun belakangan ini, gue mulai merasa jenuh. Dulu gue pengen banget cepat-cepat nikahin dia. Tapi dia selalu punya alasan buat menunda itu. Mauryn terlalu sibuk sama pekerjaannya. Dia ambisius, tapi membosankan. Gue merasa kayak pacaran sama robot. Bahkan sekarang ini dia lagi fokus banget buat mengejar promosi, pasti dia nggak akan mau diajak nikah. Gue udah jengah banget sama sikapnya. Lo pikir gue bisa hidup sama orang kayak gitu? Bayangin apa yang bakal terjadi sama pernikahan gue nantinya," lanjutnya.

Di balik pintu, Mauryn berdiri membeku. Kata-kata Evan seperti pisau tajan yang menusuk tepat di jantungnya. Air matanya menggenang, tetapi dengan sekuat tenaga dia menahannya agar tak jatuh. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu tak cukup untuk membuatnya bernapas. Tega sekali Evan mengatakan hal seperti itu tentang dirinya.

"Tapi lo udah banyak banget mengukir kenangan sama dia. Lo mau lupain itu gitu aja? Bukannya dulu waktu kuliah, lo sama Felix mati-matian memperebutkan dia?" Arhan menatap Evan dengan alis berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Udah gue bilang, dulu gue emang cinta banget sama dia. Tapi lo nggak tau Mauryn. Dia bisa tiba-tiba lengket banget dan bikin gue ngerasa tercekik. Waktu gue bersama dia, rasanya berat banget buat bisa bernapas. Itu bukan cinta, kan? Rasanya cinta gue buat dia perlahan udah menghilang. Terus gimana gue bisa nikahin dia?" ucap Evan.

"Jadi lo benar-benar nggak sayang lagi sama dia?" tanya Arhan, suaranya lebih pelan kali ini.

Evan terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab lirih, "Gue nggak tahu."

Tessa yang berdiri di samping Mauryn mengepalkan tangan. Tatapan penuh amarahnya berkilat, seakan siap menelan Evan hidup-hidup. "Bajingan."

Mauryn meremas ujung bajunya, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit itu terlalu nyata, terlalu menyakitkan untuk disangkal.

"Kalo gitu, kenapa lo belum putus sama dia?" Suara Arhan terdengar tajam.

"Gue cuma menunggu waktu yang pas."

Menunggu waktu yang pas? Jadi selama ini Evan hanya menunda perpisahan? Membiarkan Mauryn menggantung, sementara perasaannya sendiri sudah mati?

Mauryn menutup mulutnya, menahan isak yang hampir pecah. Rasanya dunia yang selama ini dia bangun bersama Evan hancur berkeping-keping dalam sekejap.

"Dengar, Evan," suara Arhan terdengar serius. "Kalo lo emang udah nggak ada perasaan, jangan menggantungkan dia."

Ada jeda sebelum Evan akhirnya berkata, "Ya ... mungkin gue emang harus menyudahi ini secepatnya."

Itu cukup bagi Mauryn.

Dia berbalik dengan tatapan nanar dan melangkah keluar tanpa suara.

Tessa yang berdiri di tempatnya menjadi linglung, lalu memutuskan untuk menegur Arhan dan Evan. Dia membuka pintu di depannya dan langsung menegur mereka.

"Kalian berdua ngapain, sih? Kalian bener-bener menjijikkan dan rendahan," ucap Tessa dengan tatapan tajam.

Arhan sangat syok saat melihat istrinya berdiri di sana, hingga dia membeku dengan mulut ternganga.

"Arhan, kita bicara nanti," lanjut Tessa sebelum akhirnya pergi mengejar Mauryn.

Di sisi lain, Mauryn yang sudah tiba di kamarnya, meringkuk di atas tempat tidur. Tangisnya pecah, membanjiri pipinya yang sudah memerah. Tessa duduk di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat-erat.

"Anehnya gue sama sekali nggak ingat apa yang barusan gue dengar. Dia bilang nggak mau nikah sama gue, kan? Dia bilang dia udah nggak mencintai gue lagi, dan seluruh badannya terasa berat. Apa lagi katanya? Dia merasa tercekik. Tapi emang bener kalo gue terlalu sibuk sama karir gue. Jadi ayo kita anggap aja dia selingkuh. Gue pikir nggak ada yang lebih buruk dari itu, tapi justru ada lebih buruk," ucap Mauryn seraya menyeka air matanya yang terjatuh.

"Mauryn ...."

"Tessa, gue nggak tau harus gimana sekarang. Gue harus gimana?" Mauryn menangis sesegukan sambil meringkuk di atas tempat tidurnya.

Sementara itu, Leona yang merasa ada yang tidak beres pun langsung bergabung dengan mereka.

"Ada apa ini? Kenapa Mauryn tiba-tiba jadi kayak gini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan wajah panik.

"Kita bahas di luar aja. Biarin Mauryn istirahat dulu sekarang." Tessa pun segera berdiri sambil mendorong Leona keluar dari kamar.

***

Setelah semua kekacauan itu, Tessa pulang ke rumahnya. Dia cukup melihat reaksi Leona yang seakan siap untuk membunuh Evan, dan mempercayakan Mauryn padanya. Sementara itu, dia juga harus mengurus hubungannya dengan suaminya.

Saat masuk ke dalam rumah, Tessa disambut oleh senyuman Arhan, tetapi tubuh laki-laki itu gemetar.

Dia berlalu begitu saja dari hadapan suaminya dan hendak masuk ke dalam kamar, tetapi mengurungkan niatnya dan berbalik mendekati Arhan, lalu memandangnya dengan tajam hingga sang suami merasa jantungnya akan copot.

"Kamu tau, kan?" tanya Tessa.

"Ta-tau apa?"

"Kamu tau maksud aku. Perselingkuhan Evan. Kamu itu kan sahabatnya. Aku tau kok laki-laki tuh suka pura-pura nggak tau dan saling membantu bikin alibi."

"Nggak, nggak. Aku beneran nggak tau. Itu sebabnya aku nanya apa dia melakukan itu," ucap Arhan.

"Itu juga. Kenapa kamu menanyakan hal yang kayak gitu? Kalian anggap perselingkuhan itu bukan hal yang serius ... asal nggak ketahuan?" tanya Tessa dengan mata berkaca-kaca.

"Bukan begitu." Arhan menelan salivanya. "Laki-laki cuma bicara tanpa filter, kayak bercanda."

Tessa mengerutkan keningnya. "Bercanda? Kata-kata bahwa kamu nggak berdebar-debar lagi dan menghafalkan kata cinta itu ... lelucon semacam itu? Suara istri kalian di kamar mandi bahkan bikin kalian takut. Bahwa kalian para suami cuma hidup bersama istri sebagai loyalitas aja. Lelucon laki-laki yang udah menikah kayak gini bener-bener bikin aku muak. Tapi malah suami aku sendiri yang bikin lelucon kayak gitu. Pasangan yang nggak saling menyayangi, dan seorang suami yang nggak tertarik sama istrinya, apa itu lucu bagi kamu?"

Mulut Arhan terasa kelu sehabis mendengarkan kata-kata itu. "Sayang ... kamu tau bukan kayak gitu maksud aku. Jangan marah--"

"Aku pikir kamu beda. Aku pikir kita beda dari pasangan lain. Aku bukannya marah, tapi aku sedih." Setelah mengucapkan itu dengan suara bergetar, Tessa segera masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu.

Arhan masih berdiri di tempatnya. Lalu, sesaat kemudian, pintu kamar terbuka lagi. Arhan ingin masuk, tetapi sebuah bantal justru melayang ke hadapannya. Pertanda bahwa dia harus tidur di luar malam ini. Atau ... mungkin juga malam-malam berikutnya.

Sementara itu, Mauryn masih meratapi kesedihannya. Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar dan masuk sebuah pesan dari Evan. Dia hanya membaca pesan itu dari notifikasi.

"Maaf."

Hanya satu kata. Tidak ada penjelasan. Tidak ada usaha untuk memperbaiki apa pun.

Mauryn menatap layar ponselnya lama. Jari-jarinya gemetar.

"Aku tidak akan mengulanginya lagi, maafkan aku, kamu satu-satunya bagiku. Aku mencintaimu."

Kata maaf, seharusnya diikuti dengan kata-kata semacam itu. Pengakuan rasa bersalah dan penyesalan. Namun, yang Mauryn terima hanya satu kata itu saja. Seakan dirinya dan sebelas tahun kenangan mereka tak berarti apa-apa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Memperjuangkan Harga Diri

    Seisi Lumora Tech tak henti-hentinya membicarakan kasus yang sedang panas ini. Bahkan, beberapa dari mereka mulai mengorek-ngorek masa lalu Martha demi menyudutkannya."Kamu udah liat foto lama Martha di internet belum?" tanya seorang karyawan laki-laki terhadap rekannya ketika mereka bersantai di cafetaria yang ada di Lumora Tech."Foto-foto lama dia?"Mereka berdua kemudian melihat-lihat foto yang berada pada akun media sosial milik seseorang yang mengaku-ngaku sebagai teman lamanya.Aku kenal dia waktu kuliah. Dia emang suka gonta-ganti pacar dengan cepat. Aku dengar dia membalas itu karena masalah jabatan yang lebih tinggi, udah aku duga.Itulah tulisan caption yang dibagikan oleh orang tersebut."Ya ampun ....""Udah aku duga, sih pasti kayak gini. Pak Ian cuma lagi nggak beruntung aja. Orang jelas banget itu suka sama suka, bukan cuma dia yang salah. Astaga, apa yang udah terjadi sama dunia ini? Saya jadi takut ngo

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Skandal Percobaan Pemerkosaan

    Martha masih duduk sendirian di meja kerjanya. Pikirannya berkecamuk penuh campur aduk. Dengan perasaan sedikit ragu tetapi juga penuh tekad, dia membuka aplikasi khusus pegawai Lumora Tech yang terinstal di ponselnya. Lalu, kemudian ... mulai mengetikkan beberapa kalimat pada halaman survey kebahagiaan karyawan.Saya korban percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Pak Ian Wicaksono yang merupakan Kepala Manajer SDM dari Lumora Tech. Perkenalkan nama saya Martha Donna Harahap, Senior Product Manager dari Tim Product Development di Lumora Tech. Pada malam tanggal 30 Oktober, satu tahun yang lalu, saya menjadi korban percobaan pemerkosaan Pak Ian di hotel La Crystal. Pada saat itu, saya adalah seseorang yang ingin menang. Saya kira saya baik-baik saja, sampai akhirnya hal itu terjadi. Saya berniat untuk melaporkan dia atas kejadian itu, tapi rasa takut menguasai saya. Jadi, akhirnya saya memilih untuk lari. Saya bicara sekarang, setahun kemudian, karena saya menyadari Pak Ia

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Teka-Teki

    Mauryn berdiri di depan kaca kamar mandi lantai delapan, memandangi bayangannya sendiri yang terlihat jauh lebih tenang dari yang dia rasakan. Bibirnya mengulas senyum tipis, palsu tapi terlatih. Ini bukan tentang keberanian. Ini tentang kebenaran.Dia melirik jam tangan. Sudah hampir waktunya. Ian baru saja selesai memimpin rapat tim divisi lain. Berdasarkan informasi dari Evan, setelah ini biasanya pria itu kembali ke ruangannya selama satu jam sebelum lanjut ke pertemuan berikutnya. Dan itulah jendela waktunya.Namun kali ini, Mauryn tidak akan masuk ke ruangannya.Langkahnya membawanya ke pantry dekat ruang kerja tim engineering, tempat yang jarang dilewati saat jam-jam sibuk. Dia berdiri di dekat mesin kopi, pura-pura sibuk menyiapkan minuman ketika Ian melintas di koridor."Pak Ian," sapa Mauryn dengan suara pelan tapi cukup jelas.Ian menoleh dan tersenyum kecil. "Mauryn. Sedang istirahat sebentar?""Sedikit. Sebenarnya ..

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Menjebak Seseorang

    Saat baru saja tiba di kantor, Evan melihat Freya sedang berbicara di telepon dan terlihat sangat frustasi. Dari yang dia dengar, sepertinya wanita itu tengah bertengkar dengan sang ibu. Lantas, dia pun menghampirinya setelah Freya menutup teleponnya.Begitu Freya menutup telepon dan menghela napas panjang, Evan menghampirinya dengan senyum kecil."Astaga. Hidup emang berat buat orang dewasa. Iya, kan?" ucapnya pelan.Freya mendongak. "Kamu denger?" tanyanya canggung.Evan tertawa kecil. "Kabur aja dari rumah. Gimana? Ide bagus, kan?"Freya tergelak. "Apa? Aku bukan bocah. Gimana bisa aku kabur kayak gitu?""Kamu masih kecil. Masih belum 30 tahun, kan?"Tawa Freya pecah lagi. Evan ikut tersenyum melihatnya. "Akhirnya kamu ketawa. Aku ngomong kayak gitu biar kamu ketawa.""Betul, aku jadi ketawa berkat kamu," ucap Freya dengan senyum masih setengah getir.Suasana ringan itu buyar saat ponsel Evan berderi

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Menyaksikan Perselingkuhan, Lagi?

    "Kalian bekerja keras untuk mengatasi krisis saat data pelanggan kita diretas, tapi saya baru sempat berterima kasih sekarang. Saya mengundang kalian makan malam untuk menunjukkan rasa terima kasih dan menyelamati promosi Pak Evan. Saya tau krisis itu telah berdampak buruk bagi semua orang. Ini semua karena ketidakmampuan saya, jadi salahkan saya untuk semua kesulitan. Sementara itu, seseorang kesulitan, jadi saya harap kalian bisa menunjukkan dukungan penuh. Untuk merayakan kesuksesan, kita akan minum anggur dan makan seperti raja dan ratu hari ini." Felix membuka jamuan makan malam bersama tim gabungan malam ini.Semua orang mengangkat gelas anggur mereka."Lumora Tech.""Lumora Tech!"Mereka semua bersulang lalu meneguk anggur itu.Gelas-gelas beradu dalam derai tawa. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan restoran rooftop itu, menyatu dengan obrolan yang riuh dari para karyawan Lumora Tech. Lampu-lampu gantung menyebarkan cahaya kekuningan yang hangat, menciptakan suasana akrab

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Transparansi dan Pemulihan

    Leona tertawa getir. "Selama ini lo semua kira gue memutuskan Kayden karena bosan? Karena gue capek? Bukan. Gue ... gue cinta dia, Ryn. Gue cinta dia lebih dari apapun. Tapi gue nggak bisa ngasih dia keturunan. Gue nggak bisa mengandung anak-anaknya. Gue mandul."Tenggorokan Mauryn tercekat. Dia memegangi mulutnya, tubuhnya mulai gemetar."Gue mutusin Kayden karena gue nggak mau mengikat dia dengan sesuatu yang rusak kayak gue," suara Leona pecah menjadi tangisan. "Gue pengen banget jadi seorang ibu, Ryn. Gue pengen banget punya bayi kecil yang bisa gue peluk tiap malam. Tapi gue nggak bisa. Tuhan nggak ngasih gue kesempatan itu."Leona menghapus air matanya kasar."Sedangkan lo ... lo dengan begitu gampangnya mau menyingkirkan kehidupan kecil itu. Seolah itu sampah. Seolah ... seolah lo nggak tau betapa berharganya dia. Dan lo liat Tessa. Udah berapa tahun dia nikah sama Arhan tapi belum juga dikasih anak, kan? Lo tau betapa sakitnya hati kita be

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Luka yang Tak Pernah Kau Lihat

    Felix berdiri di ruang rapat dengan ekspresi kaku dan rahang mengeras. Di tangannya, dia menggenggam hasil investigasi lengkap yang disusun oleh divisi keamanan siber dan CTO Sophia Zhang. Di sisi kanan meja, duduk Mauryn dengan tangan mengepal di pangkuan, berusaha menahan gemuruh yang bergema di dadanya. Hari ini, kebenaran akan diungkap."Sesuai hasil audit digital dan pemeriksaan forensik, tindakan penyusupan telah dikonfirmasi berasal dari perangkat pribadi milik Luna Sasmita," ucap Sophia dengan nada tajam namun terkendali. "Jejak komunikasi yang terekam menunjukkan keterlibatannya dalam percakapan terenkripsi dengan akun yang diketahui berafiliasi dengan SynaptIQ Technologies."Felix melirik Mauryn. Tatapan mereka bertemu—pendek, tapi cukup untuk menyampaikan betapa rumit dan menyakitkannya situasi ini.Luna kini berada dalam tahanan internal sementara menunggu proses hukum berjalan. Yang tertinggal hanyalah debu-debu curiga yang belum sepenuhnya mengendap di dalam tim Product

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Kehamilan yang Dirahasiakan

    Pintu apartemen terbuka pelan. Suara kunci diputar nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang masih menetes ringan di luar sana. Sepatu hak tinggi Mauryn menyentuh lantai kayu dengan langkah lesu. Tubuhnya lunglai. Kepala berdenyut. Perutnya terasa seperti dipelintir sejak siang. Dia hanya ingin meresap dalam diam, mengganti baju, lalu tenggelam dalam kasur.Namun yang menyambutnya justru bukan keheningan yang dia harapkan.Leona duduk di ujung sofa dengan tangan menyilang di dada, wajahnya kaku seperti batu karang. Tatapannya menusuk tajam, seperti bisa menembus seluruh kulit luar Mauryn dan melihat apa yang tersembunyi di dalam.Tessa berdiri di dekat jendela, tak kalah tenang tapi jelas-jelas menyimpan badai di balik tatapan matanya yang lembut."Baru pulang?" ucap Leona tanpa basa-basi, suaranya dingin, tajam, mengiris seperti belati.Mauryn berdiri mematung di ambang pintu, merasakan tengkuknya mulai dingin oleh hawa yang tiba-t

  • Well, Hello Again, Mr. CEO!   Musuh dalam Selimut

    Mauryn dan orang-orang yang berada di tim gabungan, menyisir ulang akses dan log login. Satu nama muncul berulang—dengan pola waktu mencurigakan, lokasi yang sama, dan durasi login yang panjang dengan nama Luna Sasmita. Mauryn menahan napas. Luna. Pegawai baru yang hampir tak pernah bersuara di rapat. Yang masih terlihat canggung dan sering duduk paling pojok. Pegawai yang baru bekerja di Lumora Tech sejak masalah ini terjadi. Dan yang dulu ... bekerja sebagai SPG makanan beku di kantin basement kantor. "Dia masuk lewat jalur rekrutmen vendor," ucap Felix sambil menelusuri data HR. "Direkrut cepat karena katanya punya background teknik dari universitas luar negeri, tapi nggak pernah bisa diverifikasi penuh. Sulit bagi saya untuk menelusuri setiap karyawan baru, karena saya nggak langsung mewawancarai mereka." Mauryn merasa dadanya sesak. "Perangkat pribadinya?" tanya Sophia. "Udah di-clone tim forensic. Kami temukan pattern log mirip di ponselnya. Dan ... ada jejak komunikasi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status