"Kadang yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan adalah kehilangan penghargaan akan semua yang telah diperjuangkan."
*** Peristiwa yang terjadi tadi malam membuat tubuh Mauryn drop hingga terpaksa dia tidak bisa masuk kerja hari ini. Setelah mendengar Evan mengatakan hal-hal menyakitkan tentangnya tadi malam, dia merasa seperti kehilangan energi. Demamnya mencapai 40 derajat yang membuatnya hampir opname di rumah sakit, tetapi dia menolaknya dan memilih untuk diinfus di rumah saja. Jantungnya sakit, perutnya mual, bahkan untuk menelan makanan pun terasa sulit. Leona, yang sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya, dengan sigap mengambil alih segala yang dibutuhkan oleh Mauryn. "Minum ini dulu, Ryn," kata Leona, menyodorkan segelas air putih. Mauryn menatap gelas itu dengan mata sayu. "Gue nggak haus." "Lo mau mati? Jangan bodoh." Leona memang bukan tipe yang lembut dalam berbicara, tapi dia tahu kapan harus menjadi sahabat yang baik. Dia membantu Mauryn duduk dengan hati-hati, lalu menyodorkan gelas itu lagi. "Sedikit aja, oke?" Mauryn mengalah dan menyesapnya. Rasanya seperti air biasa, tapi dia merasa perutnya menolak apa pun yang masuk. Leona duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian. "Ryn, lo harus makan. Kalo gini terus, lo bisa pingsan." Mauryn tersenyum kecil. "Itu lebih baik, mungkin." "Heh! Jangan ngomong kayak gitu." Leona menghela napas, lalu berdiri dan melangkah ke dapur. Tak lama, dia kembali dengan semangkuk bubur. "Lo nggak harus menghabiskan bubur ini, cukup beberapa suap aja." Mauryn menggeleng. "Leona, gue nggak lapar." Leona tidak membalas, hanya mengambil sendok dan menyuapi Mauryn langsung. "Lo makan sendiri, atau gue paksa?" Mauryn menatap sahabatnya. Di matanya, ada sorot kesabaran bercampur kekhawatiran. Akhirnya, dia membuka mulut dan menerima suapan pertama. Itu pun dia kembali meneteskan air mata. Rasanya hambar. Tapi lebih baik daripada tidak makan sama sekali. Waktu berlalu. Hari ini terasa sangat panjang. Mauryn lebih banyak tidur, tapi setiap kali membuka mata, hatinya masih terasa sesak. Saat berbaring di tempat tidur, pikirannya mulai berjalan sendiri. Sebelum hubungannya berantakan, pasti ada hal-hal yang sudah dia lewatkan. "Sejak kapan sebenarnya Evan berubah?" Kalau dipikirkan lagi, mungkin bukan hanya akhir-akhir ini. Dulu, Evan selalu mengirim pesan panjang setiap pagi, tapi sekarang? Kadang bahkan dia tidak menghubungi Mauryn sama sekali. Dulu, Evan selalu mengajaknya pulang kerja bersama. Sekarang? Mauryn lebih sering pulang sendirian. Dulu, Evan akan tertawa setiap kali mendengar leluconnya-bahkan yang paling garing sekalipun. Sekarang? Dia hanya tersenyum tipis atau tidak merespons sama sekali. Kenapa dia tidak menyadari hal itu selama ini? "Aku terlalu sibuk mencari tanda-tanda cinta, sampai lupa melihat tanda-tanda perpisahan." *** Saat malam tiba, ponsel Mauryn berbunyi. Sebuah pesan dari Evan. Evan : Aku di depan rumah kamu. Tolong keluar sebentar. Mauryn pun mengetikkan jawaban. Mauryn : Kita nggak perlu bicara. Kamu pergi aja. Leona, yang sedang duduk di sofa, melirik ke arah Mauryn. "Kenapa wajah lo tiba-tiba kayak pengen ngelempar tuh hp?" Mauryn menghela napas panjang. "Evan pengen ketemu." Leona mendengus. "Buat apa?" Mauryn terdiam. "Gue nggak tahu." Sesaat kemudian, balasan dari Evan sampai di ponselnya. Evan : Aku bakal terus nunggu sampai kamu mau keluar. Setelah membaca pesan itu, Mauryn beranjak dan mengintip dari jendela. Benar saja. Mobil Evan telah terparkir di depan pagar rumahnya. Leona memandangnya dalam-dalam. "Lo mau pergi?" Mauryn menggigit bibir. Lalu mengangguk. Leona mendesah. "Yaudah. Tapi pastikan lo nggak kembali dengan hati yang lebih hancur, oke?" Mauryn mengangguk lalu segera pergi menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan melihat matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Wajahnya terlihat lelah. Dengan susah payah, dia memakai makeup untuk menyembunyikan bengkak di bagian matanya. Bibirnya dipoles lipstik, pipinya ditambah sedikit blush-on agar tidak terlihat terlalu pucat. Lalu, dia memilih pakaian terbaiknya. Jika ini harus berakhir, setidaknya dia ingin terlihat berkelas. Setelah memastikan semuanya, dia keluar dari rumah. Dia melihat Evan yang sudah menunggunya. Laki-laki itu masih sama-dengan rambut rapi dan kaos polo yang cukup mahal. Tapi di mata Mauryn, dia terlihat seperti orang asing. Mereka berdua pergi menuju sebuah taman yang tak jauh dari kediaman Mauryn. Mereka duduk bersampingan di sebuah bangku mulai dari taman itu masih berpengunjung, hingga saat ini hanya tersisa mereka berdua. Mauryn enggan membuka mulutnya lebih dulu. Setelah hampir satu jam mereka berdua melamun, akhirnya Evan berbicara lebih dulu. Dia menghela napas. "Aku ... nggak tau harus mulai dari mana." "Mulai aja dari yang sebenarnya," kata Mauryn datar. Evan menatapnya, lalu berkata, "Aku minta maaf." Mauryn menunggu kelanjutannya. Tapi tidak ada. "Kamu datang cuma buat ngucapin kata itu?" tanyanya akhirnya. Mauryn masih menaruh harapan pada Evan. Lagi-lagi, hanya kata maaf yang keluar dari mulut pria itu. Tidak ada apa pun setelah itu. Mauryn cukup kecewa. Satu jam waktunya terbuang sia-sia. Dia berdiri dari duduknya, lalu berjalan tanpa sepatah kata pun. Melihat itu, Evan segera mengejarnya. Tak sengaja, kaki Mauryn menginjak sebuah batu dan hampir tersandung, beruntung dengan sigap Evan menangkapnya. "Kamu nggak apa-apa? Kamu lagi nggak fit, biar aku antar kamu pulang," ucap Evan. Mauryn langsung melepaskan diri dari pegangan Evan. "Aku nggak apa-apa. Aku cuma tersandung." "Oke. Kalo kamu nggak mau, aku akan panggil Leona. Tunggu." "Leona? Emangnya kamu siapa? Jangan berani-berani buat nampakin wajah kamu di depan dia kalo nggak mau dia bikin kamu jadi daging rebus." "Seperti yang kamu bilang, siapa aku bagi kamu? Aku bukan apa-apa, kan?" "Oh ... jadi ini alasan kamu sebenarnya? Kamu melakukan ini supaya nggak merasa bersalah? Kamu jahat tau nggak!" Mauryn memukul dada Evan sekuat tenaganya hingga membuat pria itu sedikit terhuyung ke belakang. "Kamu tau apa yang baru aja kamu lakukan? Kamu membuang sebelas tahun hubungan kita ke dalam tong sampah. Sementara aku memimpikan masa depan kita, kamu sama dia ...." Mauryn tak melanjutkan ucapannya.Seisi Lumora Tech tak henti-hentinya membicarakan kasus yang sedang panas ini. Bahkan, beberapa dari mereka mulai mengorek-ngorek masa lalu Martha demi menyudutkannya."Kamu udah liat foto lama Martha di internet belum?" tanya seorang karyawan laki-laki terhadap rekannya ketika mereka bersantai di cafetaria yang ada di Lumora Tech."Foto-foto lama dia?"Mereka berdua kemudian melihat-lihat foto yang berada pada akun media sosial milik seseorang yang mengaku-ngaku sebagai teman lamanya.Aku kenal dia waktu kuliah. Dia emang suka gonta-ganti pacar dengan cepat. Aku dengar dia membalas itu karena masalah jabatan yang lebih tinggi, udah aku duga.Itulah tulisan caption yang dibagikan oleh orang tersebut."Ya ampun ....""Udah aku duga, sih pasti kayak gini. Pak Ian cuma lagi nggak beruntung aja. Orang jelas banget itu suka sama suka, bukan cuma dia yang salah. Astaga, apa yang udah terjadi sama dunia ini? Saya jadi takut ngo
Martha masih duduk sendirian di meja kerjanya. Pikirannya berkecamuk penuh campur aduk. Dengan perasaan sedikit ragu tetapi juga penuh tekad, dia membuka aplikasi khusus pegawai Lumora Tech yang terinstal di ponselnya. Lalu, kemudian ... mulai mengetikkan beberapa kalimat pada halaman survey kebahagiaan karyawan.Saya korban percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Pak Ian Wicaksono yang merupakan Kepala Manajer SDM dari Lumora Tech. Perkenalkan nama saya Martha Donna Harahap, Senior Product Manager dari Tim Product Development di Lumora Tech. Pada malam tanggal 30 Oktober, satu tahun yang lalu, saya menjadi korban percobaan pemerkosaan Pak Ian di hotel La Crystal. Pada saat itu, saya adalah seseorang yang ingin menang. Saya kira saya baik-baik saja, sampai akhirnya hal itu terjadi. Saya berniat untuk melaporkan dia atas kejadian itu, tapi rasa takut menguasai saya. Jadi, akhirnya saya memilih untuk lari. Saya bicara sekarang, setahun kemudian, karena saya menyadari Pak Ia
Mauryn berdiri di depan kaca kamar mandi lantai delapan, memandangi bayangannya sendiri yang terlihat jauh lebih tenang dari yang dia rasakan. Bibirnya mengulas senyum tipis, palsu tapi terlatih. Ini bukan tentang keberanian. Ini tentang kebenaran.Dia melirik jam tangan. Sudah hampir waktunya. Ian baru saja selesai memimpin rapat tim divisi lain. Berdasarkan informasi dari Evan, setelah ini biasanya pria itu kembali ke ruangannya selama satu jam sebelum lanjut ke pertemuan berikutnya. Dan itulah jendela waktunya.Namun kali ini, Mauryn tidak akan masuk ke ruangannya.Langkahnya membawanya ke pantry dekat ruang kerja tim engineering, tempat yang jarang dilewati saat jam-jam sibuk. Dia berdiri di dekat mesin kopi, pura-pura sibuk menyiapkan minuman ketika Ian melintas di koridor."Pak Ian," sapa Mauryn dengan suara pelan tapi cukup jelas.Ian menoleh dan tersenyum kecil. "Mauryn. Sedang istirahat sebentar?""Sedikit. Sebenarnya ..
Saat baru saja tiba di kantor, Evan melihat Freya sedang berbicara di telepon dan terlihat sangat frustasi. Dari yang dia dengar, sepertinya wanita itu tengah bertengkar dengan sang ibu. Lantas, dia pun menghampirinya setelah Freya menutup teleponnya.Begitu Freya menutup telepon dan menghela napas panjang, Evan menghampirinya dengan senyum kecil."Astaga. Hidup emang berat buat orang dewasa. Iya, kan?" ucapnya pelan.Freya mendongak. "Kamu denger?" tanyanya canggung.Evan tertawa kecil. "Kabur aja dari rumah. Gimana? Ide bagus, kan?"Freya tergelak. "Apa? Aku bukan bocah. Gimana bisa aku kabur kayak gitu?""Kamu masih kecil. Masih belum 30 tahun, kan?"Tawa Freya pecah lagi. Evan ikut tersenyum melihatnya. "Akhirnya kamu ketawa. Aku ngomong kayak gitu biar kamu ketawa.""Betul, aku jadi ketawa berkat kamu," ucap Freya dengan senyum masih setengah getir.Suasana ringan itu buyar saat ponsel Evan berderi
"Kalian bekerja keras untuk mengatasi krisis saat data pelanggan kita diretas, tapi saya baru sempat berterima kasih sekarang. Saya mengundang kalian makan malam untuk menunjukkan rasa terima kasih dan menyelamati promosi Pak Evan. Saya tau krisis itu telah berdampak buruk bagi semua orang. Ini semua karena ketidakmampuan saya, jadi salahkan saya untuk semua kesulitan. Sementara itu, seseorang kesulitan, jadi saya harap kalian bisa menunjukkan dukungan penuh. Untuk merayakan kesuksesan, kita akan minum anggur dan makan seperti raja dan ratu hari ini." Felix membuka jamuan makan malam bersama tim gabungan malam ini.Semua orang mengangkat gelas anggur mereka."Lumora Tech.""Lumora Tech!"Mereka semua bersulang lalu meneguk anggur itu.Gelas-gelas beradu dalam derai tawa. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan restoran rooftop itu, menyatu dengan obrolan yang riuh dari para karyawan Lumora Tech. Lampu-lampu gantung menyebarkan cahaya kekuningan yang hangat, menciptakan suasana akrab
Leona tertawa getir. "Selama ini lo semua kira gue memutuskan Kayden karena bosan? Karena gue capek? Bukan. Gue ... gue cinta dia, Ryn. Gue cinta dia lebih dari apapun. Tapi gue nggak bisa ngasih dia keturunan. Gue nggak bisa mengandung anak-anaknya. Gue mandul."Tenggorokan Mauryn tercekat. Dia memegangi mulutnya, tubuhnya mulai gemetar."Gue mutusin Kayden karena gue nggak mau mengikat dia dengan sesuatu yang rusak kayak gue," suara Leona pecah menjadi tangisan. "Gue pengen banget jadi seorang ibu, Ryn. Gue pengen banget punya bayi kecil yang bisa gue peluk tiap malam. Tapi gue nggak bisa. Tuhan nggak ngasih gue kesempatan itu."Leona menghapus air matanya kasar."Sedangkan lo ... lo dengan begitu gampangnya mau menyingkirkan kehidupan kecil itu. Seolah itu sampah. Seolah ... seolah lo nggak tau betapa berharganya dia. Dan lo liat Tessa. Udah berapa tahun dia nikah sama Arhan tapi belum juga dikasih anak, kan? Lo tau betapa sakitnya hati kita be