Hujan malam itu menambah dinginnya kota Napoli, membuat sebagian penduduknya tengah bergelung dibawah selimut, mencari kehangatan dan terlelap dalam mimpi. Menunggu matahari terbit yang jika sesuai jadwal akan berlangsung tiga jam kemudian.
Perempuan penghuni rumah bercat abu-abu di jalan Via del Sole seri Mettere nomor 97 tak terkecuali. Dia mengetatkan selimutnya hingga ke atas dadanya. Bedanya, dia tidak mencoba kembali melanjutkan tidurnya dan memilih terjaga lebih awal dari jadwal bangunnya yang biasa. Dia menghidupkan lampu tidurnya, menghasilkan cahaya remang-remang yang membuatnya bisa melihat suasana kamarnya dalam pendar keemasan yang dihasilkan dari bohlam lampu.
Kamarnya terlihat berantakan. Pakaiannya tersebar di lantai, teronggok bersama pakaian pria. Selimutnya kusut akibat dari kegiatan panas yang ia lakukan tadi malam. Dia menoleh kesamping dan menatap pria yang terbaring miring menghadapnya, tangannya terulur keatas tubuhnya.
Perempuan itu menyibakkan selimutnya dan terduduk dipinggir ranjang. Dia mengambil ponsel di nakasnya, membuka galerinya dan meneliti setiap foto yang dia ambil. Tidak menghiraukan bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benangpun.
Terdengar suara gerakan dari belakang dan dia menoleh untuk melihat pasangannya malam ini tengah mengubah posisi tidur. Dia kembali menatap layar ponselnya. Tidak lama kemudian, dia meletakkannya kembali dan berdiri. Memunguti pakaiannya, dan berjalan keluar dari kamarnya yang sejak awal tidak terkunci, masih dalam keadaan telanjang.
Dari sinar bulan yang menyoroti rumahnya lewat jendela yang ia biarkan terbuka, dia bisa melihat ruang tamunya kacau dengan berbagai bungkusan kemasan makanan dan kaleng bir murah yang ia beli di minimarket terdekat.
Karpet merahnya telah digeser ke sudut ruangan. Dimana terdapat dua orang berbeda jenis yang saling bergelung satu sama lain. Sekali lihat sudah tahu bahwa tadi malam adalah malam yang panas untuk dua orang tersebut yang tidak memiliki pakaian menempel di tubuh masing-masing.
Dia menghiraukan keberadaan dua orang di lantai sudut rumahnya. Memilih melanjutkan perjalanannya, menyusuri koridor rumahnya dalam rangka menuju mesin cuci yang berada didepan kamar mandi.
Dia memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci, menutupnya, dan akan berjalan ke dapur untuk mengambil minum tetapi berhenti ketika kakinya tersandung kaki orang lain. Itu membangunkan pemilik kaki yang merupakan seorang pria yang tertidur di ceruk ruang kosong disamping mesin cuci. Pria itu mengerang.
"Jam berapa ini?" Tanyanya, suaranya serak khas orang baru bangun tidur. Matanya mengerjap berkali-kali sebelum menatap orang yang dia ajak bicara.
"Jam lima."
"Anna?" Ia memastikan. Mengerang sekali lagi saat mengetahui ini terlalu pagi untuk bangun.
Perempuan itu tertawa geli menatapnya. "Selama ini kau tidur disini?" Ejeknya. "Dimana Eleanor?" Tanyanya.
"Pulang."
Pria itu akhirnya bisa berdiri tegak setelah berjuang dari efek pusing alkohol. Menepuk nepuk dan meluruskan celana boxernya. Dia satu-satunya yang masih memakai pakaian ditubuh. Dia mencium Anna tepat dibibir dengan singkat. Kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Anna, nama perempuan itu sekaligus pemilik rumah ini melanjutkan diri ke dapur. Tidak terpengaruh atas ciuman Leo Connor terhadapnya.
Dia meletakkan segelas air minum di atas meja belajarnya. Duduk di kursinya, dan menghidupkan komputernya. Dia telah mengenakan pakaian kali ini, meski hanya sebatas sweater ungu dan hotpants hitam yang tidak cocok untuk dinginnya dini hari.
Dia mencolokkan ponselnya ke komputer untuk menyalin foto-foto terbarunya. Melihat lihat hasil potretnya di tampilan layar yang lebih lebar.
"Bukan yang ini." Ia bergumam. Netra hijaunya menatap serius ke dalam gambar. Dia meng-klik lagi untuk beralih ke foto yang lain.
"Gotcha."
Dia menatap foto didepannya. Foto yang mungkin akan membuat sebagian orang merasa malu melihatnya. Foto ini memperlihatkan dua orang yang tengah beradegan intim dengan gaya doggystyle yang terkenal. Pelakunya adalah kedua orang yang sedang bergelung di atas karpet rumahnya. Isabella Wyatt dan Julian Carter.
Anna menyimpannya. Dia akan mengubah foto ini menjadi potret lukisan seri erotisnya. Ya, dia seorang seniman. Lebih tepatnya mahasiswi seni rupa yang memiliki hobi yang akan membuat publik menjudgenya jika mengetahui sisinya yang ini. Dia suka, bukan, dia sangat suka melukis dua insan yang tengah bercinta, melukis ekspresi mereka ketika sedang berada di puncak kenikmatan. Anna menyebutnya sebagai seni paling murni.
Dia menyembunyikan hobinya ini dari kehidupan sehari-harinya. Dikeseharian, dia lebih dikenal sebagai Annatasia Aleksi, mahasiswi seni rupa tahun kedua yang sangat berbakat dalam melukis sehingga salah satu lukisannya akan dipamerkan dalam pameran yang diadakan di galeri lukis paling terkenal di kota Napoli. Hari ini merupakan jadwal pamerannya.
Anna sadar jika hobinya terlihat aneh bagi sebagian orang sehingga dia lebih memilih untuk menutupnya rapat. Mereka yang tahu hanyalah teman-teman lingkaran dalamnya. Karena keterpisahan itu, dia membuat Annatasia dan Anna menjadi dua seniman yang berbeda. Annatasia adalah artist yang akan membuatmu terlena dengan lukisan indahnya, sedangkan Anna adalah sisi lain dari dirinya yang memakai objek manusia langsung sebagai model lukisan nuditynya.
"Posisi yang bagus."
Anna menoleh ke belakang dan mendapati Leo tengah berdiri dibelakangnya, menatap layar komputer dengan binar apresiasi tinggi.
Leo menoleh menatapnya. "Kita bisa melakukan gaya itu kapan-kapan."
Pria itu langsung meloncat kearah kasur bekas sisinya tidur. Membuat decit kecil dan gumaman dari pria disebelahnya. Leo mengacuhkan keberadaan pria yang tidur di kasur Anna. Dia membuka ponselnya dan asyik dengan konten didalamnya.
Anna kembali fokus ke arah foto-foto yang lain. Dia menyimpan setiap filenya menurut tanggal. Ketika dia bilang hanya melukis dari objek langsung yang dia potret, itu berarti tidak hanya Julia dan Isabella yang ia punyai foto dewasanya. Leo Connor, temannya yang juga mahasiswa seni tahun kedua sepertinya, telah menjadi modelnya dengan foto terbanyak. Termasuk adegan seksnya dengannya. Ya, Anna sering berhubungan dengan model-model prianya. Dengan Leo, dia tidak menawarkan hubungan pacaran atau sebagainya. Faktanya, dia tidak pernah menawarkan hubungan pacaran dengan pria-pria yang dia tiduri. Sebagai gantinya, Leo bebas berhubungan dengan perempuan lain. Itu adalah situasi hubungan terbuka yang merupakan peraturan dasar dalam kelompok pertemanannya yang terdiri dari dia sendiri, Leo, dan Isabella yang juga merupakan mahasiswa seni seangkatannya, kemudian Evan, pria yang ia tiduri tadi malam merupakan kakak kelasnya, lalu Julian, dosen muda yang mengajar mata kuliah sejarah seni rupa di universitas tempat mereka berkuliah.
Anna meregangkan tangannya ke atas dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Mengambil gelas air minumnya dan meminumnya dalam sekali teguk. Waktu berlalu dengan cepat dan tak terasa sudah dua jam dia menatap layar komputernya, mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Matanya melirik jam digital di layar dekstopnya. Ada pameran yang harus ia hadiri pagi ini. Kali ini dia tidak datang sebagai pengunjung, melainkan sebagai seniman. Karyanya akan ditampilkan bersama puluhan karya lain dari para pelukis ternama. Dia satu-satunya artist yang berstatus masih mahasiswa tahun ke dua dalam pameran karya kali ini.
Dia menghela nafas dan menoleh kearah ranjangnya. Leo telah tertidur kembali, Evan seperti biasa tampak mati dalam tidurnya, dan ia yakin Isabel dan Julian juga masih berada di alam mimpi.
Ia melirik speaker stereonya. Senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya saat ia dengan sengaja menyetel musik berisik dalam volume tinggi.
"Fuck! Anna!"
Ia tertawa mendengar teriakan sumpah serapan Isabel di ruang depan.
Anna mematikan musiknya setelah melihat kedua pria yang tidur di kasurnya terbangun. Leo menatapnya dengan kesal dan tampak ingin mencekiknya. Sedangkan Evan, laki-laki itu hanya menatapnya geli dan tampak baik-baik saja dengan pilihan lagu buruknya untuk mengawali hari."Langkah bagus Anna." Leo mencibir. Tidak bisakah dia tidur dengan nyaman? Punggungnya pegal karena tidur dalam posisi bersandar yang dia tidak tahu kenapa dia melakukannya. Kemudian setelah dia bisa tidur dengan nyaman di ranjang empuk milik Anna, dia dibangunkan terlalu cepat oleh lagu sialan itu."Ada apa denganmu?!"Isabel, wanita bersurai coklat dan memiliki postur seperti model memasuki kamar hanya dengan pakaian dalamnya yang berwarna merah. Ia menatap ke arah pelaku dengan kekesalan tingkat tinggi.Anna menyengir kuda, puas bahwa dia berhasil membuat mereka bangun tidur. Ini sebuah prestasi, terlebih untuk bisa membangunkan Evan."Isabel, apa kau melihat celana dalamk
"Kalian sudah disini."Robert Damiano menatap kedua murid berbakatnya dengan pandangan binar-binar di matanya. Dia adalah seorang pria paruh baya yang berambut klimis dengan kumis koboinya dan bertubuh gempal seperti pria rata-rata di umurnya, dan dikenal memiliki sense fashionnya yang eksentrik karena warna-warna pilihannya terlalu cerah."Jadi ada apa Mr. Damiano?" Tanya Genevra. Meski berkali-kali dosennya itu menyuruhnya memanggil dalam panggilan informal, Genevra masih tidak nyaman memanggil Robert hanya dengan nama. Pada akhirnya, dia tetap gurunya yang harus dihormati."Aku akan memperkenalkan kalian dengan Vikas Ignazio." Ucapnya.Genevra memekik senang ketika mendengar nama pelukis terkenal se Italia, bahkan Eropa itu datang ke acara dan bahkan dia berkesempatan bisa bertemu dengannya.Anna menatap Robert dan menyeringai ke gurunya itu. Robert terkadang bisa mengejutkannya dengan betapa luasnya jaringan pertemanan dosennya itu."Kut
"Terlihat berbeda bukan?"Anna berdiri disamping pria itu. Tidak, ia tidak menoleh kearahnya. Dia berpura-pura tertarik dengan lukisannya dan mengabaikan sosoknya agar pria itu tidak melabelinya sebagai salah satu dari wanita-wanita pengagumnya di belakang.Pria disebelahnya mengangguk. Ia juga tidak menoleh kearahnya. Matanya tetap setia meneliti setiap goresan kuas dari lukisan didepannya."Fiori Nel Buio, aku tidak pernah melihat yang seperti ini dari lukisan lain. Penggambaran Persephone maksudku."Anna menatap sosok Persephone yang dilukisnya. Setiap kali kisah dewi itu ditulis atau dibicarakan, mereka akan banyak berbicara tentang betapa cintanya dia dengan Hades hingga rela hidup di dunia bawah. Tetapi Anna tidak pernah berpikir Persephone melakukan itu dengan suka rela, atau berpikir bahwa Persephone mencintai Hades, suaminya.Persephone di lukisannya tampak meronta dan dengan ekspresi terluka ketika Hades dengan keretanya menjemputny
Orang yang menariknya membawanya menjauhi kerumunan dan mengarahkannya ke toilet pria yang tampak kosong. Pria itu kemudian membuka setiap bilik pintu, memastikan tidak ada pria malang didalam ruangan. Lalu dia kembali kedepan untuk memajang papan 'Sedang Diperbaiki' ke depan pintu toilet dan menguncinya dari dalam.Anna melihatnya melakukan semua itu dalam diam.Setelah selesai dan memastikan tidak ada gangguan. Pria itu kemudian menatap Anna dan mendekat kearahnya. Matanya menatap bibir merah perempuan itu dengan pandangan keinginan untuk segera melumatnya.Anna menyeringai melihatnya dan tangannya mendorong pria itu masuk ke dalah satu bilik dan mendudukkannya di dudukan toilet. Dia kemudian duduk diatasnya.Mata mereka saling mengunci dan Anna dengan senyum bermain-main di wajahnya dengan sengaja menggoda laki-laki itu yang sangat ingin menciumnya."Kumohon," bisik pria itu dengan serak."Katakan itu lagi." Perintahnya."Kumohon A
Anna belum mendapatkan nomornya, tetapi Jason Dane telah mengajaknya ke restoran mewah malam ini dan dia harus puas dengan pengaturan itu. Dia telah pergi sekarang, hal pekerjaan katanya. Anna tersenyum dan mengendikkan bahu untuk salam perpisahan dan melihat Jason pergi dalam diam."Siapa itu?"Anna menoleh ke Genevra yang langsung mendekatinya setelah kepergian Jason. Sudah pasti dia mengawasi mereka entah untuk berapa lama. Anna melihatnya dan menyadari penampilan Genevra menjadi lebih kacau dan dia tampak seperti wanita hipsy yang suka meramal."Dia yang membeli lukisanku." Jawabnya."Ah!" Genevra berseru. "Si lima ratus juga!"Suara kerasnya membuat beberapa orang menoleh kearah mereka. Tetapi tampaknya Genevra yang terlalu heboh tidak menyadari itu. "Dia masih muda. Siapa namanya?" Tanyanya ingin tahu."Aku tidak tahu. Aku tidak menanyakan." Anna berbohong. Dia ingin melepaskan diri dari Genevra. Wanita itu manis dan baik, tetapi kepri
Anna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memutuskan untuk memakai gaun dalam acara makan malam pertama mereka. Dia tidak ingin terlihat salah kostum karena tempatnya diadakan berada di restoran mewah yang terletakdi Campo Belo, Sao Paulo. Dia juga ingin menciptakan impresi yang baik untuk lawannya, sehingga Anna mendaratkan pilihannya ke midi dress nya yang berwarna jingga seperti warna pada jerukmandarin. Gaun itu akan memamerkan bahu indahnya.Dia membiarkan rambut sebahunya tergerai, menatanya ke arah belakang telinganya, dia memakai jepit rambut warna hitam untuk mencegahnya keluar dari tatanan. Dia memakai riasan ringan, sedikit blush on, eyeliner sesuai garis, dan lipstik warna merah muda yang ia aplikasikan dengan tipis. Anna puas dengan hasil ini.Dia melihat jam yang berada di angka enam lebih dua puluh menit. Empat puluh menit lagi adalah waktu kesepakatannya. Mengingat dia harus berkendara melewati jalanScappnapoli yang selalurama
Anna melihat sapu tangan putih ditangannya. Terdapat nomor telepon Jason di sapu tangan itu. Jason berkata dia suka mencoba hal-hal klasik sehingga dia lebih memilih menuliskannya di sapu tangannya alih-alih hanya dengan menyebutkan nomornya untuk di simpan di ponsel Anna.Anna juga mendapatkan kartu nama yang juga memiliki ponsel didalamnya, tetapi nomor itu berbeda dari yang Jason tuliskan sendiri. Dia bilang itu nomor profesionalnya sedangkan yang ia tuliskan adalah nomor pribadinya. Anna merasa tersanjung dengan hal itu, sehingga dia membalasnya dengan cara tidak normal mengikutinya.Jason menatap telapak tangannya yang sekarang tertera nomor Anna."Kamu harus mencatatnya sebelum itu menghilang." Anna tersenyum melihat karyanya di tangan Jason dengan bolpoin birunya yang selalu tersedia di tasnya."Well, aku hanya harus menunggumu lebih dulu jika itu terjadi." Balas Jason. Dia menatap nomor di tangannya dan menghafalnya dalam diam.
Hari berjalan seperti biasa. Lukisan Anna yang terjual dengan harga fantastis menjadi buah bibir lingkungan kampus di fakultas seni rupa. Membuat Anna mau tidak mau harus menghabiskan waktu lebih dari biasanya untuk membalas sapaan mahasiswa lain yang mendadak menyapanya. Itu terlihat menyenangkan, tetapi percayalah Anna lebih ingin dia menjalani perkuliahan dengan normal tanpa harus disinggung soal lima ratus juta.... dan tidak, bukan Robert yang membeberkan fakta itu melainkan Genevra. Gadis pirang itu meminta maaf kepadanya karena telah menginfokan hal itu ke grup fakultas. Sekali lagi grup fakultas. Anna memaksakan senyum dan mengatakan 'lupakan saja,' karena nasi sudah menjadi bubur.Anna berjalan menuju kantin jurusan sambil menenteng tabung gambarnya ke punggungnya. Dia mendapatkan tatapan dari banyak orang dan Anna bisa melihat Nathan menatapnya dari tempatnya yang tengah berdiri di sudut pilar.Anna tidak berkomunikasi dengannya setelah kejadian di toi