"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?"
Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan.
Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab.
Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana.
Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian.
"Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi.
Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif.
Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business."
Sikap yang wajar.
Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak terhadap ad
Minggu pagi, Tangerang punya cuaca cerah dan juga udara masih arsi. Setelah dua jam berikutnya berganti dengan panas polusi asap kendaraan ciri khas kota hectic yang satu ini. Seperti yang sudah ia janjikan pada ibunya kemarin malam. Jane akan kembali ke rumah sepagian. Membuka mata yang sudah terbiasa bangun pagi itu untuk beraktifitas, mengusung segala sesuatu yang sudah dibelinya untuk acara penting nanti malam. Jane memakai reap jeans high waist dengan kaos pendek berwarna putih yang dilapisi jaket denim. Dara rupawan itu membiarkan rambut lurusnya tergerai indah, menyempurnakan penampilannya wajahnya yang sudah di make up tipis. Tinggal menunggu grab car, Jane menghempaskan dirinya diatas sofa. Jane memeriksa ponselnya kala bunyi notifikasi hinggap ditelinganya. Ada sebuah pesan pemberitahuan sejumlah uang masuk ke dalam rekeningnya. Bayaran hutang dari Edgar. Detik berganti menit namun driver yang dipesan tak kunju
“Nggak usah turun!” seru Jane agak keras, dua tangan gadis itu terbuka dan mengacung memberi gestur agar Theo yang terlihat sedang memegangi seat beltnya tidak beranjak dari tempat. Theo menggerakan bola matanya bingung. Jane menoleh lagi kearah rumahnya, ia merintih kesal, fakta bahwa gerbang putih di depan rumahnya sudah terbuka lebar dan ada satu mobil berwarna merah menyala yang bukan mobil keluarganya terparkir disana membuat Jane tidak ingin turun. Kenapa meraka datang secepat ini sih. Jane memejamkan mata sembari mengibaskan rambut ke belakang. Mereka yang dimaksud Jane barusan adalah keluarga bibi Jane yang tinggal di Jogja, kalau kalian cucu sulung dari sebuah keluarga dan masih single sementara adik serta sepupu yang lain sudah sold out dan beranak pasti kalian tau bagaimana perasaan Jane. Seberapa menyebalkannya. Tidak. Jelas bukan karena Jane minder. Ia super duper malas dengan wejangan yang kadang berlebihan dari adik kand
“Oh, jadi mas ini tetangganya Jeje toh.” Theo hanya menganggukan kepala dan terus berusaha untuk tersenyum saat bibi Jane melemparinya kata-kata panjang Dua orang ibu-ibu yang beberapa saat lalu menggedor-gedor pintu mobilnya ini masih mencoba mencari informasi dengan bertanya perihal hal pribadinya. Seperti usia, anak ke berapa dan lain-lain. Percakapan di sini hanya seperti dilakukan oleh dua orang kendati terdengar sangat ramai. Di sofa sebelah sana ada ibu dan juga ayah Jane. “Mbok ya bilang, kok malah diem aja. Kan jadi salah paham.” Bibi Jane duduk disebelah Theo persis dan mulai menepuk-nepuk pundak Theo dengan jemari berisi miliknya. Theo tersenyum tipis. Tipis sekali, bahkan nyaris tak terlihat. Ia tidak mengatakan apapun dari tadi karena bagaimana mau bilang kalau ia tak di beri luang untuk mengucapkan satu patah kata pun. Dua orang disamping Theo ini seperti sedang relay pertanyaan. Theo bahkan tidak diberi waktu unt
Kicau burung sudah tak terdengar merdu lagi, silau serta panasnya matahari mengalahkan semangat makhluk romantic itu untuk bernyanyi, dan memilih bersembunyi dari balik sangkarnya yang tinggi.Pukul sepuluh.Jika menilik kembali kebiasaan hari-hari Jane sebelum ini, pukul sepuluh merupakan jam yang selalu hectic.Memakai hills lima centi, atasan off shoulders berwarna biru pastel dan juga celana jeans biru muda lalu berdiri meneduh di bawah pohon rindang merupakan hal yang tak pernah Jane lakukan sebelumnya.Gadis tinggi yang rambut hitamnya di gerai itu celingukan, mata bermaskara tipis miliknya mengerjap, memeriksa sekilas benda digital yang berada di pergelangan tangannya.Kemudian mendesah lelah, mengibaskan rambut ke belakang tubuh karena panas.Memangnya ketemuan untuk sesi kencan buta selalu begini ya? Jane tidak begitu paham kenapa si teman kencannya itu menyuruh Jane untuk harus menunggu di bawah
“Sumpah?” Maria kembali menanyakan hal itu dengan wajah memerah setelah tawa terbahak-bahak. Ibu satu anak itu melanjutkan setelah tawanya reda. “Untung lo nggak diminta gantian bayar tukang parkir.” Berbagi itu indah. Namun berbagi pengalaman buruk, tidak seindah itu. Kalau kamu adalah termasuk dalam golongan jiwa-jiwa yang kurang bisa menerima ejekan lebih baik simpan kenangan busuk itu untuk dirimu sendiri. Berbeda dengan Jane. Ia dengan senang hati menerima semua ejekan gila. Bahkan ikut menertawakan kesialannya sendiri. “Nggak lagi-lagi kosplay jadi Mpok Siti.” Jane berikrar demikian. Kedua dara itu tiba-tiba menoleh bebarengan dan lalu tertawa kembali. Sebelum ini, kalau masalah kencan dan segala tetek bengek tentang pejantan, Maria yang paling sering membagikan cerita hariannya. Sebelum patah hati terakhir menghancurkan segenap kepercayaan semu yang ia yakini.
Pagi hari ini cuaca terasa segar pada taraf yang berbeda. Sekarang baru pukul lima lebih tiga puluh. Jane yang baru saja membuka mata setelah berkelana dalam mimpi itu kemudian segera bangkit dari ranjangnya. Membuka korden serta jendela, mengirup udara segar dalam-dalam lalu ke kamar mandi untuk membasuh muka. Jane menuju dapur, setelah itu ia mengambil beberapa air untuk di minum. Ada agenda yang sudah direncanakan Jane hari ini. Ia harus olahraga. Jane baru menemukan kalau treadmill di rumahnya rusak saat kemarin ia hendak menggunakannya. Padahal ini sudah hampir satu pekan sejak olahraga terakhir yang Jane lakukan. Jadi Jane berencana untuk membuang semua racun-racun yang ada di tubuhnya hari ini. Jane berganti baju, ia memakai hoodie besar berwarna merah jambu serta lagging berwarna hitam, rambut hitamnya sudah di satukan dengan posisi tinggi menjadi serupa ekor kuda, Jane kemudian memakai sepatu olahraga yang bias
Hari sudah sore. Berada di rumah dua puluh empat jam tanpa keluar selalu jadi hal membosankan bagi Jane. Menonton tv, tidur, hp. Tv, tidur hp. Begitu terus. Boring banget kan? Di rumah saja memang bisa jadi surga, tapi kalau ada temannya, sementara Jane hari ini full sendirian. Hanya ditemani dua menit oleh abang-abang yang mengantarkan gallon ke rumahnya. Tapi tidak apa. Sahabat datang menolong. Jane menarik catokan rambut hingga tercipta gelombang besar di ujungnya. Dia sudah mandi, pakaiannya sudah ganti, dan wajah cantiknya sudah di bubuhi make up yang alami. Hari ini Jane akan kencan lagi, iya, keluar untuk memenuhi janji kencan dengan istri orang. Lili hari ini libur, dan sahabat seperjuangan itu mengajak Jane si pengangguran nge-mall dan berencana untuk memutari mall sampai di usir. Dan berhubung Jane bukan lagi orang yang sibuk, ia langsung mengiyakan ajakan Lili. Jane mengambil tas punggung berukuran kecil mili
Hai, ladies. Boleh bertanya? Menurutmu apa manusia punya syarat dan limit dalam kebahagiaanmu? Oh ya? Sepertinya semua orang menjawab serempak, tidak. Selamat. Kamu betul, karena dalam kebahagiaan tidak terdapat sebuah batu yang bisa dijadikan tolak ukur. Berkeliling mall, melihat barang-barang bagus, tapi hanya membeli satu stuff? Itu juga membahagiakan bagi Jane. Bahagia tidak melulu tentang membawa pulang berkantong-kantong paper bag di tangan, memanjakan mata dengan melihat fashion yang baru di realise saja bahagianya luar biasa. Gadis cantik bersetelan santai itu terus menggeser satu demi satu baju-baju pria yang bergantungan kendati tak ada niat untuk membeli. Dari awal mereka mampir ke distro ini memang hanya karena Lili ingin berbelanja baju untuk sang suami. Dari rak-rak baju setinggi dada orang dewasa itu Lili memanggil nama Jane. “Bagus yang mana?” tanya Lili sembari menaik turunkan dua baju berwarna hitam di kedua tangannya