It's a brand new day.
Kalimat penyemangat itu adalah kalimat yang pertama kali Jane serukan untuk memulai hari. Berharap dan meyakinkan diri sendiri kalau hari ini setidaknya bisa lebih baik dari hari kemarin.
Setelah melakukan sesi galau seharian penuh, memikirkan apa yang terjadi mencangkup semua positif maupun negatif, Jane sudah memutuskan. Ia tidak lagi ingin mengingat atau mengungkit hal itu.
Menjauh dari subjek juga merupakan hal yang Jane lakukan dalam proses melupakan.
Jane tetap akan pindah. Tentu saja.
Ia sudah bilang pada Serin kemarin, tidak, meski Jane tidak bilang pun, adiknya itu sudah tau kalau Jane berniat pulang dengan adanya kardus-kardus dan juga koper yang sudah tersiapkan di rumahnya.
Dan tentu saja. Serin cukup senang mendengar kabar itu, memingat sudah entah berapa kali mereka ingin Jane hidup bersama mereka saja. Tetapi si sulung ini memang amat sulit diyakinkan. Dan sekarang, entah ada angin apa, Jane b
Sebenarnya jika memang sudah jadi pengangguran, mau di perumahan sana ataupun di rumah orangtuanya Jane sama-sama tidak punya pekerjaan untuk mengisi hari. Alias nganggur. Karena sebelumnya, yang ia lakukan hanyalah terbang, terbang, dan terbang, setelah itu Jane hanya akan kembali ke rumah untuk tidur. Hari ini juga sama. Jane membalikan badan agar tengkurap, dirinya masih digulung selimut, meski jam di atas nakas sudah menunjukan bahwa dirinya ada pada pukul tujuh lebih sedikit, Jane agak enggan untuk meninggalkan kasur. Jane memutar tubuhnya kembali, dan itu terulang sampai beberapa kali hingga gadis itu teringat akan satu hal. Dia lupa belum membuat janji dengan interior design. Jane langsung memanjangkan tangannya dan meraih ponsel yang berada diatas nakas. Menyalakan ponsel itu lalu kemudian memanggil nomor Maria segera, karena mereka sudah pernah membicarakan ini, Maria tentu punya kenalan interior design yang bagus. Tid
“Kedengarannya jadi aneh kalo nama kembangnya disambungkan sama status gue,” ujar Digo santai sembari menggaruk kepala bagian belakangnya. Lalu tanpa jaga image sedikitpun pria itu menguap lebar di depan Jane, tetapi beruntung mulutnya ditutup dengan dua tangan. Jane tidak perduli itu. Fakta bahwa chef yang berkarisma di dapur ini ternyata bisa juga pakai kaos oblong yang kerahnya sudah mulur, ada belek dan juga sisa Iler disekitar sudut bibirnya dan juga, duda? Jane menggeleng tak percaya. “Wow. Dunia emang sempit.” Kekehan bernada rendah diserukan oleh Digo, suaranya jadi deep begini karena efek baru bangun tidur. Bukan karena sok cool. Karena, Digo sekarang ini tidak ada cool-cool nya sama sekali. “Udah sembuh Lo galaunya?” tanya Digo kemudian, mengingat waktu itu mereka bertemu di club’ dalam keadaan kurang baik dan kemarin Digo juga tidak mungkin mengungkit selama sesi kelas berlangsung. Jane mengangkat bahu. Keadaannya sekarang,
Ingat kalau kemarin Jane menanyakan perihal interior designer pada Maria?Sore harinya teman yang sudah seperti saudara bagi Jane itu baru mengirim sebuah nomor kontak kepada Jane, mulur seharian, yang katanya 'nanti siang' justru berakhir sore-sore. Dan berhubung Jane ini memang tidak tau sopan santun, meski sudah sore pun, meski sudah tau kalau jam kerja sudah rampung, Jane tetap mengirimi chat kepada kontak itu.Tidak langsung dibalas tentunya. Orang sibuk.Keesokan paginya Jane baru mendapatkan balasan dari si interior designer itu. Dan tentunya, balasan pesan yang sangat singkat. Padahal Jane sudah bilang kalau ia teman Maria, yang mana seorang customer kelas atas, bukankah biasanya diperlakukan lebih ramah?Pokoknya, melalui chat yang singkat itu Jane akhirnya berhasil membuat janji dengan sang interior designer itu, disebuah cafe yang memakan waktu lima belas menit dari rumahnya.Maka bersama jasa ojek online akhirnya Jane sampai di cafe itu
Setelah pertemuan dengan Jay yang cukup menguras kesebalan, Jane memutuskan untuk tidak pulang, karena sudah terlanjur ada diluar ia menghubungi Maria dan meminta jemputan, ingin berkunjung kerumah ibu satu anak itu. Mengingat Jane juga sudah lama sekali tidak pergi kesana, bertemu ibu Maria dan juga bermain bersama Ares. Maria tentunya cukup mengangkat tangan memerintahkan supirnya untuk menjemput Jane. Karena ibu satu anak itu pastinya baru bangun dari tidur. Jane juga hanya tinggal duduk disupiri maka ia baik-baik saja. Juga cukup mengenal supir Maria yang sudah beberapa kali menjemputnya. Tidak lama, mungkin hanya memakan waktu sepuluh menit Jane akhirnya sampai di rumah besar milik Maria. Besar. Secara harfiah. Yang berarti sangat besar untuk ukuran rumah keluarga yang punya anggota berjumlah lima jiwa. Jane menganggukkan kepala satu kali sebagai tanda terima kasih kepada supir yang menjemputnya tadi, ia memasuki rumah Maria dan disambut
--Pagi dari hari yang lain telah datang. Tidak seperti hari-hari kemarin dimana Jane kebingungan harus melakukan apa, hari ini tepat setelah gadis itu membuka mata, Jane langsung tau apa yang akan ia lakukan. Olahraga rutin yang seminggu ini belum bisa dilakukan Jane, Jane berniat menunaikannya pagi ini. Jadi setelah membawa diri ke kamar mandi untuk membersihkan wajah dari sisa mimpi tadi malam, Jane berganti dengan setelan olahraga yang ia punya di lemari besar miliknya. Memakai sneakers berwarna putih dan membawa dirinya untuk menuruni tangga. Jane tak perlu repot-repot membangunkan Serin untuk ikut dengannya karena dari sejak jaman dulu pun, Serin bukan penikmat sport seperti Jane, sebenarnya Jane juga bukan penikmat sport, Jane cuma salah satu dari ribuan orang yang ada kesadaran untuk menjaga kesehatan dan bentuk tubuh. Saat sudah sampai di teras rumah, Jane menjumpai ayahnya yang sedang memanasi mobil sembari memeriksa bonsai-bonsai milikny
Setelah sesi pesan suaranya dengan Theo tadi pagi selesai. Jane memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dan tidak jadi melakukan olahraga pagi. Perubahan suasana hati yang terjadi secara tiba-tiba semacam ini sangat jarang mempengaruhi kegiatan Jane. Jane memutuskan unttuk menghabiskan sedikit waktu merenung dari atas ranjang dalam kamar tidurnya, telungkup di atas bantal bersama mata yang terbuka dan juga pikiran melalang buana. Memikirkan apa yang sebenarnya perasaan dan dirinya inginkan, apa yang harus dilakukan Jane agar tidak ada sesal dikemudian hari. Jane tidak pernah mengalami dilemma sebesar ini sebelumnya, ini kali pertama dan semua bersebab pada Theo. Beberapa lama setelah berdiam diri, Jane memutuskan untuk bangun kembali dan berjalan membuka pintu balkon membawa dirinya keluar. Menikmati sedikit angin menerpanya. Menghembuskan napas kecil seraya sesekali menunduk sebelum kembali melempar pandangan kearah jalanan depan ru
Jane jadi mengikuti kelas kursus bersama Digo lagi, menggunakan blouse berwarna biru laut dipadukan dengan celana kulot panjang, sementara rambut hitamnya yang lurus dibiarkan tergerai indah, jika dilihat oleh mata asing Jane benar-benar terlihat seperti seorang wanit karir. Untuk yang bertanya seperti keadaan kelas, seperti biasa, kelas dihadiri oleh orang-orang yang sama, dengan step-step pembelajaran yang sama, dan seperti biasa juga Jane selesai dengan hasil praktek yang memuaskan. Yang berbeda hari ini adalah, meski Jane sudah selesai lebih dahulu, ia tidak bisa langsung pulang karena harus menunggu Digo selesai. Jane melambaikan tangan ketika teman kursusnya sudah ada yang pulang, ia pun kembali menaruh atensi pada ponsel sembari menunggu Digo yang tak kunjung keluar. Menunggu memang melelahkan. Hari ini, tidak ada murid yang terlambat, hanya tiga yang mengikuti sesi pembelajaran kali ini, iya, Karina tidak terlihat batang hidungnya. Jane juga b
“Maaf ya mbak Jane malah harus datang kesini waktu lagi sibuk.” Jane membuat senyum terpaksa hadir di wajahnya. Ya bagaimana tidak jadi terpaksa. Bayangkan saja jika kalian ada diposisi Jane, ketika ia sudah mendapat driver dari aplikasi, sebuah panggilan pemberitahuan yang mewajibkannya datang justru tiba-tiba saja membuat tujuan Jane yang hendak pulang harus berubah. Jane mengubah tujuannya dan menyuruh driver ojek yang sudah sampai didepannya itu untuk menuju perumahan tempat Jane tinggal sebelumnya. Memenuhi panggilan dari ibu rukun tetangga untuk urusan yang katanya penting itu. “Enggak papa, bu RT.” Jane mengatakannya dengan separuh hati. “Saya yang makasih, udah dikabarin kabar penting soal info listrik gratis ini. Tapi berhubung saya nggak tinggal disini lagi, jadi ya gratisannya nggak saya pake.” Penting sekali bukan? Sosialisasi listrik gratis? Hah? Kenapa Jane harus kemari walau ia sudah tidak tinggal di ling