Share

Bab 5

Mobil Diaz berhenti mendadak setelah sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya segera turun dan mengejar langkah Arum yang juga baru turun dari taksi. Ditariknya cepat lengan Arum yang berusaha membuka pagar rumah kontrakannya.

“Rum, tunggu dulu!”

“Pergi, Iaz! Kumohon!” Tanpa daya, Arum masih berusaha melepaskan cekalan Diaz. Dia lebih berusaha menahan genangan di matanya agar tak kembali meluncur. Sebelumnya, tangisnya sudah pejar saat menumpangi taksi.

“Matamu sampai merah. Aku tahu kamu kecewa. Aku minta maaf, Rum.”

Arum mendongak, sebentar lagi genangan itu akan tumpah, dan dia tidak mau menangis di depan orang yang dicintainya. Melihat tatapan Diaz yang penuh rasa iba itu justru membuatnya hatinya lebih perih.

“Rum, ini bisa diatasi. Percaya sama aku.”

Tidak, ini bukan masalah yang baru terjadi dan memiliki solusi, batin Arum. Rasa sakit di hati karena kekurangannya sudah terjadi jauh sebelun Arum mengenal Diaz. Bahkan, Diaz tidak cukup tahu tentang luka batinnya. Lalu sekarang, saat Arum tahu bahwa mama Diaz termasuk salah seorang yang pernah menciptakan luka masa lalunya, bagaimana mungkin Diaz yang akan jadi penawarnya?

Satu-dua tunas kenangan bermunculan di kepala Arum, kemudian seakan-akan cepat berdaun, berkembang, dan berkembang biak saat Arum menatap Diaz. Pria itu adalah putra Bu Andini—wali kelas Arum semasa sekolah menengah pertama di Jepara dulu, sebelum dia lari ke Jakarta.

Bu Andini bukan sosok guru yang ramah. Dia sedikit cerewet dan galak, sikapnya pun dingin terhadap para murid. Sementara kesulitan Arum membaca dan memahami pelajaran akademik, menjadi sasaran empuk kemarahannya setiap hari.

“Meski sekolah ini bukan sekolah negeri favorit, saya heran kenapa siswi seperti kamu bisa diterima di sekolah ini!” ketus Bu Andini kala Arum tidak paham-paham materi pelajaran Sejarah, sedangkan teman-temannya yang lain sudah siap menerima pelajaran selanjutnya.

“Kamu kerjaannya apa sampai nilaimu begini terus? Belajar, Arum, belajar!”

“Sa—saya belajar, Bu.” Arum berusaha membela diri, karena memang dia merasa sudah berusaha keras.

“Kalau belajar, minimal kamu dapat angka tujuh. Ini apa? Ini apa?” Bu Andini mengangkat lembar ujian bernamakan Arum Murtiningsih ke udara. Kertas-kertas itu didominasi nilai 3 tepat. Tidak lebih.

Seketika teman-teman sekelas menyoraki dengan gembira, seolah-olah Arum adalah mainan lucu yang patut ditertawakan. Bu Andini membiarkan kegaduhan itu, barangkali ingin Arum mendapatkan pelajaran dari sebuah rasa malu.

Arum memang benar-benar tidak bisa segampang anak lain dalam menerima pelajaran. Dia bukan malas belajar, bukan pula mudah menyerah. Namun, saat tawa-tawa sumbang itu menyambangi daun kupingnya, dia seakan-akan terlempar lebih dalam ke lubang gelap tanpa cahaya. Kesulitannya semakin menjadi, semakin membuatnya tertinggal.

“Kamu dua kali tidak naik kelas saat SD, mau tambah lagi di kelas sembilan ini?”

Lagi, teriakan berisik itu terdengar. Gambaran wajah-wajah teman-teman Arum tercetak jelas di kepala. Bagaimana mereka tertawa, saling tos, bahkan terkadang melempari Arum dengan bola remasan kertas manakala Bu Andini selesai berkhotbah dan keluar kelas.

Arum tersiksa. Sekuat hati dia bertahan dalam tahun-tahun paling berat dalam hidupnya. Sampai saat dia melihat kegagalannya dalam ujian nasional di lembar pengumuman, dia tidak punya lagi kekuatan untuk menahan rasa malu. Dalam langkah panjangnya pulang ke rumah, dia tak henti menangis. Sebelum mbah utinya sempat bertanya ada apa, Arum sudah mengunci diri di kamar.

“Kenapa menangis? Setiap hari kamu pulang sekolah sambil menangis. Kapan kamu akan membuat Mbah Uti ini tenang? Kalau tidak mau dihina, ya berusaha dengan baik. Jangan biarkan mereka semaunya merendahkan kamu. Mbah Uti ini juga heran sama kamu, kapan kamu belajar lebih baik? Bukannya tambah baik, malah tambah parah. Kamu ini kenapa, tho, Rum?” ucap Mbah Uti dari luar pintu kamar Arum tanpa henti.

Arum semakin memekik di balik pintu. Dia tergugu sampai-sampai bahunya berguncang. Dia benci suara Bu Andini, benci suara teman-temannya, juga suara Mbah Uti.

Malam itu, setelah memecahkan celengan tanah liatnya, Arum berjalan mengendap-endap keluar dari rumah. Dia berlari cepat meninggalkan desa hingga langkahnya terhenti di stasiun. Dia tidak punya tujuan pasti. Hanya didorong keinginan untuk meninggalkan tapak-tapak yang membuat luka, dia menaiki kereta api.

“Aku yakin Mama tidak sengaja mengucapkan itu tadi.”

Suara Diaz membawa kabur ingatan yang melintas. Baru Arum sadari, kini hidupnya kembali dihadapkan dengan guratan masa lalu. Tentu saja Arum tidak mau kembali membuka pintunya. Takdir yang telah kejam membawa Bu Andini masuk ke kehidupan barunya, bahkan sebagai calon mertuanya. Tidak, tidak. Sepertinya ungkapan calon mertua itu pun tidak akan pernah terjadi.

Di rumah Diaz tadi, suasana masih terbilang aman, sampai wanita itu muncul ke ruang tamu. Matanya membeliak begitu tahu perempuan yang akan dikenalkan sebagai calon istri putranya adalah Arum. Arum Murtiningsih si bodoh yang menjadi ikon kegaduhan kelas.

Tanpa acara perkenalan dan basa-basi, wanita yang beberapa tahun yang lalu dipindahtugaskan ke Jakarta karena mengikuti perkembangan bisnis suaminya itu, sontak menudingkan telunjuk kepada Arum. “Kamu ... tidak pantas jadi mantu saya. Mimpi apa kamu mau menikah dengan Diaz?”

Seketika itu juga kegugupan yang semula hanya merayap di badan Arum, beralih menjadi sengatan tajam dan beracun. Hatinya menggelepar jatuh dalam lubang kelam, sedalam-dalamnya. Yang bisa dilakukannya hanya berlari, sama seperti kejadian setelah pengumuman kelulusan.

“Bu Andini tidak pernah salah, Iaz. Tidak ....” Air mata Arum terjatuh lagi. “Beliau begitu mengenalku, beliau sengaja mengatakan itu karena tidak suka padaku,” ucap Arum pada akhirnya, setelah Diaz berkali-kali menggosok lembut bahunya.

“Beri aku waktu untuk bicara dengan Mama. Ya?”

“Beri aku waktu untuk sendiri saja.”

“Rum ....”

Arum sudah bisa melepas cekalan Diaz yang mengendur. Entah kenapa, tiba-tiba pria itu pun putus asa melihat Arum tak bersemangat. Arum membuka pagar rumahnya, sedangkan Diaz berlalu pergi dengan mobilnya.

Sendiri-sendiri. Mungkinkah keadaan akan menjadi lebih baik dengan berpikir sendiri-sendiri?

“Sudah pulang?” sapa Boy yang entah sejak kapan duduk di undakan teras rumah Arum.

Arum tersentak. Cepat dihapusnya sisa air mata yang masih basah di pipi. Dia sembunyikan pula jejak kemerahan matanya dengan pengalihan pandangan. Toleh ke sana-kemari, menyembunyikan hela napas berat di balik senyum yang terpaksa.

“Masih saja bisa berbohong!”

Boy melangkah mendekat, Arum semakin tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Lalu, dalam sekali rengkuhan, Arum membenamkan kepala di dada Boy.

“Boy, aku–” Kata-katanya tidak selesai. Bahu Arum berguncang hebat. Tangisnya luber membasahi kaus pria bertatoo itu.

“Aku rindu menjadi bantal tangisanmu,” kata Boy.

Tangis Arum semakin pecah. Sesungguhnya dia tidak ingin kembali berair mata. Namun, malam ini dia ingin menangis sepuasnya.

“Sayangnya aku lupa beli tissu.”

“Boy ....” Arum masih menangis, hanya saja kepalan tangannya mulai memukul dada pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status