Share

6. Kejadian Memalukan

Davina duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah, ia khawatir pria bernama Sean yang telah menyelamatkannya dari kejaran antek-antek musuhnya beberapa saat yang lalu itu mati sebab ia tak mau berhutang kepada seseorang. Apalagi orang itu merupakan orang yang baru dikenalnya.

Di tengah kegelisahannya Davina dihampiri oleh dua orang perempuan berpakaian putih yang menyerahkan kepadanya sebuah dompet dan ponsel milik Sean yang sekarang masih berada di ruang operasi.

"Miss, ini dompet dan ponsel milik tuan anda, saya pikir lebih baik dititipkan pada anda."

Davina menatap sengit wajah suster yang mengatakan kalau Sean adalah majikannya, What the hell! Sejak kapan ia beralih menjadi pembantu! Ini semua pasti gara-gara baju pelayan yang masih menempel di tubuhnya. Dalam hati Davina mengutuk habis-habisan baju yang dipakainya untuk menyamar itu.

Tapi Davina terlalu lelah untuk berdebat, akhirnya ia menerima dompet dan ponsel milik Sean tersebut tanpa bicara apa-apa, ia lalu dengan mudah mengetahui password ponsel Sean kemudian mencari nomor teman Sean yang sekiranya bisa dimintai bantuan.

"Halo, ada apa bro?" tanya suara maskulin di seberang telfon.

"Halo, aku kenalannya Sean, hanya ingin memberitahukan kalau Sean tertembak dan sekarang sedang menjalani operasi pengangkatan peluru di rumah sakit Artemis, bisakah kau ke sini?" Davina menjelaskan secara rinci soal apa yang terjadi pada Sean.

"Oke, oke, aku ke sana sekarang. Sebelum aku tiba di sana, aku harap kau jangan pergi dulu, bisakah?"

"Of course, aku akan tetap di sini sampai dia selesai operasi dan sadar," jawab Davina yang kemudian mematikan panggilannya secara sepihak karena dirasa sudah cukup.

"Ck, aku harap pria itu segera sadar supaya aku bisa pulang secepatnya dan mencopot baju pelayan yang membuatku direndahkan ini," gerutu Davina sembari menatap sebal pakaian hitam putih khas pelayan restoran yang melekat pada tubuh idealnya.

"Awas saja kau, sesampainya di apartemen, aku akan membakar mu di perapian!" ancam Davina seraya menunjuk-nunjuk bajunya sendiri seperti orang tak waras. Pengunjung rumah sakit yang lain menatapnya dengan tatapan geli, ada juga yang terang-terangan mengolok-oloknya dan Davina mengetahui itu semua sehingga dia merasa sangat kesal. Honestly, ini pengalaman paling memalukan di sepanjang sejarah hidupnya.

Davina bangkit dari kursinya, berjalan menuju meja suster yang tengah berjaga di depan ruang operasi. "Huft, kenapa proses operasinya lama sekali sih?! Apa dokternya tidak becus? Oh, c'mon! Ini cuma operasi pengangkatan peluru, seharusnya sejam juga sudah selesai!" omel Davina marah-marah. 

"Miss, sebaiknya anda bersabar dan saya mohon jangan membuat keributan di sini karena suara anda bisa mengalihkan perhatian tim medis yang tengah bekerja di dalam ruang operasi."

"Jika anda tidak sabar untuk menunggu, silahkan pulang saja dan istirahat, pasien akan aman bersama kami. Kami janji," ucap Suster yang menanggapi Davina.

Tanpa membalas ucapan suster yang menasehatinya, Davina membalikkan badan lalu pergi ke tempat semula ia menunggu Sean. Sungguh sial nasibnya hari ini, mulai dari ia salah mengira orang lain adalah ayahnya, selanjutnya di kejar-kejar oleh sekelompok orang yang ia duga merupakan antek-antek dari musuh yang ingin menculiknya lalu tanpa sengaja bertemu dan berkenalan dengan seorang pria tampan bernama Sean Nathaniel Abrisam sampai dengan menyaksikan tertembaknya pria itu saat menyelamatkannya.

Davina tak habis pikir kenapa dalam sehari saja ia sudah mendapatkan masalah sebanyak itu? Padahal niat hati hanya ingin mencari ayahnya di restoran Pizza yang tadi siang ia kunjungi bersama Olivia.

Davina kembali duduk di kursi tunggu, ia meraup wajahnya dengan kedua tangan lalu menarik tali yang mengikat rambutnya sehingga rambut panjang berwarna kecoklatan itu terurai indah, jatuh melewati bahu mungilnya. Davina mengibaskan rambutnya ke sana ke mari dengan tujuan tebar pesona, namun ia malah mendapatkan lirikan sinis dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Mereka pasti mengira kalau aku ini pelacur yang berprofesi sebagai pelayan, cih! Tidak tahu saja mereka kalau aku merupakan putri salah satu pengusaha tersukses dan terkaya di Asia," batin Davina yang kemudian  pergi ke toilet untuk mencuci mukanya supaya terlihat lebih segar.

Setibanya di toilet Davina langsung membasuh muka dan lehernya dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Setelah merasa jauh lebih segar, Davina kembali ke depan ruang operasi namun alangkah terkejutnya ia ketika sadar kalau dompet dan ponsel Sean tidak ada di kursinya. Dua barang berharga itu pasti sudah di curi.

"Bodoh! Kenapa aku tidak membawanya ketika aku pergi ke toilet!" rutuk Davina pada dirinya sendiri. Ia benar-benar lalai karena melupakan dua barang milik orang lain yang sangat penting dan berharga.

"Damn! Kalau sudah dicuri seperti ini bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?"

"Argh! Aku pasti kena semprot pemiliknya kalau sampai dia tahu aku menghilangkan dompet dan ponsel yang merupakan barang privasi nya," gerutu Davina yang setelah itu mencoba mencari tahu siapa yang telah mencuri dompet dan ponsel milik Sean.

Semua orang yang ada di koridor rumah sakit Davina periksa namun hasilnya nihil, mereka bukan pelakunya. Davina tak menyerah, ia bersikeras untuk menemukan si pencuri dompet dan ponsel milik Sean.

"Maaf, bolehkah aku memeriksa kantong mu? Aku tidak bermaksud apa-apa kok, aku hanya mencari barang ku yang hilang."

"Silahkan." Tanpa basa-basi Davina pun merogoh dan mengeluarkan isi kantong seorang pemuda yang ternyata adalah Harry, teman dekat Sean yang tadi dihubungi oleh Davina untuk datang ke rumah sakit.

"Ini dia!" teriak Davina senang setelah menemukan apa yang dia cari yaitu dompet dan ponsel milik Sean.

"Hei! Kau mencurinya ya?! Argh! Dasar pencuri! Mati kau mati kau!" Tanpa mendengarkan penjelasan dari Harry terlebih dahulu, Davina memukuli  tubuh Harry dengan brutal sampai-sampai pria itu mengeluh kesakitan.

"Aduh! Shit! Eh, kamu! Aku bukan pencuri! Aku hanya menyelamatkan dompet dan ponsel Sean yang hampir dicuri saat kamu meninggalkannya di kursi," jelas Harry yang spontan membuat Davina menghentikan pukulannya lalu menunduk malu sebab telah menuduh Harry sedangkan dia sendirilah yang telah membuat kesalahan.

"Ma-maaf, aku sudah salah paham padamu," ucap Davina sambil menggigiti kuku tangannya. 

Harry tersenyum, manis sekali sehingga kalau diibaratkan dengan makanan ia adalah madu. "No problem, aku bisa memakluminya," tuturnya dengan bahasa yang lembut, membuat Davina takut jatuh cinta kepadanya.

"Apa kau mau terus menggigiti kuku cantik mu seperti itu, Miss?"

Davina segera menurunkan tangannya dari mulutnya lalu memalingkan wajah supaya perhatiannya pun teralihkan. Tapi Davina tak bisa menolak ketampanan dan kelembutan cara bicara Harry, maka beberapa detik kemudian ia kembali menatap Harry dan mengajak pria itu mengobrol sambil menunggu Sean keluar dari ruang operasi.

"AAA! Dia pria idamanku!" jerit Davina dalam hati saat berbincang-bincang bersama Harry yang tipikal nya mudah akrab dengan siapa saja asal itu manusia. Ya iyalah, kalau setan mungkin dia akan lari ketakutan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status