Share

4. Bad Day & Bad Guys

"Kau tahu kan tujuan kita ke sini bukan hanya untuk makan?" 

"Ya aku tahu, kau sudah mengingatkan ku beberapa kali di via chat," sahut Olivia sambil memperhatikan setiap orang yang datang ke restoran Pizza terenak sekaligus termahal di kota Milan itu.

"Tapi kau belum tahu ciri-ciri ayahku, kan?" tanya Davina hendak memastikan.

Sedetik kemudian Olivia menampakkan cengiran bodohnya. "Oh iya, bagaimana aku bisa menemukan ayah mu jika aku belum mengetahui bagaimana rupanya," katanya sambil menepuk dahi.

Davina mengirimkan sebuah foto lama ayahnya yang ia dapatkan dari ibunya ke ponsel Olivia. "Foto nya sudah ku kirimkan," ucapnya.

Ting.

Bunyi notifikasi pesan muncul di layar ponsel Olivia. Gadis itu segera membuka isi pesannya dan melihat foto ayah Davina yang masih terlihat sangat muda.

"Coba perhatikan baik-baik dan perkirakan bagaimana rupanya jika umurnya sudah bertambah 21 tahun."

"Oh My God! He is your Daddy?" Olivia menutup mulutnya. Gadis itu terpesona melihat ketampanan ayah Davina sewaktu masih muda.

Davina memutar bola matanya, salah satu yang ia tidak sukai dari Olivia yaitu fokusnya sering teralihkan sehingga temannya itu tanpa sadar sudah membuang-buang waktu mereka. 

"Ya, he is my Dad, but sekarang dia tidak akan terlihat tampan seperti dia yang ada di foto itu," jawab Davina dengan suara agak keras agar Olivia sadar dari keterpesonaan yang tidak lagi wajar.

"Aku tahu, mungkin sekarang di sudah kelihatan agak tua," kata Olivia yang kemudian kembali mengabsen setiap pengunjung restoran menggunakan penglihatan tajamnya.

Davina pun melakukan hal yang sama, matanya menyelidiki setiap orang yang duduk di sekitarnya. Ada satu pria paruh baya yang Davina curigai namun pria itu duduk membelakanginya, jadi Davina tidak bisa memastikan kalau itu adalah ayahnya.

Davina menepuk bahu Olivia sehingga temannya itu menoleh ke arahnya. "Ada apa? Kau menemukan ayahmu?" tanyanya dengan muka penasaran.

"Aku mencurigai laki-laki paruh baya di pojok kanan itu, aku rasa perawakannya mirip ayahku," jawab Davina setengah berbisik.

Olivia membuka matanya lebar-lebar. "Kemungkinan kecil dia memang ayahmu, tapi kita tidak bisa menyimpulkan sebelum melihat wajahnya dengan jelas." 

"Benar juga, tapi bagaimana caranya kita bisa melihat wajahnya dari dekat?" tanya Davina sambil mencari ide.

"Kau bisa berpura-pura menjadi pelayan," usul Olivia yang membuat Davina berpikir keras. Di dalam hatinya tekad dan ego sedang bertengkar sengit.

"Ah, kau pasti gengsi, ya?" tebak Olivia yang di balas gelengan keras oleh Davina.

"Kata siapa, aku tidak gengsi," sangkal nya.

"Kalau kau memang tidak gengsi seharusnya tak perlu berpikir lama-lama untuk menerima usulanku.

"Ck! Tadi aku sedang berusaha mengalahkan egoku!" ucap Davina ketus.

"Jadi bagaimana? Kau mau menyamar jadi pelayan?" Olivia meragukan Davina yang tampak masih sedikit ragu.

"Ya aku mau, sekali-kali aku harus mencoba bereksperimen menjadi pelayan restoran Pizza, kedengarannya tidak buruk bukan?" Dengan terpaksa Davina menurunkan kadar kegengsiannya yang tinggi demi menemukan sang ayah.

"Bagus! Aku akan mengantarmu ke dapur restoran, kau akan bertukar baju dengan salah satu pelayan di sana, semangat! Semoga rencananya berhasil!"

"Ya, semoga saja," sahut Davina pasrah saat tangannya ditarik Olivia ke arah dapur restoran.

*****

"Ya ampun, kau cantik sekali dengan pakaian itu," puji Olivia yang terdengar seperti ejekan.

Davina melotot ke arah Olivia. Temannya itu terlihat sangat senang sedangkan ia merasa tertekan karena harus memakai pakaian pelayan yang sebelumnya tidak pernah ia pakai. 

"Kau sudah siap?" tanya Olivia yang di balas anggukan lemah oleh Davina.

"Tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan-lahan, kau pasti bisa!" kata Olivia memberi semangat.

"Aku akan memperhatikanmu dari meja kita tadi," lanjutnya.

"Oke," sahut Davina yang mulai sedikit gugup.

Tapi gadis itu tak mau membuang-buang waktu lagi, ia keluar dari dapur restoran lalu berjalan ke arah pria yang dicurigai sebagai ayahnya sambil membawa nampan berisi sampanye dan sepotong Pizza ukuran besar.

"Permisi, ini pesanannya sir." Davina meletakkan satu-persatu isi nampan yang di bawanya ke atas meja. Dengan sengaja ia memperlambat gerakannya agar bisa mengamati wajah pria paruh baya di hadapannya yang tengah sibuk membaca koran.

"Dia tak mirip sama sekali dengan Daddy," keluh Davina yang merasa usahanya menyamar sebagai pelayan berujung sia-sia.

"Maaf nona, kau bicara apa tadi?" tanya pria paruh baya itu sambil mengalihkan pandangannya ke arah Davina.

Davina sedikit terkejut tapi sedetik kemudian ia tersenyum ramah. "Makanan dan minuman anda siap untuk di nikmati, silahkan." Davina meniru perkataan pelayan pada umumnya.

"Ooo, terimakasih, dolce signora."

"Sama-sama," balas Davina singkat.

Saat Davina hendak kembali ke dapur segerombolan pemuda asing datang mendekatinya. "Hai, akhirnya kami menemukan mu," ucap salah satu dari mereka.

Davina mengernyitkan dahinya, merasa asing dengan pemuda-pemuda yang menghampirinya. Mata tajamnya memicing waspada. "Kami diperintahkan untuk membawamu, kau bersedia ikut kami?" tanya salah seorang lagi.

"Untuk apa aku harus ikut kalian? Kenal kalian saja aku tidak," sela Davina yang kemudian membalikkan badannya. Namun saat kakinya ingin melangkah menuju ke arah Olivia. Salah satu dari rombongan pemuda tadi mencekal lengannya.

"Don't touch me!" teriak Davina seraya menghempaskan tangan kurang ajar milik pemuda yang tak dikenalnya.

Setelah lengannya terbebas, tanpa pikir panjang Davina berlari keluar restoran, ia tak memikirkan Olivia lagi karena menurut instingnya gerombolan pemuda hanya mengincarnya.

"HEI! JANGAN LARI! KAMI TAK AKAN MENYAKITI MU!" teriak ketua gerombolan pemuda yang Davina yakini adalah para anak buah musuhnya.

"Hari ini benar-benar hari yang buruk," keluh Davina yang berlari tak kenal lelah. Gadis itu lumayan terlatih kalau soal lari, bagaimana tidak? Waktu masih duduk di bangku SMP ia sering memenangkan lomba lari antar sekolah.

"Miss D'angel, bos kami hanya ingin bertemu dengan anda!"

Tuhkan, benar dugaan Davina, mereka itu pasti para anak buah musuhnya yang ada di Roma. 

"Saya tidak mau bertemu dengan bos kalian, berhentilah mengejar saya!" teriak Davina memperingati dari jauh.

Rombongan itu malah tak menanggapi peringatan dari Davina, mereka terus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejar Davina. Davina mulai panik saat perutnya tiba-tiba sakit sedangkan rombongan pemuda itu semakin dekat dengannya.

"Ya tuhan, tolong aku," mohon Davina dengan nafas tersengal-sengal.

"Sepertinya aku kurang beruntung kali ini," ucapnya putus asa.

"Mungkin ini risiko yang harus aku hadapi karena aku bersikeras untuk mencari Daddy."

Grepp!

Davina menjerit saat sepasang tangan menarik kedua lengannya dan membawanya ke tempat gelap yang tampak seperti gedung stasiun kereta api yang sudah terbengkalai.

Selanjutnya entah apa yang terjadi. Davina pasrah dan hanya bisa berharap kalau pria yang membawanya sekarang bukan bagian dari para pengejarnya tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status