Home / Romansa / When The Lights Fade / Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

Share

Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

Author: Planets
last update Huling Na-update: 2025-03-06 20:45:14

Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan.

Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku.

Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar.

Adrian Storm.

Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya.

Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang.

Namun, ada harga yang harus dibayar.

Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani.

Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras.

Aku menatap pintu tanpa segera bergerak. Tak lama, suara Adrian terdengar dari luar.

“Buka pintunya, Elara.”

Aku menarik napas berat sebelum melangkah untuk membuka pintu.

Dia berdiri di sana, jaket kulitnya basah oleh gerimis, pandangannya menusuk tajam.

“Kau benar-benar akan melakukannya?” tanyanya langsung.

Aku bersandar di pintu, balas menatapnya. “Aku belum menandatangani apa pun.”

Adrian melirik ke arah meja di belakangku, tempat map hitam terbuka itu tergeletak. Dia menghela napas singkat, lalu masuk tanpa izin.

“Aku tahu kau menginginkan ini, Elara. Aku tahu rasanya menginginkan lebih dari sekadar menyanyi di café tiap malam. Tapi bukan ini jalannya.”

Aku menyilangkan lengan. “Lalu jalannya apa, Adrian? Menunggu keajaiban? Aku tidak punya waktu untuk itu.”

Adrian menatapku dalam-dalam. “Aku bisa membantumu.”

Aku tertawa sinis. “Bagaimana caranya? Kau bahkan tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri.”

Ekspresinya berubah. Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu yang berbeda di matanya—lebih dari sekadar kemarahan atau frustrasi. Ada luka yang lebih dalam.

Dia mendekatiku, suaranya melunak. “Setidaknya aku tidak akan menjual jiwaku untuk seseorang seperti Nathan.”

Sesuatu menegang dalam dadaku. “Kau membencinya, ya?” tanyaku pelan.

Adrian menyipitkan mata. “Kau pikir ini hanya soal aku dan dia? Elara, aku pernah berdiri persis di tempatmu sekarang. Aku pernah menghadapi janji-janji indah itu. Aku tahu bagaimana akhirnya.”

Aku terdiam sejenak, tak bisa membantahnya. “Lalu, apa tawaranmu?” tanyaku akhirnya.

Adrian menarik napas dalam sebelum menjawab. “Jalan yang lebih sulit, lebih lambat. Tapi setidaknya, jalan itu tetap milikmu.”

Aku menghela napas panjang, meraih map hitam di meja, lalu menutupnya perlahan.

“Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Adrian mengangguk singkat, lalu melangkah ke pintu. Sebelum keluar, dia menoleh lagi padaku.

“Jangan biarkan mereka mengendalikanmu, Elara.”

Kemudian dia pergi.

Aku berdiri terpaku di tengah ruangan, kontrak itu masih di genggamanku, dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa takut.

Bukan takut gagal.

Tapi takut mengambil keputusan yang salah.

Aku menatap map hitam itu untuk terakhir kalinya.

Sudah dua hari sejak kedatangan Adrian ke apartemenku, sejak kata-katanya terus berputar-putar di kepalaku seperti lagu yang tak bisa kuhentikan.

“Jangan biarkan mereka mengendalikanmu.”

Namun, apa yang lebih buruk—dikendalikan orang lain atau tak pernah maju selangkah pun?

Aku menandatangani kontrak itu pagi ini.

Kini, aku berdiri di studio rekaman terbesar di Jakarta, dikelilingi orang-orang asing: produser, teknisi, asisten—semua bergerak seperti mesin yang sudah berjalan lama sebelum kehadiranku.

Di balik kaca studio, Nathan duduk dengan ekspresi puas.

“Santai saja, Elara,” ucapnya lewat interkom. “Ini baru sesi pertama. Kita akan menemukan versi terbaik suaramu.”

Aku mengangguk pelan, menarik napas dalam sebelum memakai headphone dan berdiri di depan mikrofon.

Musik pun mulai dimainkan, melodinya langsung kukenali. Tapi ini bukan lagu ciptaanku.

Liriknya muncul di layar di depanku, dan aku mulai bernyanyi sesuai instruksi mereka.

“Aku menemukan cahaya di dalam gelap, Tapi apakah ini benar-benar milikku?”

Suaraku terdengar sempurna, namun asing bagiku.

Nathan mengangkat tangan, menghentikan rekaman.

“Coba lebih lembut di bagian chorus,” katanya. “Kami mau kesan polos, rentan.”

Aku mengerutkan kening. “Tapi menurutku lagu ini akan lebih kuat kalau dibawakan tegas.”

Nathan tersenyum. “Percayalah padaku, aku tahu apa yang terbaik untukmu.”

Aku menelan rasa protesku.

Lagu itu kunyanyikan ulang sesuai kemauan mereka.

Begitu sesi selesai, aku keluar studio sambil melepas headphone. Nathan berdiri di hadapanku dengan senyum puas.

“Bagus sekali,” pujinya. “Lagu ini akan menjadi hit pertamamu.”

Aku tersenyum samar, tapi di dalam hati ada sesuatu yang terasa tidak benar.

Bukan karena lagunya buruk.

Tapi karena untuk pertama kalinya, suara yang keluar dari mulutku tak lagi terasa seperti milikku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • When The Lights Fade   Bab 9 lagu yang penuh kesedihan

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku: “Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit kamar apartemenku yang remang, suara lalu lintas Jakarta terdengar samar di luar jendela. Aku menggenggam ponselku, mengetik pesan:“Bagaimana jika aku ingin keluar?”Pesanku hanya dibaca. Beberapa menit kemudian, Adrian membalas:“Pertanyaanmu salah. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Aku membuka kontrak di email—dokumen yang sempat kubaca dengan penuh harapan, kini terasa seperti perangkap. Satu klausul terlewat saat pertama kali kubaca:“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Lalu angka itu terpampang jelas: 5 miliar rupiah.Bibirku terasa kaku. Itu bukan jumlah yang bisa kubayar—bahkan jika aku mengorbankan seluruh hidupku. Nathan tak mengikatku dengan borgol, tapi den

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status