When The Lights Fade

When The Lights Fade

last updateLast Updated : 2025-05-06
By:  PlanetsOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
9Chapters
86views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Elara Vienne hanya ingin bernyanyi. Tapi satu tawaran dari produser ternama menyeretnya ke dunia ketenaran penuh manipulasi. Di tengah gemerlap Jakarta malam, antara janji-janji manis dan ancaman tersembunyi, Elara harus memilih: mengikuti permainan mereka, atau menghancurkan sistem yang ingin mengendalikan hidupnya. Ketika lampu sorot meredup, siapa yang akan tetap berdiri?

View More

Chapter 1

Bab 1 : Lagu Di Tengah Malam

prolog

Jakarta, larut malam.

Gemerlap lampu kota menari di balik kaca jendela tinggi, seolah menertawakan orang-orang kecil yang berusaha mengejar mimpi mereka.

Aku duduk di sudut sebuah café tua, memeluk gitar yang sudah usang, membiarkan jemariku bermain di atas senar tanpa berpikir. Di ruangan ini, hanya sedikit yang peduli dengan suara yang mengalun—sebagian besar terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Tapi aku tetap bernyanyi. Bukan untuk mereka. Bukan untuk tepuk tangan.

Aku bernyanyi karena itu satu-satunya cara bertahan.

Di luar sana, dunia berbicara tentang ketenaran seakan itu hadiah.

Mereka tidak pernah menceritakan apa yang terjadi setelah sorotan itu padam.

Tentang harga yang harus dibayar.

Tentang suara-suara yang dipaksa diam.

Tentang mimpi-mimpi yang dipelintir menjadi produk.

Aku tidak tahu malam itu akan mengubah segalanya.

Tidak tahu bahwa satu tawaran akan menarikku ke dalam perang yang tidak pernah kuinginkan.

Tidak tahu bahwa dunia yang selama ini kuimpikan, diam-diam merencanakan kehancuranku.

Semua orang ingin menjadi bintang.

Tidak ada yang memberitahu bahwa kadang, ketika akhirnya kau bersinar—itu hanya awal dari kegelapan yang lebih dalam.

Bab 1 lagu di tengah malam

Jakarta, tengah malam. Kota ini tidak pernah benar benar tidur, tapi bagi sebagian orang, malam bukan tempat untuk merayakan hidup—melainkan tempat untuk lari dari kenyataan.

Di sebuah café kecil di Kemang, cahaya temaram dari lampu gantung menciptakan bayangan di dinding bata merah. Aroma kopi pekat bercampur dengan asap rokok dari beberapa pelanggan yang tenggelam dalam obrolan mereka.

Di sudut ruangan, seorang pria berjaket kulit usang duduk dengan botol bir di tangannya, matanya kosong menatap panggung kecil.

Di atas panggung itu, aku berdiri. Mikrofon di tanganku terasa berat, tapi suara yang keluar dariku lebih berat lagi—berisi keraguan, harapan, dan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa beri nama.

"Aku bernyanyi untuk siapa?"

"Mereka bilang aku punya cahaya,

Tapi mengapa aku merasa redup?"

Suara itu meluncur, bukan karena ingin didengar, tapi karena perlu dikeluarkan.

Adrian Storm, pria di sudut itu, memejamkan matanya sejenak. Ia mengenal rasa sakit dalam suara semacam itu. Suara orang yang belum tahu apakah mereka ingin berlari atau tetap bertahan.

Saat laguku selesai, tepuk tangan terdengar. Tidak meriah, tidak heboh. Tapi cukup.

Aku turun dari panggung, mengambil segelas air dari meja bar. Saat itulah suara berat menghentikanku.

"Kau nggak seharusnya nyanyi di tempat sekecil ini."

Aku menoleh. Pria itu—Adrian—menatapku. Matanya seperti menilai, seolah-olah bisa menembus semua lapisan topeng yang berusaha kupakai.

"Maaf?" tanyaku, menjaga jarak.

Dia mengangkat botol birnya sedikit, seperti bersulang.

"Suaramu lebih besar dari café ini. Tapi kalau kau nggak hati-hati, dunia ini bisa menghancurkanmu sebelum kau tahu caranya bertahan."

Aku menatapnya curiga.

"Dan kau siapa?"

Dia tersenyum kecil. Ada ironi di dalamnya.

"Adrian Storm," katanya, seolah nama itu seharusnya berarti sesuatu.

Aku berpikir keras. Nama itu terdengar familiar, samar—seperti seseorang yang pernah berjaya tapi sudah lama tenggelam dalam berita buruk.

"Jadi, apa? Kau mau jadi manajerku?" tanyaku, setengah mengejek.

Adrian tertawa pendek. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya.

"Aku hanya bilang, berhati-hatilah. Di dunia ini, kadang yang tampak seperti peluang justru jebakan."

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, seseorang menyela.

"Elara, kan?"

Aku menoleh. Seorang pria dengan jas rapi mendekat, wajahnya penuh percaya diri.

"Aku Nathan Cross. Aku suka penampilanmu. Kita perlu bicara."

Adrian menatap Nathan dengan sorot mata gelap.

Aku berdiri di antara dua orang asing.

Satu memperingatkan.

Satu menjanjikan dunia.

Dan aku harus memilih.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
9 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status