Beranda / Romansa / When The Lights Fade / Bab 7: Lagu rahasia

Share

Bab 7: Lagu rahasia

Penulis: Planets
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 05:49:08

Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.

Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.

Tapi aku punya rencana lain.

Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.

Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.

Aku menyebutnya "Cage of Gold".

---

Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.

Dia yakin aku sudah menerima keadaan.

Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu.

"They gave me wings, but told me not to fly...

They built me a stage, but took away my voice..."

Suasana di ruangan langsung berubah. Beberapa teknisi saling bertukar pandangan ragu. Nathan masih tersenyum tipis, namun aku tahu dia mulai gelisah.

Aku melanjutkan.

"Am I free, or just a puppet on a string?

Will they love me, if I dare to cut these ties?"

Ketika bait terakhir selesai, ruangan menjadi sunyi.

Nathan akhirnya berbicara melalui interkom.

"Lagu ini..." Dia berhenti sejenak. "Liriknya terlalu ambigu. Kau yakin mau menggunakan ini?"

Aku tersenyum kecil. "Ya. Ini dari hatiku."

Nathan menatapku dalam, lalu akhirnya mengangguk pelan.

"Baiklah. Tapi kita harus pastikan produksinya tetap sesuai konsep."

Aku mengangguk tenang, berpura-pura setuju.

Nathan mungkin belum menyadarinya, tapi aku baru saja menanam bom waktu di dalam sistemnya sendiri.

Dan ketika lagu ini dirilis, aku akan memastikan dunia mendengar pesan sebenarnya dariku.

Hari perilisan lagu "Cage of Gold" akhirnya tiba.

Aku duduk di ruang ganti sebuah stasiun TV nasional, menatap pantulan diriku di cermin. Rambutku ditata sempurna, makeup-ku tanpa cela, dan gaun mahal yang kukenakan terasa asing, seolah bukan milikku sendiri.

Seorang asisten produksi berdiri di belakangku, memberi aba-aba.

“Elara, lima menit lagi naik panggung.”

Aku mengangguk pelan, menarik napas dalam.

Dari luar, mungkin aku tampak seperti seorang bintang yang siap bersinar.

Namun malam ini, aku bukan sekadar bernyanyi.

Aku akan memperlihatkan kebenaran kepada dunia.

---

Suasana di studio TV terasa tegang. Penonton duduk diam, menunggu penampilanku. Kamera telah siap, siaran langsung sebentar lagi dimulai.

Nathan duduk di sudut ruangan dengan senyum percaya diri. Ia yakin aku masih berada di bawah kendalinya, masih menjadi boneka yang ia ciptakan.

Ia salah besar.

Ketika musik mulai mengalun, aku melangkah ke tengah panggung, mikrofon di tangan. Sejenak aku menutup mata, kemudian mulai bernyanyi.

"They gave me wings, but told me not to fly...

They built me a stage, but took away my voice..."

Aku merasakan energi dalam ruangan perlahan berubah.

Nathan tampak menegang, ekspresinya berubah drastis.

Aku membuka mata, menatap langsung ke arah kamera, lalu memutuskan melakukan sesuatu yang di luar rencana siapa pun.

Aku melepas earpiece-ku, mengabaikan suara panik sutradara yang mencoba menghentikanku.

Dengan mantap, aku mengubah bait terakhir lagu itu.

"I won’t be their puppet anymore…

This is my voice, and I’ll take it back."

Studio langsung hening.

Nathan berdiri tiba-tiba, wajahnya penuh amarah. Dia sadar, semua orang sadar.

Aku baru saja menyatakan perang.

Ketika lagu selesai, suasana hening masih menyelimuti ruangan.

Hingga seorang penonton mulai bertepuk tangan.

Disusul oleh tepuk tangan berikutnya, lalu seluruh ruangan bergemuruh oleh tepuk tangan dan sorakan.

Aku berdiri di tengah panggung, mendengar dukungan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Untuk pertama kalinya sejak aku menandatangani kontrak itu, aku merasa bebas.

Namun aku sadar sepenuhnya, setelah malam ini, Nathan Cross tidak akan tinggal diam.

Dan perang ini baru saja dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • When The Lights Fade   Bab 9 lagu yang penuh kesedihan

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku: “Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit kamar apartemenku yang remang, suara lalu lintas Jakarta terdengar samar di luar jendela. Aku menggenggam ponselku, mengetik pesan:“Bagaimana jika aku ingin keluar?”Pesanku hanya dibaca. Beberapa menit kemudian, Adrian membalas:“Pertanyaanmu salah. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Aku membuka kontrak di email—dokumen yang sempat kubaca dengan penuh harapan, kini terasa seperti perangkap. Satu klausul terlewat saat pertama kali kubaca:“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Lalu angka itu terpampang jelas: 5 miliar rupiah.Bibirku terasa kaku. Itu bukan jumlah yang bisa kubayar—bahkan jika aku mengorbankan seluruh hidupku. Nathan tak mengikatku dengan borgol, tapi den

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status