Share

HATE FOR VERY FIRST SIGHT

Satu minggu sebelum berlayar, Kala memiliki jadwal untuk perform di I-net TV dalam acara musik mingguan yang dilakukan di dalam ruang studio. Penonton sudah berkumpul ketika Kala tiba bersama manajer dan krunya. Mereka langsung menuju backstage untuk bersiap perform.

Tiba saatnya Kala untuk naik ke panggung. Ia menyapa para penonton yang histeris melihatnya. Kala menyanyikan lagu pertama dan kedua dengan lancar. Tetapi saat lagu ketiga dimainkan, entah bagaimana bisa terjadi, kabel-kabel disisi panggung mengeluarkan percikan api hingga akhirnya lampu padam dan api muncul.

Kebakaran!

Kala mencoba untuk tenang, tapi kepanikan segera menguasai dirinya hingga dia tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk bergerak pun tidak bisa. Api dengan cepat menjalar di karpet panggung dan mengepung Kala yang berdiri ditengah bersama band pengiringnya.

“Kala! Apa kita akan mati sekarang?” tanya Josh panik sambil menutupi hidungnya agar tidak banyak menghirup asap.

Kala tidak kalah panik dengan Josh. Dia hanya bisa berdoa pada Tuhan yang selama ini diabaikannya agar bisa selamat. Dia belum siap mati sekarang, setidaknya sebelum melakukan perjalanan dengan kapal pesiar nanti. Aduh! Bagaimana bisa Kala masih sempat memikirkan perjalanan dengan kapal pesiar ditepi ajalnya?

Para kru dan beberapa penonton yang panik berusaha memadamkan api, tetapi tidak sedikit penonton yang berlarian keluar studio untuk menyelamatkan diri. Almi dan Reta yang hendak menuju parkiran mobil, bingung melihat kehebohan dari studio yang berada di gedung terpisah dengan gedung utama. Para penonton berteriak ‘kebakaran! Kebakaran!’ ada juga yang berteriak ‘selamatkan Kala! Tolong Kala!’.

Almi dan Reta saling berpandangan lalu berlari menuju studio. Asap sudah memenuhi ruangan bahkan hingga keluar studio. Almi menyuruh Reta menelepon pemadam kebakaran, tapi ia tidak bisa menunggu sampai mobil pemadam kebakaran datang, karena saat pemadam kebakaran datang, gedung studio pasti sudah habis terbakar. Buruknya, api akan merembet kegedung lain.

Almi mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas, membasahinya dengan facial mist yang selalu dibawanya, menutupi hidungnya dengan sapu tangan basahnya dan berlari masuk ke studio. Ia tidak menghiraukan panggilan Reta dibelakangnya. Almi meraih tabung pemadam kebakaran yang tergantung dekat pintu lalu menyemprotkannya ke arah panggung yang terbakar.

Beberapa kru yang melihat segera berlari mencari tabung pemadam kebakaran dari gedung utama, dan ada juga yang mengambil air dengan ember. Almi berusaha memadamkan api yang berkobar. Ia samar-samar mendengar suara kru yang meneriaki nama Kala.

Kala terjebak di dalam!, Almi segera menyemprot kebagian tengah, dimana ia bisa melihat Kala dan seorang lagi berdiri. Almi membuka blazernya, menyemprotnya dengan busa pemadam kebakaran dan menyeruak menembus api dengan blazer berbusanya melindungi bagian kepala.

Ditengah pekatnya api, Almi dapat melihat Kala dan temannya. Buru-buru ia menyelubungkan blazernya ke kepala Kala. Lalu dia menarik tangan Kala dan Josh untuk keluar menembus api dengan berani. Almi berhasil membawa Kala dan Josh keluar dari api dengan beberapa bagian pakaian mereka terbakar, yang langsung dipadamkan oleh pada kru. Ketiganya keluar dari studio agar bisa menghirup udara segar.

Reta langsung menghampiri Almi dan menuntunnya menuju mobil ambulan yang ternyata telah datang bersama mobil pemadam kebakaran. Sedangkan Kala dan Josh digiring ke ambulan oleh Jerry yang wajahnya pucat pasi. Ketiganya segera diberi oksigen. Reta dengan perlahan membersihkan wajah Almi yang penuh dengan asap hitam dengan tisyu basah.

“Ya ampun, Almi! Kok lo nekat banget, sih?” Reta berseru dengan suara seperti orang tercekik. “Ya ampun! Gue hampir mati rasanya!”

Kala yang sudah mulai pulih dari syoknya, mulai fokus melihat keributan di sekelilingnya. Ia melihat dua orang wanita yang satu sedang menghirup oksigen seperti dirinya, dan yang satu sedang membersihkan wajah temannya. Ia melirik pada Josh yang sepertinya masih syok karena hampir saja mati dengan cara mengenaskan.

Samar-samar Kala ingat ia dan Josh diselamatkan oleh seorang wanita, yang kemungkinan adalah wanita yang sedang menghirup oksigen itu. Kala melepas oksigennya dan menghampiri wanita tersebut dengan maksud untuk meminta maaf. Tapi wanita itu malah memelototinya dengan galak.

Almi melepas masker oksigennya dengan geram. “Harusnya lo jangan diam saja ketika api membesar! Imbecile!”

Kala terbengong mendengar omelan dan makian yang ditujukan padanya. Apa cewek ini sadar kalau tadi ia dalam keadaan panik hingga tidak bisa berbuat apa-apa? Kala membatalkan niatnya untuk berterima kasih, dan membalikkan badannya, menjauhi ambulan dengan diikuti oleh Reka yang tak kalah pasi dengan Jerry.

Are you okay, Kala?” tanya Reka sambil membuka kunci mobil otomatis.

Kala tidak menyahut. Ia masuk ke balik kemudi, meminta kunci dari Reka yang ikut duduk dikursi samping, dan segera menyalakan mesin mobil. Udara dingin dari AC segera menyejukkan tangannya yang ia baru sadari terasa perih. Mungkin sedikit terkena api tadi. Ia harus segera ke rumah sakit! Kala buru-buru menjalankan mobilnya, keluar dari pelataran parkir yang dipenuhi oleh orang-orang yang ingin tahu mengenai insiden kebakaran itu. Kalau terjadi sesuatu dengan tubuhnya, ia akan mengadukan ke polisi bahwa ini percobaan pembunuhan terhadapnya!

*

Almi meringis kesakitan saat luka bakar dibetisnya diobati oleh petugas medis. Ia melirik Reta yang meringis dan mengernyit kesakitan sambil melihat luka Almi diobati, seolah dialah yang merasakan sakit itu. Almi menggerakkan tangannya dan menutupi kedua mata Reta.

“Liat lo kayak gitu gue jadi ngerasa makin kesakitan tau!”

“Emang lo nggak kesakitan, Mi?” tanya Reta seraya menurunkan tangan Almi dari wajahnya.

“Menurut lo?”

Reta melirik wajah Almi yang mengernyit menahan sakit, lalu nyengir.

“Selesai!” petugas medis menepuk pelan kaki Almi lalu berdiri dari posisi jongkoknya saat mengobati luka Almi. “Untuk dua hari jangan dulu kena air, ya. Setelah dua hari, pergi ke dokter atau rumah sakit untuk diganti perbannya agar tidak infeksi.”

Almi mengangguk, “terima kasih.”

Petugas medis itupun berlalu. Almi merangkul pundak Reta untuk membantunya berjalan menuju mobil.

“Kurang ajar si Kala itu!” rutuk Almi saat ia dan Reta sudah berada didalam mobil. Reta mengambil alih kemudi dan melajukan mobil membelah kota Jakarta yang padat. “Udah diselamatin tapi nggak ada basa basi bilang ‘makasih’!”

“Lah, dia udah ngedatengin lo tapi malah lo katain ‘imbecile’,” sahut Reta. “Lo itu yang nggak sopan tau!”

Almi mendecakkan lidah dengan sebal. “Tapi dia memang idiot! Bukannya lari malah bengong! Kalo gue jadi dia, saat api muncul gue bakal langsung lari!”

“Tapi kalo gue jadi dia, gue pasti ngelakuin hal yang sama. Diem karena syok dan gak tau harus ngapain,” kata Reta.

Jeez... Jangan ngebelain dia deh! Mentang-mentang lo ngidolain ‘tu orang!” omel Almi. Reta malah tertawa.

“Jadi, sekarang mau langsung pulang ke apartemen lo atau kita mau makan dulu?” tanya Reta.

Almi berpikir sejenank untuk menimbang apakah saat ini ia masih memiliki selera makan mengingat kakinya terasa sakit. Tapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya.

“Kita makan. Tapi jangan ketempat yang butuh jalan jauh. Kalo bisa KFC atau McD ajalah...”

Reta mengangguk. Dia melajukan mobilnya kebilangan Panglima Polim dan belok kepelataran parkir restoran makanan Jepang cepat saji. Reta memapah Almi keluar dari mobil dan memasuki restoran. Almi duduk sementara Reta memesankan makanan pada waiter yang menghampiri meja mereka. Almi mengedarkan pandangan dan melihat sesosok orang yang ia ingat akan menjadi steak kalau saja ia terlambat menyelamatkannya beberapa waktu yang lalu, duduk beberapa meja di depannya.

Kala merasa dirinya diperhatikan dan saat ia menoleh, ia langsung mendengus kesal. Wanita menyebalkan itu duduk tak jauh dari mejanya dan sedang menatapnya dengan tatapan datar. Oh man, rasanya Kala ingin mencekik wanita itu. Selama beberapa menit kedua orang itu saling menatap dengan perasaan saling tidak suka. Sampai akhirnya Reka menoleh penasaran.

“Itu kan orang yang nyelamatin lo, Kala,” bisiknya. “Lo nggak kesana buat basa basi?”

Kala mendengus sambil mengalihkan wajahnya dari Almi dan meneruskan makannya. Perasaannya semakin buruk sejak ia berada di kantor stasiun TV. Sedangkan Almi hanya mengomel pada Reta yang memandangnya bingung.

“Lo kenapa sih?”

“Itu tuh, ada orang yang udah diselametin tapi nggak tau diri!”

Reta celingukan mencari orang yang dimaksud Almi. Dan wajahnya langsung sumringah saat melihat Kala. Kala yang menangkap ekspresi wajah Reta langsung tersenyum kaku sambil menganggukkan kepalanya.

“Kala disini, Mi! Dia senyumin gue!” Reta memekik tertahan. Kedua tangannya saling bertaut di depan dada.

Almi hanya mencibir melihat tingkah genit sahabatnya.

Almi melihat dari ujung matanya, Kala beranjak dari tempatnya dan keluar dari resto bersama wanita yang entah siapanya. Barulah Almi merasa rileks dan bisa makan dengan tenang. Almi yakin dalam hati kalau dia sama sekali tidak akan terkena kutukan Reta. Suka sama Kala? Cuih! Jangan pernah harap. Malah kalau ada, Almi bakal berdiri paling depan di barisan anti-fan Kala.

*

Dua hari berlalu sejak kejadian kebakaran itu. Reta mengantar Almi ke rumah sakit langganannya untuk mengganti perbannya. Dokter juga mengobati luka Almi agar cepat kering hingga tidak berbekas. Almi juga diberi obat penghilang sakit yang diminum jika lukanya terasa berdenyut menyakitkan.

“Kaki lo beneran udah nggak apa-apa?” tanya Reta sambil melirik betis Almi ketika mereka berjalan menuju parkiran. “Lo yakin mau fitnes sekarang?”

Almi mengangguk. “Badan gue rasanya kaku dua hari nggak olah raga!” Almi memijat-mijat bahu kirinya dengan tangan kanan.

“Dasar wonder woman!”

I am!” sahut Almi sambil mengangkat bahu. Bangga.

Almi membuktikan kondisi kakinya membaik dengan mengendarai mobilnya menuju tempat fitnes langganan mereka yang berada di dalam sebuah mall. Keduanya disambut dengan baik oleh karyawan Titanium’s Gym. Setelah berbasa basi dengan Boy, marketing yang mengajak Almi dan Reta menjadi member di gym ini, Almi dan Reta segera menuju ruang ganti wanita untuk mengganti pakaian mereka dengan pakaian olahraga.

“Mau ikut kelas apa mau alat?” tanya Boy yang menunggu di depan ruang ganti, saat Almi dan Reta muncul. “Kaki lo nggak apa-apa, Mbak? Kata Mbak Reta, lo luka gara-gara nyelametin Kala ya? Wah... Romantis banget deh!”

Almi menjulingkan matanya. “Gosipin gue ya lo berdua?”

“Bukan gosip, Mi. Gue cuma membeberkan fakta aja ke Boy. Iya kan Boy?” Reta meminta dukungan Boy biar Almi nggak menyemprotnya.

“Iya, Mbak!” Boy mengangguk semangat. “Ada romansa nggak?”

“Romansa gundulmu!” tandas Almi sambil melangkah menuju ruang alat. Reta dan Boy mengekor di belakangnya.

“Oiya!” kata Boy tiba-tiba, mendadak ingat sesuatu. “Mbak Almi kayaknya jodoh deh sama Kala!”

“Kenapa Boy?” tanya Reta penuh minat.

“Soalnya Kala juga baru dateng tadi sebelum kalian. Tuh kayaknya lagi treadmil orangnya,” sahut Boy.

Almi menghembuskan napas keras-keras dari mulutnya. Mood baiknya sepanjang hari ini rusak setelah mendengar nama disebut. Terlebih karena Kala juga berada ditempat fitnes yang sama dengannya. Oh ini kutukan! Bencana!

Tidaaaaakkkkkk!!!!

Almi masuk ke ruang alat dengan Reta dan Boy yang cekikikan di belakangnya. Dia menaruh botol minumnya di meja dekat pintu masuk dan ia bisa melihat sosok Kala sedang berlari di atas treadmil. Almi menoleh pada treadmil lain dan memaki kenapa hari ini tempat fitnes penuh banget. Treadmil yang kosong hanya berada di kanan kiri Kala. Aneh, mengingat Kala adalah lelaki yang dipuja banyak wanita, tapi justru kanan kirinya kosong. Apa karena segan berada di dekat Kala?

Reta berseru senang dan langsung berlari menuju treadmil yang berada di kiri Kala.

“Halo Kala,” sapa Reta ramah.

Kala menoleh dan memandang Reta dengan bingung. Tapi ia melontarkan senyum basa basi pada Reta. Senyumnya langsung hilang saat melihat wanita menyebalkan yang datang di belakang perempuan yang menyapanya ini dan ia ingat sekarang pada Reta yang dilihatnya distasiun tv dan juga di resto Jepang. Perempuan ini selalu bersama perempuan menyebalkan yang sedang menyetel treadmil di kanannya. Dari kaca, Kala bisa melihat lilitan perban dibetis kanan Almi.

“Lo ingat sesuatu?” tanya Almi tanpa menoleh. Kakinya terus berayun cepat mengikuti irama treadmil.

“Lo ngomong sama gue?” tanya Kala sambil menolehkan kepalanya lagi kedepan.

“Bukan. Sama orang nggak tahu malu yang udah diselamatkan tapi nggak tahu terima kasih!”

Kala menggeretakkan rahangnya menahan amarahnya yang mulai terprovokasi.

“Kalo lo ngerasa menjadi pahlawan buat gue, lo nggak usah repot-repot. Gue nggak minta lo selamatkan,” kata Kala tajam.

Kini giliran Almi yang menggeretakkan rahang. Dasar orang nggak tahu adat!!! Harusnya orang jenis begini emang nggak usah diselamatkan! Biarkan menjadi steak well done!!!

“Kalo bukan karna gue, dia pasti nggak akan berada disini buat olahraga sekarang,” Almi sengaja berkata pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Tapi lagi disiksa di alam kubur.”

Mendengarnya, kuping Kala jadi memerah dan dengan cepat dia menoleh melotot pada Almi. Almi menelengkan wajahnya kearah Kala dan menggerakkan bibirnya mengucapkan ‘apa?’.

“Lo menolong orang emang selalu pamrih, ya?” tanya Kala. Dahinya berkerut karena marah. “Ah... Lo mau minta ganti rugi buat ngobatin kaki lo, ya? Butuh berapa? Lima ratus ribu? Sejuta? Berapa? Sebutin aja nominalnya.”

Almi melongo mendengar ucapan Kala yang merendahkannya. Dengan cepat Almi menguasai dirinya dan menatap Kala tajam. Keduanya saling bertatapan penuh benci sedangkan kaki mereka terus berlari. Reta memandang dengan takjub. Setahunya Almi dan Kala baru pertama kali bertemu langsung saat insiden kebakaran itu, tapi tatapan benci keduanya seperti musuh bebuyutan yang bertemu lagi setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Hah! Lo ngerasa hebat, ya?” desis Almi dengan gigi saling menempel geram. “Kalo lo ngerasa segitu hebatnya, lo sanggup nggak lari dengan kecepatan dua puluh?”

“Lo nantangin gue?” Kala balas mendesis.

“Bukan, nantangin banci nggak tau malu,” sembur Almi.

Kala dan Almi saling bertatapan lagi. Tangan keduanya bergerak menekan tombol speed dan menambahnya hingga dua puluh. Keduanya menoleh kedepan dan berlari mengikuti irama treadmil yang luar biasa cepat.

Reta dan seluruh orang yang berada disekitar mereka menolehkan kepalanya dengan penasaran. Semua pasang mata menonton pertandingan lari treadmil itu dan penasaran siapa yang akan tumbang duluan.

*

Kala melangkahkan kaki menuju pintu rumah dengan tertatih-tatih. Otot-otot kakinya terasa kaku dan keram saat ia melangkah, otomatis Kala terlihat seperti robot yang berjalan. Kala menggeram marah sambil memutar knop pintu. Dasar cewek sialan! Brengsek! Ababil! Idiot! Berlari dengan kecepatan dua puluh selama tiga puluh menit! Cewek mana yang bisa melakukannya? Dia pasti bukan cewek beneran! Dia pasti jadi-jadian!

“AAAARRRRRRRGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHH!!!” Kala berteriak marah. Kalau saja bukan karena kakinya salah melangkah dan membuat pergelangan kakinya terkilir, dia pasti bisa berlari lebih lama. Satu jam? Dua jam? Yang pasti sampai cewek itu pingsan di tempat!

Kala membanting tas gym-nya dengan penuh kemarahan dilantai ruang tamu dan menjatuhkan dirinya disofa empuk. Bi Imas, asisten rumah tangga dirumahnya, menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa mas Kala teriak-teriak?” tanya bi Imas.

“Bibi bisa ngurut?” tanya Kala.

“Bisa mas. Kenapa?”

“Tolong urutin pergelangan kaki saya Bi.”

Bi Imas mengangguk kemudian ia tergopoh-gopoh menuju kotak P3K untuk mengambil balsam dan meraih kaki kiri majikannya yang bengkak.

“Ya ampun, mas Kala kenapa bisa terkilir begini?”

Kala meringis-ringis saat bi Imas memijat-mijat pergelangan kakinya. Sialaaannn rasanya dia pengen nendang bi Imas.

“Gara-gara perempuan gila, Bi,” jawab Kala seraya menutup wajahnya dengan bantal sofa. “Sakit Bi! Sakit!”

“Iya. Iya. Tahan ya mas...”

“AAAAAAWWWWWWWW!!!” teriakan Kala terdengar keras saat bi Imas menarik dan memutar pergelangan kakinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status