Home / Romansa / White Love / Katakan cinta bila suka

Share

White Love
White Love
Author: Yani m

Katakan cinta bila suka

Author: Yani m
last update Last Updated: 2021-06-18 10:15:35

Namaku Andini khumaira, bungsu dari empat bersaudara. Kedua kakakku telah berumah tangga dan memiliki rumah sendiri. Aku tinggal bersama Ibu dan Bapak, sedangkan kakakku yang lain menuntut ilmu di pesantren.

Sejak kecil, aku senang menghapal Al-Quran, pun pernah beberapa kali mengikuti lomba tahfiz tingkat SD mewakili sekolah. Sebenarnya aku sempat beberapa tahun sekolah di pesantren tapi terhenti di tengah jalan. Saat itu baru lulus SD dan masih sangat manja juga cengeng. Hingga akhirnya, Bapak menjemput dan membawaku pulang ke rumah. Sekarang usiaku sudah tujuh belas tahun, sekolah di Madrasah Aliyah Negeri, kelas sebelas Bahasa. 

Hiruk pikuk suasana kelas kali ini lebih ricuh dari sebelumnya. Teriakan, canda dan tawa turut mewarnai suasana kelas. Jam pelajaran kosong adalah momen yang paling kami tunggu. Bagai kuda yang terlepas dari kandangnya, kami bebas berekspresi. 

Tampak beberapa siswa ke luar kelas untuk sekedar menghirup udara segar atau jajan di kantin sekolah. Seperti biasa, aku duduk di pojok kelas sambil murajaah beberapa ayat suci Al-Qur'an hingga saat suara seorang siswa membuyarkan hapalanku. 

"Assalamualaikum." Suara beratnya terdengar begitu dekat. Aku mendongak ke atas untuk memastikan si pemilik suara. 

"Wa-alaikumsallam, " jawabku terbata.

Untuk sesaat pandangan kami saling beradu hingga membuat jantung ini berdegup kencang, mungkin jika ada pengeras suara di dalam tubuh, suara jantung ini akan nengalahkan suara riuhnya kelas. Zidan Alfarizi- siswa itu berhasil membuatku salah tingkah dan merona.

"Ada apa ya? " tanyaku mencoba setenang mungkin dan menyembunyikan wajah yang mulai memanas.

"Nggak apa-apa, cuma pengen ngobrol aja, " jawabnya dengan seulas senyum yang membuat jantungku kembali bertalu. 

Selain teman sekelas, Zidan juga teman di pelatihan tahfiz. Kami hampir setiap hari bertemu. Tetapi, jarang bertegur sapa. Ia termasuk siswa alim dan rajin. Beberapa kali terpilih mengikuti lomba tahfiz Qur'an mewakili sekolah, tapi, kali ini, entah apa yang ada di benaknya hingga mendatangiku secara tiba-tiba. 

"Ibu Naima datang! " pekik Ari- salah satu teman sekelasku.

Suasana kelas mendadak hening kembali. beberapa siswa dari luar terlihat berlarian menuju kelas dan segera duduk di bangku masing-masing, begitu pun dengan Zidan yang kembali ke tempat duduknya. Entah kenapa, aku merasa lega dan bersyukur dengan datangnya Ibu Naima. Setidaknya, itu bisa menahanku untuk tidak bertingkah konyol di depan Zidan. Kami pun kembali menjalani aktivitas belajar hingga bel jam pulang berbunyi. 

***

Setelah hari itu, aku dan Zidan menjadi sering berbincang dan lebih akrab. Ada perasaan tenang dan nyaman saat berada di dekatnya. Kami biasanya hanya membahas pelajaran sekolah atau tentang hapalan Qur'an masing-masing, diselingi candaannya yang khas, yang mampu membuatku tertawa bahkan sampai terpingkal. Ternyata, dibalik wajah alimnya, Ia juga humoris. Dia bukanlah sosok lelaki tampan seperti oppa-oppa Korea yang menjadi idola para siswi.

Ia adalah sosok kharismatik yang juga cinta Al-Qur'an. Suaranya yang merdu saat melafalkan ayat-ayat suci Al-quran, juga hapalannya yang selangkah lebih jauh dari hapalanku. Membuat hati ini luluh dan tertambat kepadanya. Rasa kagum yang perlahan berubah menjadi cinta. 

Matahari bersinar sangat terik siang itu. Jadwal ekstrakulikuler tahfiz akan dimulai beberapa jam lagi.. Aku dan beberapa siswi lainnya nenunggu di teras mesjid. Kami biasa makan bekal yang kami bawa bersama, sambil sesekali bercanda ria untuk mengusir bosan. Aku, Aisyah dan Salma adalah sahabat semenjak kelas sepuluh. Kami bagaikan saudara. Sesekali saling menginap di rumah masing-masing. Belajar bersama, saling bercerita tentang segalanya, termasuk tentang cinta. Di antara kami, hanya Aisyah yang memiliki kekasih. Kami akan saling mengingatkan jika Ada yang berbuat salah.

"Din, lihat para ikhwan sudah datang, " seru Salma bersemangat. 

Dari jauh memang sudah terlihat beberapa siswa lelaki diikuti Ustaz zaki dan Ustazah Rahma dari belakang, menuju tempat kami berkumpul. Pertanda jam pelajaran tahfiz akan segera dimulai.

Kami masuk ke dalam masjid dengan dibimbing masing-masing pengajar. Akhwat dan ikhwan memang belajar terpisah, tapi terkadang disatukan untuk beberapa kali pertemuan. Hari ini, kami belajar bersama untuk menguji hapalan beberapa siswa. Tibalah nama Zidan dipanggil Ustaz. Lelaki itu berjalan perlahan ke depan mimbar, Ustaz pembimbing menguji hafalannya hingga beberapa ayat. Zidan berhasil membuatku terpana dengan suara dan hapalannya. 

Kekagumanku semakin bertambah dari hari ke hari. Akan tetapi, hanya bisa menyimpannya di dalam hati. Berusaha bersikap senormal mungkin di depannya, menyembunyikan riak yang mulai bergemuruh di dalam hati.

"Din! Ngefans ya," goda Aisyah yang menyadari tingkahku saat menatap sosok Zidan.

"Ih ... nggak, biasa aja kali," Jawabku gugup.

"Ngefans juga nggak apa-apa, " bisiknya diiringi senyum nakal dan cubitan kecil yang mendarat di lengan kiriku. 

Salma terlihat berbisik-bisik di telinga Aisyah, diikuti senyum nakal dari keduanya saat melihat ke arahku. 

"Dasar, tukang gosip, " gumamku pelan.

Selang dua jam, akhirnya kami pun dibolehkan pulang. Aku dan Zidan sempat bertemu pandang beberapa kali. Sepertinya, lelaki itu pun menaruh rasa yang sama. Ah, kok jadi ngaco.

Hampir satu tahun aku menyimpan rasa ini. Cinta dalam diam seperti di novel-novel islami yang bikin baper pembacanya. Begitupun dengan dirinya yang hanya memperhatikanku dari jauh. Walau rasa itu ada, tidak seperti kebanyakan remaja yang tengah dimabuk cinta. Aku menahannya sebisaku. 

***

Seperti biasanya, aku menjalani aktivitas rutin di sekolah. Hari ini, tepatnya hari senin, jadwal rutin untuk berpuasa sunnah. Tapi, dua sahabatku tidak berpuasa karena datang bulan. Jam istirahat pun tiba. Salma dan Aisyah pergi ke kantin sekolah, sedangkan aku pergi ke perpustakaan untuk menghapal beberapa ayat suci Al-Qur'an. Selang beberapa menit, aku sudah sampai di perpustakaan Sekolah. Netraku nengedar ke sekeliling, terlihat buku warna warni berderet rapi di rak. Beberapa lukisan turut menghiasi dinding perpustakaan. 

Mataku tertuju pada sebuah kursi kosong yang terletak di barisan paling belakang. Aku berjalan perlahan ke arah kursi itu, sesekali memperhatikan beberapa siswa yang sedang asik membaca. Mereka begitu terhanyut dengan buku masing-masing. Ada yang tersenyum tersipu, ada juga yang membaca dengan mimik tegang dan sedih untuk mengekspresikan bacaan mereka. 

Aku duduk di kursi paling belakang dan mulai menghafal beberapa ayat suci Al-Qur'an. Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapan dan sontak membuat Jantungku serasa mau melompat. Zidan sudah terduduk tepat di depan. Ia memandangku lekat, membuat jantung ini berdegup liar. 

"Assalamualaikum ... " ucapnya pelan. 

" Waalaikumsallam .... " jawabku datar, kemudian kembali menunduk. Mengatur ritme jantung yang semakin tidak beraturan.

"Din, bolehkah aku mengenalmu lebih dekat?" tanyanya dengan mimik serius. 

"Maksudnya? " Aku balik bertanyad engan mimik datar. Sebisa mungkin menyembunyikan euforia di dalam hati. 

"Aku ingin lebih dekat dengan Dini, bukan hanya sebagai teman, " lanjutnya pasti. 

"Bukankah agama kita melarang untuk berpacaran? "

"Kita bukan berpacaran, kita ta'arufan. Sailing mengenal sesuai syariat, " jawabnya meyakinkan. Bak seorang Da'i kondang eyang meyakinkan jamaahnya. 

Aku terdiam untuk beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. Entahlah, keputusanku benar atau tidak. Yang aku tahu, saat ini aku merasa bahagia. Cinta terkadang mengalahkan logika. Begitupun dengan Zidan yang terlihat sama bahagianya.

"Makasih, Din, " ucapnya dengan seulas senyum yang melelehkan hati. Kemudian ia pun pergi meninggalkanku yang masih terpaku. 

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • White Love   Perubahan sikap Bulan

    Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu

  • White Love   Trauma Bulan

    Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari

  • White Love   Persiapan Pernikahan

    Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh

  • White Love   Permohonan Orang Tua Dina

    Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut

  • White Love   Penyesalan Dina

    Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap

  • White Love   Aksi Penyelamatan

    Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status