Share

White Love
White Love
Penulis: Yani m

Katakan cinta bila suka

Namaku Andini khumaira, bungsu dari empat bersaudara. Kedua kakakku telah berumah tangga dan memiliki rumah sendiri. Aku tinggal bersama Ibu dan Bapak, sedangkan kakakku yang lain menuntut ilmu di pesantren.

Sejak kecil, aku senang menghapal Al-Quran, pun pernah beberapa kali mengikuti lomba tahfiz tingkat SD mewakili sekolah. Sebenarnya aku sempat beberapa tahun sekolah di pesantren tapi terhenti di tengah jalan. Saat itu baru lulus SD dan masih sangat manja juga cengeng. Hingga akhirnya, Bapak menjemput dan membawaku pulang ke rumah. Sekarang usiaku sudah tujuh belas tahun, sekolah di Madrasah Aliyah Negeri, kelas sebelas Bahasa. 

Hiruk pikuk suasana kelas kali ini lebih ricuh dari sebelumnya. Teriakan, canda dan tawa turut mewarnai suasana kelas. Jam pelajaran kosong adalah momen yang paling kami tunggu. Bagai kuda yang terlepas dari kandangnya, kami bebas berekspresi. 

Tampak beberapa siswa ke luar kelas untuk sekedar menghirup udara segar atau jajan di kantin sekolah. Seperti biasa, aku duduk di pojok kelas sambil murajaah beberapa ayat suci Al-Qur'an hingga saat suara seorang siswa membuyarkan hapalanku. 

"Assalamualaikum." Suara beratnya terdengar begitu dekat. Aku mendongak ke atas untuk memastikan si pemilik suara. 

"Wa-alaikumsallam, " jawabku terbata.

Untuk sesaat pandangan kami saling beradu hingga membuat jantung ini berdegup kencang, mungkin jika ada pengeras suara di dalam tubuh, suara jantung ini akan nengalahkan suara riuhnya kelas. Zidan Alfarizi- siswa itu berhasil membuatku salah tingkah dan merona.

"Ada apa ya? " tanyaku mencoba setenang mungkin dan menyembunyikan wajah yang mulai memanas.

"Nggak apa-apa, cuma pengen ngobrol aja, " jawabnya dengan seulas senyum yang membuat jantungku kembali bertalu. 

Selain teman sekelas, Zidan juga teman di pelatihan tahfiz. Kami hampir setiap hari bertemu. Tetapi, jarang bertegur sapa. Ia termasuk siswa alim dan rajin. Beberapa kali terpilih mengikuti lomba tahfiz Qur'an mewakili sekolah, tapi, kali ini, entah apa yang ada di benaknya hingga mendatangiku secara tiba-tiba. 

"Ibu Naima datang! " pekik Ari- salah satu teman sekelasku.

Suasana kelas mendadak hening kembali. beberapa siswa dari luar terlihat berlarian menuju kelas dan segera duduk di bangku masing-masing, begitu pun dengan Zidan yang kembali ke tempat duduknya. Entah kenapa, aku merasa lega dan bersyukur dengan datangnya Ibu Naima. Setidaknya, itu bisa menahanku untuk tidak bertingkah konyol di depan Zidan. Kami pun kembali menjalani aktivitas belajar hingga bel jam pulang berbunyi. 

***

Setelah hari itu, aku dan Zidan menjadi sering berbincang dan lebih akrab. Ada perasaan tenang dan nyaman saat berada di dekatnya. Kami biasanya hanya membahas pelajaran sekolah atau tentang hapalan Qur'an masing-masing, diselingi candaannya yang khas, yang mampu membuatku tertawa bahkan sampai terpingkal. Ternyata, dibalik wajah alimnya, Ia juga humoris. Dia bukanlah sosok lelaki tampan seperti oppa-oppa Korea yang menjadi idola para siswi.

Ia adalah sosok kharismatik yang juga cinta Al-Qur'an. Suaranya yang merdu saat melafalkan ayat-ayat suci Al-quran, juga hapalannya yang selangkah lebih jauh dari hapalanku. Membuat hati ini luluh dan tertambat kepadanya. Rasa kagum yang perlahan berubah menjadi cinta. 

Matahari bersinar sangat terik siang itu. Jadwal ekstrakulikuler tahfiz akan dimulai beberapa jam lagi.. Aku dan beberapa siswi lainnya nenunggu di teras mesjid. Kami biasa makan bekal yang kami bawa bersama, sambil sesekali bercanda ria untuk mengusir bosan. Aku, Aisyah dan Salma adalah sahabat semenjak kelas sepuluh. Kami bagaikan saudara. Sesekali saling menginap di rumah masing-masing. Belajar bersama, saling bercerita tentang segalanya, termasuk tentang cinta. Di antara kami, hanya Aisyah yang memiliki kekasih. Kami akan saling mengingatkan jika Ada yang berbuat salah.

"Din, lihat para ikhwan sudah datang, " seru Salma bersemangat. 

Dari jauh memang sudah terlihat beberapa siswa lelaki diikuti Ustaz zaki dan Ustazah Rahma dari belakang, menuju tempat kami berkumpul. Pertanda jam pelajaran tahfiz akan segera dimulai.

Kami masuk ke dalam masjid dengan dibimbing masing-masing pengajar. Akhwat dan ikhwan memang belajar terpisah, tapi terkadang disatukan untuk beberapa kali pertemuan. Hari ini, kami belajar bersama untuk menguji hapalan beberapa siswa. Tibalah nama Zidan dipanggil Ustaz. Lelaki itu berjalan perlahan ke depan mimbar, Ustaz pembimbing menguji hafalannya hingga beberapa ayat. Zidan berhasil membuatku terpana dengan suara dan hapalannya. 

Kekagumanku semakin bertambah dari hari ke hari. Akan tetapi, hanya bisa menyimpannya di dalam hati. Berusaha bersikap senormal mungkin di depannya, menyembunyikan riak yang mulai bergemuruh di dalam hati.

"Din! Ngefans ya," goda Aisyah yang menyadari tingkahku saat menatap sosok Zidan.

"Ih ... nggak, biasa aja kali," Jawabku gugup.

"Ngefans juga nggak apa-apa, " bisiknya diiringi senyum nakal dan cubitan kecil yang mendarat di lengan kiriku. 

Salma terlihat berbisik-bisik di telinga Aisyah, diikuti senyum nakal dari keduanya saat melihat ke arahku. 

"Dasar, tukang gosip, " gumamku pelan.

Selang dua jam, akhirnya kami pun dibolehkan pulang. Aku dan Zidan sempat bertemu pandang beberapa kali. Sepertinya, lelaki itu pun menaruh rasa yang sama. Ah, kok jadi ngaco.

Hampir satu tahun aku menyimpan rasa ini. Cinta dalam diam seperti di novel-novel islami yang bikin baper pembacanya. Begitupun dengan dirinya yang hanya memperhatikanku dari jauh. Walau rasa itu ada, tidak seperti kebanyakan remaja yang tengah dimabuk cinta. Aku menahannya sebisaku. 

***

Seperti biasanya, aku menjalani aktivitas rutin di sekolah. Hari ini, tepatnya hari senin, jadwal rutin untuk berpuasa sunnah. Tapi, dua sahabatku tidak berpuasa karena datang bulan. Jam istirahat pun tiba. Salma dan Aisyah pergi ke kantin sekolah, sedangkan aku pergi ke perpustakaan untuk menghapal beberapa ayat suci Al-Qur'an. Selang beberapa menit, aku sudah sampai di perpustakaan Sekolah. Netraku nengedar ke sekeliling, terlihat buku warna warni berderet rapi di rak. Beberapa lukisan turut menghiasi dinding perpustakaan. 

Mataku tertuju pada sebuah kursi kosong yang terletak di barisan paling belakang. Aku berjalan perlahan ke arah kursi itu, sesekali memperhatikan beberapa siswa yang sedang asik membaca. Mereka begitu terhanyut dengan buku masing-masing. Ada yang tersenyum tersipu, ada juga yang membaca dengan mimik tegang dan sedih untuk mengekspresikan bacaan mereka. 

Aku duduk di kursi paling belakang dan mulai menghafal beberapa ayat suci Al-Qur'an. Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapan dan sontak membuat Jantungku serasa mau melompat. Zidan sudah terduduk tepat di depan. Ia memandangku lekat, membuat jantung ini berdegup liar. 

"Assalamualaikum ... " ucapnya pelan. 

" Waalaikumsallam .... " jawabku datar, kemudian kembali menunduk. Mengatur ritme jantung yang semakin tidak beraturan.

"Din, bolehkah aku mengenalmu lebih dekat?" tanyanya dengan mimik serius. 

"Maksudnya? " Aku balik bertanyad engan mimik datar. Sebisa mungkin menyembunyikan euforia di dalam hati. 

"Aku ingin lebih dekat dengan Dini, bukan hanya sebagai teman, " lanjutnya pasti. 

"Bukankah agama kita melarang untuk berpacaran? "

"Kita bukan berpacaran, kita ta'arufan. Sailing mengenal sesuai syariat, " jawabnya meyakinkan. Bak seorang Da'i kondang eyang meyakinkan jamaahnya. 

Aku terdiam untuk beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. Entahlah, keputusanku benar atau tidak. Yang aku tahu, saat ini aku merasa bahagia. Cinta terkadang mengalahkan logika. Begitupun dengan Zidan yang terlihat sama bahagianya.

"Makasih, Din, " ucapnya dengan seulas senyum yang melelehkan hati. Kemudian ia pun pergi meninggalkanku yang masih terpaku. 

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status