Share

Cemburu Tandanya Sayang

Rembulan menggantung anggun di cakrawala, bertahtakan gumintang yang berkelip. Suara-suara binatang malam mulai terdengar bersahutan pun dengan udara yang terasa semakin dingin. 

Namun, mata ini tidak hendak terpejam, kejadian tadi siang sedikit mengganggu pikiranku. Antara bahagia, cemas, takut dan ragu. Akhirnya bantal dan guling menjadi sasaran kegelisahanku. Berserak di atas lantai kamar, berdampingan dengan beberapa buku yang belum kubereskan. 

Aku memang agak pemalas kalau urusan rumah, terbiasa dimanjakan Ibu dari kecil membuatku menjadi seorang gadis yang tidak pandai berbenah rumah, mungkin karena terlahir sebagai anak bungsu.

Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika sebuah pesan whattsap masuk ke layar gawai.Terlihat nama Zidan di layar, dada ini kembali berdegup kencang saat membuka pesannya. 

[Assalamualaikum, sudah tidur, Din? Jangan lupa shalat tahajud ya. ]

Sebuah pesan yang diakhiri emotion berbentuk hati di belakangnya membuatku tersipu malu. Geli rasanya mendapat pesan seperti itu dari seorang lelaki.

[Waalaikumsallam, Iya. ] Pesan balasanpun berhasil kukirim tanpa menambahkan emotion apapun di belakangnya. 

Aku tetap berusaha menjaga harga diriku sebagai wanita untuk tidak mengobral rayuan, terlebih terhadap lawan jenis yang bukan mahrom. Entah sampai jam berapa saling berkirim pesan hingga tertidur pulas tanpa disadari. 

***

Mentari pagi menerobos celah jendela kamar. Membelai hangat tubuh yang membeku semalaman. Terdengar samar-samar suara Ibu memanggil namaku. Kian lama, suara itu semakin jelas terdengar hingga memekakkan telinga. 

"Dini! Dini! " pekik Ibu dari balik pintu kamar. 

Ternyata suara itu nyata adanya, disertai guncangan hebat dari balik pintu. Aku bergegas turun dari peraduan dan perlahan membuka pintu.

"Udah siang, Dini, cepetan mandi! Ntar telat ke sekolah, " seru Ibu tegas. 

"Aduh, jam berapa ini? Kenapa Ibu nggak bangunin dari tadi."

"Hadeh, ini anak, makanya habis shalat subuh itu jangan tidur lagi. "

Aku bergegas mandi dan bersiap untuk ke sekolah. Setengah berlari menuju depan jalan sambil makan sepotong roti isi selai. Untunglah angkutan umum yang kutunggu, tiba tepat waktu. 

Dari kejauhan tampak pintu gerbang sekolah sedang ditutup oleh Penjaga sekolah. 

"Tunggu, Pak!" pekikku lantang sembari berlari sekuat tenaga. 

"Cepetan, Neng," ucap Pak Amin-petugas penjaga sekolah. 

Aku dan beberapa siswa yang terlambat berbaris di lapangan basket. Hukuman membersihkan toilet pun tidak bisa dihindari lagi. Aku berjalan malas menuju tempat hukuman. Di sana sudah berdiri seorang siswa dengan ember dan alat pelnya.

"Maaf, kak boleh pinjam pelannya? " tanyaku sopan. 

Siswa laki-laki yang ternyata adalah kakak kelas itu hanya memandangku datar, kemudian menyerahkan sebuah alat pel lainnya yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri kepadaku.

"Makasih, Kak, " ucapku dengan seulas senyum. Ia hanya mengangguk tanpa ekspresi. Kami pun menjalankan tugas masing-masing hingga jam pelajaran berikutnya dimulai. 

Di dalam kelas, Zidan terlihat melambaikan tangan ke arahku diiringi lirikkan nakal dari kedua sahabatku.

"Kok bisa telat, Din? " tanya Salma yang juga teman sebangkuku.

"Nggak apa-apa, telat bangun aja, " jawabku datar sembari mengeluarkan beberapa buku tulis dari dalam tas.

"Hmm, pasti chatting sampe larut malam, " tebaknya sembari melirik ke arah Zidan. 

"Sttt! " seruku sambil menempelkan jari telunjuk di atas bibir. 

***

Bel jam istirahat pun berbunyi. Aku tengah asik menyantap makanan di kantin bersama kedua sahabat dan Zidan, ketika seorang siswa laki-laki datang dan menghampiri kami.

"Ini buat kamu, Din," ucapnya sembari menyodorkan sebotol minuman dingin ke arahku.

Aku terpaku untuk beberapa saat, netraku memindai sosoknya. Tanpa terasa mulut ini mengeja sebuah nama yang tertulis di baju seragam yang ia kenakan.

"Fir-man, " gumamku nyaris tidak terdengar. 

"Makan yang banyak, ya, " ucapnya dengan seulas senyum yang terlempar ke arahku, kemudian pergi bersama teman-temannya. 

Di sudut lain, Zidan terlihat menatapku dengan ekspresi kesal, ia bangkit dari duduknya kemudian pergi tanpa sepatah kata pun. 'Apa salahku? ' pikir Di dalam hati yang kesal melihat tingkah Zidan. 

"Cie Dini," ucap Salma berusaha menggodaku. 

"Ternyata teman kita ini punya banyak penggemar, " ucap Aisyah terkekeh. 

" Hadeh, apaan sih kalian. "

Sebuah notif pesan whattsap terlihat Di layar gawai, sebuah pesan dari Zidan. Aku pun pergi meninggalkan kantin sekolah. 

[ Pulang sekolah, aku tunggu di belakang sekolah] sebuah pesan singkat yang berhasil membuat hatiku resah. 

***

Area sekolah tampak lengang dan sepi, hanya tampak beberapa siswa yang sedang menunggu jam ekstrakulikuler berkumpul di beberapa titik. Aku berjalan malas menuju taman belakang sekolah, terlihat dari jauh, Zidan tengah duduk di bangku taman dekat pohon beringin. Tempat pavorit kami saat bersua di sela-sela aktifitas sekolah yang padat. Pohonnya yang rindang, serta semilir angin yang sesekali menerpa wajah, membuatku betah berlama-lama di sana. 

Sambil murajaah bersama dan saling membetulkan jika ada bacaan yang salah. Akan tetapi, kali ini kita bertemu bukan untuk melepas rindu ataupun murajaah bersama.  Aku seperti terdakwa yang akan di dakwa oleh sang Jaksa.

"Assalamualaikum, " sapaku pelan. 

"Waalaikumsallam," jawabnya datar. Masih terlihat jelas jejak kekesalan di raut wajahnya.

"Bisa dijelaskan, apa yang terjadi tadi sing? " tanyanya penuh selidik. 

Aku menghirup nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. 

" Jadi itu sebabnya kamu marah? Aku juga nggak ngerti, tiba-tiba Kak Firman ngasih minuman. Padahal aku baru ketemu tadi pagi, pas dapet hukuman, " ucapku menjelaskan.

"Bahkan kamu sudah tahu namanya. "

"Astagfirullahaladzim, aku baca papan namanya tadi di kantin. "

Zidan hanya diam dan menatapku lekat, seolah ingin memastikan kebenaran yang tersirat di manik.

"Kamu cemburu? " tanyaku lagi. 

"Bukankah kita tidak berpacaran, kita hanya ta'arufan tapi tidak untuk saling mengekang. Kita tidak tahu siapa jodoh kita nanti. Klo kita memang berjodoh, pasti akan bersatu pada akhirnya, " tuturku tenang.

Zidan masih terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Aku memilih untuk pergi meninggalkannya setelah hampir satu jam hanya diam membisu. 

***

Hampir satu minggu aku dan Zidan tidak bertegur sapa. Sikapnya yang mudah marah membuatku ragu akan dirinya. Mungkin, Ia benar-benar marah kepadaku. Hati ini gusar sepanjang malam. Berulang kali membuka gawai, tapi tetap tak ada satu pun pesan darinya. 

Aku mencoba untuk kurajaah beberapa ayat untuk menghilangkan kegelisahan. Tapi, nihil, tidak satu ayat pun yang berhasil masuk ke dalam otak. Tepat pukul sebelas malam, terdengar notif pesan dari gawai. Aku bergegas membukanya, terlihat pesan dari Zidan di layar. 

[ Assalamualaikum, maaf baru menghubungimu lagi, aku sudah tidak marah atau pun kesal lagi dengan kejadian tempo hari. Aku hanya ingin memintamu agar kita saling menjaga perasaan. ]

Seperti biasa, pesannya diakhiri emotion bergambar hati. Rasanya lega setelah sekian hari, ada yang mengganjal di dalam sini.

Aku pun melanjutkan tidur sambil tersenyum. Apakah Cinta serumit itu? Menjaga perasaan pasangan adalah hal yang paling sulit di usia kami. Banyak pasangan yang berakhir hanya karena cemburu. Bukankah cemburu itu tandanya sayang? Bagaimana jika rasa cemburu itu malah membuat kita tersiksa? Ah, Sudahlah, Cinta sejati pasti akan menemukan jalannya.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status