Sebuah pesan yang diakhiri emotion berbentuk hati di belakangnya membuatku tersipu malu. Geli rasanya mendapat pesan seperti itu dari seorang lelaki.
[Waalaikumsallam, Iya. ] Pesan balasanpun berhasil kukirim tanpa menambahkan emotion apapun di belakangnya. Aku tetap berusaha menjaga harga diriku sebagai wanita untuk tidak mengobral rayuan, terlebih terhadap lawan jenis yang bukan mahrom. Entah sampai jam berapa saling berkirim pesan hingga tertidur pulas tanpa disadari. ***Mentari pagi menerobos celah jendela kamar. Membelai hangat tubuh yang membeku semalaman. Terdengar samar-samar suara Ibu memanggil namaku. Kian lama, suara itu semakin jelas terdengar hingga memekakkan telinga. "Dini! Dini! " pekik Ibu dari balik pintu kamar. Ternyata suara itu nyata adanya, disertai guncangan hebat dari balik pintu. Aku bergegas turun dari peraduan dan perlahan membuka pintu."Udah siang, Dini, cepetan mandi! Ntar telat ke sekolah, " seru Ibu tegas. "Aduh, jam berapa ini? Kenapa Ibu nggak bangunin dari tadi.""Hadeh, ini anak, makanya habis shalat subuh itu jangan tidur lagi. "Aku bergegas mandi dan bersiap untuk ke sekolah. Setengah berlari menuju depan jalan sambil makan sepotong roti isi selai. Untunglah angkutan umum yang kutunggu, tiba tepat waktu. Dari kejauhan tampak pintu gerbang sekolah sedang ditutup oleh Penjaga sekolah. "Tunggu, Pak!" pekikku lantang sembari berlari sekuat tenaga. "Cepetan, Neng," ucap Pak Amin-petugas penjaga sekolah. Aku dan beberapa siswa yang terlambat berbaris di lapangan basket. Hukuman membersihkan toilet pun tidak bisa dihindari lagi. Aku berjalan malas menuju tempat hukuman. Di sana sudah berdiri seorang siswa dengan ember dan alat pelnya."Maaf, kak boleh pinjam pelannya? " tanyaku sopan. Siswa laki-laki yang ternyata adalah kakak kelas itu hanya memandangku datar, kemudian menyerahkan sebuah alat pel lainnya yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri kepadaku."Makasih, Kak, " ucapku dengan seulas senyum. Ia hanya mengangguk tanpa ekspresi. Kami pun menjalankan tugas masing-masing hingga jam pelajaran berikutnya dimulai. Di dalam kelas, Zidan terlihat melambaikan tangan ke arahku diiringi lirikkan nakal dari kedua sahabatku."Kok bisa telat, Din? " tanya Salma yang juga teman sebangkuku."Nggak apa-apa, telat bangun aja, " jawabku datar sembari mengeluarkan beberapa buku tulis dari dalam tas."Hmm, pasti chatting sampe larut malam, " tebaknya sembari melirik ke arah Zidan. "Sttt! " seruku sambil menempelkan jari telunjuk di atas bibir.***
Bel jam istirahat pun berbunyi. Aku tengah asik menyantap makanan di kantin bersama kedua sahabat dan Zidan, ketika seorang siswa laki-laki datang dan menghampiri kami."Ini buat kamu, Din," ucapnya sembari menyodorkan sebotol minuman dingin ke arahku.Aku terpaku untuk beberapa saat, netraku memindai sosoknya. Tanpa terasa mulut ini mengeja sebuah nama yang tertulis di baju seragam yang ia kenakan."Fir-man, " gumamku nyaris tidak terdengar. "Makan yang banyak, ya, " ucapnya dengan seulas senyum yang terlempar ke arahku, kemudian pergi bersama teman-temannya. Di sudut lain, Zidan terlihat menatapku dengan ekspresi kesal, ia bangkit dari duduknya kemudian pergi tanpa sepatah kata pun. 'Apa salahku? ' pikir Di dalam hati yang kesal melihat tingkah Zidan. "Cie Dini," ucap Salma berusaha menggodaku. "Ternyata teman kita ini punya banyak penggemar, " ucap Aisyah terkekeh. " Hadeh, apaan sih kalian. "Sebuah notif pesan whattsap terlihat Di layar gawai, sebuah pesan dari Zidan. Aku pun pergi meninggalkan kantin sekolah. [ Pulang sekolah, aku tunggu di belakang sekolah] sebuah pesan singkat yang berhasil membuat hatiku resah. ***Area sekolah tampak lengang dan sepi, hanya tampak beberapa siswa yang sedang menunggu jam ekstrakulikuler berkumpul di beberapa titik. Aku berjalan malas menuju taman belakang sekolah, terlihat dari jauh, Zidan tengah duduk di bangku taman dekat pohon beringin. Tempat pavorit kami saat bersua di sela-sela aktifitas sekolah yang padat. Pohonnya yang rindang, serta semilir angin yang sesekali menerpa wajah, membuatku betah berlama-lama di sana. Sambil murajaah bersama dan saling membetulkan jika ada bacaan yang salah. Akan tetapi, kali ini kita bertemu bukan untuk melepas rindu ataupun murajaah bersama. Aku seperti terdakwa yang akan di dakwa oleh sang Jaksa."Assalamualaikum, " sapaku pelan. "Waalaikumsallam," jawabnya datar. Masih terlihat jelas jejak kekesalan di raut wajahnya."Bisa dijelaskan, apa yang terjadi tadi sing? " tanyanya penuh selidik. Aku menghirup nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. " Jadi itu sebabnya kamu marah? Aku juga nggak ngerti, tiba-tiba Kak Firman ngasih minuman. Padahal aku baru ketemu tadi pagi, pas dapet hukuman, " ucapku menjelaskan."Bahkan kamu sudah tahu namanya. ""Astagfirullahaladzim, aku baca papan namanya tadi di kantin. "Zidan hanya diam dan menatapku lekat, seolah ingin memastikan kebenaran yang tersirat di manik."Kamu cemburu? " tanyaku lagi. "Bukankah kita tidak berpacaran, kita hanya ta'arufan tapi tidak untuk saling mengekang. Kita tidak tahu siapa jodoh kita nanti. Klo kita memang berjodoh, pasti akan bersatu pada akhirnya, " tuturku tenang.Zidan masih terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Aku memilih untuk pergi meninggalkannya setelah hampir satu jam hanya diam membisu.***
Hampir satu minggu aku dan Zidan tidak bertegur sapa. Sikapnya yang mudah marah membuatku ragu akan dirinya. Mungkin, Ia benar-benar marah kepadaku. Hati ini gusar sepanjang malam. Berulang kali membuka gawai, tapi tetap tak ada satu pun pesan darinya. Aku mencoba untuk kurajaah beberapa ayat untuk menghilangkan kegelisahan. Tapi, nihil, tidak satu ayat pun yang berhasil masuk ke dalam otak. Tepat pukul sebelas malam, terdengar notif pesan dari gawai. Aku bergegas membukanya, terlihat pesan dari Zidan di layar. [ Assalamualaikum, maaf baru menghubungimu lagi, aku sudah tidak marah atau pun kesal lagi dengan kejadian tempo hari. Aku hanya ingin memintamu agar kita saling menjaga perasaan. ]Seperti biasa, pesannya diakhiri emotion bergambar hati. Rasanya lega setelah sekian hari, ada yang mengganjal di dalam sini.
Aku pun melanjutkan tidur sambil tersenyum. Apakah Cinta serumit itu? Menjaga perasaan pasangan adalah hal yang paling sulit di usia kami. Banyak pasangan yang berakhir hanya karena cemburu. Bukankah cemburu itu tandanya sayang? Bagaimana jika rasa cemburu itu malah membuat kita tersiksa? Ah, Sudahlah, Cinta sejati pasti akan menemukan jalannya.***
Bersambung
Libur telah tiba, libur telah tiba, hore! Hore!Begitulah aku bersenandung kala libur sekolah di depan mata. Liburan kali ini, tidak ada acara khusus dengan keluarga. Aku memutuskan berlibur dengan sahabatku di rumah Nenek Salma. Aku pamit hanya untuk dua malam di sana."Kamu yakin mau berlibur di sana? " tanya Ibu dengan mimik sedih."Iya, Bu, cuma dua malam kok, hari Rabu juga pulang. ""Huhh, Ibu di sini nggak ada teman, " ucap Ibu sembari menghela nafas panjang."Kan ada Jelly, he .... ""Jelly kan kucing, Neng, masa Ibu tidur sama kucing. "Kami pun terkekeh bersama. Lucu rasanya membayangkan Ibu tidur dan mengobrol dengan seekor kucing. Tapi, itu kan cuma sebentar, toh aku juga bakal pulang ke rumah.Ibu kembali membereskan barang-barang yang akan kubawa. Kemudian, aku pun pergi ke kamar untuk mengambil gawai dan benarlah dugaanku. Ada banyak pa
Kabar tentang jalan menuju kota yang rusak parah akibat longsor ternyata benar adanya. Kami terpaksa harus menginap beberapa hari lagi di sini. Aku bergegas memberi kabar kepada Ibu tentang kepulanganku yang terlambat. Begitupun dengan Aisyah dan Zidan yang terlihat menghubungi keluarga mereka. Tidak terbayang, betapa cemasnya Ibu jika aku tidak mengabarinya."Jalannya sedang diperbaiki tapi butuh beberapa hari," ucap Kakek yang baru pulang dari balai Desa.Pria tua itu duduk di teras rumah dan bersandar pada dinding kayu berwarna cokelat. Mengepulkan asap rokok yang membumbung ke udara. Netranya menerawang ke atas, seperti sedang mengingat sesuatu."Kakek baru ingat, tadi ketemu sama Abah Ustaz," ucapnya yakin."Kalian bersedia mengajar anak-anak di surau?" tanya Kakek setelah menyeruput secangkir kopi pahit."Memangnya kemana ustazah Siti?" tanya Nenek sembari menyodorkan sepiring pisang goreng kepada Kakek."
Libur telah usai, menyisakan asam, manis dan pahitnya kenangan. Aku menjalani aktivitas seperti biasanya, pun dengan Zidan. Ia bersikap lebih sopan dan berhati-hati ketika bersamaku.Kompetisi hafiz Qur'an tingkat Provinsi akan segera di mulai. Semua sekolah dan pesantren tengah sibuk mempersiapkan kandidatnya. Begitu pun dengan sekolahku. Hampir setiap hari aku dan siswa tahfiz lainnya diwajibkan menambah hapalan. Ustazah pembimbing akan mendengarkan setoran hapalan kami satu per satu di pagi hari dan selepas pulang sekolah.Aku menunggu giliran untuk setor hapalan. Di tempat lain, kulihat Zidan pun sedang menunggu giliran. Hati ini serasa damai dan sejuk saat mendengar lantunan ayat suci di setiap penjuru."Dini!"Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya giliranku untuk setor hapalan."Bismillahirohmanirohiim," gumamku pelan.Selang beberapa menit setelah merampungkan setoran. Aku merasakan nyeri di dalam per
"Kak, ayo makan dulu! " ajakku lembut kepada sosok wanita yang tengah termenung di bawah jendela. Jarang sekali melihat Kak Rianti makan, akhir-akhir ini. Tubuhnya tampak semakin kurus dan tidak terurus."Nanti saja, " jawab Kak Rianti datar."Kakak harus makan agar kuat menghadapi kenyataan. Karena sakit hati itu butuh tenaga, " godaku sedikit berkelakar."Iya, kamu bener, " jawabnya sambil terkekeh.Kak Rianti pun makan dengan lahap, seperti buronan yang tidak makan selama tiga hari. Namun, manik hitamnya tidak bisa menyembunyikan luka, terlihat sayu dan berembun. Ia tertawa, tapi aku tahu betul kalau hatinya menangis. Raut muka yang dahulu cantik berseri. Kini kusam dan murung. Semangat hidupnya seolah sirna bersama pengkhianatan Kak Rangga. Badannya mulai kurus dengan mata hitam dan cekung.Ya Rabb, aku tidak tega melihat Kak Rianti seperti itu, aku hanya bisa mendoakannya di dalam hati. Tidak bisa mengobati luka di hati
Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah, tampak beberapa tetangga tengah berkerumun sambil berbisik-bisik. Teriakan Kak Rianti terdengar nyaring hingga ke pekarangan rumah. Aku menubruk kerumunan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah."Pergi! " pekik Kak Rianti sembari melemparkan beberapa bantal sofa ke arah Kak Rangga."Istigfar, Ran. Inget anak-anakmu, " ucap Ibu sembari memeluk Kak Rianti."Maafin aku, tapi Alif akan kubawa, " ucap lelaki berbaju hitam itu sembari menoleh ke arah Alif."Jangan! Jangan bawa anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya, merawat mereka sampai sekarang, " tukas Kak Rianti diiringi tangisan pilu."Maaf, Ibu-ibu, tolong jangan ngumpul di sini. Kasian Kak Rianti, " pintaku kepada kerumunan orang di depan rumah sambil mengatupkan kedua tangan.Mereka pun pergi bersamaan. Masih terdengar suara gunjingan mereka ke telingaku. Mengabaikannya adalah pili
"Apa maksudmu? Kalian pacaran? " tanya Bapak dengan ekspresi marah. Bapak terlihat sedikit emosi. Rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku baru pertama kali melihat Bapak marah kepada orang yang baru dikenalnya. Beliau memang sosok yang protektif dan tegas. Namun ramah dan penyayang. "Bukan begitu, Pak. Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, " jawabku agak cemas. "Jika Allah mengizinkan dan Bapak menerima. Saya ingin mengkhitbah Dini, Pak, " ucap Zidan sambil menatap Bapak lekat. 'Apa? Mengkhitbah? Ini semua di luar rencana. Aku belum siap menikah, Zi,' bisikku di dalam hati sambil menatap ke arah Zidan dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi kalian kan masih sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Dipikir dulu baik-baik, " ucap Ibu tenang. Bapak terlihat bingung, ia menyeruput kopi hitamnya beberapa kali. "Iya, Bu. Maksudnya, saya akan
Ujian akhir sekolah sudah di depan mata. Aku dan Zidan lebih sibuk belajar dan hanya sesekali bersua. Bel jam istirahat terdengar nyaring dari speaker kelas. Hampir semua siswa ke luar kelas untuk melepas penat. Sebagian pergi ke kantin sekolah sebagiannya lagi pergi dengan urusan mereka masing-masing."Din, ayo ke kantin! " ajak Salma yang sudah berdiri di samping mejaku bersama Aisyah."Duluan aja, aku mau ke belakang dulu. ""Oh ... Ehm, ehm, " goda Salma seraya menoleh ke arah Zidan."Ehm, ehm juga, " ucapku mengulum senyum.Zidan pergi ke luar kelas terlebih dahulu. Aku menyusulnya dari belakang sambil menunduk. Sebenarnya, agak malu juga terlalu sering bersama di jam istirahat."Aduh! " pekikku spontan saat tubuh ringkih ini menumbruk benda empuk di depanku."Hati-hati dong, " ucap Zidan mengernyitkan dahi."Ih ... Kenapa juga kamu berhenti ngedadak? Kan jadi tab
Zidan mengantarku dengan selamat sampai ke rumah. Kemudian pamit pulang setelah menyapa Bapak yang sedang duduk di depan teras."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, acaranya lancar, Neng?" tanya Bapak penuh selidik."Allhamdulillah, Pak. Uminya Zidan baik banget," jawabku dengan seulas senyum."Allhamdulillah.""Dini masuk dulu ya, Pak, " ujarku diikuti anggukkan dari Bapak.Aku melangkah malas menuju ke dalam kamar. Dari jauh,terdengar tangisan Alif yang memekakkan telinga. Aku bergegas mencari sumber suara, tampak Ibu sedang sibuk menenangkan Alif sambil bershalawat."Alif kenapa, Bu? " tanyaku seraya mendekat ke tempat Ibu berdiri."Kangen sama Mamahnya, dari siang nanyain Rianti terus, " jawab Ibu sedih.Beliau terlihat lelah nenggendong Alif. Keringat mulai mengucur dari dahi dan pelipisnya, padahal udara sudah mulai dingin. Tubuh renta itu terlihat semakin ringkih. Ibu beber