“Coba ulang sekali lagi!” Ucap Vanessa. Dia terdiam beberapa saat. Dia harus memastikan kata-kata Dirga sekali lagi.
“Aku tidak mencintaimu.” Ucap Dirga sambil memperlihatkan muka datar.
“Apa aku tidak salah dengar?” Tanya Vanessa kembali.
“Jika pendengaranmu masih sehat dan tidak sakit seperti ingatanmu, maka yang kamu dengar semuanya adalah benar.” Kata Dirga.
“Cowo Gila!” Kata Vanessa.
Dirga terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut Vanessa.
“Tunggu apa yang kamu bilang?” Tanya Dirga.
“Cowo Gila!” ulang Vanessa.
“Selama aku mengenalmu, aku baru tahu jika kamu belajar cara mengumpat.” Kata Dirga.
“Cowo Gila!” Ulang Vanessa sekali lagi.
“Apa hilang ingatan membuatmu pandai untuk mengumpat?” Tanya Dirga.
“Haruskah aku ulang lagi?” Tanya Vanessa.
“Tidak, itu merupakan kata-kata tidak berkelas.” Ucap Dirga.
“Cowo Gila!” Ulang Vanessa lagi.
“STOP! Cukup! Tata kramamu rupanya harus dipelajari lagi dari awal.” Kata Dirga.
Vanessa tertawa melihat ucapan Dirga. Entah mengapa dia puas melihat ekspresi bingung dari mukanya.
“Mengapa kamu tertawa? Apakah hilang ingatan berpengaruh kepada kejiwaan seseorang?” Tanya Dirga.
“Aku masih waras, yang aneh itu kamu. Jika kamu tidak mencintaiku mengapa kita bertunangan?” Tanya Vanessa.
Dirga kembali melihat arlojinya. Beberapa saat kemudian terlihat seorang lelaki paruh baya memasuki kamar. Dia juga mengenakan baju rapi. Wajahnya juga sedikit tampan.
“Pa Dirga, jadwal hari ini tidak bisa diundur lagi!” Ucap lelaki tersebut.
“Baiklah Faisal. Kita segera menuju kantor.” Kata Dirga sambil berjalan ke arah pintu.
“Tunggu!” Ucap Vanessa.
Dirga berbalik, “Apa lagi yang kamu butuhkan?”
“Kenapa kamu meninggalkan tunanganmu? Bukankah ada amanat kamu harus menjagaku?” Tanya Vanessa.
“Pekerjaanku lebih penting dibandingkan dengan dirimu.” Ucap Dirga dingin. Kemudian dia meneruskan langkahnya keluar kamar.
***
“Ini kamarmu na.” Ucap Bimo.
Vanessa memasuki pintu berwarna putih gading tersebut. Dia masih takjub dengan luasnya rumah yang ia miliki. Rumah seluas tiga lantai tersebut terlihat sangat mempesona. Dengan jendela berukuran besar yang keseluruhan di cat putih. memasuki rumah langsung disuguhi oleh anak tangga melingkar beralas karpet merah. Kamar Vanessa berada di lantai tiga. Terdapat lorong yang dinding luarnya terbuat dari kaca, di luar terlihat taman yang cukup luas. Vanessa terlalu takjub melihat taman di atap rumah tersebut. Rupanya kamar Vanessa sendirian di lantai tiga.
Memasuki kamar, ternyata ukurannya sangatlah luas. Terdapat pintu yang menuju toilet pribadi. Ternyata kamarnya cukup sederhana. Tidak banyak barang di sana. Hanya ada lemari dinding, ranjang ukuran queen bed, meja belajar serta rak buku yang cukup besar. Terdapat sebuah pintu, setelah dibuka rupanya isinya adalah lemari pakaian yang lumayan luas. Entah mengapa Vanessa berfikir bahwa lemari ini cukup bisa digunakan sebagai sebuah kamar.
“Benarkah ini kamarku?” Tanya Vanessa.
“Tentu saja, sejak lahir inilah kamarmu na.” Kata Bimo.
“Ini bahkan cukup untuk dua orang.” Kata Vanessa.
Bimo tersenyum redup, “Seharusnya.”
“Maaf?” Tanya Vanessa.
“Ah tidak apa, beristirahatlah. Pasti banyak yang ingin kamu tahu. Tapi untuk sekarang istirahatlah na.” Kata Bimo.
Vanessa mengangguk. Dia juga terlihat cukup lelah.
“Ah dan ini, aku membelikan handphone baru untukmu. Yang lama tidak ditemukan, sepertinya hilang saat kamu terjatuh.” Kata Bimo.
Vanessa menerima HP terbaru berlogo buah apel tersebut. Entah mengapa benda mewah ini terasa asing. Apa jangan-jangan dia sedang bermimpi dan akan terbangun suatu saat nanti. Seperti inikah rasanya kehilangan ingatan?
Bimo kemudian keluar ruangan, memberikan Vanessa waktu untuk beristirahat.
Tadinya Vanessa hendak beristirahat sejenak, namun pandangannya mengarah ke arah meja belajar di dekat jendela. Terdapat dua tiga buah bingkai foto di sana. Foto pertama adalah dia dan ayahnya. Sejak di rumah sakit dia baru melihat wajahnya, itu memang wajah samar yang dikenalinya, namun entah mengapa sedikit berbeda. Dia tersenyum hangat di rangkulan sang ayah. Foto kedua adalah foto tiga anak kecil. Yang pertama Vanessa kecil, yang disebelahnya dia kenal bahwa itu Dirga. Muka menyebalkannya terus teringat oleh ingatannya. Yang ketiga tidak ia kenali. Namun anak lelaki ketiga terlihat sangatlah ramah. Foto ketiga adalah foto seorang wanita dewasa. Dia sangatlah cantik. Wajahnya ayu, entah siapa dia namun melihatnya membuat Vanessa meneteskan air mata. Mungkinkah ibunya?
Sangat menyedihkan terkena hilang ingatan seperti ini. Tidak mengetahui siapa dirinya. tidak mengenali orang-orang sekitarnya. Yang lebih menyedihkan adalah tidak memiliki kenangan apapun. Jika melihat segala hal di sekelilingnya saat ini dia memiliki kesimpulan bahwa Vanessa hidup berbahagia.
Akhirnya Vanessa naik ke ranjang tidurnya. Mencoba mengedipkan mata. Perlahan dia beristirahat dengan nyaman di atas kasur empuk tersebut.
***
Vanessa terbangun saat sinar matahari menembus jendela besar di kamarnya. Samar berdirilah seorang wanita di samping ranjangnya. Wanita tersebut sangatlah cantik. Dengan raambut panjang terurai dan gaun rumah putih bersih memancarkan kecantikan yang pas sekali. Dia tersenyum kepada Vanessa.
Dibelainya pipi Vanessa. Kemudian tangannya berpindah ke rambut Vanessa.
Vanessa langsung menitihkan air mata. Entah mengapa. Dia merasa nyaman sekali. Dia merasa menantikan belaian itu sejak dahulu kala. Tangannya akhirnya menyentuh tangan wanita tersebut. Dia duduk di atas kasurnya. Wanita itu masih menampakan senyumnya.
“Siapakah anda?” Tanya Vanessa.
“Aku adalah seseorang yang selalu memperhatikanmu.” Jawabnya.
“Maaf, aku mengalami kehilangan ingatan belum lama ini. Aku tidak bisa mengenali anda.” Kata Vanessa.
“Aku tahu sayang.” Jawab wanita itu sambil mengusap pipi Vanessa.
“Apakah anda bisa memberitahu siapa saya? Dan segala tentang saya?” Tanya Vanessa.
Wanita itu hanya tersenyum.
Vanessa masih menatapnya dengan penuh harap.
“Jawaban itu harus kamu yang mencarinya sendiri.” Kata Wanita itu.
“Ah begitu.” Ucap Vanessa sedih.
Melihat Vanessa sedih, wanita tersebut memeluk Vanessa dengan hangat. Vanessa kembali menitihkan air mata. Hangat, pelukan wanita ini sangatlah hangat. Entah mengapa dia merindukan pelukan ini, sejak lama. Apakah jangan-jangan wanita ini?
“Maaf apakah anda adalah?” Tanya Vanessa.
Sebelum Vanessa selesai bertanya wanita tersebut menghentikan ucapan Vanessa.
“Sayang, aku ingin lebih lama denganmu, namun waktuku tidak banyak.” Kata wanita tersebut.
“Anda akan pergi?” Tanya Vanessa.
“Ingatlah ini sayang, seburuk apapun harimu di masa lalu dan kedepannya. Aku akan selalu ada. ingatlah juga bahwa aku menyayangimu Hana.” Ucap wanita itu kemudian menghilang.
Vanessa membuka matanya. Cahaya matahari nyata menusuk matanya. Rupanya yang tadi adalah mimpi. Namun entah mengapa terasa sangat nyata sekali. Dia memegang pipinya yang basah. rupanya tangisannya nyata walaupun di alam mimpi.
Dia kembali mengingat wanita tadi. Dia memanggilnya dengan sebutan Hana, bukan Vanessa. Apa mungkin Hana adalah nama panggilan Vanessa yang lain. Dia ragu, namun tidak asing dengan sebutan tersebut. Seketika dia mengalihkan pandangan kepada meja belajarnya. Dia tertegun dengan salah satu foto di sana. Dia kembali mengingat wajah wanita tersebut. Rupanya wajahnya sama percis dengan salah satu orang di bingkai foto di atas mejanya.
"Tuan?"Dirga menengok ke arah Faisal. Dia sadar bahwa sedari tadi dia melamun. Parah sekali hari ini. Dia tidak bisa fokus sama sekali karena memikirkan Vanessa."Bisakah rapat dibatalkan? Sepertinya aku butuh angin segar," ucap Dirga.Faisal mengangguk. Dia pun sadar bahwa tuan mudanya sedang tidak dalam kondisi yang baik. "Saya akan urus pembatalan rapat hari ini. Kemudian saya akan membelikan beberapa obat jika memang anda memerlukannya."Tidak lama kemudian Faisal keluar. Menyisakan Dirga sendirian di sana. Dia kemudian kembali memikirkan Vanessa. Apakah benar bahwa orang yang ada di dalam rumah tunangannya itu adalah orang lain. Jika memang benar, mengapa Silvia diam saja? Malah seakan dia mengetahui hal ini lebih dibandingkan dengan Dirga sendiri."Ini membuatku gila! Lebih baik aku memastikannya saja!" usulnyaKring....Telepon di ruangannya berdering. Dia kemudian mengangkat telepon kantor yang terletak di mejanya tersebut. Terdengar suara wanita da
"Ayo!" teriak Vanessa.Mereka sedang berjalan melewati jalan setapak kecil. Abraham mengikutinya dari belakang."Vanessa, ini aneh sekali," ucap Abraham.Gadis itu menengok. "Aneh? Apanya yang aneh? Apakah kamu sepertiku yang belum pernah menemui tempat seperti ini?""Bukan-bukan," bantahnya. Abraham mendengar beberapa cerita dari Silvia tentang Vanessa. "Sifatmu benar-benar berkebalikan dengan apa yang dia ceritakan.""Siapa?" tanya Vanessa. Dia memasang wajah kebingungan."Silvia, asistenmu," ungkapnya. "Menurut Silvia kamu adalah gadis kaya raya pendiam dan anggun. Namun yang aku lihat benar-benar berbeda.""Oh itu," Vanessa memutar bola matanya. Jelas saja jika Vanessa yang dahulu terlihat berbeda. Dia sudah diajari tata krama dan sopan santun. Membuatnya terkekang penuh dengan aturan. "Anggap saja setelah bertukar tubuh aku memiliki kepribadian yang baru.""Yah meskipun kamu berbeda dari Hana. Tapi dia pun sama, kalian ben
"Bintang sayang!" Clarissa memanggil lembut putranya."Ya Bunda?" jawabnya.Mereka berdua sedang makan malam di sebuah rooftop restaurant bintang lima. Clarissa terlihat puas sekali. Dia merasa bahwa dunianya perlahan kembali berpihak kepadanya."Bagaimana di perusahaan kakek?" tanyanya.Bintang menghentikan makannya. Dia mengajak ibunya makan di sini sebagai bakti, bukan untuk membicarakan perihal perusahaan. "Baik."Clarissa melihat ada yang tidak beres dengan putranya. Dia memang sudah bukan artis lagi, namun dahulu dia adalah seorang artis terkenal. Dia tahu kebohongan yang tertera dalam benak Bintang. "Katakan sayang, apa yang sebenarnya terjadi. Kakek memberikanmu posisi sebagai salah satu pegawai di sana bukankah sebuah kepercayaan yang bagus. Kenapa kamu tidak antusias?""Kita sedang makan Bunda, aku hanya tidak ingin membicarakannya." Bintang meneruskan makan. Mencoba mengalihkan perhatian sang bunda.Clarissa tidak puas. Dia
"Kita naik lagi!" ucap Dirga."HAH!" Hana kaget dibuatnya. Pasalnya mereka sudah menaiki wahana tersebut sebanyak tiga kali. "Mau naik berapa kali lagi?""Entah, ini pertama kalinya aku menaiki wahana ini. Rasanya aneh, seluruh tubuhku bergetar, kita akan terus menaikinya berulang kali!" ucap Dirga.Hana memutar bola matanya. Niat untuk menjahili Dirga menjadi malapetaka untuknya. Dia tahu bahwa tuan muda itu belum pernah menaiki wahana rakyat biasa. Sayangnya dia benar-benar tidak menyangka bahwa Dirga malah kecanduan."Stop!" cegahnya. Hana tidak ingin naik wahana tersebut hingga keempat kalinya. Perutnya sudah melilit. Dia lapar, jika naik lagi dijamin seluruh isi perutnya akan meloncat keluar. "Lebih baik kita cari makan.""Baiklah, restauran mana yang akan kita tuju?" tanya Dirga.Hana tertawa. Dia tahu ini saatnya menjahili Dirga. "Kita tidak akan ke restauran wahai Tuan Muda CEO."Dirga terlihat kaget. Dia menatap tajam Hana. "
"Apa yang bisa kamu tawarkan? Jika aku membantumu kembali ke tubuhmu yang semula?"Vanessa sedikit terkejut mendengar respon dari Abraham. Benar juga, seseorang pasti akan membantu jika memang ada hal yang bisa dia berikan. Gadis itu berfikir sejenak. "Apa yang kamu mau?"Abraham tersenyum melihat Vanessa yang menawarkan sesuatu. Kemudian dia mendekat dan membisikan sesuatu di telinga gadis itu. Vanessa mengangguk-angguk. Dia setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Abraham.***"Vanessa? Kita sudah sampai!" ucap Abraham.Lelaki itu mengguncang tubuh Vanessa dengan lembut. Ternyata dia tidak sengaja tertidur. Di depan matanya terlihat jalan setapak dari tanah. Dia sempat ragu sejenak."Gimana? Mau melanjutkan?" tanya Abraham.Vanessa kemudian membuka sabuk pengamannya. Dia turun dari mobil. Diikuti oleh Abraham, mereka melakukan persiapan untuk menurunkan beberapa barang. Dari mulai ransel, peralatan memasak yang biasa dilakukan saat
"Apa kamu percaya kalau aku bukan Hana?" tanya Vanessa.Abraham masih duduk diam. Matanya menerawang seperti memindai pikiran Vanessa saat itu. Gadis itu menunggu jawaban. Akhirnya Abraham memejamkan mata sambil berkata, "tidak!""Bagaimana kalau itu adalah kenyataannya?" tanya Vanessa. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Sehingga dirinya menyentuh meja makan."Aku tidak percaya hal semacam ini Hana," ucap Abraham. Dia menyenderkan badan ke kursi di belakangnya. "Aku lebih percaya jika kamu memang kehilangan ingatan seperti halnya kata perawat di Rumah Sakit."Vanessa mengangguk. Memang tidak masuk akal jika dipikirkan. Dia yakin, dia bukan hilang ingatan. Tepat sebelum dia berpindah tubuh, Vanessa mengingat bahwa dia jatuh ke air. Dia kemudian terdiam cukup lama. Dia memikirkan apa penyebab dirinya masuk ke dalam air. Vanessa memegang kepalanya. Mencoba untuk mengingat-ingat.Abraham melihat gadis di depannya berperilaku aneh. Dia langsung mencon
"JANGAN BERCANDA YA!"Vanessa terlihat marah. Dia hampir saja mau melawan petugas sampai akhirnya dia melihat pantulan dirinya di kaca sebelah pintu masuk hotel. Tanpa memperdulikan orang-orang, dia mulai menyentuh dirinya sendiri. "Siapa ini? Bagaimana bisa aku?"Dia kemudian menyentuh bahu penjaga. "Kenapa? Kenapa wajahku jadi begini?"Petugas penjaga itu mendorong Vanessa sekuat tenaga. Dia menatap Vanessa dengan jijik. "Orang Gila!"Vanessa yang jatuh terduduk hanya bisa diam. Pikirannya kacau. Dia benar-benar masih tidak menyangka jika dirinya berubah wujud. "Gamungkin! Bagaimana bisa wajahku berubah sedrastis ini?"Dari belakang Vanessa seseorang berdiri. Dia adalah Abraham. Dia menepuk bahu Vanessa kemudian berbisik padanya. "Kita pergi! Aku tidak tahu kamu kenapa tapi aku akan berusaha untuk menolongmu."***Abraham membawa Vanessa ke kosan milik Hana. Vanessa yang merasa asing enggan memasuki tempat itu. "Apa-apaan tempat kum
Vanessa terlihat kesal. Menurutnya orang asing tadi sangat tidak sopan. Apa dia tidak tahu siapa dirinya? Dia adalah Vanessa Raksawijaya, putri konglomerat kaya yang terkenal di negara ini. Dia juga seorang novelis terkenal. Bisa-bisanya berlagak so kenal seperti itu.Setelah cukup tenang, Vanessa kembali memperhatikan sekeliling. Matanya langsung menyipit. "Apa-apaan kamar sekecil ini! Bisa-bisanya aku ditempatkan di kamar ini? Apa silvia tidak mengurus kamarku dengan benar?"Dia melihat kalender yang terpajang di dinding rumah sakit. Matanya melebar, mulutnya langsung terbuka. "Astaga! Tanggal berapa ini? Hari ini adalah hari penting. Aku harus menghadiri pesta."Vanessa segera bergegas. Dia berniat untuk keluar dan mencari orang-orang yang dikenalnya. Dia menemukan jaket lusuh di kursi. Alisnya terangkat. 'Masa sih cuman ada pakaian seperti ini? Tapi gamasalah deh daripada pake baju rumah sakit.'Diambilnya jaket tersebut, kemudian dikenakannya. Dia me
"Kamu sudah siap?" tanya Abraham.Vanessa mengangguk. "Aku siap! Ayo kita pergi."Bintang masih berdiri di depan pintu kamar Vanessa. Ini adalah hari terakhir mereka di Villa. Matanya terlihat sedih. Jelas sekali Bintang tidak rela jika Vanessa harus bepergian jauh. Dia kemudian mendekati gadis itu. "Vanes! Lebih baik kita jelaskan kepada ayahmu bahwa kamu bertukar tubuh tanpa sengaja! Aku bisa mencoba menjelaskan."Vanessa menggeleng. "Ayolah Bintang! Ini benar-benar menarik kamu tahu? Aku seorang nona besar yang terbiasa hidup menyenangkan harus berpetualang untuk bisa kembali ke tubuh asalku! Ini bisa menjadi novel yang menarik.""Keselamatanmu Vanessa! Lagipula bagaimana aku bisa mempercayakan kamu kepada lelaki asing itu?" Bintang menunjuk Abraham.Abraham sendiri hanya nyengir saja melihat ulah Bintang. Dia melihat jelas bagaimana perasaan yang dimiliki Bintang. "Silahkan kalian berbicara dulu. Kalau kamu sudah siap panggil aku." Abraham kemu