Seorang Gadis berdiri di atas sebuah jembatan. Pikiranya melayang. Teringat semua hal buruk yang terjadi pada dirinya selama ini. Dia telah membenci dunia. Dunia begitu kejam terhadapnya.
Dia menengok ke arah kejauhan. Terlihat seorang Ibu yang telah membelai rambut anaknya. Dia merasa iri saat itu. Dia tidak memiliki ibu. Jikalau dia memiliki ibu mungkin saja hidupnya tidak akan seperti ini. Akan ada seseorang yang membelainya dengan lembut ketika dia sedang dalam masalah. Namun semua itu hanya ilusi.
Teleponnya tidak lama berdering. Terdengar suara seorang gadis dari sebrang. Entah apa yang dia bicarakan, yang jelas membuat gadis itu menitihkan air mata. Akhirnya dia kembali menatap ke bawah jembatan. Dia sedikit takut berdiri di ketinggian, di bawahnya ada air mengalir. Namun apa daya, dunianya sudah sirna.
Akhirnya dia kembali memberanikan dirinya sendiri. Sedikit demi sedikit kakinya melangkah ke depan. Pikirannya melayang. Dipejamkannya mata, beberapa detik kemudian terdengar suara benda jatuh ke air.
Gadis itu kesulitan bernafas. Dia tidak bisa berenang, namun dia memang berniat untuk mengakhiri hidupnya. Di saat dia sudah pasrah kepada ajal. Sebuah suara terdengar memaggil namanya.
***
“Vanessa?” tanya suara lembut dari samping telinganya.
Gadis yang disebut Vanessa itu akhirnya membuka matanya. Kepalanya masih sedikit pusing. Pandangannya juga sedikit kabur. Dia menoleh ke arah samping. Di samping ranjang tempatnya tertidur terlihat pria tua dengan muka penuh kasih sayang. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki gagah nan tampan yang mengenakan style rapi dengan jas hitam elegan. Mulutnya terlihat tersenyum namun matanya terlihat berbeda seakan ada hal yang disembunyikan olehnya.
“Vanessa? Syukurlah kamu sudah sadar na. Papa sangat takut jika kamu menghilang.” Ucap pria tua itu.
Gadis itu memperhatikan sekeliling. Dia menyadari dia sedang berada di sebuah rumah sakit. Baik ranjang, tirai dan bau rumah sakit tercium oleh hidungnya. Hanya saja kamar rumah sakit itu terasa berbeda. Hanya ada satu ranjang tempatnya terbaring, tidak seperti samar-samar ingatannya tentang rumah sakit. Kamar tersebut juga dirasa cukup mewah. Terdapat lemari pendingin, AC, televisi dan sofa di ruangan tersebut. Bahkan samar terlihat terdapat meja makan di samping lemari pendingin tersebut.
Kemudian pandangannya beralih kepada pria tua yang mengaku sebagai ayahnya tersebut. Rasa kasih sayang terlihat dari matanya, entah mengapa dirinya seakan ingin menangis. Seperti akhirnya dia menemukan perasaan hilang yang dicari-carinya selama ini. kemudian dia berpindah pandangan ke arah lelaki di sebelahnya. Terlihat jelas bahwa lelaki tersebut bukanlah orang sembarangan. Namun entah mengapa ada hawa tersembunyi di balik senyumannya.
“Apakah kamu terlalu lelah untuk berbicara? Kamu baik-baik saja kan?” Tanya pria tua tersebut.
“Pa Bimo, mungkin Vanessa masih sedikit pusing.” Kata lelaki di sebelahnya.
“Ah benar juga Dirga. Aku tidak menyangka kecelakaan itu terjadi kepada anakku.” Ucap pria tua yang disebut Bimo tersebut.
Vanessa akhirnya berusaha membuka mulutnya. Kata-kata yang keluar dari dirinya membuat orang-orang di ruangan terkejut. Bahkan Dirga mengerutkan alisnya dan langsung mendekatkan diri menuju Vanessa yang sedang terbaring.
“Kalian siapa?”
Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Vanessa setelah siuman. Setelah berhasil mengatur ekspresi dan emosi. Bimo segera berdiri dari kursinya.
“Doni! Segera panggilkan dokter sekarang!” ucap Bimo pada sekretarisnya yang menjaga diluar pintu kamar.
***
Dokter selesai memeriksa keadaan Vanessa. Dia kemudian menulis beberapa catatan penting pada note yang dibawanya. Dengan lembut dia mengintruksikan kepada Bimo selaku wali Vanessa untuk berbicara di ruangan yang berbeda.
“Dirga, saya mohon jagalah tunanganmu sebentar!” ucap Bimo.
Dirga mengangguk. Meskipun sedikit melirik arlojinya karena dia harus ke perusahaan tempatnya berada tidak lama lagi.
Bimo mengikuti dokter ke ruangan pribadinya. Dokter Andreas, sudah menjadi dokter pribadi keluarga Raksawijaya sejak lama. Dokter Andreas memang belum begitu tua. Umurnya sekitar tigapuluhan ke atas. Namun dia sudah menjadi dokter keluarga sejak Vanessa masih remaja.
Dokter Andreas duduk di meja kerjanya. Di depannya duduk Bimo yang berwajah cemas. Sebagai seorang Direktur, investor juga orang yang berpengaruh, Bimo biasanya bisa mengatur ekspresinya dengan baik. Namun jika menyangkut putrinya, kecemasannya langsung terlihat.
“Bagaimana hasilnya?” Tanya Bimo tidak sabar.
“Masih hasil hipotesis sementara jika Vanessa mengalami kehilangan ingatan.” Kata Andreas.
“Terjatuh di kolam bisa menyebabkan kehilangan ingatan?” Tanya Bimo.
“Nanti kita akan melakukan pemeriksaan berkelanjutan. Mungkin Vanessa sempat terbentur ketika terjatuh ataupun mengalami shock.” Kata Andreas.
“Dia…, putriku…, putriku sendiri tidak ingat pada saya dokter. Ayah kandungnya sendiri!” ucap Bimo putus asa.
“Saya akan membantu agar Vanessa bisa mengembalikan ingatannya, namun dia harus menjalani pemeriksaan lanjut.” Kata Andreas.
“Istriku telah tiada, sekarang anakku satu-satunya lupa akan ayahnya.” Kata Bimo.
“Tenanglah Pa Bimo. Semua akan baik-baik saja.” Kata Andreas.
***
Vanessa memperhatikan Dirga yang duduk di sofa sebrang tempatnya berbaring. Dirga nampak tidak berbicara apapun sejak ayahnya meninggalkan ruangan. Dia asik membaca buku yang dibawanya. Dirga sadar bahwa Vanessa memperhatikannya, dia kemudian menutup bukunya dan berbalik memandang Vanessa.
Vanessa yang diperhatikan balik mendadak malu. Ketika Dirga menatapnya ketampanannya langsung terasa. Vanessa memperkirakan umur Dirga tidak lebih dari tigapuluh tahun. Dibalik hilangnya ingatannya, dia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Dia bangun sebagai gadis kaya raya, dirawat di kamar VVIP yang mewah, ditemani oleh tunangan super duper tampan. Kehidupannya menyenangkan rupanya.
“Jika kamu butuh sesuatu aku akan memanggil sekretarisku untuk membawakannya.” Kata Dirga dengan muka datar.
“umm…!” Vanessa ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
“Haruskah aku panggilkan sekretarisku sekarang?” Tanya Dirga.
“Aku masih bingung tentang apa yang terjadi. Bisakah kamu memberitahukanku tentang diriku misalnya?" Tanya Vanessa.
Dirga terdiam menatap Vanessa. Dia kembali melihat ke arah arlojinya.
“Entahlah, coba cari tahu saja sendiri.” Kata Dirga.
“Eh, bukankah kamu tunanganku? Aku pikir kamu akan sedikit menceritakan tentang diriku sebelumnya.” Ucap Vanessa.
Dirga menghela nafas. Dia lalu berdiri dan mendekatkan diri ke ranjang Vanessa.
“Apa kamu pikir karena aku tunanganmu aku berkewajiban untuk memberitahukan banyak hal?” Tanya Dirga.
“Bukankah kita berpasangan?” Tanya Vanessa.
“Sepertinya kamu lebih merepotkan dibandingkan sebelum kecelakaan.” Ucap Dirga.
“Bagaimana dengan kecelakaan, apakah kamu bisa memberitahukanku apa yang terjadi. Karena aku kehilagan ingatan” Tanya Vanessa.
“Entahah. Anggap saja aku tidak tahu.” Ucap Dirga acuh tak acuh. Namun Vanessa bisa melihat bahwa Dirga seperti menyembunyikan sesuatu.
“Dari gelagatmu sepertinya kamu tahu apa yang terjadi.” Ucap Vanessa.
“Dengar, aku masih berbaik hati menemanimu di sini. Bahkan saat aku sibuk dengan pekerjaanku.” Ucap Dirga.
“Apakah kamu terbiasa memperlakukanku seperti ini?” Tanya Vanessa lagi.
“Berapa banyak pertanyaan yang kamu lontarkan sebetulnya. Aku seperti diintrogasi.” Kata Dirga.
“Baiklah ceritakan saja tentang kecelakaan itu.” Kata Vanessa.
“Tidak bisa!” ucap Dirga singkat.
“Aha…! Kamu mengetahui sesuatu.” Ucap Vanessa.
Dirga masih memperlihatkan muka datar dan dingin. Dia menimbang-nimbang gelagat dari Vanessa.
“Apa kamu hanya berpura-pura kehilangan ingatan?” Tanya Dirga.
“Hah? Mana ada yang seperti itu. Kenapa kamu berbicara demikian?” Tanya Vanessa.
“Karena tingkahmu semakin menyebalkan.” Kata Dirga.
“Apa karena aku kecelakaan alasannya adalah dirimu.” Ucap Vanessa sambil tertawa.
Awalnya Vanessa menganggap hal ini candaan. Namun melihat gelagat Dirga yang terdiam membuatnya berfikir bahwa jangan-jangan ini benar adanya. Dirga terlihat lagi memperhatikan arlojinya. Seakan dia tidak nyaman dengan keadaan seperti ini.
“Baiklah aku hanya punya waktu sebentar lagi.” Ucap Dirga.
Vanessa terdiam, memperhatikan Dirga.
“Pertama, benar aku adalah tunanganmu.” Kata Dirga.
Vanessa mengangguk. Punya tunangan tampan tidak ada salahnya juga, begitulah yang dia pikirkan.
“Yang kedua, aku adalah CEO sebuah perusahaan entertainment terbesar di Negara ini.” Kata Dirga.
Vanessa kembali mengangguk. Rupanya hidupnya menyenangkan punya tunangan tampan dan juga kaya.
“Lalu?” Balas Vanesssa.
“Ketiga, ini adalah point penting yang harus selalu kamu ingat.” Kata Dirga.
“Apa itu?” Tanya Vanessa.
“Bahwa aku tidak pernah mencintaimu.” Ucap Dirga.
“Coba ulang sekali lagi!” Ucap Vanessa. Dia terdiam beberapa saat. Dia harus memastikan kata-kata Dirga sekali lagi. “Aku tidak mencintaimu.” Ucap Dirga sambil memperlihatkan muka datar. “Apa aku tidak salah dengar?” Tanya Vanessa kembali. “Jika pendengaranmu masih sehat dan tidak sakit seperti ingatanmu, maka yang kamu dengar semuanya adalah benar.” Kata Dirga. “Cowo Gila!” Kata Vanessa. Dirga terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut Vanessa. “Tunggu apa yang kamu bilang?” Tanya Dirga. “Cowo Gila!” ulang Vanessa. “Selama aku mengenalmu, aku baru tahu jika kamu belajar cara mengumpat.” Kata Dirga. “Cowo Gila!” Ulang Vanessa sekali lagi. “Apa hilang ingatan membuatmu pandai untuk mengumpat?” Tanya Dirga. “Haruskah aku ulang lagi?” Tanya Vanessa. “Tidak, itu merupakan kata-kata tidak berkelas.” Ucap Dirga. “Cowo Gila!” Ulang Vanessa lagi. “STOP! Cukup! Tata kramamu r
“Apa ada yang salah?” Tanya Vanessa pada ayahnya. Sejak awal sarapan Bimo memperhatikannya dengan jeli. Terkadang wajah ayahnya seperti menimbang-nimbang sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya. “Na, mungkin kamu harus memulai kembali kelas Tata Krama dengan Madam Rafa!” ucap Bimo akhirnya. “Apakah cara makanku salah?” Tanya Vanessa. “sebetulnya tidak salah, karena memang ada orang-orang yang memakan dengan cara demikian. Tetapi sangat aneh melihatmu sarapan dengan menu biasa seperti sosis dan telur menggunakan nasi.” Ucap Bimo. Vanessa menghentikan makannya. Entah mengapa dia merasa tidak enak. Tetapi alam bawah sadarnya berkata bahwa itu adalah menu yang biasa dia makan. Apakah benar hal tersebut aneh. “Ah, lanjutkan saja makanmu. Aku hanya bilang cukup aneh dan tidak biasa. Terutama ketika kamu makan menggunakan tangan tidak dengan alat makan seperti sendok dan garpu.” Ucap Bimo. “Aku mencoba menggunakan sendok garpu pada awal
“Si cowo Gila!” Ucap Vanessa. Bintang dan Silvia kaget mendengar ucapan yang keluar dari bibir Vanessa. Bahkan Silvia yang sedang meneguk minuman sedikit tersedak. “Nona, anda sakit?” Tanya Silvia. “Iya, aku kan sehabis kehilangan ingatan. Jadi ya betul aku sakit.” Jawab Vanessa. Silvia kehilangan kata-kata mendengar perkataan atasannya tersebut. “Ah mungkin maksud Silvia, kata-kata seperti cowo gila itu bukan hal yang mudah keluar dari bibirmu, Nes.” Jelas Bintang. “Tapi dia memang gila, kemarin waktu di rumah sakit. Bahkan sekarang, dia menggandeng lengan perempuan lain. Bukankah aku tunangannya?” Kata Vanessa. Bintang tertawa mendengar penjelasan Vanessa. Vanessa langsung memperhatikannya, dia bingung mengapa Bintang bisa menertawakannya. “Entahlah nes, mungkin seseorang benar bisa berubah karena hilang ingatan. Kamu tahu? Kamu yang dulu akan langsung menunjukan wajah sedih, ataupun lari ke toilet dan menangis meliha
“Silvia ceritakan tentang Dirga.” Kata Vanessa di ruang pesta. “Ingatan nona sudah kembali kah? Apakah anda akan menjadi bucin lagi untuk kesekian kali?” Tanya Silvia. “Maksudnya apa?” Tanya Vanessa lagi. “Dari mana ya mulainya, Dirga Sastranegara adalah CEO pemilik BC Entertaiment di bawah Sastranegara Grup. Perusahaan itu memang sudah bergerak di bidang entertainment, dan menghasilkan banyak sekali artis, aktor ataupun penyanyi.” Kata Silvia. “Untuk informasi itu aku sudah mendengarnya berkali-kali.” Kata Vanessa sambil mengingat Dirga yang selalu membanggakan dirinya sendiri. “Jadi dia orang yang hebat, dan juga kompeten. Dia memulai jabatannya sejak muda, awalnya jabatan tersebut dipegang oleh ayahnya, kemudian kakeknya terakhir dia.” Kata Silvia. “kenapa dari ayahnya menuju kakeknya?” Tanya Vanessa. “Ah soal itu anda tanyakan sendiri kepada beliau.” Kata Silvia. “Yah baiklah, asalkan dia tidak terlalu membanggakan
Vanessa kembali dari toilet. Dia langsung duduk di tempatnya tadi. Namun Silvia tidak terlihat. Tentu saja hal itu membuat Vanessa sedikit panik. Karena Silvia telah membantunya sejauh ini di pesta. Dia ingin ingatannya bisa kembali.“Vanessa, kok sendiri?” Terdengar suara lembut pria dari belakang. Langsung saja Vanessa menengok ke arahnya. Terlihat Bintang, dengan senyumnya yang lembut dan hangat membuat dirinya merasa aman.Bintang kemudian duduk di sebelah Vanessa.“Ada yang mengganggu pikiranmu?” Tanya Bintang.“Aku mencari Silvia.” Jawabnya.“Dia sedang berbincang dengan Faisal.” Jawab Bintang.“Siapa itu Faisal?” Tanya Vanessa.“Dia sekretaris pribadi Dirga.” Kata Bintang.Vanessa kemudian mengingat Faisal, sekretaris Dirga. Mereka pernah bertemu di rumah sakit. Tak hanya Dirga Sekretarisnya juga tampan rupanya.“Aku ingat wajahnya, dia
“Dirga…, Bintang…, Jangan melakukan keributan di pesta milikku.” Ucap Brama Sastranegara.Mendengar ucapan tersebut semua yang ada di pesta terdiam. Terlihat sikap hormat dan segan terhadap pria tua tersebut. Rambutnya yang putih tidak menghilangkan kesan wibawa yang ada padanya. Dia adalah aktor dibalik berdirinya Sastranegara Grup yang tersohor di seluruh penjuru negeri. Siapapun tahu, para aktor, artis dan penyanyi yang berada di bawah label manajemen grupnya pasti akan sukses dan terkenal.Dirga yang biasanya bersikap angkuh mendadak diam, demikian pula dengan Bintang. Meskipun tadi sikap mereka terlihat berani membuat keributan di pesta, namun ketika sang kakek datang terlihat nyali mereka yang menciut. Vanessa yang memahami hal tersebut ikut menciut juga. Bagaimanapun dialah tokoh utama permasalahan pertengkaran mereka berdua.“Matilah aku.” Batin Vanessa.Dari kejauhan terlihat Brama yang semakin me
“Mengapa kamu membiarkan tunanganmu sendirian di pesta?” Tanya Brama dengan wajah serius.Dirga masih berdiri mematung. Sambil melihat dengan tatapan kesal kepada Vanessa dia menghembuskan nafas lelah terlebih dahulu. Kemudian memandang lurus kepada kakeknya.“Dia sudah besar, bisa mengurus dirinya sendiri.” Jawab Dirga dingin.Vanessa hanya bisa terdiam. Dia kesal mendengar jawaban Dirga, ada sedikit rasa harap dari dirinya tentang Dirga. Harapan bahwa Dirga akan berkata maaf atau menyesali perbuatannya. Namun yang keluar hanya kata-kata dingin yang menusuk hati. Sekali lagi Vanessa teringat dengan perkataan Dirga yang bilang kalau dia tidak mencintai Vanessa. Apa yang bisa diharapkannya?“Itu betul, tapi tidak sepatutnya kamu mendiamkannya seperti ini Dirga. Kalian sudah bertunangan." Kata Brama sambil memegang kepalanya dan menghembuskan nafas lelah.“Itu betul.” Jawab Dirga.“Perlakuk
Vanessa terbangun dari mimpinya. Sekali lagi nama Hana terngiang dalam mimpinya. Siapa sebenarnya Hana? Mengapa dua kali datang ke mimpinya? Kemudian mengapa kejadian di mimpi tersebut terasa nyata. Bahkan aroma kopi di café terasa sangat familiar baginya.Hari itu dia bertekad akan mencari tahu siapa sebenarnya Hana. Siapa sebenarnya dirinya serta apa hubungannya dengan Hana. Tidak lama seseorang mengetuk pintu kamarnya.Tok..tok…tok…“Siapa?” Tanya Vanessa.Pintu dibuka, seorang wanita tua masuk ke dalam kamarnya. Wanita tersebut terlihat elegan dengan kacamata kecilnya. Mengenakan pakaian rapi lengkap dengan jas kerja.“Halo Vanessa, saya dengar anda kehilangan ingatan anda. Saya ke sini atas perintah Pa Bimo.” Ucap wanita tersebut.Vanessa yang masih terduduk di kasur tidur serta mengenakan piama tidak tahu harus merespon bagaimana. Pasalnya dia merasakan aura diskriminatif dan menjengkelkan d