“Dirga…, Bintang…, Jangan melakukan keributan di pesta milikku.” Ucap Brama Sastranegara.
Mendengar ucapan tersebut semua yang ada di pesta terdiam. Terlihat sikap hormat dan segan terhadap pria tua tersebut. Rambutnya yang putih tidak menghilangkan kesan wibawa yang ada padanya. Dia adalah aktor dibalik berdirinya Sastranegara Grup yang tersohor di seluruh penjuru negeri. Siapapun tahu, para aktor, artis dan penyanyi yang berada di bawah label manajemen grupnya pasti akan sukses dan terkenal.
Dirga yang biasanya bersikap angkuh mendadak diam, demikian pula dengan Bintang. Meskipun tadi sikap mereka terlihat berani membuat keributan di pesta, namun ketika sang kakek datang terlihat nyali mereka yang menciut. Vanessa yang memahami hal tersebut ikut menciut juga. Bagaimanapun dialah tokoh utama permasalahan pertengkaran mereka berdua.
“Matilah aku.” Batin Vanessa.
Dari kejauhan terlihat Brama yang semakin mendekati Vanessa. Jantung Vanessa berdebar kencang. Pikirannya menjadi kalut. Dia teringat pesan ayahnya bahwa kunjungannya ke pesta adalah untuk mewakili perusahaan ayahnya. Apakah hubungan kedua perusahaan akan retak setelah pesta ini berakhir. Jika benar begitu maka bersalahlah ia seumur hidupnya.
Brama sudah berada di depan Vanessa. Tangannya yang keriput namun kuat digerakan menuju wajah Vanessa. Sontak Vanessa langsung memejamkan mata. Dia pasrah jika harus ditampar atau dimarahi karena ulahnya mengacaukan pesta. Namun tak disangka, tangan yang lembut itu justru mengusap rambutnya. Suara tegas yang tadi terdengar menghilang, berganti menjadi suara lembut seorang kakek kepada cucunya.
“Aku senang dirimu sudah sehat lagi na.” Ucap Brama kepada Vanessa.
Sepintas Vanessa terkejut. Dirinya sudah bersiap jika harus dimarahi atau hal-hal buruk kedepannya. Namun yang didapatkan justru ucapan sopan penuh kasih sayang.
Hingga akhirnya dia membuka matanya. Terlihat pria tua itu tersenyum, menunjukan kasih sayang yang hangat. Meskipun garis mukanya tegas namun matanya menampilkan rasa sayang yang begitu besar. Vanessa hanya mengetahui bahwa beliau adalah pendiri perusahaan tempat Dirga bekerja, namun dia sendiri terkejut mengetahui rasa kasih sayang yang dipancarkan oleh Brama begitu besar kepada Vanessa. Beruntung sekali seorang Vanessa rupanya banyak mendapatkan kasih sayang dari banyak orang.
“Apa kamu tidak nyaman di pestaku na?” Tanya Brama lembut.
“Aku…. Nyaman! maaf jika saya membuat masalah.” Kata Vanessa terbata-bata. Dia bahkan tidak tahu harus menyebut dirinya apa di depan sang pemilik perusahaan tersebut.
“Kamu bisa memanggilku dengan sebutan kakek na, sejak kecil jika kamu ingat, kamu dan kakekmu sering berkunjung ke kediamanku. Karena itu aku menganggap dirimu cucuku sendiri. Lagipula tidak lama lagi kamu akan menikah dengan salah satu cucuku na.” Kata Brama.
“Terimakasih Kek.” Jawab Vanessa singkat. Vanessa kebingungan dengan sikapnya. Dia takut apa yang dilakukannya salah, terutama karena memorinya kosong. Namun ucapan Brama membuatnya memiliki informasi baru jika kakeknya dan kakek Dirga adalah teman baik.
“Mari kita duduk bersama, sudah lama sekali kamu tidak mengunjungiku na.” Ucap Brama sambil membimbing Vanessa untuk duduk bersama di meja tamu.
Vanessa sedikit gugup. Bagaimanapun suasana ini terlihat canggung, namun dia tidak boleh bertindak gegabah seperti tadi. Dia sudah cukup merepotkan Silvia dan Bintang karena ulahnya.
Brama kemudian menarik kursi tamu, dia bersikap sangat sopan dan berkelas kepada Vanessa. Setelah Vanessa duduk barulah dia ikut duduk di meja yang sama dengan Vanessa. Tidak lupa beliau juga mengisyaratkan agar pesta berjalan kembali seperti sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa pengunjung pesta yang berbisik membicarakan tentang pertengkaran mereka tadi, namun Brama masih tersenyum seperti semula dan seakan menganggap hal itu bukanlah apa-apa.
“Bagaimana kabar ayahmu na?” Tanya Brama.
“Papa sehat Kek, beliau meminta maaf tidak bisa hadir di sini.” Kata Vanessa sopan.
“Bimo adalah pekerja keras sama seperti ayahnya memang.” Kata Brama.
Vanessa hanya menjawab dengan tersenyum.
“Kudengar setelah bangun ingatanmu hilang na?” Tanya Brama.
Vanessa mengangguk.
“Jangan sungkan di depanku na, anggaplah aku kakekmu sendiri. Ayahmu sudah menceritakan apa yang terjadi. Karena itu aku memahamimu jika kamu terlihat bingung dengan suasana di sini.” Ucap Brama.
“Terimakasih Kek.” Ucap Vanessa.
Brama kemudian mengintruksikan kepada pelayan untuk membawakan cemilan dan minuman untuk mereka berdua. Setelah hidangan tersaji barulah Brama meneruskan pembicaraannya kembali.
“Coba ceritakan apa yang terjadi tadi na, mengapa kedua cucuku bertengkar?” Kata Brama.
Vanessa menelan ludah. Dia tahu cepat atau lambat Brama pasti akan menanyakan hal tersebut. Akhirnya Vanessa memilih untuk jujur kepada pria di depannya tersbeut.
“Saya minta maaf, sayalah yang salah. Saya kebingungan karena suasana di pesta terlihat aneh, maka dari itu Bintang yang mencoba menghibur saya mengajak saya berjalan sebentar keluar ruangan. Bintang tidak salah.” Kata Vanessa.
Sejujurnya Vanessa khawatir dengan apa yang diceritakannya. Kejadian ini mungkin akan membuat namanya buruk. Namun dia tidak ingin Bintang menjadi sasaran kemarahan kakeknya atau Dirga. Bagaimanapun Bintang sudah berusaha untuk menghiburnya di tempat yang asing bagi Vanessa.
“Ke mana Bintang membawamu pergi na?” Tanya Brama lagi.
“Ke atap. Kami berdua melihat bintang dan langit malam.” Kata Vanessa.
“Lalu jas yang kamu kenakan? Milik siapakah itu? Karena yang kulihat di awal kamu tidak mengenakan jas itu.” Kata Brama.
Vanessa melihat jas yang dikenakannya. Dia lupa masih mengenakan jas milik Bintang. Seharusnya dia kembalikan ketika memasuki pintu ballroom tadi.
“Ini milik Bintang, dia meminjamkannya karena khawatir saya kedinginan.” Kata Vanessa.
“Bagaimana dengan Dirga?” Tanya Brama.
Vanessa melongo. Dia tidak mengerti maksud ucapan Brama.
“Apa Dirga sudah menemuimu selama di pesta?” Tanya Brama kembali sambil mengoreksi pertanyaannya. Rupanya dia sadar jika Vanessa kebingungan.
“Ah saya baru bertemu Dirga tadi, ketika pertengkaran.” Jawab Vanesssa.
“Begitu rupanya.” Kata Brama.
Brama kemudian mengintruksikan seorang pria di dekatnya untuk memanggil Dirga. Vanessa baru menyadari jika ada orang yang selalu mendampingi Brama. Berdasaran pengamatan Vanessa orang itu adalah asisten pribadinya.
Pria itu datang membawa Dirga mengekor di belakangnya. Seorang Dirga yang angkuh terlihat sangat gugup di depan kakeknya sendiri. Apakah mungkin kakeknya memiliki watak berbeda di depan sang cucu? Batin Vanessa bertanya lagi kepada dirinya sendiri.
“Terimakasih Praha.” Kata Brama kepada pria tadi.
Praha mengangguk hormat. Kemudian dia berdiri lagi di belakang tempat Brama duduk. Meskipun Praha terlihat tidak jauh umurnya dengan sang kakek. Namun terlihat bagaimana kesigapannya dalam bertugas.
Brama melihat ke arah Dirga. Wajahnya langsung berubah menjadi tegas. Dirga yang menyadari apa yang terjadi langsung terlihat gugup.
“Dirga?” Sapa Brama kepada cucunya.
“Ya Kek?” Tanya Dirga.
Entah mengapa Vanessa sedikit menikmati pemandangan tersebut. Pemandangan seorang Dirga yang angkuh namun ciut di depan kakeknya sendiri. Jika diperbolehkan dan tidak dianggap kurang sopan tentu saja Vanessa ingin mengabadikan momen tersebut lewat ponselnya.
“Mengapa kamu membiarkan tunanganmu sendirian di pesta?” Ucap sang Kakek.
Dirga hanya bisa terdiam. Namun Vanessa bisa melihat sepintas tatapan kesal Dirga yang ditunjukan kepadanya. Membuat Vanessa menyesal sudah menjawab pertanyaan dari Brama Sastranegara.
“Mengapa kamu membiarkan tunanganmu sendirian di pesta?” Tanya Brama dengan wajah serius.Dirga masih berdiri mematung. Sambil melihat dengan tatapan kesal kepada Vanessa dia menghembuskan nafas lelah terlebih dahulu. Kemudian memandang lurus kepada kakeknya.“Dia sudah besar, bisa mengurus dirinya sendiri.” Jawab Dirga dingin.Vanessa hanya bisa terdiam. Dia kesal mendengar jawaban Dirga, ada sedikit rasa harap dari dirinya tentang Dirga. Harapan bahwa Dirga akan berkata maaf atau menyesali perbuatannya. Namun yang keluar hanya kata-kata dingin yang menusuk hati. Sekali lagi Vanessa teringat dengan perkataan Dirga yang bilang kalau dia tidak mencintai Vanessa. Apa yang bisa diharapkannya?“Itu betul, tapi tidak sepatutnya kamu mendiamkannya seperti ini Dirga. Kalian sudah bertunangan." Kata Brama sambil memegang kepalanya dan menghembuskan nafas lelah.“Itu betul.” Jawab Dirga.“Perlakuk
Vanessa terbangun dari mimpinya. Sekali lagi nama Hana terngiang dalam mimpinya. Siapa sebenarnya Hana? Mengapa dua kali datang ke mimpinya? Kemudian mengapa kejadian di mimpi tersebut terasa nyata. Bahkan aroma kopi di café terasa sangat familiar baginya.Hari itu dia bertekad akan mencari tahu siapa sebenarnya Hana. Siapa sebenarnya dirinya serta apa hubungannya dengan Hana. Tidak lama seseorang mengetuk pintu kamarnya.Tok..tok…tok…“Siapa?” Tanya Vanessa.Pintu dibuka, seorang wanita tua masuk ke dalam kamarnya. Wanita tersebut terlihat elegan dengan kacamata kecilnya. Mengenakan pakaian rapi lengkap dengan jas kerja.“Halo Vanessa, saya dengar anda kehilangan ingatan anda. Saya ke sini atas perintah Pa Bimo.” Ucap wanita tersebut.Vanessa yang masih terduduk di kasur tidur serta mengenakan piama tidak tahu harus merespon bagaimana. Pasalnya dia merasakan aura diskriminatif dan menjengkelkan d
Vanessa masih terduduk di ranjang rumah sakit tempat dia siuman pertama kali. Dia ingat siapa dirinya, dari mana asalnya serta semua memori yang pernah dijalaninya. Ketika siuman beberapa hari yang lalu dia senang karena terbangun sebagai seorang putri kaya raya serta memiliki tunangan tampan. Namun semua itu sirna ketika memorinya kembali.Dia bukanlah Vanessa. Dirinya yang asli adalah Hana. Seorang gadis yatim piatu yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena terhalang biaya. Hana bekerja sebagai pegawai di kedai kopi percis seperti mimpinya. Karena berasal dari golongan kurang mampu dia kerap kali mendapat perlakuan tidak baik semenjak masa sekolah. Bahkan di tempat kerjanya pun dia kerap mendapat perlakuan tidak baik.Dia pun masih tidak mengerti mengapa dia diperlakukan demikian. Apakah karena dia tidak memiliki uang membuat orang-orang dengan mudahnya memperlakukannya jauh dari kata manusiawi? Bahkan sahabat yang dia percaya memin
“Apa kamu gila?” Ucap Dirga.Hana menggeleng. Dia merasa alasannya masuk akal. Jika memang Dirga tidak mencintai Vanessa ya sudahi saja. Memangnya dia dalam novel? Tentu saja tidak.Dirga memegang kepalanya.“Apa kamu tahu jika pertunangan kita dibatalkan akan menyebabkan perusahaanmu dan aku mengalami kesulitan?” Tanya Dirga.Hana menggeleng. Dia tidak berfikir sejauh itu. Rupanya kisah cinta orang kaya sangatlah rumit. Seharusnya dia tetap menjadi Hana yang biasa, walaupun beban hidupnya sulit.“Perusahaanku bergerak di bidang entertainment, menghasilkan artis dan aktor terbaik setiap tahunnya. Sementara perusahaan milik keluargamu bergerak di bidang media, baik cetak ataupun elektronik. Apa sampai di sini kamu menangkap perkataanku?” Kata Dirga sambil memastikan.Hana mengangguk.“Tidak hanya karena kakek kita berdua berteman, tetapi karena kedua perusahaan saling membutuhkan satu sama lain
“Duduklah Dirga. Tidak usah tegang seperti itu.” Kata Brama.Dirga duduk di sofa yang tersedia. Brama bangkit dari kursi kerja menuju sofa di sebrang Dirga. Wajah Dirga nampak kaku. Dia berharap kakek tidak akan keterlaluan memarahinya. Dia kesal dengan sifat Vanessa yang ceroboh. Kejadian dia tercebur di kolam saja belum lama. Tetapi hari ini ada kabar bahwa dia mengalami kecelakaan kedua. Sebetulnya apa yang dipikiran Vanessa. Jika memang dia ingin berenang di rumahnya tersedia kolam, tidak harus memaksakan di kolam kotor sembarangan.“Bagaimana harimu?” Tanya Brama.“Baik seperti biasa.” Kata Dirga.“Aku dengan Vanessa mengalami kecelakaan lagi. Apakah itu benar?” Tanya Brama.Dirga menelan ludah. Ternyata apa yang dipikirkannya tepat. Brama menanyakan kabar perihal Vanessa.“Benar.” Jawab Dirga singkat.“Aku tahu kamu merasa terpaksa ketika aku meminta kamu untuk be
“Kenapa namaku tidak boleh disebut Bintang?” Tanya Dirga.Hana dan Bintang terkejut. Orang yang dibicarakan ternyata ada di belakang mereka. Bagaimana bisa Dirga datang tanpa disadari oleh mereka berdua.“Seumurmu masih haruskah diberitahu?” Tanya Bintang.Mendadak ruangan menjadi panas. Hana yang panik takut mereka berdua bertengkar akhirnya mencoba untuk mencairkan suasana. Baru kali ini dia harus bertemu dengan Bintang dan Dirga secara bersamaan.“Sebentar, bagaimana bisa kamu masuk ke sini?” Tanya Hana.“Aku?” Tanya Dirga.“Tentu saja, siapa lagi yang aku tanya.” Kata Hana.“Aku masuk tentu saja lewat pintu Vanessa. Aku heran mengapa kamu tidak tahu.” Kata Dirga.Hana menepuk pelipisnya. Dia heran sekali bagaimana bisa orang ini menjadi pimpinan perusahaan besar.“Maksudnya kami saja tidak sadar kamu bisa masuk ke rumahku.” Kata Hana.
“Apa kamu benar-benar Vanessa?” Tanya Bintang.Hana mematung. Dia kaget dengan perkataan Bintang. Tapi dia mencoba mencari cara agar Bintang tidak semakin curiga. Dia ingat perkataan Silvia apa yang akan terjadi padanya jika ada yang tau dia bukanlah Vanessa sebenarnya.“Tentu saja.” Jawab Hana. Dia berusaha tersenyum senatural mungkin, agar Bintang tidak semakin mencurigainya.Bintang kemudian melihat hasil masakan Vanessa. Dia tahu seumur hidup teman kecilnya ini tidak bisa masak. Diantara mereka bertiga Dirga lah yang bisa masak. Mengejutkan bukan seorang Dirga yang menyebalkan ternyata jago memasak.“Bagaimana bisa Vanessa yang aku kenal sedari kecil langsung berubah?” Kata Bintang sambil menyilangkan lengannya.“Berubah maksudnya?” tanya Hana.“Vanessa yang aku kenal menyentuh dapur saja tidak pernah.” Kata Bintang.Hana menelan ludah. Dia harus mencari alasan paling log
Hana duduk di meja kerja Vanessa. Meja kerjanya bersebrangan dengan meja kerja milik Silvia. Rupanya Silvia benar-benar asistennya yang setia. Dia juga turut serta untuk membuat cover dan ilustrasi untuk novel yang Vanessa buat.“Silvia?” Tanya Hana.“Iya?” Tanya Silvia balik.“Kenapa aku harus menulis novel sekarang?” Tanya Hana.“Para pembaca anda mengirimkan email kepada perusahaan, mereka menunggu anda untuk menerbitkan chapter terbaru dari series novel yang anda buat.” Kata Silvia.Hana menepuk kepalanya. Seumur hidup, dia belum pernah membuat novel. Bagaimana bisa dia meneruskan pekerjaan Vanessa. Sial sekali memang hidupnya. Sekali lagi dia menyesal, menjadi orang kaya rupanya tidak semudah yang dia pikirkan.“Aku belum punya inspirasi.” Kata Hana mencari alasan.Silvia menghela nafas. Kemudian dia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju rak buku. Ini pertama k