Share

8. Seperti Orang Lain

 “Mengapa kamu membiarkan tunanganmu sendirian di pesta?” Tanya Brama dengan wajah serius.

Dirga masih berdiri mematung. Sambil melihat dengan tatapan kesal kepada Vanessa dia menghembuskan nafas lelah terlebih dahulu. Kemudian memandang lurus kepada kakeknya.

“Dia sudah besar, bisa mengurus dirinya sendiri.” Jawab Dirga dingin.

Vanessa hanya bisa terdiam. Dia kesal mendengar jawaban Dirga, ada sedikit rasa harap dari dirinya tentang Dirga. Harapan bahwa Dirga akan berkata maaf atau menyesali perbuatannya. Namun yang keluar hanya kata-kata dingin yang menusuk hati. Sekali lagi Vanessa teringat dengan perkataan Dirga yang bilang kalau dia tidak mencintai Vanessa. Apa yang bisa diharapkannya?

“Itu betul, tapi tidak sepatutnya kamu mendiamkannya seperti ini Dirga. Kalian sudah bertunangan." Kata Brama sambil memegang kepalanya dan menghembuskan nafas lelah.

“Itu betul.” Jawab Dirga.

“Perlakukanlah wanita dengan baik Dirga.” Kata Brama.

Dalam diri Vanessa dia mencibir sikap Dirga. Baginya Dirga hanya memperlakukan Vanessa saja yang tidak baik. Sementara artis kesayangannya mendapatkan perlakuan sangatlah baik. Bahkan Dirga rela untuk menelpon Tania ketika dia jauh, berbeda dengan Vanessa yang diperlakukan seperti penjahat.

“Pada akhirnya tidak ada apapun dengannya. Dia bahkan bisa mengobrol santai dengan kakek setelah membuat seisi pesta kacau karena ulahnya.” Gerutu Dirga.

“Karena ada Bintang.” Jawab Brama.

Dirga menaikan alisnya satu. Wajahnya memperlihatkan tanda tanya dan penolakan.

“Aku masih harus menyapa tamu-tamuku yang lain Dirga. Duduklah di sebelah Vanessa sampai pesta berakhir.” Kata Brama kemudian bangkit berdiri meninggalkan mereka berdua.

Dirga duduk di sebelah Vanessa seperti yang diperintahkan, namun mereka tidak berbicara sepatah katapun satu dengan yang lain. Dirga hanya diam sambil memperhatikan acara.

Sementara itu Vanessa merasa tidak nyaman. Didiamkan sungguh menyebalkan. Apa bedanya dengan dirinya yang menunggu di rumah sakit ketika Vanessa siuman. Jika Vanessa tidak bertanya terlebih dahulu sampai beres pesta pasti Dirga tidak akan mengucapkan sepatah katapun. Akhirnya Vanessa menyerah.

“Kalau kamu mau pergi silahkan. Aku bisa menikmati pesta sendiri.” Kata Vanessa.

“Tidak.” Jawab Dirga singkat.

“Kamu marah kan?” tanya Vanessa.

“Benar, karena tingkahmu sendiri.” Ucap Dirga tajam.

“Lucu ya, bertunangan tetapi terpaksa menemani tunangannya sendiri.” Kata Vanessa.

“Ada banyak hal yang harus aku lakukan di pesta.” Kata Dirga.

Contohnya menemani artis terkenal dari perusahaanmu kemana mana kan? Gerutu Vanessa dalam hati. Namun dia tidak mampu mengungkapkannya.

“Oh.” Jawab Vanessa.

“Ada banyak kolega perusahaan di sini. Pesta ini bisa menjadi timbal balik positif dan negatif bagi perusahaan.” Kata Dirga.

“Aku serius kalau kamu mau pergi silahkan siapa tahu ada yang menunggu.” Kata Vanessa.

Vanessa bermaksud untuk menyinggung Tania secara tersirat di depan Dirga. Namun Dirga tetap menunjukan ekspresi yang sama. Entah dia peka atau tidak tentang perkataan dari Vanessa.

“Betul ada yang menunggu.” Kata Dirga terus terus.

Vanessa mendesah lelah. Dia sudah menduga jika Tania sudah menunggu Dirga.

“Kolega-kolega perusahaan yang berharga, pasti menunggu untuk diberi kabar mengenai kemajuan perusahaan di sini.” Ucap Dirga.

“Selain kolega pasti ada artis yang menunggu.” Kata Vanessa dengan tatapan tajam.

“Betul.” Kata Dirga.

“Sudah kuduga.” Ucap Vanessa spontan. Dia tidak tahan lagi ingin mengumpat.

“Kupikir karena amnesia otakmu menjadi tumpul, ternyata kamu bisa menyadari bahwa semua artis di sini menunggu feedback baik dari perusahaan.” Ucap DIrga.

Vanessa mencibir. Dia bingung apakah penjelasannya sampai di logika Dirga atau tidak. Karena ternyata Dirga merespon tentang perusahaan. Sementara yang Vanessa maksud adalah Tania.

“Bukannya kamu bersama artis terkenal itu sedari tadi?” Tanya Vanessa.

“Tania? Betul.” Jawab Dirga.

“Kenapa ga sama dia aja?” Tanya Vanessa. Dia akhirnya spontan untuk mengemukakan apa yang ada di pikirannya.

“Tania sudah dewasa, ini bukan pesta pertamanya. Dia kenal banyak orang penting di perusahaan yang bisa membuat karirnya semakin baik.” Jawab Dirga.

Jadi Tania dewasa sementara Vanessa tidak. Begitulah respon Vanessa dalam benaknya. Namun seperti tadi, dia tidak mampu mengucapkannya.

“Temani saja dia, aku tidak apa-apa.” Jawab Vanessa lelah.

“Tidak.” Jawab Dirga singkat.

“Kenapa?” Tanya Vanessa.

“Karena kakek menyuruhku di sini.” Jawabnya.

Vanessa hanya bisa terdiam mendengar jawaban Dirga. Entah kenapa semakin dia mengobrol dengan Dirga, dia semakin melihat sifatnya. Dirga adalah pribadi yang unik, sesekali terlihat angkuh, namun terkadang di depan Vanessa dia seperti anak kecil polos yang hanya mengikuti nalar, logika dan perintah dari atasannya.

“Tapi…, aku merasa aneh terkadang jika di dekatmu.” Kata Dirga tiba-tiba.

“Kenapa?” Tanya Vanessa penasaran.

“Aku merasa kamu seperti orang lain yang berbeda, terutama sifat dan respon dirimu. Biasanya kamu hanya diam saja jika kita bertemu dan tersenyum sopan lalu menundukan kepala. Namun kini kamu nampak berbeda.” Kata Dirga.

Mendengar jawaban Dirga, Vanessa merasa setuju dengannya. Dia sejak awal merasa ini bukan dunianya. Meskipun dia mendapat diagnosis amnesia dari dokter namun dunia yang dia tempati saat ini lebih terasa seperti, Dunia Khayalannya.

***

Vanessa pulang dari pesta lewat tengah malam. Dia dan Silvia nampak kelelahan. Silvia tinggal di mansion yang sama dengan Vanessa, meembuat Vanessa tersadar bahwa di rumahnya ada banyak pekerja yang tinggal bersama dengannya. Bimo rupanya memperlakukan pekerja rumahnya dengan baik, karena mereka semua diberikan tempat istirahat yang nyaman di rumahnya. Bisa jadi hal ini untuk memudahkan Bimo juga jika memerlukan bantuan mereka segera.

Vanessa yang kelelahan langsung merebahkan diri di atas kasurnya. Kasur empuk berselimut tebal tersebut membuatnya nyaman. Matanya yang sudah berat segera tertutup dalam hitungan sebentar. Membuatnya terhanyut dalam mimpi.

Mimpi Vanessa cukup aneh, dia berada di sebuah café kecil. Sepertinya kedai kopi entah di mana. Terlihat dari jejeran biji-biji kopi asli di dalam jar kaca yang unik. Pemandangan tersebut terlihat sangat familiar bagi Vanessa. Apakah dia pernah mengunjungi kedai kopi tersebut.

Tanpa dia sadari pandangannya tertuju pada seorang gadis yang usianya terlihat lebih muda dari dirinya. Gadis itu dikuncir kuda serta mengenakan topi kedai di atas kepalanya. Dia berdiri di belakang meja kasir. Sesekali memperhatikan para pengunjung yang padat menempati meja-meja tamu. Senyumnya ramah dan familiar. Namun Vanessa tidak dapat mengingat siapa gadis tersebut.

Gadis itu melihat ke arah arloji di tangannya. Sepertinya dia menunggu jam pulang kerja. Kemudian dia berbalik menuju pintu belakang. Vanessa yang penasaran mulai mengikutinya.

Brakkkk…..

Terdengar suara yang cukup keras dari balik pintu. Vanessa yang mulai memasuki ruangan melihat sesuatu yang tidak terduga di depannya. Gadis itu sedang menghadapi beberapa pekerja wanita yang lain. Seperti kasus pembulian pada umumnya dia berdiri membelakangi loker. Di depannya terlihat beberapa gadis sedang tertawa mengejek. Gadis paling depanlah yang menggebrak loker tadi. Tangannya masih menyentuh loker.

Awalnya Vanessa mengira gadis kasir itu akan ketakutan, namun nyatanya dia menatap balik dengan tatapan mengancam. Membuat naik pitam tiga gadis di depannya. Entah mengapa mimpi ini terasa nyata, aroma, suara bisa terdengar jelas oleh Vanessa. Bahkan tiap adegan serasa sangat nyata.

Gadis yang melakukan pembulian itu mendekatkan wajahnya ke gadis kasir. Dengan senyum mengejek dia berkata, “Sekarang kamu makin berani ngelawan ya Hana!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status