Drttt... drrttt... drttt...
Tria menatap ponselnya yang bergetar di atas meja. Ada nama Sena sebagai pemanggilnya di sana. Sejenak, ia hanya menatap ponselnya yang ia letakkan di atas meja bernomor 8 itu dengan bimbang. Sesungguhnya ia sendiri juga tidak yakin dengan perbuatan nekadnya ini. Menemui Sena di salah satu restaurant pada saat jam istirahat di kantornya. Ia teringat kembali pada pembicaraan sesama staff ayahnya yang tidak sengaja ia dengar pagi tadi.
"Gue nggak tahu gimana cara ngasih makan anak bini gue kalau kantor kita ini sampai tutup karena bangkrut, Han. Mana bulan depan bini gue bakal lahiran anak kedua kami lagi. Apalagi nyokap gue kan lo tau sakit-sakitan melulu. Tiap bulan harus ada jadwal cek up lagi. Uang dari mana coba buat membiayai mereka semua? Gue suntuk banget, Han."
"Ya sama, Gus. Gue juga kan harus membiayai anak bini gue. Belum lagi uang bulanan untuk biaya hidup kedua mertua gue yan
"Tri, gue emang bukan siapa-siapa lo. Tapi gue tahu masalah apa yang sedang terjadi pada keluarga lo. Sebagai teman yang tumbuh bersama sedari kecil, gue cuma mau bilang, jangan berbuat bodoh hanya karena lo mencoba untuk menjadi seorang pahlawan. Jangan pernah terlintas sedikit pun di kepala lo niat untuk berperang sendirian. Apalagi lo sama sekali nggak punya senjata. Itu namanya lo nyerahin diri untuk dibantai musuh. Mati konyol. Ingat itu baik-baik Tri."Akbar menatap tajam mata Tria yang kini berdiri saling berhadapan dengannya. Akbar bahkan menunjuk kening Tria demi untuk memperjelas maksud dan tujuan dari kata-katanya."Atas dasar apa lo ngomong begitu sama gue? Tahu apa lo soal perasaan gue? Lo itu cuma orang luar, Bar. Lo nggak ada kontribusi apa pun dalam keluarga gue, hidup gue. Kalo pun besok-besok keluarga gue bangkrut, yang ngerasain susah itu siapa? Gue dan keluarga gue kan? Bukan lo Bar! Bukan lo. Lo dan semua orang pal
"Sebelum Anda menanda tangani draft perjanjian ini, saya harap Anda membaca terlebih dahulu poin-poin pentingnya. Tanyakan kepada saya, bagian mana yang tidak Anda mengerti." Ethan Hartomo Putranto, anak pengacara gaek Hartomo Putranto menatap gadis tomboy yang duduk di hadapannya dengan pandangan skeptis. Ia merasa tidak percaya kalau seorang Naratria Abiyaksa mau melakukan perjanjian sebodoh ini."Udah lo nggak usah anda-andaan sama gue, Tan. Geli kuping gue ngedengernya. Gue udah paham poin-poinnya. Intinya gue sebagai pihak pertama dalam waktu tiga bulan ke depan terhitung setelah surat perjanjian ini dibuat, menyatakan bersedia untuk menikah dengan Sena yang disebut sebagai pihak kedua, tanpa paksaan dari pihak mana pun juga. Dan apabila kami bercerai kelak di kemudian hari, maka gue sama sekali tidak boleh menuntut soal harta gono gini terhadap pihak kedua. Begitu kan poin-poinnya? Gue udah ngerti. Siniin pena lo, biar gue tanda tanganin berkasnya." Sahut
Waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Tria membereskan meja kerjanya dengan cepat. Ia ingin segera beristirahat. Kakinya memang sudah tidak sesakit tadi. Tetapi tetap saja ia belum boleh banyak bergerak. Dokter mengatakan mungkin kakinya baru bisa sembuh total dalam waktu seminggu. Tria meraih tas slempangnya. Bersiap untuk pulang dan mengistirahatkan kakinya."Eh Tri, lo udah mau balik? Gue baru aja dateng nih. Masa lo mau maen balik aja. Kagak sopan amat sih lo?"Merlyn Diwangkara.Tubuh mungil Mer terlihat di depan pintu ruangannya yang memang tidak tertutup rapat. Tumben banget si incess oneng ini boleh berkeliaran ke mana-mana sendirian? Biasanya selalu ada ayah atau kakaknya yang menemaninya. Akhir-akhir ini malah ada seorang perwira polisi yang selalu mengawalnya ke mana-mana. Lagi pada ke manalah para pelindung si incess ini?"Lagian lo datengnya jam enam sih, Mer. 'Kan emang udah jam pula
"Sebelum gue nganter lo pulang, sebaiknya lo ngaku sama gue apa yang udah lo lakuin di belakang kami semua, Tri? Ini masalah serius. Bukan game yang kalau salah, bisa lo ulang lagi. Jangan main-main dengan hidup lo sendiri. Kalo lo nggak sayang sama hidup lo sendiri, nggak masalah. Tapi pikirkan perasaan kedua orang lo. Ibu lo bertaruh nyawa demi menghadirkan lo ke dunia ini. Sementara ayah lo, mati-matian menjaga dan melindungi lo dengan berbagai cara di luar sana. Bagi mereka masa depan lo itu segala-galanya. Pikirkan itu baik-baik, Tri." Tria tercenung. Saat ini mereka ada di parkiran kantor. Mesin mobil memang telah dihidupkan, tetapi mobil belum dijalankan oleh Akbar. Sepertinya Akbar ingin menginterogasinya terlebih dahulu sebelum mengantarkannya pulang. Tria tahu, apa yang dikatakan oleh Akbar itu benar semua. Mungkin sebaiknya ia mengaku saja. Siapa tahu akan ada jalan keluar jika ia membagi bebannya pada Akbar."Sebenernya gue--"Dr
"Tri, ada keluarga yang ingin mentaarufkan putra mereka dengan kamu. Kamu bersedia, Tri?" Suara lembut ibunya membuat Tri yang sedang mengenakan anting-anting, menghentikan kegiatannya seketika. Ia membalikkan tubuhnya, membelakangi kaca sekarang. Entah mengapa akhir-akhir ini hidupnya selalu saja dikelilingi oleh kata lamaran dan akhirnya malah ajakan taaruf. Entah kebaikan apa yang sudah dilakukannya hingga dirinya laku keras seperti ini."Tria minta maaf, Bu. Tapi Tria belum mau. Tria sedang tidak berminat untuk membicarakan masalah jodoh, pernikahan dan yang lain sebagainya. Tria masih trauma dengan kisah penghianatan Raphael." Tria terpaksa membohongi ibunya. Nama Raphael sebenarnya sudah tidak memiliki arti apa pun didalam hatinya. Ia hanya berusaha menjaga janjinya pada Sena. Itu saja. Ibunya menghela nafas panjang. Tria tahu ibunya mempercayai kata-katanya. Makanya ibunya menarik nafas panjang. Ibunya pasti kasihan padanya karena mengira kalau ia masih s
"Lo jangan ikut campur masalah gue ya, Bar? Lo bukan siapa-siapanya Tria. Jangan bilang kalo kalo lo tiba-tiba suka sama Tria? Gay kayak lo nggak mungkin tiba-tiba ganti haluan dan jadi tegang hanya ngeliat toke* perempuan. Harusnya lo tegang kalo ngeliat kegantengan gue misalnya." Tantang Raphael sinis. Hadeh, bisa perang badar ini mah!Tria melihat Akbar santai saja dikata-katai gay. Wajahnya datar-datar saja. Tidak tampak emosi yang berarti di wajahnya yang memang settingan-nya sudah datar begitu."Tau apa lo soal orientasi seksual gue? Dengar baik-baik, my titi* my rule. Bukan urusan lo untuk nentuin pada siapa dia harus tegang dan pada siapa yang tidak. Junior gue ini nggak murahan kayak lo yang langsung ngaceng kalau liat perabotan perempuan gratisan. Nggak murahan kayak lo, sampai-sampai calon ipar pun lo embat. Junior gue itu high quality, Bro. Nggak kayak lo, pikiran sama titi* sama aja. Sama-sama pendek." Tukas Akbar kalem. Altan n
"Kamu mau ngomong apa Dian? Saya rasa di sini sudah cukup jauh dari pendengaran orang-orang. Silahkan, saya menunggu. Waktu saya tidak banyak." Tukas Akbar pendek.Dian menghentikan langkahnya yang sedari tadi mengekori Akbar dan Tria. Mereka bertiga kini berdiri di ujung lorong dapur. Dekat dengan gudang penyimpanan makanan. Tempat ini memang cukup sepi. Hanya ada beberapa waitress restaurant dengan seragam khas kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Dian menatap wajah tampan Akbar dengan mata berair. Laki-laki gagah ini sudah tidak mau lagi menyebut dirinya sendiri dengan sebutan mas. Ia menyebut dirinya sendiri dengan kata saya sekarang. Akbar sepertinya semakin memberinya jarak.Akbar bahkan membawa Tria yang dipilihnya secara random, sebagai saksi untuk mencegah fitnah terhadap dirinya. Walaupun kata-katanya itu benar, tetapi tetap saja kedengarannya begitu menyakitkan."Mas, Dian ingin mengucapkan permi
Tria sebenarnya sangat bahagia mendengar pernyataan cinta Akbar. Hanya saja ia sedikit bimbang. Apakah Akbar sungguh-sungguh atau hanya menggodanya. Akbar ini kan susah ditebak orangnya. Sebaiknya ia mengetestnya saja dulu. Takutnya ia baper padahal Akbar hanya bercanda. Atau jangan-jangan ia mabuk!"Lo sehat, Bar?" Tria maju selangkah. Berjinjit sedikit dan meraba lembut kening Akbar. Tidak panas. Tria berjinjit lebih tinggi lagi sehingga hidungnya mencapai mulut Akbar."Coba bilang HAH gitu, Bar?" Sambil berjinjit Tria berpegangan pada kedua bahu kanan dan kiri Akbar. Dengan patuh Akbar melakukan semua perintah Tria. Akbar mengucapkan kata HAH dengan menyertakan aroma nafasnya."Nggak bau alkohol. Cuma ada aroma kopi dan tembakau. Berarti lo nggak mabok dong ya?" Tria bergumam sendiri.TUK! Tria merasakan sentilan Akbar dikeningnya."Gue nggak pernah minum-minuman h