Share

5. Ikatan Yang Dirahasiakan

Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.

Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.

“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”

Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.

“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”

Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?

Bisakah Brianna menghadapinya? Atau memilih untuk menghindar seperti yang telah ia lakukan dulu?

Entahlah!

Memikirkannya jelas membuat otak tidak seberapa Brianna hampir meledak.

Maka, dengan memilih untuk melupakan sejenak permasalahan yang ada, Brianna dengan malas menyeret ke dua kakinya menuju kamar mandi. Agaknya berendam dengan air hangat setidaknya bisa mengurangi beban berat yang bersarang di pundaknya.

Hampir satu jam lamanya ketika akhirnya pintu kamar mandi itu terbuka. Menampilkan Brianna yang baru saja keluar dari sana dengan bathrobe yang membungkus tubuhnya. Bersamaan dengan munculnya sosok lain yang menerobos masuk begitu saja ke dalam kamar sang wanita. 

“Apa kau memang terlahir tidak memiliki sopan santun sama sekali? Setidaknya ketuklah pintu sebelum kau masuk ke kamar orang.” Brianna mendengkus kesal, merutuki sikap pria yang seperti tidak menghiraukan ucapannya sama sekali. 

Pria itu justru tanpa diduga begitu saja meringsek ke dalam pelukan Brianna. Dengan raut wajah panik ia menarik dagu wanita itu, memeriksa sudut bibir yang terluka akibat perlakuan Ellecio tadi pagi.

“Apa ini sakit?” tanya pria itu dengan nada khawatir. “Duduklah, biar aku obati.”

Tanpa membiarkan Brianna merespon ucapannya, pria itu menarik Brianna menuju kasur lantas mengambil kotak obat yang berada di laci nakas. Membukanya secara tergesa lalu dengan cekatan memberikan obat pada luka di sudut bibir sang wanita.

“Ada apa datang ke sini?” tanya Brianna sesaat setelah pria itu menyelesaikan tugasnya sebagai dokter dadakan. Bola matanya mengikuti pergerakan sang pria yang membuang sampah dan juga mengembalikan kotak obat kembali ke tempat semula.

“Ada yang salah dari seorang saudara mengunjungi tempat tinggal sepupunya sendiri, Carol?”

Brianna merotasikan bola matanya malas tatkala mendengar pria itu menyebut panggilan masa kecilnya.

“Bisakah untuk tidak memanggilku dengan nama itu lagi? Carol telah lama mati, yang ada sekarang hanyalah Brianna. Apa kau paham Tuan Jackson Adams yang terhormat?”

Jackson tersenyum masam. “Maaf, tapi sayangnya aku lebih menyukai si lugu Carol daripada si angkuh Brianna.”

Brianna terdiam tak menanggapi, agaknya ia mencoba untuk mengabaikan ucapan Jackson sembari memilih pakaian ganti pada lemari pakaian.

“Aku mau ganti baju, bisakah kau keluar dari kamarku dulu?” 

Jackson mengangguk. "Ya, tentu saja! Take your time, Carol!" jawabnya lantas keluar dari kamar Brianna dan menunggu di ruang tengah. 

Tidak perlu waktu bagi Jackson untuk menunggu, sebab beberapa menit kemudian Brianna terlihat keluar dari kamarnya dan menghampiri Jackson dengan penampilan sederhana. Celana pendek dan paduan kaus putih kebesaran seolah tidak memudarkan kadar kecantikan yang wanita itu pancarkan. 

“Kau sudah makan?” tanya Brianna seraya melangkahkan kakinya menuju dapur. “Aku bisa membuatkanmu sesuatu. Itupun kalau kau mau."

“Tidak perlu, aku sudah membeli makan malam untuk kita.”

Jackson menunjukkan satu kantung plastik berisi dua porsi steak yang tadi sempat ia beli sebelum datang ke apartement Brianna.

“Wow, baguslah." Brianna berpura-pura terkesima. "Setidaknya kau masih punya hati untuk tidak merepotkan adik sepupumu yang cantik ini,” lanjutnya. 

"Cih! Aku tidak sekejam itu, adik sepupuku yang paling cerewet!" balas Jackson yang disambut kekehan kecil dari Brianna. 

Maka, dengan mengabaikan perdebatan konyol antar sepupu yang sudah tidak berjumpa untuk waktu yang lama, keduanya seakan larut dalam sebuah obrolan ringan sembari menyantap hidangan makan malamnya. Beberapa kali terdengar tawa yang memenuhi ruangan, lalu sesaat kemudian disusul umpatan kata binatang yang tidak pantas diucapkan.

“Carol ….”

Di sela-sela percakapan mereka, Jackson tiba-tiba saja berujar cukup serius yang membuat Brianna terpaksa menghentikan tawanya. 

“Sudah ku bilang jangan memanggilku dengan—“

“Maafkan aku,” ujar Jackson dengan kepala yang menunduk. Terdengar ada getar yang mengiringi untaian kalimat itu.

Brianna terdiam sesaat, sebelum kemudian ia tersenyum tipis seraya meraih air putih yang tersaji di hadapannya. “Minta maaf untuk?” tanyanya berusaha untuk terlihat tenang.

“Untuk semuanya,” jawab Jackson tertunduk. “Maaf karena telah menjadi kakak yang buruk selama ini, maaf karena tidak pernah ada di sampingmu saat kau terluka dan maaf karena ….“

Jackson menjeda ucapannya, agaknya ia perlu menghirup udara sebanyak-banyaknya agar dirinya bisa melanjutkan perkataannya. “Karena ... aku mungkin tidak akan bisa berada di pihakmu lagi.”

Untuk sesaat Brianna merasa dadanya berdenyut nyeri, akan tetapi sebisa mungkin ia menutupi semua itu dengan senyuman tipis. Ditatapnya Jackson lekat sebelum kemudian ia menggeleng pelan.

“Tidak apa-apa, Jack. Bukankah itu memang bagian dari kesepakatan kita sejak awal?”

“Kau hanya perlu berada di pihaknya, tetap bersamanya apapun yang terjadi. Tidak perlu lagi membelaku seperti waktu dulu. Aku tidak ingin dia salah paham dan menganggapmu menyukaiku lagi.”

“Tapi Carol ... ah maksudku Bri, tidakkah ini sangat tidak adil untukmu? Kau telah menderita selama ini dan dia—“

“Dia juga sama menderitanya denganku, Jack. Bahkan mungkin lebih.” Ucapan Brianna terdengar bergetar.

“Jadi ku mohon untuk kali ini saja, jangan pernah menghalangi apapun yang ingin dia lakukan. Biarkan dia meluapkan segalanya dan aku berjanji tidak akan melarikan diri lagi.”

Jackson mendesah frustasi, melihat sorot mata Brianna yang memohon kepadanya membuat pria itu mengalami dilema tersendiri. Ia mengusap kasar wajahnya, tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi ini.

“Oke, oke, baiklah. Tidak masalah jika kau memintaku untuk terus berada di sisinya, tapi setidaknya ku mohon kali ini ijinkan aku untuk menjadi kakak sepupu yang baik untukmu."

Alis Brianna berkerut. “Maksudmu?” tanyanya tak mengerti arah pembicaraan Jackson.

“Tentang kondisimu. Apa kau sudah ke dokter bulan ini? Apa obatmu sudah kau minum secara  rutin?”

Brianna lagi-lagi terdiam. Inilah yang ia sangat benci dari orang-orang yang mengetahui tentang kondisinya.  Tatapan iba itu benar-benar membuatnya muak. Ia benci ada orang yang menunjukkan rasa kasihan padanya, benci ada orang yang meneteskan air mata hanya karena dirinya dan Brianna benci karena telah membuat orang-orang di sekelilingnya menderita.

“Kau tenang saja, Jack. Adikmu ini baik-baik saja. Selagi kau belum melihatku terkubur bersama peti mati di atas tanah pemakaman, itu artinya aku masih baik-baik saja.”

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status