Share

2. Pertemuan Kembali

Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.

Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.

Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.

Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.

Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya yang berasal dari gedung-gedung pecakar langit seolah menambah kesan metropolis dari kota yang terletak di sebelah pantai barat Kanada itu.

Namun terlepas dari semua itu, Brianna tidak begitu yakin jika keindahan yang baru saja ia saksikan bisa membantu meredakan rasa cemas yang menggelitik nalurinya.

Sebab, meski gaun merah yang membalut tubuhnya dan stiletto setinggi sepuluh senti meter itu mampu membuat penampilannya tampak menakjubkan seperti pemenang Miss Universe—Catriona Gray, akan tetapi Brianna masih saja merasa ragu akan pilihannya kali ini.

Entah karena apa, yang pasti ia merasa akan ada sesuatu yang terjadi kepadanya.

Namun sebisa mungkin Brianna dengan cepat mengenyahkan segala pikiran negatifnya. Ia berkali-kali terlihat menghempuskan nafas sebelum kemudian melangkahkan kaki jenjangnya memasuki pelataran gedung Plaza Hotel.

“Selamat datang nona Brianna,” sambut seorang pelayan hotel yang dibalas Brianna dengan sebuah lipatan samar di dahi. Sedikit terkejut sebab pelayan hotel itu bisa langsung tahu namanya tanpa perlu bertanya.

Apakah  pria itu yang telah mengatur segalanya?

Brianna terdiam sejenak, akan tetapi itu tidak berlangsung lama sebab setelahnya pelayan hotel itu kembali berkata, “Silahkan lewat sini, Nona. Tuan sudah menunggu anda di atas.”

“Ya, terima kasih,” jawab Brianna kemudian.

Lantas tanpa perlawanan Brianna begitu saja mengekori langkah wanita muda itu yang menuntunnya menuju lift, meski dalam diam ia penasaran setengah mati akan sosok pria yang akan ia temui. Apakah dia adalah orang penting sampai-sampai pelayanannya sebaik ini?

“Ehm, bolehkah aku tahu pria seperti apa yang akan aku temui?” tanya Brianna ketika mereka baru saja masuk ke dalam lift.

Pelayan wanita itu tersenyum sembari menggeleng tipis. “Maaf Nona, saya tidak ada kewajiban untuk menjelaskannya kepada anda. Nanti juga nona akan tahu sendiri.”

Brianna memutar bola matanya malas sebab wanita itu sama sekali tidak menjawab rasa penasarannya. Selanjutnya ia memilih diam hingga mereka sampai di depan kamar dengan nomor 1402.

“Silahkan masuk, Nona.” Pelayan wanita itu membuka pintu dengan kartu akses yang dibawanya. Mempersilahkan Brianna untuk segera masuk ke dalam sana. 

Sejenak Brianna nampak meragu, memandang bagaimana ukiran nomor berwarna kuning emas itu seakan memaksanya untuk mengingat kenangan masa lalu. Sebuah kombinasi angka yang sangat Brianna benci. Angka dari tanggal dan bulan kelahirannya.

Brianna ingat betul dulu ia sangat membenci hari ulang tahunnya, sebab di hari itulah segela kesialannya dimulai. Segala takdir yang terjadi dalam hidupnya dimulai dari kombinasi angka tersebut. Dalam hati Brianna berdoa, semoga saja kali ini ada nasib baik yang telah menantinya.

“Nona ….”

Untaian kata yang terlontar dari mulut wanita muda itu berhasil membuat Brianna kembali dari memori lama yang berusaha menariknya. Kemudian dengan sebuah anggukan tipis ia lantas mengikuti intruksi pelayan hotel itu untuk segera masuk ke dalam.

Hal pertama yang Brianna lihat setelah pintu kayu itu tertutup adalah sebuah ruangan luas dengan segala fasilitas kelas atasnya.

Didominasi warna putih dan emas, ruangan itu nampak megah dengan sebuah chandelier yang menggantung tepat di tengah. Juga terdapat ranjang ukuran king size yang berpadu dengan spray putih. Belum lagi mini bar yang terletak dekat dengan balkon kamar.

Namun bukan hal-hal itu yang menjadi fokus Brianna, sebab pria yang sedari tadi memunggunginya terlihat lebih menarik perhatiannya. Berdiri menghadap balkon dengan pencahayan remang yang menyulitkan Brianna untuk dapat melihat jelas bagaimana rupa pria gay yang harus ia rayu.

“Ehm,” Briana berdeham mencoba menyadarkan pria itu akan kedatangannya.

Akan tetapi pria misterius itu tetap tidak bergeming, masih tetap pada posisi memandangi pemandangan lampu kota di luar sana. “Tuan, saya Brianna yang—“

“Hai, Bri.”

Sebuah sapaan dari suara baritone itu spontan membuat Brianna membeku. Apalagi ketika pria itu membalikkan badannya, tersenyum sinis menatap Brianna yang nampak terkejut dengan sosok yang berada di hadapannya.

“Ellecio .…”

Brianna tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lidahnya tercekat saat mengetahui jika pria gay yang dimaksud adalah Ellecio William. Pria yang membencinya setengah mati, pria yang menaruh dendam kesumat kepadanya.

“Lama tidak bertemu, tidak ku sangka jika kau masih mengingat namaku, Brianna Caroline.”

Ellecio perlahan mendekat, cukup puas melihat bagaimana Brianna tidak bisa berkutik di hadapannya. Mata elangnya menelisik penampilan wanita itu, nampak sangat glamor dengan gaun merah yang sangat pas melekat di tubuhnya. Jika saja dia bukanlah Brianna, sudah pasti tanpa pikir panjang Ellecio akan melempar wanita itu ke atas ranjang sekarang juga.

Namun karena itu adalah Brianna, jelas Ellecio ingin bermain terlebbih dahulu. Bermain sampai puas sebelum membuatnya hancur berkali-kali. Seperti apa yang dilakukan oleh wanita itu delapan tahun yang lalu.

“Terkejut?” tanya Ellecio tepat saat pria itu menghentikan langkah di depan Brianna.

Jemarinya terulur guna membelai wajah Brianna dengan punggung tangannya. Menyingkirkan beberapa helaian anak rambut yang melekat di pipi sang wanita lalu menjalar turun menuju bibir merah merekah itu.

Sejenak Brianna dapat merasakan bagaimana respon tubuhnya yang terasa memanas. Aroma musk yang membelai indera penciumannya nyaris membuat Brianna melayang sebelum kemudian secara perlahan kembali menyadarkan diri untuk tidak terbuai lebih jauh.

Sedikit mundur, Brianna lantas menarik sudut bibirnya, memasang wajah angkuh yang sangat tidak disukai oleh Ellecio.

“Oh, jadi kau seorang gay?” tanya Brianna dengan nada mengejek yang kentara. Memandang Ellecio begitu rendah.

“Wow, mengejutkan sekali, Setelah sekian lama tidak ku sangka jika kau tumbuh menjadi pria yang suka produk batangan.”

Ellecio mendengkus kesal, benci karena Brianna seakan tidak terpengaruh dengan dominasinya. Namun tentu Ellecio tidak akan kehabisan akal, dengan tangan kekarnya ia manarik tubuh ramping Brianna, melemparnya ke tempat tidur lalu mengurungnya dengan kedua tangan.

Matanya menatap lurus Brianna di bawah sana, mengisyaratkan ada sebuah luka lama yang ingin ia luapkan saat itu juga. tapi Ellecio memilih untuk memendamnya kembali dan justru memasang senyum miring dan tatapan yang sulit diartikan.

“Ya, dan aku begini itu semua karena dirimu, Bri. Jadi bertanggungjawablah dan biarkan aku mendesah di antara ke dua kakimu.”

Di bawah sana Brianna justru mendecih, balas menatap Ellecio dengan senyum miring yang tidak kalah memuakkan. Ia bertekad tidak akan membiarkan Ellecio mengintimidasinya.

“Memangnya kau bisa?” tanya Brianna terkesan mengejek.

Ellecio terkekeh tipis mendengar pertanyaan Brianna, dengan tampang tengilnya ia memainkan lidahnya di dalam mulut sebelum berujar,

“Kau meragukanku?”

Perkataan Ellecio tadi spontan berhasil melenyapkan senyum yang terukir di wajah Brianna. Ingin rasanya ia menyumpahi kebodohannya. Bagaimana ia bisa tertipu oleh si gremo sialan itu? 

Jelas-jelas pria di atas tubuhnya ini bukanlah seorang gay.

“Brengsek! Kau menjebakku?” geramnya sembari mencoba melepaskan diri dari kungkungan Ellecio, mendorong tubuh kekar itu sebisa mungkin.

Akan tetapi kekuatannya jelas kalah dari Ellecio. Pria itu justru menahan dorongannya dan malah berguling hingga posisi mereka kini berbalik. Ellecio di bawah dan Brianna terkunci di atas dada sang pria.

“Aku tidak merasa menjebakmu, Bri. Kau sendiri yang membawa dirimu masuk. Jadi jangan berpikir untuk mencoba kabur lagi. Sampai mati aku tidak akan melepaskanmu.”

Brianna bergidik ngeri, kesungguhan di mata Ellecio membuat pertahanan jiwanya terancam. Bertahun-tahun ia mencoba menghindar dari pemuda itu, akan tetapi sekarang justru dirinya sendiri yang membiarkan kekuasaan Ellecio mengurungnya.

Sial!

“Kau pikir semudah itu?”

Berusaha mempertahan harga dirinya di hadapan Ellecio, Brianna sebisa mungkin tidak menunjukkan sikap lemahnya. Ia justru terlihat semakin menantang pria itu dengan memain pola abstrak di atas dada bidang sang pria.

“Jika kau bertekad tidak akan melepaskanku sampai mati, maka aku akan mati terlebih dulu untuk bisa terlepas dari bajingan sepertimu.”

Dengan sekali hentakkan Brianna akhirnya bisa meloloskan diri dari rangkulan Ellecio, sedikit merapikan penampilannya yang berantakan, ia memandang sekilas ke arah Ellecio yang masih terbaring di atas ranjang.

“Kau seharusnya berpikir dua kali jika ingin berurusan denganku, El. Apa kau tidak takut jika aku akan membunuhmu?” Sudut bibir Brianna terangkat, melihat bagaimana Ellecio menatapnya dengan setumpuk kebencian.

Tidak apa-apa. Setidaknya tatapan benci lebih baik daripada tatapan iba. Sebab Brianna benci bagaimana tatapan iba itu membuatnya terlihat begitu menyedihkan.

“Jika tidak ada yang ingin kau katakan lagi, lebih baik jika aku segera pergi dari hadapanmu. Bukankah kau muak setiap melihat wajahku?” lanjut Brianna ketika Ellecio masih memilih bungkam daripada menanggapi segala celotehnya.

“Selamat tinggal, El. Ku harap tidak ada hari esok untuk kita bertemu kembali.”

Tanpa menunggu Ellecio membuka mulutnya, Brianna sudah lebih dulu melangkahkan kakinya pergi. Perlahan berjalan menjauhi pria itu tanpa menoleh sedikit pun.

Berharap jika ini memang adalah pertemuan terakhirnya dengan Ellecio. Ia tidak mau memiliki hubungan apapun dengan pria itu. Tidak untuk membuat luka lama yang telah mengering kembali tergores oleh luka baru yang hanya akan menyakiti ke duanya.

“Pembunuh!”

Ucapan Ellecio sontak menghentikan gerakan tangan Brianna yang hendak memutar kenop pintu. Pegangannya mengerat, seakan mencari kekuatan agar dirinya tidak ambruk saat itu juga.

Pembunuh?

Entah kenapa kata itu seakan berhasil menancap tepat mengenai jantungnya. Rasanya seperti diremas dengan sangat kuat, rasa sesak itu perlahan memenuhi rongga dadanya.

“Sebagai seorang yang pernah membunuh seseorang, nyalimu cukup besar juga.” Entah sejak kapan Ellecio tiba-tiba sudah berada di belakang Brianna, berbisik tepat di telinga wanita itu.

“Tapi jangan berpikir jika aku akan melepaskanmu semudah itu, Bri. Kau harus membayar semuanya dan aku akan menghancurkan hidupmu sehancur-hancurnya.”

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status