i·dol·a·try īˈdälətrē noun : An extreme admiration, love, or reverence for someone. "She was afraid her attraction towards him was increasing to idolatry." UNEDITED
View MoreBRAK!
“Lelet sekali! Apa yang kamu lakukan di sini? Jangan coba-coba membuat Tuan Muda Gavin emosi karena terlalu lama menunggu perempuan nggak berguna sepertimu!”
Mendengar itu, Inara yang baru saja mengenakan gaun yang diberikan padanya--terlonjak kaget.
Gadis berusia 21 tahun itu
datang ke sana karena tawaran pekerjaan part-time dari temannya sebagai pelayan restoran. Namun entah mengapa, ia justru berada di klub dengan pakaian yang sungguh terbuka.Inara pun menarik tangan dan berusaha menutupi bagian dadanya yang terbuka. "Maksud Bapak?""Ck! Tak usah banyak tanya." Pria berbadan kekar langsung menarik Inara untuk mengikutinya sepanjang koridor klab malam yang bising dan penuh asap rokok.
“P-Pak ….” lirih Inara dengan wajah ketakutan, “saya mau dibawa ke mana, Pak?”
"Jangan pura-pura bodoh!" Si lelaki berdecak kesal. "Lakukan saja apa yang biasanya kamu lakukan sama para pelangganmu!”
Deg!
Pelanggan? Apa maksud pria ini? Ia sama sekali tidak berprofesi sebagai pedagang yang memungkinkannya memiliki pelanggan. Tapi, Inara tak sempat lagi berkata apapun karena tubuhnya kini dilempar masuk ke sebuah ruangan remang-remang.
Perempuan itu memperhatikan sekeliling, tampak olehnya sebuah ranjang besar dan megah di tengah ruangan, serta seperangkat sofa yang terlihat mewah.
Selain itu, yang membuat Inara merasa semakin dihimpit oleh firasat buruk adalah, siluet seseorang yang sedang duduk di atas sofa dengan kedua kaki diselonjorkan ke atas meja."Ha-halo ...." Inara mencoba menyapa. Ia berdiri dengan canggung.
Kedua tangannya juga mencengkeram ujung gaun yang menurutnya sangat kependekan, mencoba menarik ujung gaun itu agar sedikit lebih panjang. Sayangnya, ujung gaunnya masih berada jauh di atas lutut.
Seketika, siluet itu mulai bergerak dan melangkah mendekat.
Meski di bawah remangnya cahaya lampu tidur, Inara dapat melihat seorang pria muda yang tampan tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan handuk terlilit di pinggang!
Inara bahkan bisa melihat tubuhnya kekar.
"Kamu terlambat hampir sepuluh menit. Buang-buang waktuku saja." Suara baritonnya terdengar dingin.
Seketika Inara mencium bau alkohol yang kuat menguar darinya.
Inara reflek mundur hingga punggungnya membentur daun pintu.
Hanya saja, ia tak menyangka bahwa tubuh mungilnya mendadak ditarik dan dihempaskan di atas ranjang.
"Kamu datang untuk memuaskanku, kan?" ucap Gavin cepat, "kenapa malu-malu?"
Seperti gong besar dipukul di atas kepalanya, ucapan pria itu menyadarkannya sesuatu.
Pekerjaan sebagai waitress yang dijanjikan salah seorang kenalannya ternyata hanyalah penipuan besar! Inara telah dijual pada laki-laki asing ini.
"Saya minta maaf, tapi mungkin ada kesalahpahaman di sini." Dengan sisa keberanian yang ia miliki, gadis itu mencoba menjelaskan, "Saya mendaftar sebagai waitress dan bukan–"
"Kesalahpahaman?" potong lelaki itu cepat, "Bukankah temanku yang sudah mengutusmu ke sini untuk melayaniku?"
Mendengar itu, tubuh Inara semakin gemetar hebat. Tanpa sadari, dua butir air mata justru luruh membasahi pipinya yang putih.
Sialnya, hal ini justru membangunkan singa tidur dalam diri Gavin yang sebagian kesadarannya berada di bawah pengaruh alkohol.
Inara bahkan bisa merasakan sesuatu milik pria itu yang mengeras di pangkal pahanya. "T-Tuan ...."
“Diam!”
Gavin mendekat dengan langkah terhuyung dan kesadaran yang kian hilang.
Tubuh kekarnya menghimpit Inara dalam kungkungan hawa nafsu.
Padahal awalnya, Gavin tidak terlalu tertarik dengan tantangan temannya untuk membuktikan bahwa dirinya normal.
Ia hanya ingin sedikit bermain-main saja.
"Ah..."
Erangan Inara dimanfaatkan Gavin dengan cepat. Ia segera meraup bibir Inara dengan rakus.
Jari-jemarinya juga lincah melepaskan gaun Inara.Gavin terdiam sejenak memandang tubuh polos perempuan itu. Meski ini pertama untuknya, entah mengapa tangan pria itu otomatis bergerilya di tubuh Inara.
"Cantik sekali!"
Ciuman pria itu semakin turun ke bawah menggoda Inara yang merasakan geli di perutnya.
Tak butuh waktu lama, keduanya merasakan kenikmatan yang belum pernah mereka ketahui. Tubuh mereka seolah diciptakan untuk satu sama lain.
"Mengapa sulit sekali?" bingung Gavin saat mencoba ke permainan inti. Ia pun menghentakkan tubuhnya semakin keras.
Inara sontak merasakan sakit di bagian bawahnya. "Arrghh..."
"Sst... relax!" Gavin mencoba menenangkan.
Pria itu bergerak perlahan--membuat Inara tampak mulai kembali merasakan kenikmatan.
Melihat itu, Gavin semakin bersemangat. Hentakan pria itu semakin menggila membuat desahan dan lenguhan memenuhi kamar itu.
*
“Lho, Gina sudah pergi. Dia pindah ke luar kota sejak semalam padahal masa sewa kamarnya masih ada tiga minggu lagi. Kamu ini siapanya? Temannya?”
Inara tertegun mendengar ucapan wanita di hadapannya. Ia mematung dengan kaki yang mendadak lemas.
Pagi tadi ia terbangun dalam keadaan kacau. Meski demikian, Inara langsung memutuskan pergi diam-diam, meninggalkan pria tampan yang masih pulas tertidur di sampingnya. Dia bermaksud meminta pertanggungjawaban dari temannya itu.
Namun, apa yang justru ia dapat? Temannya itu justru sudah tak ada di tempat!
“Ke mana dia pergi, Bu? Apa dia nggak pamit sebelum meninggalkan kost?” tanya Inara dengan suara bergetar menahan tangis.
Wanita pemilik kost itu menggeleng, memandang Inara penuh telisik. “Saya nggak tahu. Dia sempat bilang mau pindah ke luar kota beberapa hari yang lalu, tapi luar kota mana, saya juga nggak tahu.”
Tangan Inara sontak mengepal, menahan marah.
Ia tidak tahu lagi ke mana harus mengadu, sementara fisik dan psikisnya seperti telah remuk redam. Bayangan Ibu pengelola panti yang terus-menerus menyindirnya sebab tidak memiliki pekerjaan layak di usia yang sekarang kembali melintas.
Pekerjaan yang dijanjikan untuknya, palsu! Ia justru dinodai oleh pria yang sama sekali asing. Lantas, bagaimana jika wanita paruh baya itu mengetahuinya?
"Memangnya sepagi ini kamu baru dari mana?"
Wanita penjaga kost itu bertanya lagi, kali ini dengan nada mengejek. Jelas sekali, pandangannya jatuh kepada gaun Inara yang agak terlalu terbuka, serta penampilannya yang berantakan. Lebih dari itu, bekas-bekas merah kehitaman di sekitar leher dan dada gadis itu agak sulit untuk diabaikan begitu saja.
Sadar akan itu, Inara segera menunduk. Dengan cepat, ia pun undur diri dan kembali ke panti asuhan, tempatnya tinggal. Harga dirinya seperti diinjak-injak mendapatkan pandangan semacam itu pada waktu sepagi ini.Hanya saja, pulang pun sepertinya tidak banyak membantu. Ketika sampai di sana, ia kembali mendapatkan pertanyaan serupa.
“Astaga, Inara! Kamu dari mana saja? Kenapa penampilan kamu seperti itu?”
I was sitting in AP English, finishing a handout to pass time as I waited for the bell to ring-signalling class to start."Eliza."I didn't bother looking up as Preslie called out my name in a sing-song voice. She hopped into the desk beside mine. "It has been three days since Dallas asked you-and you have refused to talk about it. You haven't said a word about it."I continued jotting down answers on my paper. "Have you also been timing how many seconds it's been since Black Sabbath broke up?"Preslie rolled her eyes at my remark. She leaned over, hovering over me to catch my attention. "I just want some details!""You were right there when it happened. You know the story as well as I do." It was almost amusing how much Preslie was highlighting this. At least one of us was excited about the ordeal I had put myself in.Preslie groaned. "At least tell me what the plan for tonight is.""What is the plan for tonight?" I asked, still looking at my papers with a playful smirk on my face. I
"Preslie, can you hurry up? I can't feel my ass." I groaned, tapping my foot impatiently as I waited for her to finish curling my hair."Stop whining, you look amazing." She smiled as she finished the last strand. "We've been waiting for tonight for so long and now it's finally here. How do you feel?""We weren't waiting for it, you were." I rolled my eyes, standing up and taking a look at myself in the mirror. I had to admit that I did look pretty good.I liked my dress more than I thought now that I was all dressed up. For some reason, I was starting to get a little excited which was weird for me."You look so cute," Ocean smiled, coming over to Preslie and I by the vanity with her phone out ready for snapchat pictures.Preslie was wearing a long and elegant satin light pink dress that has a sequenced piece around the waist. It made her look like a princess and suited her personality.Ocean was wearing a long, light blue, sleeveless dress that flowed gracefully and was jewelled at t
"Preslie, can you hurry up? I can't feel my ass." I groaned, tapping my foot impatiently as I waited for her to finish curling my hair."Stop whining, you look amazing." She smiled as she finished the last strand. "We've been waiting for tonight for so long and now it's finally here. How do you feel?""We weren't waiting for it, you were." I rolled my eyes, standing up and taking a look at myself in the mirror. I had to admit that I did look pretty good.I liked my dress more than I thought now that I was all dressed up. For some reason, I was starting to get a little excited which was weird for me."You look so cute," Ocean smiled, coming over to Preslie and I by the vanity with her phone out ready for snapchat pictures.Preslie was wearing a long and elegant satin light pink dress that has a sequenced piece around the waist. It made her look like a princess and suited her personality.Ocean was wearing a long, light blue, sleeveless dress that flowed gracefully and was jewelled at t
Preslie was going on all morning about the ball since it was just in a week. I wasn't surprised to hear her yapping off about it but eventually I was tired and irritated of talking about how she wanted to curl her hair so I left.In our school, on the third floor there was a room at the end of the hall that had these massive windows that went up to the roof and overlooked the whole entire football field, parking lot and even further. No students were allowed in there unless it was for a necessary reason but me being me, I somehow had a key. Not that I needed one because picking locks was a talent I had.I was having a weird few days ever since that harsh conversation I had with River so I was never really in the mood to talk to people lately. I was constantly finding myself going back and thinking through River's words over and over again.I was leaning against the banister and staring out at the empty, snow covered field when a presence came behind me."What are you doing here?"I tu
Preslie was going on all morning about the ball since it was just in a week. I wasn't surprised to hear her yapping off about it but eventually I was tired and irritated of talking about how she wanted to curl her hair so I left.In our school, on the third floor there was a room at the end of the hall that had these massive windows that went up to the roof and overlooked the whole entire football field, parking lot and even further. No students were allowed in there unless it was for a necessary reason but me being me, I somehow had a key. Not that I needed one because picking locks was a talent I had.I was having a weird few days ever since that harsh conversation I had with River so I was never really in the mood to talk to people lately. I was constantly finding myself going back and thinking through River's words over and over again.I was leaning against the banister and staring out at the empty, snow covered field when a presence came behind me."What are you doing here?"I tu
Hey." Orion exhaled, standing at my doorstep."Hi." I sighed, stepping out and closing the door behind me."Your house is really nice." He complimented as we started walking down the driveway to his car. "And uh... you look nice."I smiled, "Thank you, my moms, big on the interior and exterior designing. And thank you again, I... I don't know, it's a party and if I show up in sweats I won't hear the end of it from Preslie." I was a little flattered because I wasn't wearing anything special. I was in a casual but cute outfit. I was just glad it was too cold out for girls to be dressed in bras and booty shorts. These were the many reasons I hated parties.Orion chuckled, "She is very persistent.""Very." I chuckled lightly as Orion opened the car door for me and waited for me to get in before closing the door and walking around the car."I don't usually see you at these parties. Not that I go to many myself unless I'm dragged there." Orion glanced at me for a split second before focusin
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments