Hampir seharian Belle mogok makan. Seheboh apapun Marlon berjoget sama sekali tak membuka mulutnya walau secenti. Untung Marlon pemilik perusahaan, kalau tidak mungkin dia sudah dipecat karena bolak balik libur. Tanpa sinyal istrinya itu ngambek setelah menaruh susu di meja tadi pagi. Di saat Marlon bertanya apa ada masalah? Hingga kini Belle bungkam, bahkan tak berbicara sepatah kata.
"Ayolah, katakan sesuatu. Aku tidak tahu apa salahku jika kau berdiam terus," pinta Marlon terkesan memohon. Karena jauh lebih baik dia mendengar Belle menghinya, ketimbang harus diam.
Hening.
Tetap nihil, hanya suara detak jam yang terdengar saking sunyinya ruangan.
"Bell, oh astaga, apa kau kerasukan?" tanyanya sambil menarik rambut frustrasi, tidak pernah terbayang oleh Marlon punya istri sesulit ini.
Tatapan Belle kosong, lurus ke depan, dengan mulut terkunci rapat, dan tanpa ekspresi. Sesuatu telah meracuni pikirannya, tak ada yang tahu termasuk Marlon. Perasaan gadis itu selalu berubah-ubah. Sesaat Marlon berbalik, sebab merasa lelah sendiri, isak tangis Belle pecah.
"Huhuhu, hiks!"
Mendengar isakan itu otomatis Marlon menoleh, wajahnya sudah kusut masai. Duduk di hadapan Belle dengan agak lega. "Akhirnya kau bersuara."
"A-ku hamil." Isak tangis Belle semakin menjadi, ditariknya kerah kemeja Marlon, lalu dipukulnya dengan membabi buta. "Gara-gara Paman, setiap malam kau tidur denganku. Aku tidak mau hamil."
Serius! Spontan kedua bola mata Marlon berbinar, ini penantian yang dia tunggu selama berbulan-bulan. Marlon mengambil kalendar yang terciduk, berikut spidol hitam, lalu melingkari tanggal 29.
"Tidak! Aku tidak mau. Oh ya Tuhan, aku belum siap gendong anak, huhuhu." Belle semakin terguncang saat Marlon kegirangan, lelaki tua itu memang tak pernah mengerti. Egois.
Belle sedang bermuram durja, Marlon malah cengar cengir sendiri, bodohnya dia sudah menandai kapan calon anaknya lahir. Konyol.
"Ah, Sayang, kau harus bersiap-siap, aku akan mengadakan makan malam istimewa untuk menyampaikan kabar baik ini pada keluarga kita." Bergegas keluar, Marlon tampak sibuk dengan ponsel di tangan, tanpa melirik nasib Belle yang kian menyedihkan.
Mau tak mau akhirnya Belle mengenakan gaun sutra merah pemberian Marlon seminggu lalu, itu juga karena dia berkata keluarga Chambell turut hadir di meja makan. Sebagai anak tentu Belle tidak ingin terlihat buruk di depan orang tuanya. Jadi dengan menghadap kaca rias dibentuknya puluhan wajah ceria tanpa cacat.
"Begitu kau melewati pintu keluar, kau harus tetap tersenyum lebar sampai urat-urat gigimu terlihat." Yaks! Sedikit lagi, tahan sebentar, AH bagus sekali. Cantik.
"Bell ..." panggil Marlon, pada detik berikutnya menelan ludah manakala melihat senyuman Belle yang terlampau lebar.
Bukan terlihat bagus malah jadi aneh. Senyumannya tidak mengecil sedikit pun sejak Marlon muncul hingga detik ini, bahkan giginya sampai kering. Sambil menggeleng gemas Marlon menekan kedua pipi Belle, otomatis bibir mungilnya mengerucut.
"Ih, Paman, biarkan aku tersenyum terus!" pungkas Belle menangkis tangan Marlon.
Enggan membesarkan hal sepele, Marlon menghela sisi tubuh Belle keluar. Di meja makan telah kumpul keluarga besar mereka plus Candice. Keduanya ikut bergabung setelah pelayan mempersilakan. Tak mangkir semua orang menatap Belle, termasuk Marlon si pembuat acara. Lelaki itu hanya tersenyum miring sebelum berkata.
"Istriku Belle terlalu bahagia, maka dari itu senyumnya tak santai." Perkataan Marlon sontak memadamkan senyum Belle, itu tidak benar. "Dengan bangga kami kabarkan bahwa istriku tengah mengandung."
"Kau jangan berbangga dulu, Belle!" Gloe bangkit dengan seringai buas, di luar ekspetasi, dia berpikir ibunya juga akan bahagia.
Ternyata ...
"Belum tentu Bell, anakmu berjenis kelamin laki-laki, kuperingati sekali lagi aku tidak menginginkan cucu perempuan." Melebarkan kipas andalannya, Gloe ketawa terpingkal-pingkal.
Mengeram rendah, tanpa bisa dikendalikan Belle merampas kipas di tangan Gloe, lalu merobeknya dengan cepat. "Lihat saja, jika aku melahirkan nanti, tidak kuizinkan ibu mertua menggendong anakku."
Sementara Gloe mendelik marah, bukan membela Marlon dan Rose malah menekap mulut seakan menahan tawa, kecuali Candice. Hanya dia yang sibuk mengipasi. Fiuuh! Diikuti oleh beberapa pelayan juga adik-adiknya Belle, kasihan melihat si nyonya banjir keringat.
"Sudah cukup! Ayo kita mulai makan besar, susah memang bicara dengan anak kecil, eowh." Mulut Gloe melebar ke arah Belle, mirip ikan koi kelaparan.
Hidung Belle mengembang, napasnya memburu cepat. Gloe memang kejam dan bukan mertua yang baik. Tetapi, tidak bisakah dia bersikap lembut seperti dirinya memperlakukan Candice si gadis asing? Sejauh ini Belle banyak mengalah. Gloe selalu merendahkan bahkan mengatakan hal yang tidak benar kepada Marlon, menghasut.
"Khusus untuk istriku tercinta, aku ambilkan berbeque, dan segelas anggur merah." Dengan sigap Marlon menancap potongan daging, lantas menggigitnya sedikit. "Yummy, enak sekali, kau harus makan ini Bell."
"Benar, rasanya sangat enak, seperti makanan di restaurant mahal." Damon menimpali dengan norak, mulutnya kerap mengemut jari yang terkena bumbu.
"Ah, iya, benar sekali, boleh aku menghabiskan semua?" Kali ini Ernest yang berbicara, diangguki oleh keempat adik Belle dengan wajah belepotan.
"Kakak tertua, aku mau minum dengan gelas yang digunakan nyonya Gloe." Tidak bisa melarang, Gloe hanya melotot saat Marlon mengabulkan permintaan adik Belle. Memberi gelas berharganya tanpa syarat.
Kepala Gloe berputar kuat, seakan sedang naik roller coaster tertinggi di dunia. "Oh, my god! Bagaimana bisa aku makan bersama orang-orang miskin dan kotor seperti mereka?" tanyanya pada Candice, gadis itu pun mengendik.
Melihat kegembiraan ayah, ibu, dan keempat adiknya Belle tersenyum hangat. Sungguh! Belle senang sekali bisa menjadi bagian dari kebahagiaan mereka, baru kali ini makan enak. Tidak mengambil bekas orang lagi atau mengharap belas kasihan penakluk uang.
Menerima gelas pemberian Marlon, tiba-tiba Rose menyela sambil melotot. "Kau hamil Bell, ah Paman sebaiknya berikan minum yang tidak mengandung alkohol demi keamanan."
"Tapi aku mau coba Rose, aku suka warnanya."
"Kau harus mendengarku, Bell, aku tidak mau kau sakit, apalagi mencelakai calon anakmu." Lagi, Rose bersikeras, melirik Marlon hanya percuma. Lelaki itu tampak tidak peduli.
Keduanya terus berdebat menguji minuman tidak bersalah, menjadi hiburan unik di meja makan, yang didedikasikan oleh ponsel. Siaran langsung berakhir. Damn! Marlon mengumpat sesaat Belle merampas benda pipih itu, padahal barusan dimulai. Gadis-gadis liar di luar sana juga baru saja melambai genit.
"Malu sama umur Paman, badan, suara, porsi makan, yang semua serba jumbo!" Belle berteriak di kuping Marlon, seluruh pelayan langsung berbisik-bisik.
Belle pun menoleh garang, tapi sama sekali tak ngefek.
"Suami hendak berbagi kebahagiaan dilarang."
"Masih untung tuan Marlon mau sama dia, dadanya rata seperti papan giling."
"Dasar calon ibu yang aneh, dan ketinggalan zaman."
Bibir mungil Belle langsung melengkung ke bawah. Dia tak pernah berpikir dengan kehamilan dapat memperburuk suasana hatinya, ditambah respon orang sekeliling. Marlon dan Rose yang menyebalkan, keluarga sendiri masa bodoh, serta Gloe semakin mengompori pelayan, juga Candice si gadis asing tentu berada di pihaknya meski dia diam.
Bahkan ini baru di awal kehamilan, Belle sudah menderita, bagaimana dengan hari selanjutnya, huh?
Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.Seperti ini ..."Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur."Tidak.""Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus."Bell ...""Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang
Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle."Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle
"Paman sudah pulang?" sambut Belle menopang sikunya, menyamankan beban tubuh untuk bangkit.Tertatih-tatih Belle datang menghampiri Marlon yang terduduk di sebrang. Lelaki itu kelihatan sangat lelah sampai bicara saja enggan. Belle tersenyum hangat, membelai pipi kiri Marlon sebelum melepas dasinya, lalu duduk di pangkuan beliau bersandar manja. Tidak seperti biasa kali ini kedua tangan Marlon diam, terasa kaku, sama sekali tak membelai rambut Belle atau mengelus perutnya kian lama semakin besar.Itu membuat Belle bingung sehingga dirinya bangkit, menatap Marlon seksama, dan bertanya lirih. "Kau baik-baik saja? Atau ..."Kriing! Belle meremas ujung daster hamilnya sesaat mendapati Marlon beranjak mengangkat telepon, berbicara cukup lama sampai kakinya sendiri terasa kram.Batin Belle merintih, tetapi gadis itu tetap bersikukuh menunggu Marlon hingga selesai. Mendekati dirinya untuk meminta maaf. Ini sudah menit ke tiga puluh. Hasilnya masih seperti di awal da
Satu pekan sudah Marlon dan Belle saling berdiaman. Keduanya enggan bicara bahkan melakukan hal masing-masing seperti hidup sendirian meskipun tidur masih seranjang. Belle sama sekali tidak membuka mulut soal apa yang dilihatnya, begitu pula Marlon tetap diam seolah tak ada kejadian.Dia juga tampak masa bodoh dengan kediaman si kecil Belle. Sebagai suami setidaknya Marlon bertanya mengapa sang istri mendadak sariawan?Di ujung ranjang king size Belle duduk, membongkar tas perlengkapan mandi bayi yang baru Rose berikan. Sesekali mencuri pandang ke arah paman Marlon. Beliau terlihat fokus pada layar laptop yang menyala. Jari jemari Marlon juga bergerak cepat mengetik sesuatu, melihat itu Belle jadi merasa sedikit iba."Lihat ayahmu Sayang, dia sudah bekerja satu harian, tapi begitu sampai rumah masih berkutat pada tugas. Menyebalkan bukan?" Sambil mengelus perutnya Belle mengadu pada si buah hati, mengharapkan dukungan.Ketika Marlon menoleh buru-buru Belle be
Semenjak paman Marlon menikahi bibi Candice, di rumahnya sendiri Belle merasa seperti orang lain. Tak ada lagi kenyamanan bahkan selalu terabaikan. Di sini Belle mencoba tidak menyalahi siapa pun. Dia sangat menyayangi dirinya, dan ingin menjadi dewasa. Adakah hal lain yang lebih menyakitkan dari ini? Di depan kedua bola matanya Belle melihat sang suami mengucapkan ijab kabul dengan menyebut nama Candice, lalu mencium keningnya.Belle tersenyum getir, di dalam cermin wajah gadis itu terlihat biasa saja, tapi hatinya memendam luka yang teramat sakit. Hamil besar bukanlah menjadi alasan untuk bertahan. Mungkin, kalau Belle belum mencintai paman Marlon semuanya akan terasa mudah. Tapi sekarang jika dia meninggalkan rumah, itu sama saja membiarkan si ular Candice berkuasa."Hei, selamat pagi." Suara berat paman Marlon tiba-tiba menyapa, Belle menoleh dan tersenyum.Kini lelaki dewasa itu telah berseragam rapi, dengan kemeja formal dikalungi dasi acak-acakkan. Terlihat
Perkiraan dokter meleset, bukan salah perhitungan. Akibat menertawai Candice kemarin pagi, perut Belle jadi mengencang sampai mengalami pendarahan. Untung saja ada paman Marlon dan Rose. Kalau tidak mungkin Belle sudah celaka, atau di alam lain. Cup! Cup! Aaah, sayang, dengan ekspresi gemas Belle mentowel-towel pipi anaknya. Empuk seperti kue bantal, yang direspon dengan teriakkan tangis."Oeek! Oeek!" Spontan Belle membeliak, tentu kalang kabut. Jahitan di perutnya masih basah, maka jika bergerak walau sedikit saja akan sakit."Paman ...." Belle menjerit kencang, sesekali meringis sambil memegangi perut. Ini sungguh sakit sekali.Saat Belle menjerit, sontak tangisan anaknya semakin parah, bahkan terdengar sampai ke ruang tengah. Yang mengakibatkan kuku Candice ketumpahan cat. Suaranya mirip sang nenek, besar dan ngebass. Bikin heboh seisi rumah.Paman Marlon dan si jelek Candice secara bersamaan muncul dengan panik, hal itu membuat kepala Belle panas dingin.
Dengan penuh kelembutan Belle menyuapi William, si anak hanya bisa mengoceh selama makan. Usianya sudah memasuki bulan keempat. Gemas. Kerap kali Belle mencubit pipi bulat anaknya. Senang melihat William tumbuh super aktif. Ternyata memiliki anak tidak buruk bahkan sangat menyenangkan.Ugh, sayang! Mengecup kedua pipi William secara bergantian, Belle tertawa saat melihat lipstiknya menempel pada si kecil."Ululu, anak Mommy, nanti besar jangan nakal yaa," ucap Belle memperingati, seraya mengusap sekitar mulut William dari sisa makanan yang menempel.Saat Belle sedang bermain dengan William, suara bel yang ditekan berulang kali cukup mengusik kuping. Ting tong! Ini sudah untuk kesekian kalinya, namun Candice belum juga bergerak membukakan pintu. Candice ke mana sih? Belle bangkit, mau tak mau membawa William serta. Terkadang jadi ibu rumah tangga memang agak ruwet."Iya, sebentar!" balasnya setengah menjerit. Meski tahu orang di luar tak akan mendengar, dia te
Semakin lama keadaan rumah seperti neraka paling panas bagi Belle. Tidak ada lagi paman Marlon yang penyayang, bertutur kata lembut, dan perhatian. Semenjak salah paham. Ini sudah lebih dari 1x24 jam. Pamannya masih enggan buka mulut meski berkali-kali Belle ajak berbicara. Di saat pulang kerja juga tak menjenguk William, malah mendekati Candice bahkan mereka bersenda gurau.Hal itu membuat hati kecil Belle menjerit, menyalahi diri sendiri. Sebab begitu mudahnya dia jatuh cinta pada lelaki yang tak punya perasaan. Mengumpat. Di sini Belle bagaikan patung yang tak dianggap, Marlon sangat kejam. Dia bebas memperlakukan tak adil. Tapi, tolong ... akui William sebagai anaknya, karena Belle berani bersumpah."Paman," cicit Belle seperti tikus kejepit, demi William, dia memberanikan memanggil. "Bisakah kau menimang William sebentar, daritadi dia menangis, sepertinya putramu merindukan ...""Merindukan dokter Liam, begitu?" Oh, astaga! Belle menggeleng keras, kakinya mele