Sementara Belle masih tertidur pulas, Marlon siap dengan setelan kerjanya, hendak berangkat namun juga tak tega mengusik. Menaruh memo kecil di atas meja, Marlon memilih pamit lewat tulisan singkat daripada melihat Belle menangis karena sudah dibangunkan lebih awal. Sebelum pergi tidak lupa Marlon mengecup kening Belle seraya berbisik 'Aku mencintaimu' lalu keluar sesaat meraih berkas-berkas penting.
Di bawah kesadaran Belle bergumam tidak jelas dengan punggung tangan mengelap ciuman Marlon, dia semakin bergelung menikmati mimpi yang indah bersama Pangeran. Tatkala langit mendadak hitam diiringi kemunculan nenek sihir dengan tawa menyeramkan. Bahkan suara itu sanggup meruntuhkan lautan langit biru hingga memisahkan Belle dari Pangeran tampan.
"Demi Tuhan! Istri macam apa dirimu yang masih tidur pada jam 10 siang." Hidung Belle mengkerut mendengar samar-samar suara bass milik Gloe, tapi dia berpikir mungkin itu nenek sihir.
"Belle, bangun, kau tidak bisa memperbudak anakku terus menerus." Gloe berteriak sambil menarik selimut Belle kenakan, membuang sembarang arah, kemudian menarik kakinya bermaksud mencelakai.
Tetapi sepertinya beban Belle tidak seperti yang Gloe pikirkan. Gadis itu memang tampak kurus namun cukup menguras tenaga dalam sampai sesak. Ngik! Meski napas naik turun, Gloe tidak pantang menyerah, saking niatnya membuat Belle terjatuh dari tempat tidur. Nyatanya selimut yang licin terinjak olehnya sendiri hingga dia terpeleset. Senjata makan tuan.
"Astaga, ibu!" Tepat di saat Gloe terjerembab, Belle bangun dan memekik.
Nenek sihir yang malang, pikir Belle sebelum melompat turun mendekati Gloe.
"Hhh, pu-as kau melihatku begini, ngik, ngik," balas Gloe diiringi suara napas yang aneh, seperti kodok ingin bertelur seratus.
"Ibu, bertahanlah, jangan meninggal sekarang." Belle mondar mandir di kamar, sangat panik, lalu berlari meraih telepon.Tentu saja Belle khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Gloe, apalagi mereka hanya berdua. Dia tidak ingin dituduh membunuh si ibu mertua.
"Paman, ibumu datang marah-marah. Napasnya sudah pendek, aku takut, cepatlah pulang." Tut! Di saat Belle berbalik Gloe sudah merem melek, hal itu membuat jantungnya kembang kempis.
Tanpa menunggu lebih lama paman Marlon datang bersama Liam, membopong tubuh Gloe ke tempat tidur. Lalu dokter muda kepercayaan memeriksa wanita itu. Belle mengelus-elus lengan Marlon yang menegang. Meski kurang menyukai Gloe bukan berarti senang melihat mertuanya telah tiada.
Paman Marlon pasti sangat sedih. Belle akan berusaha menghibur beliau supaya tersenyum seperti di film. Melihat Marlon sakit, Belle merasa kasihan. Mereka telah tinggal satu rumah, sedikit banyak rasa kasih itu datang walau terpaksa.
"Paman yang sabar ya, ibumu akan tenang di sisi Tuhan." Belle berkata lirih, menaruh sisi kepalanya di pundak Marlon. "Setelah pemakaman aku berjanji akan menyanyi untukmu."
"Hei, anak kecil. Nyonya Gloe masih bernyawa." Deg! Seketika wajah Belle merah padam, di bawah tatapan tajam Liam juga Marlon Exietera.
Selepas kepulangan dokter Liam. Belle berkeringat dingin di bawah tatapan Marlon. Hingga dering telepon menyadarkan keduanya. Sementara Marlon melipir menjawab panggilan, Belle menghampiri Gloe yang terbaring tak berdaya. Di sini Belle merasa bersalah, tidak seharusnya dia benci apalagi mengatai mertua.
Perlahan Belle melebarkan daun kuping Gloe, lalu berbisik dengan lirih. "Maafin menantumu yang miskin, dan bodoh ini."
"Bell ..." panggil Marlon seusai menutup telepon, Belle menoleh cepat.
"Sepertinya ibuku akan tinggal bersama kita untuk sementara waktu. Aku tak mungkin membiarkan ibu tinggal sendirian di rumahnya, kau tidak keberatan kan?"
"Eum, yaa, tentu saja tidak, ini rumahmu. Kau tak perlu meminta izin dariku." Belle menyahut keki, saat hati berbisik jangan seperti itu, mulutnya berkata lain.
"Bell, aku tahu, kau tidak cocok dengan ibuku ..."
"Jangankan dengan ibumu, denganmu saja aku tidak cocok. Kau itu terlalu tua untuk gadis seusiaku!" Lagi, Belle berujar ketus. Pada hakikatnya hidup bersama Marlon tidak akan pernah bahagia.
Tidak hanya perbedaan usia yang terpaut jauh, tetapi juga kasta, mereka bagaikan raja dan babu.
"Ikut aku, Bell." Menarik lengan Belle keluar, Marlon berusaha memberi ruang untuk Gloe beristrirahat.
Napas Marlon memburu kuat semampunya menahan amarah, lambat laun dada ini terasa penuh karena terlalu sabar menghadapi tingkah kekanakan Belle. Tapi, Marlon juga tak bisa selepasnya memarahi. Mendengar tangisan gadis itu jauh lebih ngilu dari sakit gigi. Sungguh! Ini kelewat sulit. Memang benar kata orang terdahulu, di dalam masa pernikahan yang paling menguji kesabaran itu, pada awal hingga pertengahan tiga bulan.
"Bell, kita memang tidak seumur, tapi aku ingin menghabiskan sisa umurku denganmu," jelasnya tegas menekankan kata 'umur'.
"Kenapa harus aku?" Belle menatap Marlon sendu, di pikirnya lelaki itu kaya raya, jadi bisa mencari gadis yang lebih cantik dan dewasa.
"Mata hanya bisa melihat, cukup untuk menilai rupa, tapi hati lebih cenderung merasakan cinta." Menatap dalam gadis di depannya, Marlon mulai bermelankonis. Merayu bagaikan lelaki bujangan.
Belle meringis saat Marlon menarik tubuh kecilnya ke dalam pelukan, melingkupi, terasa erat dan kencang. "Aku mencintaimu, tidak memandang fisik maupun finansial, sungguh, dari hatiku yang terdalam."
Menenggelamkan wajah Belle di dadanya, Marlon berbisik rendah mengutarakan kata-kata manis, tidak sekadar gombalan. Rasa cinta yang bersarang memang nyata. Ini bukan kiat meruntuhkan gadis sepolos Belle, melainkan sebuah usaha dari paman. Lambat laun Marlon suka mendengar panggilan itu, mengecup sisi wajah Belle sambil lalu tangan kasarnya menyelinap. Eh? Pun Belle mendongak, saat merasakan sapuan Marlon di punggungnya, ajaib.
Rasa gatal yang mendera, langsung jadi mendingan berkat sapuan Marlon.
"Kau pengertian sekali Paman, iya garukin. Aku tak mengatakan apapun kau tahu punggungku gatal."
"Di sini?" tanya Marlon sambil mengeram, sebal karena kodenya tidak terbaca Belle.
"Iya Paman, di situ, aku salah menggunakan bedak tabur jadi bintik-bintik."
"Iya sudah, buka saja, biar aku lihat," pinta Marlon sesantai mungkin, reflek Belle menggeleng keras.
"Kau mencari kesempatan dalam kesempitan, ya?"
Lah?
Lelaki itu menatap Belle, tuduhannya tentu sangat membingungkan. Padahal Marlon tidak ada berniat apapun selain memeriksa. Kalaupun iya, Marlon suaminya, beberapa kali pernah melihat Belle tanpa sehelai benang. Apalagi? Selain polos istrinya memang sedikit aneh.
Ketika semua perempuan memiliki belahan, Belle sama sekali tidak. Ukurannya lebih kecil dari buah apel, tetapi dia malah sedih dipilih Marlon. Seharusnya dia bangga! Enggan menyahut lagi, Marlon memeluk Belle kembali, kali ini tak tinggal diam, bibirnya melumat bibir ranum Belle dengan lambat juga menghayati.
"Paman, bagaimana keadaan nenek ... ops!" Dengan napas terengah batin Belle menjerit saat mendapati Rose, bukan melepaskan, Marlon malah semakin menguncinya.
"Nenek ada di dalam, kau bisa masuk menemuinya, aku mau menyelesaikan urusanku dengan Belle," jawab Marlon menunjuk kamar inap Gloe untuk sementara waktu, lalu mengerling pada Belle.
Tanpa sungkan Marlon memagut bibir Belle yang masih basah di depan Rose. Sepertinya dia sudah terbiasa melakukan di hadapan banyak orang. Sesaat Rose pergi Belle sontak menangis. Untuk ke sekian kali Belle merasa dilecehkan. Hiks! Mengusap air matanya Belle seperti gadis hina selama tinggal dengan Marlon, yang kerap kali berpikiran mesum padanya seakan tak mengenal waktu.
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl