Sebuah mobil Rush berwarna hitam mengkilap terlihat melewati jalanan Ibukota dengan kecepatan standar Jakarta yang selalu terkena macet. Di dalam, Dinar yang duduk disebelah kemudi itu duduk diam melamun. Selama di perjalanan menuju sekolah atau bahkan saat Calvin menjemputnya, pikirannya hanya terus tertuju pada persoalan Lingga yang keluar begitu saja dari MPK dengan alasan yang tidak Dinar ketahui. Lingga keluar dari sana seolah-olah mendapatkan jabatannya itu adalah hal yang mudah. Atau memang karena alasan lain?
Mungkin saja, tapi alasan lain itu yang tidak Dinar ketahui dan membuatnya penasaran.
Semalaman pun Dinar benar-benar memikirkannya. Ia sangat penasaran. Sampai akhirnya pagi tadi, Dinar memutuskan untuk menanyakannya secara langsung pada Lingga disekolah nanti. Walaupun ia tahu ia sendiri masih belum siap bertemu atau berpas-pasan lagi dengan Lingga, dan bagaimana bodohnya nanti ia akan menanyakannya pada Lingga yang seolah
Dinar duduk diam sambil memainkan ponselnya. Saat ini ia sedang sibuk melihat-lihat kembali pesan lamanya dengan Lingga yang ternyata sudah berakhir dua minggu lalu. Tidak disangka, semua itu sudah dua minggu berlalu. Dinar akui ia sangat merindukannya. Bukan, Dinar bukan hanya rindu dengan Lingga, tetapi juga dengan pesan-pesan singkat yang Lingga kirimkan padanya itu meski sangat jarang dilakukannya. Namun jika laki-laki itu mengiriminya, terdapat banyak kata yang membuatnya selalu tersenyum bahagia meski hanya berisi kata-kata biasa.Saat ini Dinar sedang berada disalah satu Kafe ternama langganannya, bersama dengan Sheza disana. Setelah kurang lebih hampir dua jam mereka sempat berkeliling Mall untuk mencuci mata dan sudah memenuhi apa yang mereka butuhkan, akhirnya mereka memilih beristirahat disini untuk melepas lelahnya karena berkeliling, dengan memesan sebuah minuman."Eh, tadi gue liat temen lo tuh, Nar." Sheza
BRAK!Suara pintu di banting dengan keras terdengar sangat jelas mengisi seluruh apartemen, begitu juga suara tangisan yang datang setelah bantingan itu muncul memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Dinar, menangis sejadi-jadinya di dalam apartemennya. Ia menangis terisak dengan keras karena kata-kata jahat Lingga di sekolah tadi. Perkataan yang benar-benar menusuk dalam ke hatinya, yang membuatnya langsung memilih pulang ke apartemen di bandingkan harus berada disana. Tidak peduli ia kembali membolos dan pelajaran yang dilewatkannya lagi. Ia seperti ini pun karena ia ingin melepaskan semuanya. Melepaskan rasa sakitnya karena perkataan Lingga, dan juga amarahnya yang tertahan tidak mampu di lampiaskan pada laki-laki itu.Dinar memang tidak habis pikir, bagaimana bisa Lingga melakukannya seolah-olah semuanya bukan apa-apa? Maksudny
Dinar berjalan sendirian di koridor utama sekolah. Tanpa di temani Calvin ataupun Tasya yang terkadang berangkat bersamanya, tapi kali ini ia sedang ingin berangkat sendiri. Meskipun mereka telah menawarkan diri untuk menjadi tukang ojeknya—kalau kata Calvin— setelah kejadian ia tidak masuk tiga hari kemarin, tapi Dinar menolaknya mentah-mentah. Ia sedang tidak ingin di pusingkan dengan berisiknya mulut-mulut mereka.Itu keinginan awalnya.Tapi sepertinya sekarang sama saja. Seharusnya ia kembali tidak sekolah saja untuk menenangkan dirinya, lantaran kesedihannya masih berlanjut hingga kini yang di sebabkan oleh seorang Harlingga Dio Wardana, laki-laki yang tidak pernah ingin pergi dari pikiran dan juga hatinya yang membuatnya lelah."Weh s*t, bagi hotspot sih."Dinar menghela napas napasnya kasar. Penyesalan memang berada di akhir. Lihat sekarang? Baru saja datang, suara Satria membuat Dinar m
"Heh! Pulang aja sana lo, b*go. Nggak guna ngikut kesini. Bikin polusi mata."Calvin memukul pelan kepala Dinar yang berjalan di depan mereka.Saat ini memang mereka sedang menghabiskan waktu bersama dengan memilih pergi ke salah satu Mall di daerah Kemang. Namun selama di dalam mobil, bahkan hingga berjalan memasuki Mall, Dinar hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun seperti orang bisu. Bayangkan, selama di perjalanan Dinar tidak bersuara sama sekali. Jika biasanya anak itu akan selalu ikut dalam melempar canda tawa bersama, namun tidak sama sekali. Padahal sudah hampir satu bulan mereka tidak menghabiskan waktu pergi bersama di dalam Mall, dan mereka pikir hari ini akan menyenangkan, tapi ternyata sangat di luar ekspektasi mereka. Tentu saja karena
Dinar melangkah dengan cepat melewati koridor sekolah sendirian. Ia buru-buru menghampiri keberadaan ketiga temannya itu untuk menanyakan apa yang dilihatnya kemarin, saat ia melihat Lingga berdua dengan perempuan lain di taman Mall. Karena setelah melihat itu membuat amarahnya langsung naik sampai ke ubun-ubun. Ia jelas marah, cemburu dan sangat kesal melihatnya, bahkan kemarin ia hampir saja membalikkan meja disana kalau saja mereka tidak menahannya. Dan karena emosinya di tahan oleh mereka bertiga, iapun langsung pergi begitu saja meninggalkan mereka untuk pulang karena tidak kuat melihatnya. Rasanya sangat sesak, melihat orang yang di sayangnya berduaan dengan perempuan lain, meski ia tahu hubungannya dengan Lingga telah berakhir. Sesampainya di apartemen pun ia langsung menangis sejadi-jadinya seharian dan di sela-sela melakukan itu ia meminta pada mereka bertiga untuk mencari tahu tentang siapa perempuan itu.
Hari-hari pun berlalu. Dinar hanya terus memperhatikan Lingga secara diam-diam, tanpa bisa menemani dan melihat wajahnya sedekat dulu lagi. Sekarang ia hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Tapi setidaknya itu masih lebih baik, dibandingkan ia harus melihat Lingga bersama dengan perempuan lain. Dinar duduk diam di depan ruang kelas Ujiannya, memperhatikan seorang laki-laki yang sedang belajar di dalam kelasnya, sendirian. Siapa lagi kalau bukan Lingga?Sebenarnya semuanya berada di luar kelas untuk beristirahat, tetapi hanya Lingga yang berada di dalam, dan hanya dia yang selalu menghabiskan jam istirahatnya untuk terus membaca buku-bukunya. Padahal hari ini
Dinar duduk melamun didalam ruang tamu apartemennya sambil di temani dengan televisi menyala yang menampilkan acara Doraemon. Pagi itu ia memang sudah bangun, karena dari semalam ia sudah uring-uringan karena bingung ingin menghabiskan liburan kemana dan bagaimana. Ingin menghampiri Lingga ke Kafe, rasanya ia memalukan. Sebenernya bukannya ia malu, tapi lebih tepatnya ia takut. Dinar takut kalau ia akan melihat Lingga dengan perempuan lain lagi, atau ia takut kalau Lingga akan kembali melontarkan berbagai kata-kata pedasnya, dan berujung mengusirnya. Dinar tidak ingin kembali menangis-nangis tidak jelas sekarang ini. Ia lelah sekarang. Dan tidak tahu kenapa ia bisa menjadi takut seperti ini dengan Lingga, padahal biasanya tidak seperti ini. Ia justru paling berani jika menentang dan bertengkar dengan Lingga. Maju paling depan.Dulu.Tetapi sekarang, rasanya berbeda.Huft.
Mobil Rush berwarna hitam legam terlihat terparkir di depan sebuah rumah sejak lama disana. Dinar, si pemilik mobil itu terlihat sedang serius memperhatikan seseorang yang di perhatikannya akhir-akhir ini dari kejauhan. Lingga, dia terlihat baru saja datang dan memarkirkan motor vespanya di teras rumahnya, setelah seharian laki-laki itu bekerja di Kafe. Dinar memperhatikannya diam-diam. Setelah mendengar pernyataan yang tidak pernah Dinar sendiri dengar langsung dari mulut seorang Calvin yang bar-bar, hal itu membuatnya berpikir keras sekarang. Karena ternyata, yang terlihat dari luar belum tentu sama seperti didalamnya. Yang terlihat baik-baik saja, belum tentu di dalamnya juga baik-baik saja. Dan kejujuran Calvin benar-benar membuatnya langsung memikirkan Lingga saat itu juga. Seperti kesadarannya kemarin, kalau ia tidak pernah tahu apa