Cahaya biru laut agak meresahkan bagi kaumnya. Ia memakan beberapa penduduk yang dirasa memiliki kedudukan penting maupun kekuatan besar. Walaupun Alice tidak sepenuhnya yakin cahaya itu memakan korbannya atau tidak. Tetapi yang jelas cahaya itu akan menyesatkan siapa saja mangsa yang dipilih. Ke suatu tempat tertentu. Kemudian menghilang tanpa jejak.
"Cahaya biru laut?" Ananta yakin dulu ia pernah melihat ini sebelumnya. Louise. Terakhir kali ayahnya menghilang karena mengikuti cahaya itu. Tidak salah lagi. Ananta bahkan melihatnya secara langsung bahwa Louise mengikuti cahaya itu. Tetapi Ananta tidak berhasil mengikuti kemana perginya. Dan menghilang begitu saja. Tanpa tanda.
"Itu berbahaya. Jangan mengikutinya lagi! Aku tau kau tanpa sadar mengikutinnya." Alice menarik lengan Ananta tetapi dengan gerakan kecil pemuda itu menghentikannya.
"Aku ingin tau. Sesuatu dalam diriku apa yang diinginkan cahaya itu?"
"Itu tidak penting Ananta." Alice menarik leng
✒✒✒Kata Alice ada sekitar dua penjaga di gerbang pintu masuk. Tubuhnya kekar dengan badan yang tinggi tegap. Kedua pria penjaga itu memiliki wajah yang terkesan sangar. Dan Alice sama sekali tidak takut. Perempuan itu bisa melakukan apa saja yang ia mau. Bahkan membunuh kedua penjaga tersebut dan menggantinya yang baru.Yang Ananta pikir. Kenapa desa ini harus diberi penjaga. Bahkan seberapa kuat Alice untuk melakukan hal yang diucapkan secara lantang perempuan tersebut. Atau seberapa pengaruh posisi Alice sampai mampu menggerakkan semua isi kepalanya."Salah satu penjaga itu menghilang dua bulan lalu. Itu penjaga yang baru. Menurut dugaan mereka mengikuti cahaya biru laut."Ananta kira Alice tidak ingin membahas hal ini lagi.
Lengan baju Ananta diseret paksa Alice ke samping. Setelah berhenti Ananta mendengkus kesal sambil membenarkan kerah bajunya yang melorot akibat tarikan mendadak tersebut."Ada apa, sih?""Silahkan dipilih, non. Samurai atau pedangnya? Keduanya sama-sama dibuat oleh pengrajin dari balik bukit, desa Northumbria. Hanya tersisa dua senjata ini yang berasal dari kerajaan itu." Suara pria yang sepertinya penjual senjata tampak menerangkan dengan penuh keyakinan.Alice tersenyum lebar, mengangguk pasti dengan antusias. Dirinya sebagai pecinta senjata tentu tau benda tersebut berasal dari desa mana saja. Semua senjata yang diproduksi setiap pengrajin dari desa tertentu memilih ukiannya masing-masing. Seperti dari Mercia, desa serta kerajaan yang saat ini disinggahi memiliki lambang kerajaan mawar merah untuk setiap benda dan segala ha
"Berapa harganya?""Kamu membelinya?" tanya Ananta.Alice menggeleng pelan. "Tidak. Aku mengincarnya." Disertai senyum antusias yang ketika Ananta dapat melihatnya itu akan tampak mengerikkan. Alice mengulum sekilas jari telunjuknya kemudian ia tempelkan pada Tekko-kagi yang ia incar. Dengan ambisi ia akan mendapatkan yang dirinya mau."Kau tidak akan menyesal nona. Ini dilengkapi dengan Kakute." Penjual menunjukkan cicil yang ia ambil dari kain emas yang sama dengan Tekko-kagi tadi. Menyerahkan pada Alice.Alice menimang cincin tersebut. Benda itu merupakan senjata tersembunyi mirip cincin tetapi memiliki dua mata duri."Jika kau bertemu lawan dan mampu memegang leher atau pergelangan tangan. Kau dapat melukainya. Mungkin ini tidak membuatmu membunuhnya tapi bisa memberimu waktu untuk melarikan diri. Atau bisa dioles racun.""Kau dengar itu Ananta? Ini cocok untukmu." Ali
Jari-jari bekerja secara bergantian menciptakan nada. Melodinya melafaskan kesungguhan hati yang terdalam. Tidak ada yang tau bagaimana isi kepala Ananta bekerja. Namun netra coklatnya terpejam kuat menghantarkan rasa yang sama. Menuntun berbagai pasang telingga untuk terbuai dalam drama yang ia ciptakan. Puisi itu tertutup petikan senar gitar kunci F."Woahhh!" teriakan kagum para penonton menggema seiring tepuk tangan yang saling bersahutan.Kesempatan itu digunakan Alice untuk menarik koin lagi. Meskipun, tadi ada banyak orang yang memasukkan koin lebih awal saat pertunjukan, rupanya mereka tidak sungkan memberikan sedikit koin lagi. Apalagi jika orang itu bangsawan wanita, mereka akan sangat tidak keberatan.Undukan warga yang bergerombol bak semut mulai terpecah belah pada rutinitasnya semula. Alice menuntun Ananta pergi ke salah satu kedai untuk beristirahat. Ia tidak perlu manghitung berapa banyak koin yang ia peroleh, jelas ini lebih dari cukup unt
Setelah pertengkaran itu keduanya berjalan sedikit dan berhenti tepat di kedai yang memiliki plakat bagian atas, bertuliskan 'arak daging'. Tempatnya sangat ramai meski kedainya hanya dari kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi gubuk sedang. Bisa dibilang semua rumah dan kedai di sini terbuat dari kayu dan batu yang disusun. Dipermanis dengan ukiran cantik untuk penduduk kalangan menengah ke atas.Alice naik ke lantai kayu kedai. Duduk bersila di atas kemudian menepuk bagian kosong di sampingnya. Menyuruh Ananta naik. Sadar dengan situasi Alice mendadak kesal. Bagaimana mungkin ia bisa sesabar ini bersama Ananta yang merepotkan. Untuk sekedar naik saja butuh bantuan."Kenapa merepotkan sekali, sih? Angkat lenganmu!"Ketika Ananta menuruti komando Alice, perempuan itu memegang erat kedua lengan Ananta. Dituntunnya naik, namun tarikan Alice terlalu kencang karena kesal. Alhasil Ananta sedikit terhuyung. Posisi duduknya melekat pada Al
Saat ini aula rapat terdapat empat orang yang terdiri dari dua orang abdi, Pangeran Charlotte Northumbria, dan sang Raja Ardolph Mercia itu sendiri. Sangat senggang namun hawa terasa panas."Aku telah mengintrogasi mereka atas kecerobohannya dalam menjaga Putri Alice. Jika besok tidak ditemukan, mereka akan dijatuhi hukum cambuk." Raja Ardolph kembali meneruskan dengan intonasi tanpa keraguan."Ampun, yang Mulia. Saya pikir Putri Alice memang sengaja melarikan diri_karena tidak menginginkan perjodohan antar dua kerajaan. Bukankah lebih baik kita menunda pernikahan ini sampai putri Alice benar-benar siap?" Abdi Lie kembali meneruskan. Tubuhnya yang berada di posisi kiri Charlotte lebih condong ke arah sang Raja."Akan memakan waktu yang lama lagi untuk menundanya. Kita akan menghabiskan dua purnama untuk menuruti isi kepala Putri Alice." Mata biru Raja Ardolph berpaling pada Charlotte. "Tidak ada yang perlu kau pikirkan, Pangeran Charlotte. Dia akan segera kembal
"Kamu sudah menghabiskan sebotol lebih, tapi tidak segera bersuara."Kata itu dilontarkan Ananta ketika Alice sedang berusaha mati-matian menenggak arak ke duanya. Menyerah, karena tidak ada setetes arakpun yang jatuh ke mulut, botol itu berakhir di tanah. Tergeletak tak bedaya besama botol pertama_setelah Alice lempar. Itulah kenapa Ananta tau betul berapa arak yang telah diminum Alice_dari dentingan botol yang terlempar.Sedangkan Ananta sendiri, tidak menyentuh apapun. Meja masih penuh dengan dua porsi daging bakar beralaskan piring rotan serta daun, dua botol susu, dua gelas kosong yang terbuat dari tanah dan satu lagi arak di tangan Alice."Aku akan buka suara ketika kau meminum araknya. Bukankah kita telah sepakat? Aku bahkan memberi keringanan dengan meminum dua botol.""Itu akan membuatmu tidak waras.""Ayolah. Segelas?" Alice mendesak, menuang araknya pada salah satu gelas. Sampai arak tersebut berpindah pada tangan Ananta.Sa
"Aku malah lebih penasaran dengan_kenapa Raja menunda pernikahan?" ujar pria yang memberi pengumuman. Wajahnya hitamnya terlihat penasaran."Kau tidak akan tau informasi dari dalam kerajaan." suara seorang perempuan menjahut dari samping perkumpulan itu. Perempuan itu istri dari pemilik kedai. Meletakkan sebotol arak ke meja_yang dipesan salah satu dari mereka."Wol, aku dengar kau bekas pelayan kerajaan," pria hitam tersebut menunjuk perempuan yang disebut Jangwol. Hanya dibalas anggukan tanpa minat."Kalau begitu kau seharusnya tau semua tatanan kerajaan, isunya, dan penghuninya." Antusias pria hitam berkelebat di wajah. Sedang pria lain tampak menunggu dongeng dengan tidak sabar. "Kau tau seperti apa wajah tuan Putri?"Alice bergegas memakai cadarnya lagi, yang ia letakkan di pinggir meja."Aku sudah lama pensiun," perempuan itu menerawang jauh, "saat itu tuan Putri masih kecil, tujuh t