After her mother shoved her away, Astrallaine moved in with a woman she didn't know. She must be self-sufficient and capable of standing alone — without leaning against other walls. Will she be able to continue in life when a man appears and makes her even more miserable? Will she be able to let go of the wretched version of herself?
View MoreDIKIRA SUAMI PENGANGGURAN
Bab 1🍀🍀🍀"Abang! Jam berapa ini? Udah siang masih aja molor." Kutarik lengannya sampai ia tersungkur ke lantai.Geram aku, jam 9 pagi suamiku masih aja di atas kasur."Ya ampun Yun, pelan-pelan dong, Abang kaget ini," katanya seraya menggosok kepala."Bangun! Udah siang ini, mau jadi apa hidup kita kalau Abang jadi pengangguran terus, hah?""Iya iya."Dia pun bangkit lalu melengos ke luar dan dengan santainya duduk di kursi teras. Aku makin geram."Abang! Mandi sana, ngapain duduk dulu di sini, hah? Males amat sih jadi laki!""Ngopi dulu Yun, sambil ngumpulin nyawa," jawabnya santai."Mandi gak sekarang?!" sentakku seraya melotot dan berkacak pinggang.Ia mengecap bibir, "ck bikinin Abang kopi dulu bentar Yun, abis itu Abang langsung mandi, janji," katanya."Gak ada duit! Boro-boro kopi, beras aja habis," ketusku sambil terus melotot ke arahnya.Dasar suami pengangguran. Udah bangun siang mulu, bukannya langsung mandi malah minta kopi. Otaknya tuh di mana sih? Padahal baru aja kita menikah 2 bulan yang lalu, tapi rumah tangga udah kayak berabad-abad, bosen karena selalu bikin naik darah."Ya kamu belilah Yun, di warung 'kan banyak."Aku makin melotot mendengar ucapannya yang tanpa rasa bersalah sedikitpun."Beli katamu, Bang? Ya terus duitnya mana, hah?!""Oh kamu gak punya duit toh Yun?""Ya menurut Abang? Abang pikir duit sejuta udah berbulan-bulan yang lalu masih cukup apa, hah?!""Udah Yun, jangan marah-marah begitu, malu, kalau ibu sama bapak denger gimana?" Tangan Bang Wija meraih kedua bahuku untuk meredakan emosi yang sejak tadi meluap-luap."Biarin aja, biar mereka tahu sekalian gimana kamu sebenarnya, Bang."Suami menggelengkan kepalanya, lalu bangkit dan kembali masuk ke dalam kamar. Baru saja aku akan beranjak untuk menariknya ke kamar mandi, ia sudah lebih dulu keluar."Nih, beli beras sama kopi, gula bila perlu," ucapnya sambil memberiku lembaran uang kertas berwarna merah, entah berapa.Mataku melebar, kutatap duit di tanganku itu lekat-lekat. Tak percaya rasanya hari ini Bang Wija memberiku duit sebanyak ini, pasalnya dari mana dia mendapatkannya?"Ini duit siapa Abang?" tanyaku menatapnya curiga.Ia yang tengah menyulut sebatang rokok hanya mengembuskan napas kasar, lalu duduk bersender bada badan kursi."Udah kamu belanja aja sana gih, gak usah banyak tanya, nanti kamu ngamuk-ngamuk lagi," jawabnya enteng."Gak bisa Abang, Yuni perlu tahu ini duit dari mana? Abang 'kan gak pernah kerja, sehari-hari cuma tidur dan ngopi, apa jangan-jangan ini duit haram ya? Abang judi ya?" cecarku."Astagfirullah Yuniii, tadi kamu ngamuk-ngamuk karena gak ada duit, sekarang udah Abang kasih masih aja kamu ngamuk-ngamuk, pake nuduh Abang yang enggak-enggak pula, singkirinlah pikiran jelekmu itu Yun.""Ya tapi, Bang-""Yuni," potong seseorang yang baru saja datang di belakangku.Aku terkesiap dan refleks memasukan duit itu ke dalam kacamata dada."Mbak, Yuni pikir siapa."Ternyata yang datang adalah Mbak Viona-kakak tiriku yang pertama."Nih sayur sop buat ibu, tolong taro ke dalam.""Makasih Mbak. Oh ya, kata ibu Mbak Viona sama yang lainnya suruh kumpul di sini nanti malam.""Iye, udah tahu, palingan mau bahas biaya acara kawinan si Mala, males banget," kecutnya sambil melengos pergi.Aku mengusap dada. Kakak tiriku itu emang gak ada akhlak banget, mentang-mentang yang mau nikah adalah adik tirinya, seenak jidat aja kalau ngomong."Dasar gak ada akhlak, kena karma baru tahu tuh si paling orkay," dengusku.Suami cuma cengar-cengir sambil menggeleng kepala. Aku lalu masuk ke dalam untuk menaruh semangkuk sop dari Mbak Viona. Setelah itu aku membuatkan kopi untuk suami."Tuh kopinya, ampasnya bila perlu dihabisin jangan sampe ada sisa, harga kopi mahal," ketusku.Lagi-lagi suami nyengir sambil mulai menyeruput kopi hitamnya."Katanya gak ada kopi Yun, ini udah jadi aja kopinya.""Barusan ngambil dulu dari kantong doraemon," jawabku masih ketus.Suami geleng-geleng."Abang pergi dulu Yun, lupa kalau hari ini ada janji," kata Bang Wija setelah segelas kopi itu habis direguknya.Ia lalu berlari bahkan sebelum aku sempat bertanya lagi."Loh Bang, mau pergi kemanaaa?!" Aku teriak."Bisniiis," jawabnya santai sambil melambaikan tangan sebelahnya.Aku menjebik, "hidiiiih belagak banget mau bisnis palingan mau nongkrong itu orang, awas aja, sampe ketahuan lagi sama mataku, habis dia."Aku kembali masuk dan mengambil uang pemberian Bang Wija dari dalam kacamata dadaku. Setelah kuhitung ternyata jumlahnya ada satu juta lima ratus ribu.Aku terkejut bukan main. Tentu saja, gak nyangka suamiku ternyata banyak duitnya. Padahal sehari-harinya dia cuma jadi pengangguran."Duit dari mana nih? Kok bisa suamiku banyak duitnya begini."Baru saja aku duduk di sisi ranjang, suara ibu di luar teriak kencang."Yuniii!"Cepat aku bangkit dan menyimpan duit itu ke bawah kasur."Eh Bu, Pak, udah pulang?""Usaha kita bangkrut lagi, si Asep kabur bawa semua modal kita," dengus Ibu sambil membanting bobotnya ke atas kursi teras.Aku terbelalak, "loh kok bisa, Bu? Kabur kemana? Emang kita gak ada alamat si Asep nya?""Alamat apaan? Dia gak jelas gitu, alamatnya pindah-pindah, Ibu udah suruh orang nyari alamat dia yang ada di KTP eeh malah katanya gak ada yang namanya Asep di daerah itu. Ibu tuh heran deh, kenapa sih setiap mau ada acara kita selalu aja ditimpa musibah? Kemarin sebelum kamu nikah toko baju kita kebakaran, sekarang adik kamu mau nikah warung kita yang dipaling, apes banget," dengus Ibu lagi dengan wajahnya yang sangat tak enak dilihat.Aku menghela napas berat.15 hari lagi Nurmala-adik kandungku akan menikah, karena itu tadi pagi ibu dan bapak pergi menengok warung kelontong sekalian ingin menagih uang bagi hasil warung selama 3 bulan ini.Tapi desas-desus yang kami dengar dari orang yang pernah lewat ke warung itu rupanya benar, bahwa warung kelontong yang dikelola mantan karyawan bapak itu katanya sudah tak pernah buka selama seminggu ini.Aku jadi khawatir pernikahan si Mala batal, pasalnya ibu tiriku itu kalau udah kesel dia bakal ngelakuin apapun sekarepe dewek, termasuk membatalkan pernikahan Mala adikku."Udah kenapa sih Bu, malu sama orang, emang kita perlu berapa sih buat acara nikahannya si Mala?" tanyaku akhirnya."Gak tahu entar malem aja kita rundingan sama mbak dan mas mu," jawab Ibu kesal, lalu bangkit ke belakang.Aku pun mengambil tempat bekas ibu."Sabar ya Pak, ibu emang kayak begitu," ucapku pada Bapak yang sedang tampak frustasi."Gak apa-apa Nak, Bapak paham kok," jawabnya pendek.Sejak kecil kami hidup bersama ibu tiri, memang tabi'atnya begitu, tak pernah berubah apalagi kalau lagi ngomong sama aku dan Mala, selalu pedas dan tak pernah dipikir dulu.Bukan cuma omongannya. Gak tahu kenapa, aku juga ngerasa sejak kecil kami selalu dibeda-bedakan dengan anak kandungnya, baik urusan makanan, pakaian maupun pendidikan.Tapi aku bisa berbuat apa? Toh wanita itu adalah pilihan bapak.-Malam hari kami semua sudah kumpul. Ada Mbak Viona-kakak tiriku yang pertama, Mas Yusril-kakak tiriku yang kedua, dan Mbak Jessica-kakak tiriku yang ketiga. Mereka datang bersama suami, istri dan anak-anak mereka juga.Bapak, suamiku dan Nurmala si calon pengantin yang sehari-harinya kerja di sebuah toko obat, malam ini juga ikut berkumpul."Begini, langsung aja, tadinya Ibu ngumpulin kalian semua karena Ibu mau membahas kira-kira hiburan apa yang mau kita adain di hajatannya Mala, tapi berhubung modal dan isi warung kelontong bapak dicuri sampe ludes gak tersisa jadi kita bahas soal anggaran biayanya aja dulu." Ibu memulai pembicaraan."Apa? Warung kelontong dicuri? Kok bisa, Bu?" Mbak Jessica terkejut."Udah gak usah banyak tanya, pikirin aja gimana solusinya, karena sekarang Ibu cuma mengharapkan kalian, jadi mau tak mau kalian semua harus nyumbang untuk acara si Mala ini," tegas Ibu lagi tak mengindahkan pertanyaan Mbak Jessica.Semua orang menarik napas berat, lalu berpaling mata."Ya kalau Jessica sih kayaknya gak bakal nyumbang lagi Bu, 'kan kemaren udah bantu bayarin acaranya si Yuni," sahut Mbak Jessica lagi."Iya, Viona juga, masa udah nyumbang habis-habisan kemarin sekarang ditodong lagi, bikin susah orang aja emang," timpal Mbak Viona ketus.Kutengok wajah Mala menunduk dan terlihat sedih, sodara-sodaraku itu emang keterlaluan banget kalau ngomong. Andai aku punya duit banyak, akan kuberikan semuanya buat hajatan Mala."Gak apa-apa kok Mbak, gak usah nyumbang kalau terpaksa, biar Mala akad aja di KUA," kata Mala dengan suara berat."Nah gitu dong, lagian kawinan kamu tuh gak penting-penting amat 'kan? Cuma kawin sama gembala kerbau aja mesti pake acara hajatan segala," ketus Mbak Jessica lagi."Bener," sahut Mbak Viona.Aku melotot, dadaku mendadak bergemuruh. Tapi sebelum aku angkat bicara bapak sudah lebih dulu teriak."Jessica! Viona! Kalian itu kalau sekiranya gak mampu nyumbang mulutnya jangan ngomong begitu! Berapa sih kalian kemarin nyumbang buat acaranya Yuni, hah?!"Wajah Mbak Jessica dan Mbak Viona mendadak pias melihat bapak yang tampak habis kesabaran."I am so happy for the both of you!"My lips automatically formed a smile as Jinx's father embraced me. We just had a dinner together. I am beyond grateful to everything. That even after years that we did not talk, nor any connections, we still have the closeness we had before. I am not saying that we're too close that could bond or hangout together, it was just that we were cool since then."Thank you," I whispered to him and let go. Jinx just gave me a sweet smile. All he did in the midst of the dinner is to stare at me. Even if his father asks him, he will answer with his eyes on my face. I really stopped myself from kicking his ass off. He is kind of annoying."Maybe I will now leave the both of you here," Mister Adonis said. I was the one who requested for a dinner, a short dinner. I am thankful that he also want us to bond with his son. But of course, he has a work so he could not stay here long. He excused himself
"Hey, good thing and you are already awake." I stared at nothingness while I feel nothing. I moved my right hand to see if I am still alive and good thing I still could feel myself. I just feel nothing, really. I do not have to look who was beside me who talked because from the tone of the voice, I knew that it was Jinx. I felt myself lying on a soft mattress, and I am inside a room that is not familiar to me. Where am I? "Here, drink some water," Jinx handed me a glass of water. I tried to get it but my hands were too weak to reach for it. I gulped hard. My throat already needs water because it was getting dry. Jinx, then, stood up to guide me sit on the bed and lean against the headboard. "Here, drink it." Good thing he made me drink it with his right hand holding the glass, while his other hand gently held my chin to guide me. I gulped the water quite fast because I really am getting thirsty as seconds pass by.
"But you can't marry me," I slowly uttered and looked away from him.He really can't marry me because he was already married. He shouldn't be saying these things to me. I will just feel bad to her wife."How do you say?" he asked in monotone. He tried to hold my chin to make me look at him but I did not let him. I stared still at nothingness, away from his eyes. "How do you say, Astra? Give me a reason.""Because you are already married," I snorted. "How can you marry someone when another woman already owned you? You were cheating?"He stayed silent for a moment not until I heard his chuckles. My brows creased in annoyance and looked at him sharply. Why is he laughing? He is making fun of me? Seriously? This time? This situation?"Married?" he grinned. "You think I am married?"I pursed my lips into a thin line and slowly nodded my head. "You really are marri
"Do you want to go with me visit mom and dad?"Cine and Val nodded their head to me. My lips then automatically formed a smile. It will be nice if we, sisters, Faye, Cine and Val will go together and visit our parents in the cemetery. It will be a family bond."I will go and guard you guys," Simon interfered and forced a smile. We did not complained at it, though. He wants us safe. He did not want something bad to happen to us. We were thankful that Simon did not leave our side even how hard it is to manage his time for work. He should have already focus himself to the work but he insisted to still guard us. Something bad might happen, he says. But we all hope that there is none."Yeah, I will, too," Jinx appeared all of a sudden. I thought he went off for an important matter? Why is he here?"Alright, we're all done. Let's go?" Faye smiled to us. We all nodded and headed outside the house. We used S
"I am sorry to all the things I did."I want to slap him from 360 degrees because of anger. What? He will just say that after everything? It is easy for him to apologize like everything he did will just fade away just because of his word "sorry? That everyone he got hurt will be healed easy when he will say sorry to them? That everything will be fine with just a sorry?i looked at Fin with my raging eyes while he just looked down. "You have the guts to think that everything will be fine with just your damn sorry? Rot in hell!""Astra," Jinx warned me but I did not listen to him. I pointed fin with my index finger and I gritted my teeth."I will promise that you will live in the prison forever. You will have your last breathe inside the jail."I thought he will shut himself but suddenly, he looked up at me with a grin on his face. "Yes. I prefer live here. World is t
"How is Fin?" I asked Jinx while I am busy staring at nowhere. I want to know where he is now. I just want to hear the place where he belongs to. The place where he must suffer and pay the bad things he did.He sighed and looked at me. "He was already sent to the prison."I pursed my lips and nodded my head. "Good to hear that."He stared at me for a moment and all I did is to look away from him. He was like trying to read me. Trying to know what I am thinking. I really felt awkward when he tries to stare at me because it sent me a different feeling I could not define. It really is annoying when he look at me like that. It was nostalgic."Do you want to visit him and talk to him?" he asked and sat on the chair far away from me but facing me.I answered him without looking at him, "Yes, I want to." I want to make him realize how evil he is. That he did so many bad th
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments