Delna langsung terdiam begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Nissa, raut wajah Delna langsung berubah drastis.
"Del?" panggil Nissa merasa heran dengan perubahan Delna.
"Ceritanya panjang sih Nis. Tapi intinya mereka diganggu?" jelas Riski menggunakan nada tanya, toh dirinya juga masih tidak terlalu percaya dengan Delna.
"Ian hilang, Dion kaya orang gila," lanjut Riski setengah berbisik karna tiba tiba saja bu Salma lewat, Riski langsung memasang tubuh didepan Delna agar bu Salma tak melihatnya.
"Riski? Anak PKL belum berangkat?" tanya bu Salma sedikit merapikan rambut, kentara sekali kalau wanita itu baru saja bangun dari dunia mimpi.
"Sepertinya mereka terlambat bu, kalau satu jam juga mereka gak dateng saya bakal jemput," ujar Riski sembari memberi isyarat pada Delna untuk tidak keluar dari balik tubuh Riski.
Bu Salma menggeleng heran, "baru beberapa hari saja mereka terlambat," gumamnya kemudian berjalan kembali ke ruangan bu Salma
"Kenapa Del .. kenapa?" Disana, Dion terduduk lemah diatas kasur, kulitnya pucat, rambut hitam berantakan. Penampilan Dion benar benar kacau saat ini. "Astaga .. Dion?" panggil Nissa merasa prihatin dengan keadaan Dion, lagipula siapa yang tak tega melihat seseorang dalam keadaan mengenaskan seperti itu? Nissa kemudian segera berlari kearah Dion, tak peduli dengan seruan yang dilontarkan Delna. "Kak Nissa! Jangan! Bahaya!" seru Delna memperingati, namun Nissa tampak tak peduli, toh Dion lebih membutuhkan pertolongan. "Kak Nissa!" seru Delna lagi ketika melihat Dion menunduk lesu, ia takut Dion akan berteriak marah atau melakukan hal yang ekstrim. Setelah sampai didepan Dion, Nissa segera mengelus pucuk kepala Dion dan bertanya apakah Dion baik baik saja atau tidak. Dion menggeleng sebagai jawaban, tanda jika dirinya sedang tidak baik baik saja. Nissa kemudian mengangguk pelan lalu mengamit pergelangan tangan Dion. Lilitan tali
Orang itu menatap Delna intens, matanya bergerak dari atas turun kebawah, memperhatikan Delna secara detail. "Maksudnya?" Suara Delna memecah keheningan, membuyarkan fokus orang itu. Namun sepertinya pria didepan Delna lebih memilih untuk tak menjawab. Kerutan didahi sang pria sudah menjadi bukti untuk Delna bahwa ia sedang berfikir keras. Hening tiba tiba menyergap membuat Delna merasa tak nyaman sekaligus risih, "saya permisi kalau memang Anda tak memiliki urusan dengan saya," ujar Delna sopan dan berniat pergi sebelum pria itu menghentikannya. "Oh! Kamu Delna?" tanya orang itu dengan wajah riang, tak mempedulikan semua perkataan yang Delna lontarkan sebelumnya. Walaupun sedikit sebal, Delna tetap mengangguk sebagai jawaban. "Ini aku Henri!" ungkapnya sembari menunjuk diri sendiri. Tiba tiba saja memori beberapa minggu lalu terputar bagai rewind dikepala Delna. Terdiam sesaat karna otak Delna masih memproses informasi
"Tunggu! Pak Hendra?" tanya Delna setengah terkejut, terlalu fokus dengan Dion membuatnya lupa untuk melaporkan hal ini pada kepala desa."Yap, aku mau kamu menebak, Del," ujar Henri melipat tangan didepan dada.Lagi, Delna mengernyit bingung. Ayolah, otaknya terlalu bodoh untuk memecahkan suatu teka teki."Aku malas berfikir, akan aku tanyakan hal ini pada Dion saja," ungkap Delna bangkit lalu berjalan kearah kamar Ian, Delna hendak membawa pemuda itu ke rumah."Ya sudah, lakukan hal seperti Dion, semoga beruntung gadis kecil."***Perkataan Henri terus saja berputar dikepala Delna, terngiang bagai sebuah musik.Nafas gadis itu terengah karna membawa beban dipunggungnya. Bulir bulir keringat memenuhi pelipis Delna. Sesekali Delna akan terpeleset ketika berjalan. Kepalanya sedikit berkunang-kunang akibat terlalu lelah membawa beban."Sedikit lagi .. " lirih Delna menatap jalanan didepannya."Kalau bukan karna aku p
Kegelapan dengan sinar warna biru merupakan pemandangan yang Delna lihat pertama kali. Pepohonan lebat menjadi pelengkap tempat Delna berada.Netra hitam menelisik sekitar, mencoba untuk mencari tau sedang dimana Delna berada sekarang. Terbangun dari posisi tidur hanya untuk melihat lebih luas, Delna bangkit berdiri, sedikit membersihkan debu yang menempel ditubuhnya.Otak gadis itu masih berusaha untuk mencerna kejadian hari ini, lagi lagi otaknya disuruh kembali untuk berfikir, pikir Delna kesal."Astaga .. padahal niatku kan hanya iseng," lirih Delna memijat pelipisnya setelah mengingat kejadian beberapa menit lalu.Delna sendiri yang memang kurang ajar, namun niatnya kan hanya ingin memastikan apakah teorinya benar atau tidak."Tidak kusangka hantu itu sensitif .. " gumam Delna sangat pelan mulai berjalan tanpa arah.Delna membiarkan sang kaki menjadi pemimpin kali ini, otaknya sudah terlalu lelah."Sekarang .. aku harus apa
"Delna?" lirih Dion terus menatap sosok seorang gadis yang tengah menari seorang diri dipinggir panggung.Semua penonton semakin bersorak senang ketika Delna menaikkan tempo kecepatannya menarinya. Walau samar, Dion dapat melihat rasa lelah tampil diwajah Delna.Perasaan takut yang sebelumnya hinggap langsung tergantikan dengan perasaan iba. Entah kenapa firasatnya mengatakan jika Delna sedang meminta bantuan.Dengan perlahan Dion menuruni tanjakan. Pertunjukkan itu seperti berada ditengah lubang dalam."Aw!"Dion langsung menutup mulut rapat rapat, takut jika ia menjadi pusat perhatian. Namun sepertinya 'orang-orang' itu asik menonton pertunjukkan yang terpampang dihadapan mereka, Dion diam diam bersyukur akan hal itu."Gimana cara nyelamatin Delna tanpa memancing perhatian?" gumam Dion langsung menatap sekitar dengan hati hati.Otak Dion paksa untuk berfikir lebih, "bayangkan kalau ini game," batin Dion masih berusaha mencari cara.
Delna dan Dion membulatkan kedua mata mereka, tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini. Namun dari hati paling dalam Delna dan Dion juga bersyukur kepada Tuhan.Melupakan rasa syok, kini Dion tersenyum lebar, bahkan sangat lebar hingga menampilkan deretan gigi rapi milik Dion. Begitu juga dengan Delna, gadis itu tersenyum sesaat sebelum akhirnya berdiri dan menghampiri seseorang yang diam diam Delna rindukan."Ian!" sapa Delna sedikit keras, membuat sang empu nama menutup telinga rapat rapat."Baru juga dateng," lirih Ian menatap sebal kearah Delna sembari mengusap telinga sebelah kanan.Bukannya merasa bersalah Delna justru membalas tatapan Ian, Delna tidak mau mengakui rasa rindunya pada Ian."Ian!"Saat hendak kembali bicara, Dion memotong ucapan Delna dengan cara berseru memanggil Ia
"Setelah itu, tanpa fikir panjang aku langsung menerima tawaran dari sosok itu," jelas Ian mengakhiri ceritanya dengan suara serak, ia lelah bercerita panjang lebar, tenggorokannya terasa kering namun tak ada air yang bisa Ian minum. Ketika Ian sedang sibuk mengurusi tenggorokan, Dion tiba tiba saja menghambur kedalam pelukan Ian, Dion terharu karna Ian rela tersiksa demi dirinya. "Terima kasih sahabatku~" ungkap Dion sedikit berlebihan menurut Ian. Mengabaikan cerita Ian sesaat, Delna bertanya pada Dion, "setelah mendengar cerita tadi, apa kamu ingat .. semuanya?" Dion langsung melepas pelukannya dengan Ian. Termenung sebentar sebelum menjawab, "gak terlalu sih, cuman ingetlah dikit dikit," jawab Dion sembari menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Delna menghela nafas lelah mengetahui hal itu, bagaimana nanti ketika mereka pulang lalu diminta presentasi selama mereka PKL tetapi Dion hilang ingatan? Akan sangat tidak lucu jika Delna harus b
"AAAA!"Delna terbangun dengan nafas terengah-engah, semua orang sedang mengerumuni dirinya saat ini, mereka semua menatap khawatir kearah Delna."Kamu gak pa pa? Dari tadi kamu terus berteriak," ujar salah satu pemuda yang berada disamping Delna."Ini, silahkan minumnya dek," ujar seorang ibu memotong kerumunan dengan secangkir teh hangat ditangannya.Delna termenung, otaknya memproses semua kejadian yang ia alami hari ini, terasa sangat cepat dan .. tak masuk akal."Dek?" panggil ibu itu lagi kembali menyodorkan teh hangat."Semuanya tenang, mungkin adek ini sedang syok."Seorang pria tua disertai peci putih dikepalanya datang memotong kerumunan, beberapa orang ada yang langsung pulang begitu pria itu datang, sebagian lagi lebih memilih untuk menetap."Ibu Ratih, taruh tehnya terlebih dahulu disana ya, biar saya yang urus," ujarnya mengibaskan tangan diudara sebagai isyarat agar semua orang yang ada disana pergi."Baik