Share

2: KOMPROMI DEAL

“Tidak!” Isha berdiri dari duduknya, menentang keinginan Malik untuk menikahinya. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba menikah dengan Malik, teman yang kemudian menjadi orang yang paling Isha benci?

Ridwan menoleh, menatap Isha dengan sorot mata tajam.

“Isha! Kemarin kamu sudah tidak mendengarkan Bapak mengenai laki-laki yang kamu inginkan menjadi suamimu. Dan sekarang, ketika ada yang berbaik hati menyelamatkan keluarga kita dari rasa malu akibat lelaki pilihanmu itu kamu masih keras kepala? Atau mungkin kamu memang berniat mempermalukan keluarga kita?” tanya Ridwan dengan sorot mata tajam.

“Pak, sabar. Ini bisa kita bicarakan dengan baik-baik,” kata Rosminah mencoba mencegah adanya perselisihan antara suami dan anaknya itu.

“Tapi, Pak? Isha nggak suka sama dia. Bagaimana mungkin tiba-tiba menikah dengan dia?” tanya Isha dengan suara tinggi.

Ridwan tersenyum masam, sementara kedua orang tua Malik hanya menunggu dengan bimbang akan langkah yang diambil Malik.

“Lalu apa kabar lelaki yang kamu bilang kamu cintai dan mencintai kamu itu? Apa yang dia berikan pada keluarga kita selain rasa malu?” hardik Ridwan hampir kehilangan kesabaran.

“Tenang, Om. Saya hanya ingin membantu agar keluarga ini tidak malu. Kalau Isha tidak berkenan, saya juga tidak bisa memaksa. Maaf,” ujar Malik dengan santun kemudian berniat meninggalkan ruangan itu.

Sejenak Isha diliputi kebimbangan. Menerima niat baik lelaki yang tak disukainya itu, apapun tendensinya, atau menolak yang akan membuat dirinya serta keluarganya menanggung malu.

“Tunggu!” Tiba-tiba Isha berseru, membuat Malik menghentikan langkahnya dan menoleh pada perempuan cantik yang kini semakin cantik karena dirias sedemikian sempurna.

“Kamu memanggilku?” tanya Malik dengan wajah datar.

Semua orang yang ada di ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan drama siaran langsung yang mendebarkan.

Isha mengangguk. “Bisa kita bicara berdua?” tanya Isha dengan wajah datar,

Malik sedikit bingung tapi kemudian mengangguk.

“Aku ingin bicara berdua saja sama Abang,” pinta Isha dengan wajah datar sendu.

Meski sedikit bingung, tapi Malik memilih mengangguk.

“Ikut saya ke kamar,” ajak Isha dengan suara dingin kemudian mendahului berjalan memasuki kamarnya yang berada agak belakang dari ruang tengah itu.

Malik menoleh ke arah orang tuanya, seolah menenangkan mereka agar tidak khawatir. Kemudian menoleh ke arah Ridwan dan Rosminah.

“Maaf, Om, Tante. Boleh saya bicara berdua dengan Isha?” tanya Malik dengan santun.

Tentu saja Malik tak ingin terlihat terlalu berani berada di dalam kamar dengan perempuan yang bahkan calon istri laki-laki lain.

Ridwan mengangguk. “Bicaralah, Malik. Aku sudah pusing mengatasi anak itu!” ujar Ridwan masih dengan aura marah hingga Rosminah harus kembali menenangkan suaminya.

“Terima kasih, Om, Saya menemui Isha dulu,” ujar Malik yang kemudian menyusul langkah Isha memasuki kamar untuk berbincang.

Seluruh keluarga yang ada di ruangan itu terdiam, seolah hanyut dalam pikiran mereka. Rosminah kemudian mendekati Aiman dan Aminah untuk bicara secara dewasa mengenai Malik yang tiba-tiba menjadi penolong dalam kasus hari ini.

Sementara itu, Malik melangkah lebar menuju ke kamar Isha yang sudah tertutup. Dengan pelan Malik mengetuk pintunya.

“Bisa aku masuk, Sha?” tanya Malik pelan.

Tak menunggu lama, pintu kamar terbuka dan wajah Isha terlihat demikian muram sekaligus kesal pada Malik.

Laki-laki tinggi itu berjalan pelan memasuki kamar Isha yang sudah dirapikan sedemikian rupa karena memang ini kamar yang dipersiapkan untuk pengantin baru. Malik mengedarkan pandangannya sekilas, dan hatinya miris ketika membayangkan bahwa persiapan ini nyaris berantakan karena ketidakhadiran Murad pada hari H pernikahannya dengan Isha.

“Jadi apa maksud Abang tiba-tiba muncul dalam kekacauan ini? Mau jadi pahlawan kesiangan? Atau untuk menertawakan saya yang gagal menikah?” tanya Isha yang langsung pada pokok permasalahan mereka kali ini.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Malik hanya tersenyum. Gadis ini masih saja tak berubah. Selalu blak-blakan bahkan cenderung ketus. Namun begitu, Malik sama sekali tidak marah. Mana mungkin dia bisa marah pada gadis yang sudah menguasai hatinya semenjak mereka remaja kecil itu?

“Mengapa kamu selalu berpikir buruk sama aku, Sha? Aku tidak ada maksud untuk menertawakan kamu, apalagi menjadi pahlawan kesiangan. Aku hanya ingin sedikit membantu agar kamu tidak gagal menikah dan keluargamu kecewa. Kalau kamu tidak berkenan, aku tidak akan memaksa apapun, Sha.” Malik memberikan penjelasan dengan gamblang.

“Kamu yakin hanya ingin membantu? Sepertinya kamu sedang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan dari situasiku. Sebagaimana dulu kamu mengambil kesempatan untuk menciumku dengan alasan didorong temanmu!” kata Isha dengan muka memerah karena masih saja dendam dengan peristiwa beberapa tahun yang lalu itu.

Malik tersenyum tenang.

“Untuk waktu itu aku benar-benar tidak sengaja. Mereka mendorongku. Jadi aku berterima kasih karena hari ini kamu memberiku kesempatan untuk meminta maaf atas apa yang terjadi bertahun lalu itu,” jawab malik datar.

“Aku sudah melupakannya!” ujar Isha ketus.

“Terima kasih, Sha.” Malik menjawab penuh rasa syukur karena akhirnya dia bisa meminta maaf atas kesalahpahaman mereka dulu secara langsung kali ini.

“Lalu bagaimana kalau aku menolak pertolongan yang kamu ulurkan?” tanya Isha.

Gadis itu sengaja berkata dengan ketus, berharap bahwa dengan begini Malik akan mundur dan mengurungkan niatnya. Tapi sepertinya Isha salah, karena Malik sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap Isha. Laki-laki tampan itu hanya tersenyum sambil membenahi kacamatanya.

“Aku hanya ingin membantu. Kalau kamu tidak berkenan aku juga tidak akan memaksa. Keputusan sepenuhnya ada di tangan kamu,” jawab Malik dengan tenang.

“Kalau aku menerima?” tanya Isha masih dengan ekspresi kesal.

“Ya, berarti kamu jadi istriku, dan aku sah menjadi suami kamu. Simple, kan?” Malik menjawab santai masih tetap dengan senyum lembut.

“Lalu bagaimana jika suatu hari nanti ternyata Murad datang?” Isha sengaja menyuguhkan kemungkinan kecil yang masih Isha harapkan itu.

Awalnya Malik terkejut karena tak menyangka bahwa Isha akan memberinya pertanyaan seperti itu. Kemudian Malik tahu bahwa Isha memang sengaja memberinya banyak hal yang bisa menyulut emosinya dan mungkin juga Isha berharap bahwa Malik akan mengurungkan niatnya menikahi Isha.

“Ya, kalau dia datang, dia masih mencintai kamu dan kamu juga masih mencintainya, aku akan menceraikan kamu. Aku tak mungkin menjadi penghalang dua orang yang masih saling mencintai untuk bersatu. Aku akan salah jika melakukannya,” jawab Adam dengan tenang, meskipun hatinya perih saat mengatakan hal ini.

Tapi sepedih apapun, itu tak lagi penting sekarang. Karena yang menjadi prioritas Adam saat ini adalah bagaimana mencegah Isha dipermalukan, dan juga keluarga ini juga tidak dipermalukan. Malik tak akan mungkin tega membiarkan Isha menanggung malu karena pernikahannya gagal.

Mendengar jawaban Malik, Isha terdiam dan tampak berpikir.

“Aku tidak akan memaksamu, Sha. Mendapat kesempatan untuk meminta maaf saja aku sudah senang. Kamu sudah dewasa, sudah bisa memutuskan mana yang sekiranya bisa kamu pertanggung jawabkan,” ujar Malik dengan tenang.

“Kamu yakin akan menceraikan aku jika suatu saat Murad datang dan ingin kembali padaku?” tanya Isha dengan suara yang mulai melunak.

Malik tersenyum meski hatinya perih.

“Ya, aku yakin akan melalukannya selama itu untuk kebahagiaan kamu,” jawab Malik penuh keyakinan.

Sejenak Isha bimbang. Menerima niat baik Malik adalah dilema karena dia sungguh tidak suka dengan laki-laki yang meskipun tampan ini, namun dulu sudah menodai persahabatan mereka dengan berani mengatakan cinta padanya.

“Cha? Malik? Sudah selesai bicara?” Seseorang bertanya sambil mengetuk pintu kamar Isha yang tertutup rapat itu.

Isha dan Malik saling pandang.

“Sudah, Bu,” jawab Isha lantang, mengabaikan rasa khawatir, stress, kecewa dan mungkin juga stress karena ketidakhadiran Murad hari ini.

Malik menatap Isha dengan penuh tanya, karena sepertinya percakapan ini belum menemui titik temu. Tapi Isha malah menjawab bahwa percakapan mereka sudah selesai. Malik hanya terdiam, tak ingin bertanya atau berkonfrontasi apapun. Semua ini hak Isha.

Isha berjalan menuju ke pintu untuk membukanya. Di sana, terlihat Rosminah yang menatap keduanya dengan wajah gusar.

“Bagaimana?” tanya Rosminah dengan suara rendah. Namun jelas perempuan itu tak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya.

Isha menatap Malik sekilas, kemudian menatap Rosminah sebelum akhirnya mengangguk mantap.

“Ya, saya bersedia menikah dengan Malik.”

Deg!

Giliran jantung Malik yang bagai dihantam palu godam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status