"Aku heran deh sama kamu, Git." Sandra membuka percakapan saat mobil Anggit mulai melaju meninggalkan cafe.
"Heran kenapa, Sayang?" sahut lelaki bertubuh atletis itu dengan genit.
"Kok bisa ya kamu sampe nikah sama si Rea?" Sandra melirik Anggit dengan senyum genitnya.
"Kenapa emangnya?" Anggit tersenyum nakal, dia merasa senang karena berpikir wanita disampingnya itu sudah mulai menaruh cemburu pada istrinya.
"Ya nggak papa sih, cuma aneh aja. Soalnya kalau aku lihat kamu bukan tipe orang yang mudah berkomitmen."
"That's right." Anggit menyahut cepat sedangkan Sandra justru mengernyitkan dahi.
"What? Jadi kalau gitu ngapain nikah? Kalau kamu nggak suka komitmen?"
"Mau gimana lagi? Dia hamil." Anggit mengedikkan bahunya. "Ortunya dateng ke rumahku minta pertanggung jawaban, pake ngancem segala." Anggit tersenyum kecut mengingat peristiwa malam itu.
"Hah? Serius? Jadi, sebenernya Kamu nggak suka sama Rea?"
"Siapa bilang?" Kembali Anggit tersenyum nakal menggoda Sandra agar lebih cemburu. "Aku nggak pernah pacaran sama orang yang nggak aku suka. Kecuali menikah yaa, sebenernya aku belum pengen nikah sih. Menurutku ini kecelakaan sampai aku harus nikah sekarang." Sandra nampak mengangguk mendengar penjelasan Anggit. Dia pikir lelaki ini benar-benar nggak ada hati sama Rea sampai tega menyelingkuhinya dengan sahabatnya, tapi ternyata Sandra salah. Wanita itu menelan ludah kecewa.
"Kenapa, Sayang? Kamu cemburu?" goda Anggit.
"Ngapain aku cemburu sama Rea? Yang benar saja." Sandra tertawa sinis membuat Anggit sedikit penasaran.
"Aku pikir kalian sahabatan. Tapi sepertinya Kamu nggak terlalu suka ya sama Rea?"
"Ih sok tau Kamu." Sandra tertawa lepas. "Sahabatan sih iya, kita temenan dari SMA, tapi ... jujur aku sebenarnya nggak terlalu dekat sama dia."
"Maksudnya?" Anggit mengerutkan dahi.
"Yaa gitu ... dia orangnya tertutup. Nggak kayak sahabat sih menurutku. Banyak hal yang dia tutupi dari aku. Bahkan dia hamil sama kamu aja aku nggak tahu lho."
"Oya?"
"Hmm." Terdengar Sandra mendengus.
"Membosankan ya?" Anggit berbicara lagi setelah beberapa saat seperti termenung.
"Apanya?" Sandra bingung dengan pertanyaan Anggit.
"Rea. Persahabatan kalian membosankan kan?"
"Yaa ... begitulah."
"Kamu sahabatan aja bosan. Bayangin aja aku yang nikah sama dia gimana?" Sandra terkekeh saat baru menyadari maksud dari ucapan Anggit.
"Jadi, kamu bosan hidup sama Rea?"
"Ya ... gimana ya? Dia itu menurutku terlalu monoton. Nggak asik." Anggit menghela nafas panjang dan mulai berangan.
Andai saja wanita di sampingnya inilah yang menjadi istrinya, pasti hidupnya akan lebih berwarna, nggak kayak sekarang. Baginya, Rea itu wanita yang terlalu penurut, terlalu pendiam dan tidak bisa membuatnya bergairah.
Beda banget dengan Sandra. Dari segi penampilan saja, Sandra jauh di atas Rea, dia lebih tinggi dan tentu saja bagi Anggit lebih cantik. Mungkin karena itulah Anggit sampai rela menggelontorkan uang gajinya buat wanita menggairahkan disampingnya ini sejak sebulan terakhir.
Awalnya sih lelaki itu berpikir semua yang dilakukannya dengan Sandra hanya iseng, namun lama-kelamaan dia seperti orang yang kecanduan. Sehari tidak bertemu wanita ini saja semangatnya jadi hilang.
Akhirnya Anggit merasa beruntung mengetahui kalau ternyata hubungan persahabatan Sandra dan istrinya tidak sedekat yang dia pikirkan. Setidaknya itu akan mengurangi beban bersalahnya pada Rea. Dan tentu saja, hal ini akan memuluskan rencananya mengencani wanita seksi disampingnya ini dengan aman dan sempurna.
Angan-angan Anggit terhenti saat mobilnya sampai di pelataran parkir hotel yang dia tuju.
Mobil hatchback warna putih itu melaju pelan memecah keheningan malam meninggalkan pelataran hotel bintang lima yang sudah nampak sepi dan lengang. Dua penumpang yang sedang kasmaran di dalamnya nampak asik mengobrol, bergantian melempar senyum, berpandangan, dan sesekali berpagutan sangat mesra.
Bayangan keduanya memang tak nampak jelas dari luar karena kaca mobil yang gelap. Namun untuk lelaki bermata dan berinsting tajam seperti Devon tidaklah sulit untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dalamnya.
Otaknya mulai tak bisa bekerja normal seperti biasa saat dia sedang dalam kondisi marah. Jantungnya berdegup kencang, mata tajamnya memerah, dan tangannya mengepal keras diatas kemudi mobilnya.
Sandra bagi Devon adalah tujuan akhir. Setahun yang lalu saat memacari gadis itu, Devon sudah bertekad untuk menikahinya saat waktunya tiba. Dia merasa Sandra adalah seseorang yang bisa melengkapi hidupnya. Gadis itu lincah, ceria, suka bicara, pandai bersenang-senang dan sangat ekspresif. Berbeda dengan dirinya yang lebih pendiam, tidak banyak bergaul dan sangat gila kerja. Devon berpikir wanita seperti inilah yang nantinya akan mengisi sisi kosong kehidupannya.
Lelaki tampan itu bahkan sudah berencana untuk melamar Sandra tahun depan. Walaupun dia tahu gadis itu sangat hobi bersenang-senang dan belanja, bagi Devon itu bukan masalah. Bukankah wanita memang kebanyakan seperti itu, suka belanja dan menghambur-hamburkan uang demi penampilan. Asalkan dia masih mampu, sebanyak apapun yang Sandra butuhkan akan sanggup dia berikan. Ah, mungkin rencananya itu sekarang harus dia pikirkan ulang. Devon tak mau gegabah dan salah pilih.
☆☆☆
Mobil Anggit berhenti tepat di depan rumah Sandra. Wanita cantik berpostur tinggi langsing berambut hitam panjang agak ikal itu keluar dari mobil setelah mencium Anggit. Devon melihat adegan itu dari dalam mobil sport warna silvernya dengan tatapan sangat jijik.
Saat mobil Anggit menjauh, Sandra mulai melangkah menuju rumahnya, dan alangkah terkejutnya dia melihat kekasihnya sudah berdiri mematung di depan pagar rumah minimalisnya.
"Devon!" pekiknya.
"Dari mana kamu?" Sandra menciut melihat tatapan Devon yang sangat tidak bersahabat.
"Ak ... itu ... aku habis dari pesta temen. Ada yang ulang tahun," jawabnya terbata.
"Pesta di hotel?" Sandra tercekat dengan pertanyaan lelaki itu. 'Apa lelaki ini telah mengikutinya?' Pikirnya.
"Eee ... iya. Kok kamu tahu?" Sandra bingung harus bicara apa.
"Aku nggak nyangka kelakuan kamu di belakang aku kayak gini, Sandra."
"Maksud kamu ap... pa, Von? Aku nggak melakukan apa-apa," kilah wanita itu.
Sejurus kemudian Devon berjalan mendekat ke arah Sandra. Sandra mulai cemas dengan nada bicara lelakinya. Sepertinya ini lampu merah yang tidak bisa dia abaikan.
"Dengar, Sandra!" Devon memegang dagu wanita berusia 25 tahun itu dengan kasar seolah ingin mencekiknya. Sandra sedikit ketakutan.
Selama menjadi kekasihnya, lelaki ini memang mempunyai sifat yang agak aneh. Dia cenderung kasar dan posesif, dan sejujurnya Sandra yang memiliki sifat tidak bisa diatur itu sangat tersiksa dengan semua itu. Satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan dengan Devon hanyalah kekayaan lelaki itu yang selalu bisa memanjakannya.
"Kamu mungkin bisa membohongi sahabat kamu, tapi tidak akan pernah bisa membohongi aku. Ngerti kamu?!" kata Devon kasar sambil menghempaskan dagu Sandra hingga wanita itu meringis dan terbatuk-batuk.
"Devon!!" Sandra berteriak memanggilnya saat lelaki itu melangkah meninggalkannya dengan raut muka penuh amarah dan kebencian.
"Tunggu! Aku bisa jelasin semuanya." Wanita itu melangkah mengejarnya, namun tangan Devon memberinya isyarat untuk diam ditempat.
"Kamu tidak perlu menjelaskan apapun. Asal kamu tahu! Urusan kita belum selesai, Sandra. Kamu belum akan bebas sesukamu!" Selepas berkata itu, Devon kembali melangkah menuju mobilnya yang terparkir agak jauh dari rumah Sandra.
Kaki Sandra melemas. Mendadak dia ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan lelaki bernama Devon yang telah menemaninya setahun belakangan itu.
Bagi Sandra Devon bukan hanya Pangeran tampannya yang bisa dia gandeng untuk dipamerkan ke teman-temannya, tapi dia juga mesin atm berjalan yang sanggup memuaskan hasrat gila belanja dan foya-foyanya. Meskipun lelaki itu kasar dan tidak punya banyak waktu untuknya karena lebih suka bekerja, tapi Sandra bisa mendapat segala keinginannya tanpa perlu bekerja keras darinya. Sekarang dia telah membuat lelaki itu marah. Sandra bisa merasakan hal buruk akan terjadi padanya setelah ini.
Devon memarkir mobilnya pelan di pelataran parkir mall. Dia baru turun dari mobilnya saat taksi online yang menurunkan wanita bertubuh mungil itu melaju meninggalkan jalan di area parkir. Lelaki bertinggi lebih dari 180 cm itu berjalan mengikuti langkah santai si wanita dari jarak yang agak jauh. Rea sebenarnya cuma berniat membeli beberapa pakaian dalam siang itu. Dia merasa beberapa bagian tubuhnya sudah mulai agak melar hingga beberapa pakaian dalamnya tak lagi nyaman dipakai.Dia melangkah pasti menujustan underwearsaat mendadak matanya tertumbuk pada etalase pakaian bayi dengan model yang mencuri perhatiannya. Sejenak dia mengelus perutnya yang masih belum kelihatan buncit, hanya terasa sedikit berisi. Bibirnya tersenyum kala kakinya memutuskan untuk melangkah menuju jajaran baju-baju bayi yang menurutnya sangat lucu itu. Dia berharap anak pertamanya dengan Anggit nanti berjenis kelamin la
[Devon: Aku sudah di depan. Bisakah kita sambil makan siang?]Rea membaca pesan itu lalu melongok sebentar lewat jendela kamar tamunya. Sebuah mobilMercedes Benz C Classwarna hitam terparkir disana. Rea tidak bisa melihat orang yang ada di dalamnya, tapi itu sudah pasti Devon.[Rea: Iya baiklah. Tunggu sebentar aku telpon suamiku untuk pamit dulu ya?]Devon mengumpat membaca balasan pesan dari Rea. Jadi wanita model kayak gini yang tega dicurangi lelaki tak punya otak itu?Devon membukakan pintu mobil saat Rea keluar dari rumah dan menghampiri tempat dia parkir.
Sandra duduk dengan gelisah di pojok ruangan. Beberapa saat yang lalu Anggit menelpon dari kantornya dan bilang ingin mengatakan hal penting. Wanita itu penasaran tentang apa, tapi dia yakin pasti ada hubungannya dengan mereka berdua.Anggit datang tergesa lima menit kemudian, seperti biasa mereka selalu berciuman sebentar. Sangat menjijikkan jika saja ada orang yang tahu bahwa keduanya bukan pasangan suami istri."Ada apa?" tanya Sandra saat Anggit sudah terlihat duduk dengan tenang disofa cafetempat favorit mereka bertemu."Pacar kamu ... ngajak Rea keluar makan siang tadi.""Apa?? Devon? Kamu serius?""Rea menelponku bilang pamit mau keluar sama pacarmu.""Tapi itu nggak mungkin, Git. Mereka berdua nggak deket. Setau
Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
"Yakin nggak mau aku antar masuk?" tanya Devon pelan di depan pagar rumah. Rea menggeleng."Biar kuselesaikan masalah ini sendiri saja," kata Rea. Devon mengangguk tidak yakin."Baik, masuklah! Aku tunggu disini.""Pulanglah, Von. Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Rea merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil yang harus ditunggui ayahnya karena takut. Namun belum sempat dia protes, dilihatnya Anggit keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Tak ingin terjadi pertikaian karena Rea tahu betapa Devon pasti juga sangat ingin sekali menghajar suaminya itu, Rea segera berlalu meninggalkan Devon masuk ke pagar rumah."Dari mana kamu, Rea?" tanya Anggit menata
Teddy membuka layar ponselnya saat tiba di parkiran kantor. Dibukanya satu pesan dari Devon.[Cari tau kabar Rea, dia tidak merespon chat dan panggilanku dari semalam. Aku agak khawatir. Secepatnya ya?]Lelaki bertubuh jangkung itu mengunci layar ponselnya dengan cepat dan segera bergegas menuju mobil sport warna silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Hanya satu tujuannya, yaitu rumah Rea, wanita yang sepertinya beberapa hari belakangan telah membuat sahabatnya susah konsentrasi.☆☆☆Rea duduk di sofa ruang tengah diapit kedua orang tuanya. Tangis sesenggukannya sejak dia sampai di rumah itu belum juga mereda. Bu Renata, ibu Rea, memeluk bahu anaknya dengan perasaan teriris. Dia benar-benar tidak menyangka putri kesayangannya itu mengalami nasib buruk dalam pernikahannya yang baru seumur jagung.Sementara Pak Hanggono, ayah Rea, terdiam