Rea menerima rangkaian mawar dan baby breath warna putih dari office boy di depan pintu kerja ruangan direktur. Kemudian dia kembali masuk dan langsung meletakkan benda berbau romantisme itu di atas meja Devon. Tepat jam setengah 12.
Mencium harum dari bunga itu, Rea jadi teringat suaminya. Anggit pernah memberikannya bunga seperti itu waktu ulang tahun Rea sebelum mereka menikah. Hatinya mendadak terasa sesak mengingat moment membahagiakan itu.
"Semoga Miss Cecilia suka, Ini bunganya, Pak," kata Rea singkat kemudian cepat berlalu dari hadapan atasannya tanpa menunggu lelaki itu bereaksi. Devon, lagi-lagi melirik ke arahnya yang berjalan kembali ke meja kerjanya. Ada senyum puas di hatinya saat dilihatnya wanita itu tak tersenyum sama sekali.
Devon bangkit dari duduknya dan segera menyambar bunga di atas mejanya, bersiap-siap akan pergi.
"Aku kembali sebelum jam 3," pamitnya pada Rea. Wanita itu hanya me
Saat napas lelaki itu masih sedikit tersengal karena menahan gairahnya yang gagal tertunaikan, mendadak telepon saluran internal di atas meja kerjanya berdering. Dia segera mengangkat panggilan itu setelah berhasil mengatur napasnya."Ya?""Meeting sudah bisa dimulai sekarang, Pak," suara sekretaris seniornya dari ujung sana. Devon memejamkan matanya sejenak seperti sedang berpikir. Sejenak diliriknya Rea yang masih terduduk di karpet sambil meringis menahan sakit ."Tolong mulai dulu meetingnya, Tante. Saya masih ada sedikit urusan. Sebentar lagi saya kesitu," ucapnya pada sekretaris seniornya. Rea sontak mendongak demi mendengar kalimat itu, dan segera bangkit."Saya baik-baik saja, Pak. Kita bisa langsung ke ruangan meeting sekarang."Rea mulai membenahi pakaian kerjanya yang sedikit berantakan. "Saya sudah siap," katanya segera.Devon menghampiri wanita itu setelah menutu
Rea mulai bisa merasa bahwa berada di samping seorang konglomerat seperti Devon Junior Widjaya cukup menyenangkan. Segala hal menjadi sangat mudah untuk dia dapatkan. Contohnya seperti kali ini, biasanya dia harus mengantri saat memeriksakan kehamilannya ke dokter kandungan. Tapi bersama Devon, dia bisa mendapatkan fasilitas khusus yang tidak semua orang bisa."Luna bilang apa?"Tak membutuhkan waktu lama untuk Rea mengetahui kondisi calon bayinya. Mereka berdua kini sudah melaju meninggalkan rumah sakit tempat Devon membawa Rea memeriksakan kandungannya."Baik, syukurlah. Katanya bayiku sehat." Rea tersenyum bahagia memberitahu keadaan bayinya pada lelaki di sampingnya. Devon menoleh ke arahnya. Takjub dengan binar bahagia yang terpancar dari wajah wanita itu. Apa seperti ini cantiknya seorang wanita yang bahagia akan hadirnya seorang anak? Seandainya bayi itu adalah anak Devon, apakah dia juga akan merasakan kebahagiaan yang sama
Teddy melajukan mobilnya lebih pelan saat memasuki halaman rumah besar bergaya eropa itu. Ini bukan kebiasaan ibunda sahabatnya menyuruhnya untuk datang tanpa kehadiran Devon.Ibu Arina menerimanya di ruang tamu besar dan megah bernuansa putih dengan tangga di tengah menuju ke lantai atas."Apa kabarmu, Sayang?" Seperti biasa wanita dengan paras cantik keibuan itu selalu memeluknya saat mereka bertemu. Wanita itu sudah menganggap Teddy tak ubahnya seperti anaknya sendiri. "Kamu sehat?" tanyanya kemudian saat mereka sudah duduk di kursi ruang tamu."Seperti yang Tante lihat. Aku baik-baik saja." Teddy tersenyum tulus."Perusahaan baru Devon tidak ada masalah kan, Sayang?" tanyanya lagi sambil menuangkan anggur yang baru saja dibawakan oleh asisten rumah tangga ke ruangan itu."Sejauh ini baik dan sangat lancar, Tante." Teddy mencoba untuk bersikap biasa walaupun sebenarnya dari raut muka
"Kamu tidak serius dengan Rea kan?" Pertanyaan sahabatnya itu membuat Devon terdiam. Jujur dia tidak menyangka ibunya akan mencampuri urusan pribadinya sejauh ini. Selama ini, wanita yang sangat dicintainya itu terlihat santai dan sangat open minded."Aku akan menikahinya." Lelaki itu tiba-tiba mengatakan hal yang membuat sahabatnya membelalak setelah menyesap habis minumannya."What?? Kamu susah gila?" Teddy menekan dahinya keras-keras. "Dia itu istri orang, Bro.""Aku tau. Kupastikan mereka akan berpisah sebentar lagi""Dia juga hamil.""Aku juga tau itu, nggak usah kamu bilang.""Dan anak itu juga bukan anakmu." Devon melotot ke arah sahabatnya."Apa? Apa lagi yang mau kamu katakan? Ayo, katakan saja semua! Itu bukan alasan aku tidak bisa menikahi dia kan?" Devon tiba-tiba tergelak."Iya sih, tapi kamu yakin?""Aku bu
"Sepertinya dia baik," kata Bu Renata sambil menyenggol bahu anaknya, tersenyum menggoda."Apa sih, Bu," Rea cemberut, lalu menggandeng ibunda tercintanya berjalan menyeberangi halaman setelah mobil Devon tak terlihat lagi dari pagar rumah."Ibu senang kamu bisa pulang liburan, Sayang. Ibu sama Ayah semalam sudah berencana mau ke tempat kamu. Kamu bener tinggal di apartemen? Apa nggak kemahalan Rea sewanya? Kenapa nggak cari kost aja?" cerocos bu Renata saat mereka sudah berada di dalam rumah. Rea yang sudah sangat rindu dengan sang ibunda segera memeluknya erat-erat."Ibu, nanyanya bisa entar nggak? Rea masih kangen." Wanita itu menggelendot manja di dada ibunya."Kamu ini kok jadi kayak kecil." Sang ibu terkekeh."Ayah pulang jam berapa, Bu?""Akhir-akhir ini Ayah sering pulang sore, katanya sih lagi banyak kerjaan di kantor." Rea nampak manggut-manggut mendengar
Dua pasang ibu dan anak itu sedang duduk melingkar di meja makan. Ibu Arina akhirnya mengundang sahabatnya, Ramona, dan putrinya, Cecilia, untuk makan malam di rumahnya karena Devon akhirnya menyetuui untuk mencoba hubungan yang lebih serius dengan putri dari sahabatnya itu."Kalian tidak perlu buru-buru, jalani saja kebersamaan kalian sampai nanti kalian berdua siap untuk ke jenjang pernikahan. Bukan begitu, Mon?" tanya Bu Arina pada sahabatnya. Bu Ramona mengangguk setuju."Benar itu. Yang paling penting kalian harus sering ketemu, biar lebih cepat saling mengenal satu sama lain. Cecilia boleh kan sesekali berkunjung ke kantor kamu, Dev?" tanya Bu Ramona tiba-tiba yang membuat lamunan Devon buyar.Sebenarnya lelaki itu dari tadi tidak fokus dengan obrolan meja makan yang membosankan itu. Pikirannya justru melayang ke apartemen Rea. Belum genap sehari dia berpisah dari wanita mungilnya itu, tapi rasa rindu rasanya sudah
Devon sangat bersemangat minggu pagi itu. Dini hari tadi dia baru membaca pesan terakhir Rea sesaat sebelum dia memejamkan mata. Dia sangat terganggu dengan keberadaan Cecilia dan ibunya yang bertamu sampai larut malam di rumah orang tuanya.Membaca pesan Rea itu Devon jadi tersadar bahwa Rea sepertinya belum mengenal Devon dengan baik. Dia bahkan belum tahu bagaimana rajinnya lelaki itu bangun pagi. Kebiasaan bangun paginya bahkan sudah dia jalani sejak kecil. Dulu ayahnya selalu mengajarkannya seperti itu. Bangun pagi, berolahraga, mandi, sarapan, lalu bekerja. Dan itu seakan telah menjadi doktrin hidup sampai Devon dewasa.Dalam hidupnya, tidak banyak hari yang dia lewatkan tanpa bangun pagi. Misalnya seperti saat dia sedang sakit, atau saat dia sedang ingin bermalas-malasan dengan para wanitanya. Salah satunya adalah malam dimana dia tidur satu ranjang dengan Rea.Pagi ini pun tak jauh beda dengan hari biasa. M
"Ibu siapa?" tanya Rea saat membuka pintu apartemen dan melihat seorang wanita paruh baya dengan tampilan sangat elegan berdiri dengan anggun di depan pintu."Seharusnya saya yang tanya, kamu siapa? Kenapa ada di apartemen anak saya?"Sepersekian detik wajah Rea mendadak pucat. Dari kalimat wanita itu Rea langsung tahu siapa yang dimaksudnya dengan sebutan 'anak saya'. Tanpa sadar Rea refleks mundur, memberi jalan pada wanita itu untuk masuk.Sekitar setengah jam yang lalu dia dan Devon baru saja sampai di apartemen, dan saat ini lelaki itu sedang membersihkan diri di kamar mandi."Kenapa? Kamu terkejut? Kamu tidak tau siapa saya?" tanya wanita itu dengan raut muka angkuh."Anda ... ibunya Devon?" tanya Rea gugup. Rasanya Rea ingin sekali menghilang saja dari muka bumi ini secepatnya. Apa yang dia takutkan selama ini benar-benar terjadi. Ketakutannya dengan keberadaanya di sini ber