Share

Abi Lagi

Usahaku datang ke rumah Mas Irza tidak membuahkan hasil, yang ada malah aku rugi sendiri karena sudah datang jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk buang waktu dan energi. Alasan tidak membuahkan hasil, Mas Irza masih marah denganku, masih mendiamkanku, bahkan kita seperti orang asing. Sekarang, aku bisa apa kalau sudah begini?

Bahkan, saat kemarin sore, Mas Irza membiarkanku ketiduran hingga pukul enam sore nyaris setengah tujuh, lebih tepatnya selesai adzan magrib. Ketika aku bangun, aku lihat Mas Irza tengah memainkan ponsel. Yang ingin membuatku marah, ia selesai beribadah tapi tak membangunkanku. Tapi ya, aku mau marah gimana?

Akhirnya, selesai numpang beribadah di rumahnya, aku memilih pulang tanpa melanjutkan obrolan kembali, karena Mas Irza malah sibuk kembali dengan laptopnya.

Dan hari ini? Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Mulai Minggu, Senin, lalu Selasa. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi belum ada respon sama sekali. Ya sudahlah, aku tak mau menggubrisnya lagi, kecuali ia menghubungiku terlebih dahulu. Lagipula, dia tidak menghubungiku bisa jadi karena sedang sibuk.

"Lo kenapa sih?" sentak Sabiya membuatku sedikit kaget, hingga aku hampir dari dari kursi. "Putus sama cogan lo?"

"Enggak lah!" jawabku sedikit kesal karena hampir terjatuh. "Ngapain sih lo? Jangan ganggu lah!"

"Dari tadi lo ngelamun. Gue takut, lo kelamaan ngelamun jadi nggak waras."

Sabiya memang aneh. Jelas-jelas aku sedang membaca novel yang ia bawakan ke rumah, tapi dia mengira aku melamun. Aku rasa, Biya harus dipertanyakan tentang kondisi matanya yang mungkin sedang nggak sehat. "Gue baca buku kok," balasku tak terima.

"Dari sejak gue serahin buku itu ke lo, gue udah tau kalau lo sedang baca buku. Tapi ya, Gen, masak lo baca buku nggak pindah-pindah halaman? Padahal itu fiksi doang, bukan buku non fiksi yang butuh waktu lama untuk memahami."

"Nggak kok, udah pindah nih."

"Astaga," kata Biya terdengar frustasi seraya mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. "Sumpah, lo aneh banget. Dari tadi lo belum selesai baca bab 1, padahal kalau lo baca novel kayak marathon lari. Lo ada masalah kan?"

Reflek, aku melihat halaman novel yang tengah aku baca. Dan benar saja, masih di halaman 4 yang tandanya belum pindah ke bab berikutnya. Sekarang, aku sadar jika kefokusan membacaku kali ini menurun. Nyatanya, berulang kali aku membaca paragraf agar paham maknanya, namun otakku tidak benar-benar memahami kalimat novel, melainkan memikirkan sosok lain, yakni Mas Irza.

Benar-benar, Mas Irza membuatku kepikiran akhir-akhir ini. Semua pikiran dari mulai positif thinking hingga nethink bergiliran datang, dan itu semua menganggu aktivitas karena mengurangi daya fokus.

"Sok tahu. Gue lagi malas aja baca, jadi ini biar gue simpan ya. Kalau selesai, gue bakal balikin." Biya menatapku dengan bibir sedikit terbuka, lalu mengedipkan mata berkali-kali, seolah-olah tak paham dengan kelakuanku kali ini. "Gue ke kamar dulu."

"Gila lo! Woy, tunggu!" Biya berteriak seakan-akan kami di rumah berdua saja, padahal ada Mama. Mungkin dia tidak merasa canggung ketika berteriak di rumah sepupunya sendiri.

"Gue istirahat. Lo tidur di kamar tamu aja ya!" kataku berbalik ke ruang tengah dan berdiri di depannya untuk memberi informasi padanya. Aku tak mau jika sudah terlelap tidur nanti, ia menggedor pintu dan merusak tidurku. Juga malam ini, aku ingin sendiri tanpa diganggu siapapun, termasuk Biya yang sok tahu dan sok memberi nasihat walaupun dia sepupuku sendiri.

"Lo parah banget, Gen. Gue kasih tau Tante, tahu rasa lo!" katanya mengancam, tapi aku tak perduli dengan hal itu.

"Sorry lah!"

"Gitu banget sama sepupu sendiri," ucapnya lagi tapi tak aku hiraukan.

Baru saja aku akan memutar knop pintu lalu mendorongnya, panggilan W******p menggagalkan aksiku. Langsung saja, aku menerima panggilan setelah membaca nama yang tertera di layar ponsel.

"Iya? Ada apa?" balasku setelah Abimanyu mengucap kata "Permisi". Sambil menunggu ia mengutarakan maksudnya menelpon diriku, aku berjalan ke depan rumah untuk mencari suasana baru, juga mencari ketenangan. Setelah teleponku dengan Abi berakhir, aku akan bergalau-galau di dalam kamar.

"Aku ke rumah kamu boleh?" Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Selama Abi berteman baik denganku sejak SMP hingga lulus SMA, ia tak pernah bertanya seperti ini ketika akan berkunjung ke rumah. Tapi, ia hanya akan bilang akan main ke rumah melalui percakapan langsung maupun di aplikasi W******p. Ya intinya dia konfirmasi dahulu. Tapi kenapa untuk sekarang ini harus ijin?

"Gue nggak punya rumah," kataku yang pasti akan terdengar ketus di telinga Abi. "Maksudnya belum," koreksiku lagi karena salah ucapan.

Aku mendengar ketawanya Abi yang sejak dulu tak pernah berubah dari seberang sana. Mungkin ini terdengar lucu baginya, padahal aku sedang tidak bercanda, yang ada malah sedang memikirkan sosok Mas Irza dengan galau.

"Ya udah, aku ke rumah Mama kamu, boleh kan, Genna?" tanyanya masih dengan tertawa tipis.

"Terserah lah!" balasku tak santai.

"Eh, kamu kenapa, Gen?"

Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan-lahan, setelahnya duduk di kursi yang tersedia di kuris teras. "Nggak. Gue cuman---"

Ucapanku belum berakhir, tapi sengaja aku potong dengan cara mematikan panggilan secara sepihak. Biarlah Abi menganggapku tidak sopan, aku tak masalah. Yang pasti, aku ada alasan mendasar mengenai sambungan telepon yang terputus secara sepihak. Alasannya, aku malas untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, aku juga malas mencari kalimat kilahan untuk saat ini. Jadi pada intinya, aku malas berbicara.

Abimanyu : Kamu nggak kenapa-kenapa kan?

Muncul satu pesan singkat via aplikasi W******p dari Abimanyu, tapi aku biarkan saja, tanpa perlu repot-repot membaca apalagi membalas. Sekarang, aku lebih memilih melihat melamun sebentar seraya melihat tanaman yang dirawat Mama.

Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku menatap tanaman berbeda-beda di satu tempat yang sama. Dan selama sepuluh menit itu, aku bertanya-tanya mengenai semuanya. Dari mulai hidup, resiko hidup dari bayi hingga tua, resiko menjadi manusia berumur dewasa. Namun pada akhirnya, pertanyaanku itu tidak mendapatkan pertanyaan.

Tak mau berlama-lama di luar dan takut kesurupan, aku memilih masuk rumah untuk tidur. Tapi mendadak, Abimanyu menggagalkan rencanaku kedua kalinya pada malam ini.

"Hai Genna!" sapanya lalu duduk di seberang ku yang terhalang oleh meja.

"Ngapain lo ke sini?" tanyaku lalu terpaksa duduk kembali karenanya.

"Aku bawain ini, untuk kamu. Dan aku mau tanya soal kemarin," paparnya, dan aku hanya mengangguk sambil menatapnya, menunggu penjelasan berikutnya. "Masih suka sama martabak telur kan?" Aku mengangguk lagi.

"Kamu bikin aku gugup di jalan tadi. Aku kira, kamu kenapa-kenapa, karena langsung tutup panggilan, W******p ku juga nggak dibaca. Ternyata, kamu baik-baik saja. Gugupku langsung hilang ngelihat kamu baik-baik saja," katanya membuatku jengah dan ingin mengusirnya pergi.

Yang aku harapkan, ia membicarakan soal kemarin yang pastinya hari Minggu lalu. Tapi ia malah membicarakan tentang panggilan beberapa menit yang lalu. Tapi sabar, karena aku nggak mungkin mengusir Abi yang tidak salah.

"Soal kemarin," kataku menggantung seraya membuka kardus berisi martabak pemberiannya. "Apa yang mau lo bicarain?"

"Masalah kemarin, waktu pacar kamu marah sama kamu, karena kita makan bareng. Jadi gimana? Masih marahan? Mungkin aku bisa bantu klarifikasi ke pacar kamu biar dia nggak salah paham lagi."

Aku tertawa-tawa di dalam hati, tapi mulutku tak merespon apapun karena sibuk makan. Niat Abi memang baik, bahkan ia rela datang dan bilang malam-malam begini hanya untuk masalah itu. Padahal di telepon juga bisa. Aku juga menilai, bahwa ia merasa bersalah dengan caranya sendiri. Tapi, mana mungkin aku koar-koar tentang masalah ini yang bisa aku atasi sendiri?

"Nggak ada masalah, lo nggak perlu segitunya." Sekarang, aku berbohong, dan menambah jumlah dosa yang sudah aku perbuat sebelumnya. "Makasih ya, Bi. Lo repot-repot gini sama gue yang nggak pernah repot sama lo," kataku seraya mengangkat satu potong martabak lalu menggigitnya.

"Kamu jangan bohong!"

Satu kalimat langsung aku ucapkan di dalam hati. "Sok tahu!" "Emang lo punya alat ukur kebohongan?" tantangku untuk mengakhiri percakapan tentang masalah ini.

Abi tersenyum lagi, lalu berkata, "Ya udah. Aku lega denger kamu udah baikan sama pacar. Kamu masih sama kayak dulu ya, Gen. Nggak mau terkalahkan."

"Mungkin."

"Sama kayak dulu juga--"

"Kita nggak lagi ber-nostalgia, Bi," potongku cepat tak ingin ia berbicara mengenai masa lalu.

Sebenarnya asik dan menyenangkan, saat kita bernostalgia tentang sifat dan kejadian masa lalu. Tapi sayangnya, waktunya sedang tidak tepat, juga suasana hatiku yang tidak minat untuk melakukannya sekarang. Tidak hanya itu saja, ini sudah malah, oil sepuluh. Tak baik kalau Abi bertamu malam-malam begini di rumah perempuan dengan waktu yang lama. Jadi, lebih baik aku menghentikan daripada kebablasan.

"Sorry, Gen. Aku cuma reflek aja ngelihat sikap kamu yang nggak banyak berubah."

"Masih ada banyak waktu untuk ngebicarain ini." Lagi-lagi Abi tersenyum, tapi aku biarkan saja hingga kami hening selama beberapa saat. Karena aku mengira Abi akan berbicara, maka aku menatap wajahnya yang ternyata juga sedang menatapku. Satu detik berikutnya, Abi langsung mengalihkan pandangan ke samping. "Kenapa lo?" tanyaku to the point.

"Kabar Tante gimana?"

"Baik, sedang istirahat, lagi nggak bisa lo ganggu!"

"Kamu gimana?" Aku menatapnya tak paham. Siapapun orang waras yang melihatku, pasti akan tahu jika aku baik-baik saja dari segi fisik. Lalu kenapa ia harus bertanya begitu?

"Lo pulang aja deh. Pertanyaan lo nggak ada kualitas banget. Ini juga udah malem," usirku membuat Abi menaikkan alisnya. "Gue mau tidur, daripada ngejawab pertanyaan lo yang jelas-jelas lo udah tahu jawabannya."

Aku memasuki rumah dan membiarkan Abi sendirian di luar. Pikirku, ia akan pulang jika aku benar-benar masuk rumah. Dan benar saja, ketika aku hendak mengunci pintu, Abi melambaikan tangannya lalu berjalan menuju motornya. "Aku balik. Good night, Genna!"

"Ya!"

Sebelum masuk kamar tidur, terlebih dahulu aku mengecek Sabiya di kamar tamu. Ia sudah terlelap tidur tanpa memakai selimut, dengan ponsel yang masih memutar lagu kesayangannya. Setelahnya, berjalan menuju kamar Mama. Beliau juga sudah tidur nyenyak, bernapas teratur, dengan posisi sempurna. Merasa semuanya aman, aku kembali ke kemar.

Sekarang, aku berbaring miring memeluk guling sambil memainkan ponsel setelah mengunci pintu kamar. Masih seperti tadi, aku seperti orang galau. Jika tadi membuka buku tanpa kejelasan, sekarang aku membuka ponsel tanpa tujuan. Hanya scrolling status WhatsAppnya teman-teman yang merupakan anak sultan, dengan mata yang nyaris terpejam.

Tapi, tapi. Tiba-tiba notifikasi W******p mampu membuatku menggigit bibir lalu terduduk sambil kegirangan, saat nama Mas Irza muncil di bar notifikasi. Segera saja, aku menggeser beranda status W******p, ke beranda chat.

Mas Irza : Weekend nanti ke rumah Mas. Kita obrolin lagi.

Pesannya singkat memang, tapi mampu membuatku tersenyum tanpa sadar. Yang bikin aku senyum, Mas Irza sedikit mengurangi rasa marahnya padaku, lalu dia mengorbankan gengsinya untuk menghubungiku lebih dulu.

Genna : Kelamaan nunggu hari Sabtu atau Minggu. Ketemuan ajalah...

Sudah lima menit yang lalu aku membalas pesannya, dan sekarang belum mendapatkan respon. Padahal, aku fast respon padanya. Memang sesibuk itu, atau mungkin sok sibuk, padahal kami jarang chatting. Jika situasi seperti ini, aku sudah terbiasa dan selalu menebak ia sedang fokus kepada laptop, atau sedang mengerjakan aktifitas lain.

Mas Irza : Mas sibuk. Kamu mau ke kampus Mas?

Genna : Enggak lah. Makin jauh dari rumah Mas, aku juga kerja. Oke-oke, aku ke sana hari Minggu.

Mas Irza : Jangan begadang, hanya untuk nonton film atau baca novel.

Genna : Iya-iya. Masih pukul 11 kok, santai.

Genna : Mas masih marah sama aku karena apa sih?

Aku tahu, obrolanku di room chat bersama Mas Irza sangatlah melenceng. Tapi kalau ada kesempatan yang jarang muncul, aku harus memanfaatkan hal tersebut.

Mas Irza : Tidur, jangan begadang terus.

Genna : Mas selalu gitu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status