Minggu sore, aku harus merelakan waktu me time dengan senja yang ala-ala begitu, karena harus datang ke rumah Mas Irza untuk meluruskan kesalahpahaman tentang kejadian tadi pagi di tempat lontong sayur. Sejujurnya aku malas untuk berdiri di sini, selain jarak waktu tempuh perjalanan yang jauh, sifat Mas Irza yang benar-benar cuek ketika marah juga menjadi alasan mendasar.
Tapi, aku harus bagaimana lagi kecuali mengambil langkah seperti ini? Dijelaskan lewat telepon, pasti Mas Irza tak akan percaya. Jangankan percaya, dia mengangkat teleponku saja berlagak orang penting yang sok sibuk.
"Permisi!" kataku lantang lalu disusul dengan ketukan pintu tiga kali. Tak ada respon dari dalam, aku kembali mengulang dan setelahnya disusul balasan dari dalam.
"Kakak!" Usai membuka pintu, Kika langsung memelukku erat-erat hingga membuatku kaget karena mendapat serangan tiba-tiba. "Aku kangen banget tahu, sama Kakak. Tapi kenapa Kakak baru ke sini sekarang?" ujarnya membuat seulas senyuman terbit di bibirku.
Kika ini, adiknya Mas Irza. Ia perempuan dan baru menginjak kelas 12 SMA. Kami memang akrab, sehingga ia begitu lunak dan tanpa canggung untuk memelukku. Pernah main bareng, pernah mengajarinya menyelesaikan PR, pernah menjadi temannya untuk bertukar cerita.
Ia pernah bilang, kalau aku adalah kakak yang paling cocok untuknya. Saat aku tanya alasannya, ia bilang ia ingin punya kakak perempuan yang bisa jadikan teman. Tentu saja aku maklum, karena saudara Kila hanyalah Mas Irza saja, dan Mas Irza adalah pria.
"Kakak ada acara terus, maaf ya, Dek!" Aku membalas ucapannya.
"Pasti cari Mas Irza ya?" tebaknya seraya melepas pelukan kami. Aku hanya tersenyum tipis menjawab ucapannya. "Mas Irza ada di dalam. Andai aja aku nggak ada acara sama teman, pasti aku udah ajak Kakak jalan."
Sebenarnya, jika Kika jadi mengajakku jalan barang kali menemaninya beli pakaikan saja, itu adalah kesempatan besar yang aku miliki. Karena pastinya, Kika akan mengajak Mas Irza untuk dijadikan supir, dan karena itu pula Mas Irza tidak akan mendiamkanku di depan adiknya sendiri.
"Bisa kapan-kapan lagi kan?" Kika mengangguk.
"Ya udah, Kakak masuk aja. Mas Irza ada di dalam."
"Hati-hati di jalan ya, Dek. Jangan lama-lama," pesanku padanya.
Setelah kepergian Kika bersama ojek online tak lagi terlihat, aku memasuki rumah Mas Irza. Sebelumnya, aku tak langsung mencari keberadaannya yang mungkin ada di dalam kamarnya, melainkan ke dapur untuk menaruh buah-buahan pemberianku. Selesai menaruh barang bawaan di atas meja makan, aku naik ke lantai atas menuju kamar Mas Irza.
Ketika sudah di depan pintu kamarnya, aku menarik napas dalam-dalam agar bisa tenang, agar kalimat yang aku rangkai di otak saat di jalan tadi masih teringat, berdoa juga biar urusan ini tidak semakin panjang. Gawat kalau Mas Irza bisa ngambek sampai berhari-hari, karena aku yang bakalan kerepotan untuk membuat hati Mas Irza yakin akan diriku.
Saat pintu sudah berhasil aku dorong, tidak ada Mas Irza di ranjang, tidak ada ia sedang duduk di kursi, atau sedang membaca buku di balkon kamarnya. Tiba-tiba, aku mendengar suara kran air menyala di kamar mandinya Mas Irza, dan aku langsung menyimpulkan bahwa ia sedang mandi di dalam.
Sambil menunggu ia selesai, aku membaringkan badan di atas ranjangnya dengan kaki yang masih menggantung, membiarkan pintu kamar masih terbuka lebar. Memejamkan mata sebentar selama beberapa detik, sebelum Mas Irza menampakkan diri di depanku.
Ketika suara pintu kamar mandi di buka, reflek aku menoleh ke asal suara. Namun, Astaga! Mas Irza masih telanjang dada, hanya handuk yang dililitkan di pinggangnya. Tebakku, ia tak tahu aku ada di sini sehingga telanjang dada begitu.
"Genna!" katanya dengan suara sedikit terkejut.
"Hai, Mass!" sapaku kikuk sambil menyengir tak berdosa, lalu kembali menatap ke langit kamar selagi Mas Irza mencari baju.
"Ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan nada tak biasa, seperti orang yang tak suka dengan kehadiran seseorang.
Aku menatapnya yang sedang duduk di pinggiran ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. "Mau ketemu Mas," jawabku jujur. Aku melipat kedua tangan di atas dada, dengan wajah yang masih menatap ke punggung Mas Irza. "Ngadep sini dong, aku ke sini nggak untuk ngelihatin bajunya Mas," keluhku lirih.
Bukannya menuruti kemauan pacar, Mas Irza malah bangkit dari ranjang sambil menghempaskan handuk begitu saja, setelahnya mengambil buku di atas meja dan duduk menyender di kepala ranjang dengan kaki selonjoran.
Aku menatapnya dengan gemash, ingin marah karena ia tidak mengakui keberadaanku. Tapi kalau aku marah, itu nggak banget, karena ia sedang marah-marah padaku. Nggak lucu aja kalau-kalau kami sama-sama marah dan sama-sama ngutamain ego. Sikapku yang mengalah saat ini, didasari oleh hatiku yang masih menginginkan sebuah hubungan ini, sehingga aku mengorbankan ego. Susah memang, butuh kesabaran banget, tapi harus bagaimana lagi kalau nggak begini?
"Mas! Aku ke sini mau ngomong sama Mas, soal tadi siang. Soal makan bareng sama cowok yang bukan partner kerja atau kepentingan lainnya. Dia namanya Abi, tepatnya Abimanyu. Teman SMP ku waktu dulu. Karena kita udah ngga bertemu bertahun-tahun, dia ngajakin keluar bareng," jelasku masih berbaring sambil menatap jari kakinya Mas Irza yang gerak-gerak.
"Awalnya aku nolak, nolak banget. Tapi dia maksa Mas. Maksanya nggak di chat atau DM, tapi di rumah. Dan di rumah, nggak ada orang lain selain kita berdua. Ya udahlah Mas, mending kita keluar kan?"
Penjelesanku panjang lebar tadi, tak mempengaruhi sedikitpun dari Mas Irza, maksudnya ia tak merespon apa-apa, walaupun hanya sekedar bertanya balik, atau meminta maaf karena sudah marah-marah terlebih dahulu. Saat aku meliriknya, ia malah asik membalikkan buku dan fokus kembali.
"Mas! Mas kenapa masih diam?" Setelah beberapa detik, Mas Irza tak ada respon apapun. Aku sudah gemash, ingin meninjunya agar ia tak sok cuek begini. Padahal aslinya dia cuek, dan selalu cuek. Tapi kalau cueknya sombong begini, siapa yang nggak mau marah?
Setelah menarik napas perlahan, aku berbaring miring lalu menggoyangkan kakinya, agar aktifitas membacanya tak lagi fokus, syukur-syukur Mas Irza bisa mengalihkan perhatiannya padaku sepenuhnya. "Jauh-jauh aku ke sini biar Mas nggak lagi marah, tapi kenapa malah Mas gini banget sih?"
"Bicara sama orang harus natap wajahnya!" Mas Irza mengingatkan dengan nada sebal, saat aku berbicara namun menatap ke arah lain.
Dengan berat hati sambil menarik napas, aku bangkit dan duduk di depannya, menatap wajahnya yang nggak ada ramah-ramahnya sama sekali, lalu kembali menjelaskan kedua kalinya.
Demi apapun, Mas Irza memang sengaja membuatku kesal dan uring-uringan. Selesai menjelaskan yang kedua kalinya sambil menatap wajahnya, ia tak merespon apapun. Masih fokus dengan buku bacaannya. "Mas! Aku udah turutin kata Mas lho, kok Mas masih sama?" jujurku sambil meraih bukunya secara paksa.
"Mass!" rengekku meminta perhatian darinya.
Ia menutup buku miliknya, lalu dibiarkan begitu sama di atas pahanya. "Apa?" tanyanya santai sambil melihatku. Ingin rasanya, aku menampar pipinya, menekan hidungnya agar bernafas dari mulut, atau menjambak rambutnya. Tapi, balik lagi bahwa aku harus sabar.
"Aku udah ngomong, tapi kenapa Mas nggak kasih respon?"
"Sibuk, baca buku!" Mataku sedikit melotot padanya, tak paham lagi dengan sikapnya yang ngambekan seperti ini. Dengan segenap amarah, aku menjambak rambutnya sedikit, hanya tiga helai namun hingga rontok. "Sakit, Genna!" katanya sambil menatapku tajam.
"Oke! Aku tungguin Mas selesai baca buku," ucapku setengah nggak ikhlas, karena sambil uring-uringan. Bosan tak tau lagi harus apa selama menunggunya selesai membaca buku, aku berbaring dengan kepala telat di atas pahanya.
Namun, belum selesai berbaring, aku mendapati pintu kamar yang tertutup rapat. Tak mau dianggap sedang berkelakuan tidak-tidak, aku membuka kembali pintu secara lebar-lebar. "Siapa yang tutup pintunya, Mas?"
"Terserah Mas," balasnya sewot, yang aku simpulkan bahwa ia yang menutup pintu.
"Mas nggak ganteng, kalau sikapnya begitu," ketusku setelah berbaring di atas ranjangnya seperti semula. Di tengah-tengah area ranjang dan kaki masih menjuntai ke bawah. Kedua tangan dilipat di atas dada, lalu memikirkan apa saja yang terlintas di pikiran.
Aktifitas sore kali ini di kamar Mas Irza benar-benar membuatku bosan, tidak ada hal yang bisa menghilangkan kebosananku kecuali Mas Irza mau mengajakku ngobrol. Tapi ia masih fokus membaca bukunya tentang buku kesehatan. Dari tadi, aku juga sadar bahwa aku hampir terlelap tidur hingga beberapa kali, namun aku tidak membiarkan mataku terpejam, lebih tepatnya menahan kantuk. Dan kalau bisa, aku harus menahan kantuk hingga Mas Irza selesai membaca buku.
Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s
Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa
Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya
Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah
"Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen
Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga
Sebut saja penyiksa orang lain, itu adalah deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Abi pagi kali ini yang kenyataannya nggak bisa disebut lazim. Ia, dengan teganya menyeretku pulang dari rumah kakakknya ketika pukul setengah lima pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang yang artinya masih dingin-dinginnya.Ya kalau di rumah masih bisa nahan dingin, tapi kalau di jalan pasti terasa sangat dingin dan aku nggak terbiasa begini, sedangkan Abi membawa motor bukan mobil. Maka dari itu aku hanya diam sepanjang perjalanan, mencoba biasa-biasa saja.Jika tidak mau menyiksa, Abi bisa membawaku pulang ketika matahari sudah kelihatan sedikit, mungkin pukul setengah enam.“Ngapain diam? Masih marah karena pelukan tadi malam, Gen?”Tanpa sadar aku berdecak, lalu merapatkan kedua tangan yang terlipat di area dada. Abi masih saja mengingat kejadian tadi malam yang membuatku merasa malu, karena kakaknya Abi selalu menggoda kami den
Jangan lupa, wa Mas kalau sudah dibuka ya!!!Mas akan sangat suka juga, kalau hadiahnya dipakai.Itu adalah secarik kertas kecil yang ada di dalam kardus pemberian darinya. Aku yang usai membacanya hanya mengembuskan napas, lalu mengambil sebuah jam tangan yang ada di dalam kotak.Ketika membaca merk-nya, aku mengernyitkan kening dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Merk jam tangan ini agak asing bagiku sendiri, mungkin karena selera aku dan Samasta sangat berbeda. Saat teringat, aku membulatkan bibir. Ini adalah merk jam tangan yang iklannya pernah aku lihat di Ig. Bisa dibilang jam outdoor, karena setahuku merk-nya lebih condong untuk produksi kebutuhan outdoor, semacam alat pendakian.Ah, ini pasti mahal. Tapi apa pedulinya aku bahwa ini mahal atau tidak. Namun wajar juga kalau Samasta memberiku barang mahal, karena papa adalah orang kaya. Setahuku juga Samasta sudah bekerja, tapi aku tak tahu ia bekerja apa.
Genna : Apa sih inti pembicaraan lo tentang hubungan gue?Genna : Yang bahkan nggak cukup satu hari lo bahas, Bi.Abi menjadi orang yang membuatku tidak bisa tidur kembali malam ini hanya karena ucapannya tadi malam saat mengantarkanku pulang dari rumah papa. Bodoh amat bisa digunakan jalan untuk menyikapi ucapannya, tapi untuk malam ini aku benar-benar nggak bisa bodoh amat, ketika tak sengaja terbangun pukul tiga pagi lalu mendadak kepikiran ucapannya tersebut.Aku yang benar-benar bodoh karena mau-mau saja memikirkan, atau ucapannya memang membuat siapapun itu kepikiran hingga membuat berpikir sewaktu-waktu. Jadi kapok ngobrol serius dengan Abi.Sekarang aku memilih ke dapur untuk memasak mie instan, membuat segelas kopi lalu menikmatinya pada dini hari begini. Mungkin ini adalah faktor makan malam yang sedikit di rumah papa, serta terbangun mendadak tapi tak bisa tidur kembali. Apalagi aku sedang kepikiran sesuatu tentang papa dan