Share

Terlampau sedih

Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu.

"Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti.

"Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti.

"Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi.

Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore.

"Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekarang!" pintaku kepada Pakde.

Ku lihat ekspresi wajah Pakde tersenyum. Bude juga sama.

"Kamu ingin kemakam? Mandilah dulu! Nanti pakde antar, Nduk." Pakdeku dengan lembut memberiku saran.

Tanpa pikir panjang, aku segera pamit urung membantu Bude Siti memasak. Aku melesat kekamar mengambil peralatan mandi. Mas Bayu berjingkat saat aku masuk. Rupanya ia selesai sholat.

"Mas, siap-siap, 10 menit lagi antarkan aku kemakam aku mau ziarah kemakam ayah dan ibu." Aku segera melesat lagi kekamar mandi, tanpa menunggu persetujuan suamiku.

Dalam benakku hanya ingin segera mengunjungi makam ayah dan ibu. Aku masuk kamar mandi. Mandi ala anak sekolah bangun kesiangan.

Biarlah, yang penting mandi. Setelah berwudhu aku keluar kamar mandi.

"Hei, mandi bebek!" Bude menegurku. Aku nyengir kuda, lalu gegas ganti baju di kamar.

Ku pakai baju dres panjang yang nyaman. Sederhana saja. Ku poles wajah ini tipis-tipis. Ku kenakan hijab senada dengan motif bunga pada dres panjang ku. Cantik. Wajahku tetap cantik meskipun berbalut baju sederhana. Segera keluar kamar, lalu ku cari suamiku.

"Mas, Mas Bayu!"

"Iya, sayang! Mas di belakang!" Suara suamiku seperti dari arah dapur. Segera ku langkahkan kaki kesana.

"Mas, ayo, antarkan kemakam. Aku mau ziarah kesana. Sekarang." Pintaku pada Mas Bayu, laki-laki ini berkain sarung, dan berkemeja motif garis belang hitam biru.

Mas Bayu tersenyum menatapku. "Bude, lihatlah! Rini manja banget kalau punya keinginan. Bikin Bayu gemes," celetuk Mas Bayu hendak mencubit hidungku.

"Eits! Aku nggak mau batal wudhu!" seruku pada Mas Bayu lantas berlindung dibalik badan bude Siti.

Mas Bayu malah mengejar ku. Akupun berusaha menghindar kami berputar mengelilingi Bude Siti sambil tertawa.

"Ehem! Jadi kemakam enggak? Kalo jadi, ayo, Pakde antar," tawar Pakde Umar.

"Jadi!" Sahut aku dan Mas Bayu berbarengan.

Bude menatap lucu kami berdua bergantian.

"Berangkatlah, ziarahi makam ayah dan ibu mu pasti mereka senang." Bude mengusap wajahku.

"Bawa toples plastik, isi air dan bunga seadanya," Pakde memberi titah.

Segera saja ku lakukan titah pakde, ku ambil toples plastik di rak piring, lalu kuisi dengan air tinggal memberi bunga.

Pakde membubuhi minyak di air toples. Segera ku bawa keluar hendak ku beri bunga.

"Mas, ayo, kita cari bunga," ajakku pada Mas Bayu.

"Bunga nggak harus banyak, Rin, sedikit saja, cuma buat syarat. Nggak ada pun nggak papa." Pakde berucap lagi.

Ya sudahlah, ikut saja apa kata Pakde. Ku melangkah gontai menuju halaman rumah melalui pintu L sebelah kanan, memetik bunga lalu ku masukkan ke toples. Mas Bayu keluar lewat pintu depan. Alarm mobil berbunyi, sepertinya sore ini Mas Bayu yang akan mengemudikan mobil ini.

"Pak, bapak mau kemana?" Ku dengar Dimas bertanya kepada suamiku. Dia masih membawa handuk, rambutnya masih basah juga.

Ku hampiri suamiku dan Dimas. "Dim, kamu dirumah aja, biar saya dan suami serta pakde pergi ke makam. Kami akan ziarah dulu."

Dimas mengangguk. Pakde juga sudah bersiap, pakde mengenakan baju batik panjang, juga kain sarung khas gajah putih, pecinya hitam. Suamiku mengenakan peci juga. Oh, rupanya Mas Bayu memakai peci pemberian ku saat ku beri kejutan tespack dua tahun lalu. Ah, tak kusangka ternyata peci itu selalu dibawanya, kirain dibuang, habisnya aku nggak pernah lihat Mas Bayu memakainya. Kali ini serasa kena prank deh.

"Sayang, ayo masuk," titah Mas Bayu. Suamiku ini membuka pintu mobil untukku.

Kulihat Mas Bayu mempersilahkan pakde naik di bagian depan. Mas Bayu masuk mobil duduk di belakang kemudi.

"Bismillah." Kudengar suamiku menyebut asma Allah saat menyalakan mesin mobil.

Mobil berlalu meninggalkan halaman rumah Pakde Umar. Berjalan terus menuju tempat peristirahatan ayah dan ibuku.

Suamiku mengambil rute sesuai arahan Pakde.

"Rin, tengoklah ke kiri. Itu rumah Yati sekarang."

"Nengok kiri, ada apa?" tanyaku yang sibuk mengamati perkembangan desa ini.

"Itu, rumah papan itu, disanalah Yati tinggal sekarang." Kulihat Pakde menunjuk sebuah rumah papan yang terlihat kurang terawat.

Aku sungguh tak percaya melihat kenyataan ini. Benar, Yu Yati kelihatan keluar dari dalam rumah itu. Bahkan dia memandangi mobil kami.

"Klakson Mas," ceplosku saat melihat Yu Yati keluar.

Mas Bayu menurut lalu suara klakson mobil berbunyi. Tapi, ekspresi Yu Yati malah berbeda diluar dugaan. Ia melepas sendal lalu melempar kearah mobil kami.

"Astaghfirullah halazim!" Seruku usai melihat kelakuan Yu Yati.

"Coba tadi nggak usah di klakson, Rin. Orang seperti Yati itu dibaikin ngelunjak," seloroh Pakde.

"Iya, Yang, nyesel nglakson orang seperti dia," imbuh Mas Bayu.

Bukan kalian saja yang nyesel. Di lubuk hatiku yang terdalam, rasanya lebih sakit. Begitu bencinya Yu Yati kepadaku. Apa salahku padanya? Mengapa dia sangat memusuhiku?

"Yang, Yang, kenapa diam? Jangan bilang kamu sedih atas perlakuan orang itu," suara Mas Bayu terdengar khawatir.

"Aku, nggak apa, Mas. Cuma nggak habis pikir aja, apa sih salahku sama dia? Kenapa dia begitu benci sama aku?" Sebutir air menetes kuseka perlahan.

"Kamu, nangis? Ayolah, Mas tau hatimu lembut, tapi jangan mudah kau jatuhkan air mata hanya untuk orang model dia," Mas Bayu menasihatiku.

Aku mengerti Mas Bayu pasti kesal bila ada orang yang membuatku menangis. Maaf, Mas. Tapi hati ini nyeri nya kebangetan. Sakitnya tuh disini, Mas.

"Ayolah, sayang, kamu sudah janji sama Mas ... nggak akan bersedih lagi. Hapus air mata itu," imbuh Mas Bayu.

"Iya, Nduk. Jangan kau gubris kelakuan Yati. Dia memang begitu, semua warga sini hafal tabiatnya. Sayang air matamu, Nduk." Pakde menoleh ku.

"Ini, tisu! Hapus itu ingusnya," Mas Bayu memberiku tisu yang ada di bagian depan mobil.

Ku ambil tisu pemberian Mas Bayu, ku pakai untuk membuang ingus yang mulai keluar.

"Rin, kamu itu harus lebih kuat, jangan mudah meneteskan air mata. Kamu bukan Rini yang dulu, sayang," Mas Bayu kembali menasihatiku.

Tanpa terasa mobil kami sudah memasuki area makam.

"Kita sampai, Nduk." Pakde menoleh ku lagi.

"Parkir mobil saja disini saja," Pakde kembali berucap.

Melihat pemakaman hatiku tambah terhiris. Aku segera turun, tanpa menutup pintu mobil ku berlari menuju sebuah pusara. Lutut ini rasanya lemas seketika. Nisan bertuliskan Mohamad Ali Bin Rosyid membuatku kian meneteskan air mata. Kupeluk batu nisan pusara ayah.

"Ayah, aku datang, Yah, bersama laki-laki yang kini menjadi imamku. Ayah, aku rindu ayah." Tangisku pecah di atas pusara Ayah.

Mas Bayu mengusap lembut bahuku. Ia tak berucap.

"Assalamualaikum, Ayah." Suara Mas Bayu terdengar lirih.

"Sebaiknya kita kirim Al-fatihah untuk ayahmu, Nduk. Jangan menangis lagi, do'a anak Sholeh dan Sholeha diijabah Gusti Allah," Pakde ikut mengusap kepalaku.

Aku masih memeluk nisan ayah sambil terisak-isak, rasanya ingin melepas rindu ini kepadanya.

"Sudah, sudah. Berdo'a saja. Kita doakan ayah." Mas Bayu merengkuh tubuh ini kemudian dipeluknya.

Kami berdoa di atas pusara ayah dipimpin Pakde. Air mata tak henti berguguran ke pusara ayah. Air bunga dituang separuh oleh Pakde di atas pusara ayah.

Selesai mendoakan ayah, kami pindah ke makam ibu. Tangisku kembali pecah diatas nisan ibu. Siti Fatimah binti Rahadi itulah tulisan nisan ini.

Aku tak mampu berucap, badanku lunglai seketika. Semenjak keguguran dua tahun lalu, jika terlampau sedih aku sering begini, kehilangan tenaga bahkan berdiri tak mampu.

"Rin, kamu kenapa?" Pakde kulihat khawatir.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanie Fisah
mengandung bawang ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status