Aku mengunci pintu dari dalam kamar. Lalu mencoba untuk tertidur. Semalam tidak tidur membuat badan terasa kurang enak. Aku tidak boleh jatuh sakit! Tak sadar, aku tertidur terlalu lama. Saat bangun dan keluar dari kamar, ternyata ada yang ribut-ribut di dapur. Tidak peduli, aku tetap melangkahkan kaki menuju dapur. Aku pikir ada tamu dari mana, ternyata dua orang iparku. Ya, kedua ipar yang memiliki mulut yang sama dengan ibu mertuaku. "Arumi, duduk dulu di sini. Kami ingin bicara," ujar Mbak Maya – Kakak kedua Mas Amar. Dia sedang duduk di kursi ruang makan bersama Mbak Mira dan ibu mertuaku. "Nanti saja, Mbak. Aku masih lapar. Ingin makan dengan tenang." Aku melewati mereka dan menuju lemari tempat menaruh makanan. Tadi pagi, aku memang sudah masak sekalian untuk makan siang, tidak ingin berkali-kali berada di dapur. Kedua iparku sepertinya kaget melihat tingkahku yang sangat tidak ramah. Dalam hati, aku merasa puas. "Kami sudah menemukan calon untuk menjadi istri Amar. Dia p
"Bagaimana menurut kamu, Arumi? Kalian mengurus surat cerai sekarang atau nanti saja setelah Amar selesai menikah," tanya Mba Maya padaku. Dasar perempuan tidak waras. Kenapa bertanya seperti itu padaku? Kalau bukan karena rencana jahat mereka, aku tidak mungkin memiliki niat bercerai dengan Mas Amar. Selama ini aku dan Mas Amar baik-baik saja. Hingga dua tahun yang lalu, ibu mertuaku menjual rumahnya untuk melunasi utang, Mas Amar lalu meminta ibu mertua untuk tinggal bersama kami. Sejak kedatangan ibu mertuaku di sini, hidupku mulai kacau. Jika dulu kalimat-kalimat kasar jarang aku dengar, kini hampir setiap hari. Yang pasti, ketika Mas Amar ke kantor, ibu mertuaku mulai berulah. Namun, saat ada Mas Amar, ibu mertuaku akan berubah menjadi malaikat penghuni bumi. "Besok juga boleh. Jangan lama-lama!" Aku lalu berdiri dari kursi. Makanan di piringku sudah habis. Aku juga tidak ingin duduk bersama mereka dalam waktu yang lama. Bisa gila nanti. "Baik, Arumi. Besok juga akan aku uru
Hati Mbak Maya terbuat dari apa sih? Kenapa tidak sadar jika aku menangis karena ucapannya tadi? Dasar perempuan tidak punya hati. Tak lama kemudian, ibu mertuaku juga masuk ke dalam kamar. Kini mereka bertiga - penduduk bumi yang selalu menyakitiku, sudah berkumpul di Kamar utama rumah ini. "Aku tidak ingin bercerai dari istriku, Mbak. Kalau ibu dan Mbak ingin menikahkan aku dengan perempuan lain, silahkan! Tetapi, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan Arumi." Ada perasaan hangat menjalar di hati ketika mendengar perkataan Mas Amar. Untuk pertama kali aku mendengar dia membelaku di depan mereka — ibu mertua dan iparku. Tetapi semuanya sudah terlambat, aku akan tetap ingin cerai. Rasa sakit sudah sangat berat dan sulit untuk disembuhkan. "Tadi istrimu yang meminta untuk cerai. Bukan kami yang suruh. Kalau dia ingin bercerai dari kamu, ya sudah. Lepaskan saja dia, Amar. Kasihan Arumi, dia sudah ingin pisah dengan kamu. Berarti dia tidak mencintai kamu lagi. Tadi dia bi
"Ya Allah, sayang. Kenapa kamu bicara begitu? Apa salah aku ke kamu? Selama ini semua uang bulananmu selalu aku kasih. Aku juga selalu pengertian dan perhatian ke kamu. Kenapa ingin cerai?" Aku masih saja menangis. Bibir hanya bisa diam. Mau bicara apapun, aku yakin Mas Amar tidak akan menyadari kesalahannya. "Dosa loh, sayang, minta cerai ke suami yang sudah memenuhi kewajibannya." "Itu lah sifat buruk Mas, yang tidak pernah Mas sadari. Selalu menjadikan aku pihak yang salah. Apapun yang aku katakan selalu saja salah. Hingga akhirnya aku memilih untuk diam. Tetapi saat aku diam, juga disalahkan. Berhenti menasehatiku tentang dosa, Mas. Karena Mas tidak tahu bagaimana sakitnya aku diperlakukan begini … Aku sudah lelah, Mas. Lebih baik lepaskan saja aku." Aku bicara dengan suara tangis. "Mas pernah sadar tidak, kalau aku kecewa setiap kali harus mengalah? Mas tahu tidak, aku ingin marah setiap kali difitnah oleh ibu, Mbak Mira dan Mbak Maya? Tetapi aku berusaha tahan demi menjaga n
*** Aku sedang melihat pantulan diri di cermin. Menatap wajah yang sangat terluka. Meratap takdir yang tidak adil. Aku sudah tidur di kamar ini dari semalam – Kamar yang digunakan sebagai kamar tamu. Karena kamar yang biasa aku tempati dengan Mas Amar sudah dihias menjadi kamar pengantin. Ya, hari ini Mas Amar akan menikah dengan perempuan lain – Perempuan pilihan ibu mertuaku. Rasanya ingin marah. Tetapi itu hanya akan membuang-buang waktu. Percuma, Mas Amar hanya akan mencelaku sebagai perempuan tidak sabar. Jika melakukan itu, Mas Amar hanya akan menceramahi ku dengan kata-kata manisnya yang agamis. Sudahlah, aku telah bosan mendengarnya. Hingga kini aku masih bertahan. Semua karena Mas Amar yang terus merayu dan memohon. Dia selalu berkata jika tidak bisa hidup tanpaku. Mas Amar terlalu mencintaiku dan tak akan pernah mau bercerai. Lagi dan lagi, aku luluh karena perkataannya. Membuatku bimbang dan sulit mengambil keputusan. Tok tok! Suara ketukan pintu menyadarkan aku. Kep
"Aku akan memakai baju ini. Baguskan, sayang?" Aku tersadar saat mendengar suara Mas Amar. Ternyata kami sudah tiba di kamar yang dulu menjadi tempat kami berbagi kasih. Mata melihat sekeliling. Kamar ini ternyata sudah dihias begitu indah. Di setiap sudut terdapat bunga melati. Semua dinding ditutupi kain putih. Ada perasaan iri, dulu saat pernikahan Mas Amar denganku, kamar pengantin tidak dihias seperti ini. Mungkin kah karena aku bukan menantu idaman mertua? Pasti jelas, itu jawabannya. Sejak tiga hari yang lalu, aku sudah tidak lagi menempati kamar ini. Bahkan semua bajuku pun telah dipindahkan. Rasanya masih tidak percaya, jika kamar ini akan menjadi milik perempuan lain. Aku pernah berbagi kasih di ruangan ini. Normal kan, jika aku tidak rela? Kenapa harus kamar ini yang digunakan sebagai kamar pengantin? Padahal masih ada kamar yang lain. "Sayang, kenapa malah bengong? Coba lihat bajunya. Bagus kan? Ini baju yang dipilihkan oleh calon istriku." Aku hanya menganggukan k
"Sana, siap-siap. Pokoknya kamu harus ikut." Mas Amar kembali berkata. Mungkin karena aku hanya diam saja. Apa baiknya aku turuti saja keinginan Mas Amar. Tidak mengapa jika akan merasakan sakit. Setelah pulang dari rumah perempuan itu, aku langsung pulang ke rumah ibu untuk menenangkan diri. Ide yang bagus! "Baik, Mas. Aku siap-siap dulu." "Istri yang pintar. Harus cantik, ya. Hari ini kamu juga akan berkenalan dengan madumu," ujar Mas Amar sambil mengusap puncak kepalaku dan tersenyum. "Iya." Aku langsung berlalu dari dalam kamar. Rasanya sangat sakit mendengar Mas Amar berkata seperti itu. Kenapa bibirnya terlalu gampang berkata? Kenapa tidak pernah memikirkan, jika aku sakit mendengarnya. Apakah hari ini aku akan membuat keputusan besar? Dari kemarin aku masih saja bimbang. Ingin bercerai, tetapi aku masih sangat mencintai Mas Amar. Apakah hari ini kita berdua akan selesai, Mas? Saat kamu mengabulkan ijab pernikahan dengan perempuan itu, apa hubungan kita akan berakhir.
Lagi dan lagi aku hanya bisa tersenyum sebagai respon ucapan Tante Lasmi. Aku tidak sehebat yang semua orang kira. Tante Lasmi terlalu berlebihan jika mengagumiku. Mungkin jika sudah terlalu lelah, aku akan berhenti mengancam dan akan langsung bertindak. Terlihat Mas Amar sedang bercerita dengan tetangga sebelah. Wajahnya sangat ceria. Nampak tidak ada rasa bersalah disana. Hati kembali bertanya, apa selama ini Mas Amar tidak mencintaiku? Tetapi katanya, dia sangat mencintaiku. Ya Allah, kini aku ragu terhadap perasaan Mas Amar. Ibu Mertuaku dari tadi sibuk mondar mandir menyapa keluarga. Terlihat di wajahnya, dia sangat bahagia. Pikiran kembali pada kenangan delapan tahun lalu, saat aku menyalami tangan ibu mertua setelah akad nikah. Hanya ada senyum tipis di wajahnya. Sangat berbeda dengan hari ini. Aku jadi penasaran, siapa perempuan yang akan jadi maduku. Seperti apakah dia, hingga ibu mertuaku sangat bahagia seperti ini? Apa dia perempuan yang dulu disukai oleh mertuaku? Kini p