Yang Mandul Itu Kamu, Mas!

Yang Mandul Itu Kamu, Mas!

Oleh:  YOZA GUSRI  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
185Bab
42.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Ibu mertuaku tega menyuruh Mas Amar – Suamiku, untuk menikah lagi. Hanya karena aku belum bisa memberi keturunan. Sebagai anak yang berbakti, Mas Amar tidak bisa menolak. Dia tak ingin menyakiti hati ibunya. Bertubi hinaan dan cacian aku dapatkan. Berusaha tegar demi cinta, namun terlalu menyakitkan. "Hiduplah bahagia dengan dia, Mas. Aku tidak bisa bertahan dalam rumah tangga ini. Aku pikir kamu bisa membangun syurga untukku, di rumah ini. Ternyata tidak! ... Maaf, aku menyerah!" ujarku sambil menatap bola mata indah milik Mas Amar. "Aku tidak akan melepaskan mu, Arumi. Aku sangat mencintaimu!" Mas Amar berusaha memegang tanganku. Tetapi aku langsung menghempaskan. "Cinta seperti apa yang Mas aksud? Tidak ada cinta yang di dalamnya mengandung luka!" Aku berkata dengan raut wajah penuh amarah.

Lihat lebih banyak
Yang Mandul Itu Kamu, Mas! Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Permen Kapas
Greget sama Ammar ......
2023-07-09 15:55:48
3
185 Bab
Bab 1. Menyuruh Untuk Poligami
"Nak, kamu sudah menikah selama delapan tahun. Bagaimana usaha kalian untuk punya anak? Kenapa sampai sekarang belum ada hasil. Istrimu kenapa belum juga hamil?" ujar ibu mertuaku pada Mas Amar. Aku sedang menguping pembicaraan mereka dari pintu yang tidak tertutup rapat. Awalnya aku ingin menaruh baju yang telah terlipat. Tetapi, mendengar pembahasan mereka, aku tidak ingin masuk. Namun, tak ingin pula beranjak. "Sabar, Bu. Mungkin Allah belum percaya pada kami. Apa yang bisa kami lakukan kalau memang Allah belum memberi. Ibu 'kan tahu, kami sudah berobat kesana kemari, tetapi memang belum rezeki saja. Kita harus sabar, Bu. Kalau sudah waktunya, Allah pasti akan kasih." Mas Amar berkata dengan pelan. Aku merasa tenang mendengar perkataannya. Bibir membentuk garis senyum. "Kemarin ibu ikut arisan di Rumah Bu Rahma. Kamu tahu 'kan kalau para ibu-ibu sudah berkumpul? ... Mereka menggosipkan kamu dan Arumi. Ibu sebenarnya tidak ingin menggubris perkataan mereka. Tetapi, gimana ya, Na
Baca selengkapnya
Bab 2. Suami Penurut
Diri tersentak mendengar ucapan mertua. Sangat keterlaluan jika harus membandingkan dengan orang lain. "Kamu berhak untuk menikah lagi. Pernikahan tanpa adanya keturunan akan terasa hambar. Tidak ada gunanya menikah dengan perempuan yang tidak bisa memberimu anak. Siapa nanti yang akan mengurus kamu kalau sudah tua nanti? Kalian tidak akan pernah bahagia dalam pernikahan, kalau belum juga memiliki keturunan! Jika Arumi tidak mau, nanti ibu yang bicara dengannya. Kalau dia sadar diri, harusnya dia yang menyuruhmu untuk menikah lagi." Kenapa harus semenyakitkan ini kalimat yang terucap dari bibir mertuaku? Siapa bilang kebahagiaan sebuah pernikahan diukur dari punya anak atau tidak? Kalau memang memiliki anak akan membuat bahagia, kenapa banyak orang yang bercerai padahal Allah sudah memberi rezeki keturunan? Aku tidak habis pikir dengan keinginan mertuaku. Menyuruh anaknya untuk menikah lagi, itu bukan solusi. Kalau memiliki banyak uang, mungkin aku sudah program bayi tabung. Tetapi
Baca selengkapnya
Bab 3. Izin Untuk Poligami
Apa Mas Amar tidak bisa membaca raut wajahku saat ini? Apa tak ada rasa curiga dalam pikirannya, jika aku telah mendengar percakapan mereka tadi. Memang aku sering menangis karena nonton film, tetapi masa sih dia tidak bisa membedakan. "Bangun dulu, sayang. Ada hal pernting yang mau aku mau bicarakan." Lagi-lagi Mas Amar berkata sambil mengusap puncak kepalaku. Air mata semakin deras berlomba untuk keluar. Apa nanti Mas Amar masih akan mengusap sayang puncak kepalaku, ketika sudah memiliki istri muda? Aku sungguh tidak rela membagi kasih sayang suamiku dengan perempuan lain. Aku kini sudah duduk bersandar di dinding. Sesekali tangan menghapus air mata yang masih saja berjatuhan. "Kamu mau ngomong apa, Mas," ujarku sambil menangis. Mas Amar masih saja menatapku tanpa berkata. "Kok nangisnya bisa sampai begini?” Mas Amar menghapus air mata di pipiku dengan lembut. Bibirnya lanjut berkata. “Aku tadi dari kamar ibu. Ternyata ibu sedang kurang enak badan. Kamu kenapa tidak beritahu aku
Baca selengkapnya
Bab 4. Suami Yang Sangat Berbakti
"Ibu yang sudah melahirkan aku, sayang. Ibu juga yang sudah membesarkan aku. Karena doanya aku bisa seperti ini. Seharusnya sebagai istri, kamu bisa mengerti itu." "Mengerti bagaimana, Mas? Rumah tangga kita bisa saja hancur kalau ada pendatang baru. Tidak mungkin akan baik-baik saja kalau ada perempuan lain." Aku tidak habis pikir dengan isi kepala Mas Amar. Semua perempuan di dunia ini tak akan Sudi jika suaminya meminta untuk poligami. "Maafkan aku … aku akan tetap mengikuti keinginan ibu untuk menikah lagi." Mas Amar kembali menatapku dengan tulus. Aku sangat benci tatapan dan ucapannya. Kenapa dia hanya memikirkan perasaan ibunya? Sejak menikah, aku harus selalu mengalah demi menjaga perasaan ibu mertua. Kenapa Mas Amar tidak pernah memikirkan perasaanku? "Kamu sudah menikahiku, Mas. Kalimat ijab telah kamu katakan saat akad nikah. Ucapan itu sudah mengguncang Arsy. Kamu mengambilku secara halal dari orang tuaku. Di depan ayah, kamu berjanji akan membahagiakan aku. Di depan
Baca selengkapnya
Bab 5. Membuatku Murka
Selama ini tak pernah ada pertengkaran hebat antara aku dan Mas Amar. Dia tidak pernah berkata kasar atau membentak. Hanya saja sikap Mas Amar yang tidak adil selalu membuatku terluka. Jika ada perkataan kasar dari ibu mertua, aku diam dan mengalah agar tidak bertengkar dengan Mas Amar. Karena aku tahu, dia akan selalu membela ibunya. Aku pun selalu menuruti perintah Mas Amar sebagai bentuk istri yang berbakti. Jika ada masalah, aku lebih baik mengalah sebelum masalah itu semakin melebar. Lama terdiam, aku pun bersuara. "Jangan samakan rumah tangga kita dengan orang lain. Dalam Islam tidak diajarkan untuk mendzolimi istri karena bakti pada seorang ibu. Jangan menceramahi soal agama kalau kamu saja tidak becus mengurus hatimu, Mas." Kali ini aku tak akan mengalah lagi. Mungkin saat ini rumah tanggaku telah berada diujung tanduk. Sudah cukup selama ini aku merasa terdzolimi. Lelaki yang paling aku cintai, telah berniat membagi cinta. Lalu apa yang harus aku pertahankan? Bagaimana mu
Baca selengkapnya
Bab 6. Ternyata Aku Salah
Kenapa kini Mas Amar justru menyalahkan aku? Kenapa seolah aku menjadi pihak yang salah? Ya, memang benar, aku sangat penyabar. Sabar dengan segala kemarah ibu mertua, sabar dengan segala hinaan ibu mertua, dan sabar dengan segala kekurangan suami. Selama ini aku sudah menyembunyikan penyebab aku tidak bisa hamil. Tetapi kenapa, tak sedikitpun perjuanganku dihargai oleh Mas Amar? Malam ini pikiranku telah terbuka. Yang aku lakukan selama ini ternyata salah. Rela dicaci demi menjaga nama baik suami. Tetapi, justru aku yang terhina. Mas Amar tak menghargai ketulusanku. Aku tahu tentang tugas seorang istri. Aku tahu semua kewajiban yang harus dilakukan oleh istri. Selama ini aku sudah sangat berbakti pada Mas Amar. Tetapi, bukan bakti seperti ini yang harus aku jalani kedepannya. Perempuan mana yang bisa ridho diperlakukan begini oleh suami dan keluarganya? "Mas, kamu tahu 'kan kenapa hingga kini aku belum hamil? Kamu tidak lupa 'kan?" tanyaku pelan namun tegas, sambil menatap lekat ma
Baca selengkapnya
Bab 7. Bukan Lelaki Peka
Detik jam terus berputar, kini jam di dinding menunjuk pukul satu malam. Aku menatap lelaki yang sudah delapan tahun menjadi suamiku, dia telah terlelap. Secepat itukah dia bisa tidur saat menghadapi masalah besar? Ya, menurutku ini adalah masalah yang sangat besar. Kenapa hanya aku yang bersedih? Mas Amar terlihat biasa saja. Aku merapikan rambutnya, bibir pun berkata, "aku sangat mencintaimu, Mas. Bagaimana mungkin aku bisa berbagi dengan perempuan lain? Aku tidak mungkin kuat melihatmu bermesraan dengan istri barumu. Aku meminta cerai bukan karena marah atau tak cinta. Aku hanya terlalu lemah." Mata yang sudah kering, kini basah lagi. Mengingat kembali ucapan Mas Amar beberapa jam lalu, membuat hati sangat teriris. "Aku tahu, ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Tetapi aku juga layak untuk kamu bahagiakan, Mas. Aku bahkan selalu berbohong pada kedua orangtuaku, mengatakan jika bahagia tinggal di sini. Tetapi sungguh, itu hanya perkataan bohong agar kamu tetap berwibawa di
Baca selengkapnya
Bab 8. Mertua Durhaka
Apa yang ada di otak Mas Amar, hal sebesar ini tidak di permasalahkan? Mulai hari ini, aku mungkin tidak akan percaya lagi dengan kata sayang dan cinta yang terucap dari bibirnya. Tak ada cinta yang semenyakitkan ini. Jika dia mencintaiku, tidak mungkin berniat untuk poligami. Jika sayang padaku, Mas Amar pasti akan menolak keinginan ibunya secara halus tanpa menyakiti. Aku diam, tak ingin berdebat. Sekarang masih subuh. Setelah sholat, aku sedikit lebih tenang. Jangan sampai tenagaku habis kalau berdebat lagi dengan Mas Amar. "Aku hari ini ke kantor lebih pagi." Mas Amar lalu berdiri ke kamar mandi dengan gaya santai. Hari ini dia pasti sholat subuh di rumah, karena kalau ingin sholat jamaah di masjid, sudah telat. Mas Amar, lelaki baik yang terkenal Saleh. Selalu berusaha untuk sholat berjamaah di masjid. Banyak yang mengaguminya. Tutur kata Mas Amar yang lembut jika berbicara, membuat banyak orang iri padaku. Ya, banyak orang-orang terdekat yang mengatakan jika aku beruntung men
Baca selengkapnya
Bab 9. Keluarga Toxic
Aku mengunci pintu dari dalam kamar. Lalu mencoba untuk tertidur. Semalam tidak tidur membuat badan terasa kurang enak. Aku tidak boleh jatuh sakit! Tak sadar, aku tertidur terlalu lama. Saat bangun dan keluar dari kamar, ternyata ada yang ribut-ribut di dapur. Tidak peduli, aku tetap melangkahkan kaki menuju dapur. Aku pikir ada tamu dari mana, ternyata dua orang iparku. Ya, kedua ipar yang memiliki mulut yang sama dengan ibu mertuaku. "Arumi, duduk dulu di sini. Kami ingin bicara," ujar Mbak Maya – Kakak kedua Mas Amar. Dia sedang duduk di kursi ruang makan bersama Mbak Mira dan ibu mertuaku. "Nanti saja, Mbak. Aku masih lapar. Ingin makan dengan tenang." Aku melewati mereka dan menuju lemari tempat menaruh makanan. Tadi pagi, aku memang sudah masak sekalian untuk makan siang, tidak ingin berkali-kali berada di dapur. Kedua iparku sepertinya kaget melihat tingkahku yang sangat tidak ramah. Dalam hati, aku merasa puas. "Kami sudah menemukan calon untuk menjadi istri Amar. Dia p
Baca selengkapnya
Bab 10. Selalu Disalahkan
"Bagaimana menurut kamu, Arumi? Kalian mengurus surat cerai sekarang atau nanti saja setelah Amar selesai menikah," tanya Mba Maya padaku. Dasar perempuan tidak waras. Kenapa bertanya seperti itu padaku? Kalau bukan karena rencana jahat mereka, aku tidak mungkin memiliki niat bercerai dengan Mas Amar. Selama ini aku dan Mas Amar baik-baik saja. Hingga dua tahun yang lalu, ibu mertuaku menjual rumahnya untuk melunasi utang, Mas Amar lalu meminta ibu mertua untuk tinggal bersama kami. Sejak kedatangan ibu mertuaku di sini, hidupku mulai kacau. Jika dulu kalimat-kalimat kasar jarang aku dengar, kini hampir setiap hari. Yang pasti, ketika Mas Amar ke kantor, ibu mertuaku mulai berulah. Namun, saat ada Mas Amar, ibu mertuaku akan berubah menjadi malaikat penghuni bumi. "Besok juga boleh. Jangan lama-lama!" Aku lalu berdiri dari kursi. Makanan di piringku sudah habis. Aku juga tidak ingin duduk bersama mereka dalam waktu yang lama. Bisa gila nanti. "Baik, Arumi. Besok juga akan aku uru
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status