POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
"Nak, kamu sudah menikah selama delapan tahun. Bagaimana usaha kalian untuk punya anak? Kenapa sampai sekarang belum ada hasil. Istrimu kenapa belum juga hamil?" ujar ibu mertuaku pada Mas Amar. Aku sedang menguping pembicaraan mereka dari pintu yang tidak tertutup rapat. Awalnya aku ingin menaruh baju yang telah terlipat. Tetapi, mendengar pembahasan mereka, aku tidak ingin masuk. Namun, tak ingin pula beranjak. "Sabar, Bu. Mungkin Allah belum percaya pada kami. Apa yang bisa kami lakukan kalau memang Allah belum memberi. Ibu 'kan tahu, kami sudah berobat kesana kemari, tetapi memang belum rezeki saja. Kita harus sabar, Bu. Kalau sudah waktunya, Allah pasti akan kasih." Mas Amar berkata dengan pelan. Aku merasa tenang mendengar perkataannya. Bibir membentuk garis senyum. "Kemarin ibu ikut arisan di Rumah Bu Rahma. Kamu tahu 'kan kalau para ibu-ibu sudah berkumpul? ... Mereka menggosipkan kamu dan Arumi. Ibu sebenarnya tidak ingin menggubris perkataan mereka. Tetapi, gimana ya, Na
Diri tersentak mendengar ucapan mertua. Sangat keterlaluan jika harus membandingkan dengan orang lain. "Kamu berhak untuk menikah lagi. Pernikahan tanpa adanya keturunan akan terasa hambar. Tidak ada gunanya menikah dengan perempuan yang tidak bisa memberimu anak. Siapa nanti yang akan mengurus kamu kalau sudah tua nanti? Kalian tidak akan pernah bahagia dalam pernikahan, kalau belum juga memiliki keturunan! Jika Arumi tidak mau, nanti ibu yang bicara dengannya. Kalau dia sadar diri, harusnya dia yang menyuruhmu untuk menikah lagi." Kenapa harus semenyakitkan ini kalimat yang terucap dari bibir mertuaku? Siapa bilang kebahagiaan sebuah pernikahan diukur dari punya anak atau tidak? Kalau memang memiliki anak akan membuat bahagia, kenapa banyak orang yang bercerai padahal Allah sudah memberi rezeki keturunan? Aku tidak habis pikir dengan keinginan mertuaku. Menyuruh anaknya untuk menikah lagi, itu bukan solusi. Kalau memiliki banyak uang, mungkin aku sudah program bayi tabung. Tetapi
Apa Mas Amar tidak bisa membaca raut wajahku saat ini? Apa tak ada rasa curiga dalam pikirannya, jika aku telah mendengar percakapan mereka tadi. Memang aku sering menangis karena nonton film, tetapi masa sih dia tidak bisa membedakan. "Bangun dulu, sayang. Ada hal pernting yang mau aku mau bicarakan." Lagi-lagi Mas Amar berkata sambil mengusap puncak kepalaku. Air mata semakin deras berlomba untuk keluar. Apa nanti Mas Amar masih akan mengusap sayang puncak kepalaku, ketika sudah memiliki istri muda? Aku sungguh tidak rela membagi kasih sayang suamiku dengan perempuan lain. Aku kini sudah duduk bersandar di dinding. Sesekali tangan menghapus air mata yang masih saja berjatuhan. "Kamu mau ngomong apa, Mas," ujarku sambil menangis. Mas Amar masih saja menatapku tanpa berkata. "Kok nangisnya bisa sampai begini?” Mas Amar menghapus air mata di pipiku dengan lembut. Bibirnya lanjut berkata. “Aku tadi dari kamar ibu. Ternyata ibu sedang kurang enak badan. Kamu kenapa tidak beritahu aku
"Ibu yang sudah melahirkan aku, sayang. Ibu juga yang sudah membesarkan aku. Karena doanya aku bisa seperti ini. Seharusnya sebagai istri, kamu bisa mengerti itu." "Mengerti bagaimana, Mas? Rumah tangga kita bisa saja hancur kalau ada pendatang baru. Tidak mungkin akan baik-baik saja kalau ada perempuan lain." Aku tidak habis pikir dengan isi kepala Mas Amar. Semua perempuan di dunia ini tak akan Sudi jika suaminya meminta untuk poligami. "Maafkan aku … aku akan tetap mengikuti keinginan ibu untuk menikah lagi." Mas Amar kembali menatapku dengan tulus. Aku sangat benci tatapan dan ucapannya. Kenapa dia hanya memikirkan perasaan ibunya? Sejak menikah, aku harus selalu mengalah demi menjaga perasaan ibu mertua. Kenapa Mas Amar tidak pernah memikirkan perasaanku? "Kamu sudah menikahiku, Mas. Kalimat ijab telah kamu katakan saat akad nikah. Ucapan itu sudah mengguncang Arsy. Kamu mengambilku secara halal dari orang tuaku. Di depan ayah, kamu berjanji akan membahagiakan aku. Di depan
Selama ini tak pernah ada pertengkaran hebat antara aku dan Mas Amar. Dia tidak pernah berkata kasar atau membentak. Hanya saja sikap Mas Amar yang tidak adil selalu membuatku terluka. Jika ada perkataan kasar dari ibu mertua, aku diam dan mengalah agar tidak bertengkar dengan Mas Amar. Karena aku tahu, dia akan selalu membela ibunya. Aku pun selalu menuruti perintah Mas Amar sebagai bentuk istri yang berbakti. Jika ada masalah, aku lebih baik mengalah sebelum masalah itu semakin melebar. Lama terdiam, aku pun bersuara. "Jangan samakan rumah tangga kita dengan orang lain. Dalam Islam tidak diajarkan untuk mendzolimi istri karena bakti pada seorang ibu. Jangan menceramahi soal agama kalau kamu saja tidak becus mengurus hatimu, Mas." Kali ini aku tak akan mengalah lagi. Mungkin saat ini rumah tanggaku telah berada diujung tanduk. Sudah cukup selama ini aku merasa terdzolimi. Lelaki yang paling aku cintai, telah berniat membagi cinta. Lalu apa yang harus aku pertahankan? Bagaimana mu