Mag-log inSepeninggal Radit dan Nindi, bersama Bik Fatimah, Nawang masuk ke dalam kamar. Dengan tangan gemetar, ia mulai mengemasi barang-barangnya. Tidak banyak yang ia bawa: hanya pakaian secukupnya, dua pasang sepatu, laptop, buku-buku, dan beberapa keperluan kuliah.
Yang lebih banyak justru barang peninggalan ibunya—pakaian terakhir yang dikenakan almarhumah, album foto masa lalu, serta pernak-pernik kecil yang dulu selalu dipajang di kamar. Bagi Nawang, benda-benda itu bukan sekadar barang; itu adalah kenangan dan penghibur di kala ia merindukan ibunya.
Kotak perhiasan ibunya dibiarkan tetap di tempatnya. Ia hanya menatapnya lama sebelum akhirnya memalingkan wajah. Ada kilatan keinginan untuk membawanya, tapi suara Radit dan Nindi terngiang jelas: “Jangan coba-coba membawa apa yang bukan milikmu.”
Bik Fatimah, yang sejak tadi membantunya berkemas, akhirnya angkat bicara.
“Neng... bawa saja perhiasan Bu Laily. Itu kan peninggalan almarhumah. Hak si Eneng. Lagipula, dari harta Pak Rasyid, Neng Nawang tidak mendapat apa-apa.”Nawang menggeleng pelan. “Saya takut, Bik. Kalau Mas Radit dan Mbak Nindi tahu... mereka pasti menuduh saya macam-macam. Saya tidak mau memperkeruh keadaan.”
Bik Fatimah menatap kotak itu dengan tatapan sendu, lalu kembali menoleh pada Nawang. “Kalau begitu, biar Bibik saja yang menyimpan. Suatu hari, mungkin Neng akan membutuhkannya.”
Nawang menunduk. “Terserah Bibik saja. Saya... tidak tahu harus bagaimana.”
Suasana kamar kembali hening. Hanya suara lipatan pakaian dan helaan napas yang terdengar, seolah tiap hela adalah beban. Nawang merasa ia bukan sekadar meninggalkan rumah ini, tapi juga meninggalkan sebagian dirinya di dalamnya.
Setelah selesai mengemas dan Bik Fatimah kembali ke dapur, Nawang terduduk di tepi ranjang ibunya. Ia memandangi seantero kamar yang akan segera ia tinggalkan. Pandangannya menelusuri setiap sudut kamar—pada dinding putih tempat tergantung foto pernikahan ibunya dan Pak Rasyid yang tersenyum bahagia. Nawang menarik napas dalam-dalam, menghidu aroma samar bedak dan minyak wangi ibunya yang masih tertinggal di udara. Ia pasti akan merindukan semua kenangan ini.
Nawang meraih album foto di laci nakas dan menyusuri halaman demi halaman. Ia menatap wajah ibunya dari masa ke masa, juga foto-foto dirinya saat masih kecil dalam buaian ibunya. Air mata Nawang jatuh membasahi foto-foto lama yang kusam, menorehkan bercak di sudutnya.
“Bu... besok aku harus pergi,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Mereka mengusirku. Rumah ini... katanya bukan rumahku. Aku takut, Bu...”
Suara tangisnya pecah. Ia menelungkup di bantal, meremas seprai yang masih menyimpan bekas tidurnya semalam.
“Ya Allah... lindungi aku. Aku takut sekali. Jangan biarkan aku sendirian...”
Malam itu, Nawang menangis sampai tertidur. Ia pun bermimpi kalau ibunya datang dan memeluknya dalam balutan gaun putih. Dalam mimpinya, ibunya membisikkan kata-kata bahwa Nawang tidak usah takut. Semuanya akan baik-baik saja.
***
Pagi itu, cahaya mentari menyelinap malu-malu lewat celah jendela kamar Nawang. Udara dingin membuatnya enggan bangun, tapi kenyataan menyadarkannya: ini hari terakhir ia menyambut pagi di rumah ini.
Nawang duduk di tepi ranjang, menatap koper, tas travelling, dan ransel yang sudah siap di sudut kamar. Akhirnya, hari yang ia takutkan terjadi juga. Nawang memindai jam dinding. Pukul tujuh pagi lewat lima menit. Ia punya waktu sekitar satu jam sebelum pergi. Radit dan Nindi akan menjemputnya pukul delapan.
Di dapur, Bik Fatimah sedang memasak. Aroma nasi uduk, ayam goreng, telur dadar, dan tumisan sayur memenuhi udara. Ketika Nawang datang, mata Bik Fatimah memerah, seakan ia juga baru selesai menangis.
“Neng, sarapan dulu, ya. Bibik sudah membuat nasi uduk kesukaan Eneng. Biar Neng Nawang ada tenaga nanti.” Suaranya parau menahan tangis, tapi Bik Fatimah berusaha terlihat tegar.
Nawang menunduk. Ia kemudian duduk perlahan di kursi makan. Bik Fatimah menata piring untuknya, mengambilkan sepotong ayam goreng kesukaannya juga irisan telur dadar dan sayuran.
“Ayo, Neng, makan dulu,” tukas Bik Fatimah lirih. Nawang menatap makanan di hadapannya dengan pandangan hampa. Ia tak sanggup menyuap. Tenggorokannya kering.
“Bik...” suaranya serak. “Besok-besok kalau saya sudah pergi... jaga diri baik-baik, ya. Jangan terlalu capek. Jangan lupa makan.”
Bik Fatimah menggenggam tangan Nawang di atas meja. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Harusnya Bibik yang bilang begitu sama Eneng. Bibik yang khawatir... bagaimana nanti Neng Nawang hidup di rumah orang. Apa mereka sayang kepada Eneng atau tidak...” Suara Bik Fatimah sudah bercampur dengan tangis.
Nawang tersenyum getir, mencoba menenangkan. “Bibik jangan khawatir. Saya akan baik-baik saja.” Demi meyakinkan Bik Fatimah, Nawang mulai menyantap makanannya hingga tandas, walau terasa bagai duri di mulutnya.
“Bagus. Kalau perut kenyang, pikiran menjadi lebih tenang.” Bik Fatimah tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan tersusun rapi, lalu mendorongnya ke arah Nawang. “Ini Bibik siapkan bekal. Ada nasi uduk kesukaan Eneng dan sedikit uang. Jangan ditolak, Neng. Anggap saja... ini titipan doa Bibik.”
Nawang tertegun. Tangannya gemetar saat menerima bungkusan itu. Matanya berkaca-kaca, hatinya hangat sekaligus perih.
Ia berdiri, memeluk Bik Fatimah erat-erat. “Terima kasih, Bik... hanya Bik yang selalu ada untuk saya...”
Pelukan itu panjang, penuh air mata. Keduanya sadar, sepertinya ini adalah kali terakhir mereka bisa berpelukan. Karena Bik Fatimah juga akan diberhentikan. Ada beberapa pembantu baru yang akan bekerja. Radit dan keluarganyalah yang nantinya akan menempati rumah ini.
“Di dalam amplop berisi uang itu ada alamat dan nomor telepon Bibik di kampung. Apabila Neng Nawang membutuhkan bantuan Bibik, Neng bisa menjumpai Bibik di sana. Jangan lupa, masih ada perhiasan-perhiasan Bu Laily pada Bibik,” bisik Bik Fatimah lirih.
“Iya, Bik. Nanti pasti saya akan menelepon Bibik,” janji Nawang dengan napas tersengal. Beberapa waktu berlalu sampai akhirnya Bik Fatimah mengurai pelukan.
“Sebaiknya sekarang Neng mandi dan bersiap-siap. Sebentar lagi pasti Mas Radit dan Mbak Nindi akan datang.” Nawang mengangguk. Ia kemudian berjalan ke arah kamar dengan langkah gontai. Sebentar lagi, ia sudah bukan lagi bagian dari keluarga ini.
Senja makin tua ketika Nawang dan Bi Laila pulang ke rumah. Nawang duduk di boncengan motor, berpegangan erat pada sisi jok. Motor milik Paman Jalal itu sudah dimodifikasi dengan dua kantongan besar di kanan-kiri untuk tempat ayam, membuat Nawang harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi agar tidak tersenggol besi penopangnya.“Pegangan yang kuat, Nawang. Bibi akan mengebut. Sudah sore sekali. Bibi lapar. Kamu juga kan? Semoga pamanmu masak enak,” kata Bi Laila tanpa menoleh.“Iya, Bi,” sahut Nawang sambil menahan keseimbangan. Perutnya juga sudah keroncongan.Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah. Baru saja mesin motor dimatikan, suara berat Paman Jalal langsung terdengar dari dalam rumah.“Lama sekali pulangnya kalian. Aku lapar sekali ini! Kenapa kalian tidak masak, hah?”Bi Laila melepaskan helmnya, napasnya masih tersengal. “Astaghfirullah, Bang. Kami seharian di pasar, mana sempat masak? Biasanya juga kalau aku di pasar sampai sore, Abang yang masak, kan? Kenapa hari ini j
Sore menjelang ketika cahaya matahari mulai miring ke barat, menembus sela atap seng pasar yang berdebu. Kios ayam milik Laila mulai sepi; tinggal beberapa potong ayam di meja, dan sisa air cucian mengalir pelan ke parit kecil di bawah. Bi Laila sedang menghitung uang hasil penjualan, sementara Nawang membersihkan meja yang belepotan darah ayam dan serpihan bulu. Setelah kejadian tadi pagi, ia masih merasa tegang, tapi dalam diam ia juga merasa bangga — entah bagaimana, ia berhasil bertahan di tengah kekacauan. Setelah pekerjaannya selesai Nawang duduk di bangku kayu, mengipasi diri dengan karton. Punggungnya pegal, tapi ada rasa puas karena berhasil melewati hari pertama tanpa bencana lain. “Lumayan, ya, Bi. Ayamnya cuma sisa tiga potong," kata Nawang setelah melihat bibinya selesai menghitung uang.Laila menoleh sekilas, wajahnya masih lelah namun tampak puas. “Ya, lumayan. Untuk hari pertama kamu ikut, tidak buruk.”Nawang tersenyum kecil. Ia senang bisa berguna di pasar. Laila
Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. "Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar bisa?" tanya Laila. Saat ini Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. "Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama ya," ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. "Iya. Ngapain juga Bibi toilet umum lama-lama," kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. Pembeli terus berdatangan. Sendirian Nawang melayani para pembeli. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan pembeli. Walau ia keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani pembeli sebaik mungkin. Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar.“Aduh! Lepasin, Bang!”Semua kepala menoleh.
Subuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan."Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit. Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas."Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam
Senja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka ka
Nawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.“Kita tetap jualan,”







