Beranda / Romansa / Yang Tak Kunjung Padam / 2. Merangkai Kenangan.

Share

2. Merangkai Kenangan.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-21 21:41:20

Sepeninggal Radit dan Nindi, bersama Bik Fatimah, Nawang masuk ke dalam kamar. Dengan tangan gemetar, ia mulai mengemasi barang-barangnya. Tidak banyak yang ia bawa: hanya pakaian secukupnya, dua pasang sepatu, laptop, buku-buku, dan beberapa keperluan kuliah.

Yang lebih banyak justru barang peninggalan ibunya—pakaian terakhir yang dikenakan almarhumah, album foto masa lalu, serta pernak-pernik kecil yang dulu selalu dipajang di kamar. Bagi Nawang, benda-benda itu bukan sekadar barang; itu adalah kenangan dan penghibur di kala ia merindukan ibunya.

Kotak perhiasan ibunya dibiarkan tetap di tempatnya. Ia hanya menatapnya lama sebelum akhirnya memalingkan wajah. Ada kilatan keinginan untuk membawanya, tapi suara Radit dan Nindi terngiang jelas: “Jangan coba-coba membawa apa yang bukan milikmu.”

Bik Fatimah, yang sejak tadi membantunya berkemas, akhirnya angkat bicara.

“Neng... bawa saja perhiasan Bu Laily. Itu kan peninggalan almarhumah. Hak si Eneng. Lagipula, dari harta Pak Rasyid, Neng Nawang tidak mendapat apa-apa.”

Nawang menggeleng pelan. “Saya takut, Bik. Kalau Mas Radit dan Mbak Nindi tahu... mereka pasti menuduh saya macam-macam. Saya tidak mau memperkeruh keadaan.”

Bik Fatimah menatap kotak itu dengan tatapan sendu, lalu kembali menoleh pada Nawang. “Kalau begitu, biar Bibik saja yang menyimpan. Suatu hari, mungkin Neng akan membutuhkannya.”

Nawang menunduk. “Terserah Bibik saja. Saya... tidak tahu harus bagaimana.”

Suasana kamar kembali hening. Hanya suara lipatan pakaian dan helaan napas yang terdengar, seolah tiap hela adalah beban. Nawang merasa ia bukan sekadar meninggalkan rumah ini, tapi juga meninggalkan sebagian dirinya di dalamnya.

Setelah selesai mengemas dan Bik Fatimah kembali ke dapur, Nawang terduduk di tepi ranjang ibunya. Ia memandangi seantero kamar yang akan segera ia tinggalkan. Pandangannya menelusuri setiap sudut kamar—pada dinding putih tempat tergantung foto pernikahan ibunya dan Pak Rasyid yang tersenyum bahagia. Nawang menarik napas dalam-dalam, menghidu aroma samar bedak dan minyak wangi ibunya yang masih tertinggal di udara. Ia pasti akan merindukan semua kenangan ini.

Nawang meraih album foto di laci nakas dan menyusuri halaman demi halaman. Ia menatap wajah ibunya dari masa ke masa, juga foto-foto dirinya saat masih kecil dalam buaian ibunya. Air mata Nawang jatuh membasahi foto-foto lama yang kusam, menorehkan bercak di sudutnya.

“Bu... besok aku harus pergi,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Mereka mengusirku. Rumah ini... katanya bukan rumahku. Aku takut, Bu...”

Suara tangisnya pecah. Ia menelungkup di bantal, meremas seprai yang masih menyimpan bekas tidurnya semalam.

“Ya Allah... lindungi aku. Aku takut sekali. Jangan biarkan aku sendirian...”

Malam itu, Nawang menangis sampai tertidur. Ia pun bermimpi kalau ibunya datang dan memeluknya dalam balutan gaun putih. Dalam mimpinya, ibunya membisikkan kata-kata bahwa Nawang tidak usah takut. Semuanya akan baik-baik saja. 

***

Pagi itu, cahaya mentari menyelinap malu-malu lewat celah jendela kamar Nawang. Udara dingin membuatnya enggan bangun, tapi kenyataan menyadarkannya: ini hari terakhir ia menyambut pagi di rumah ini.

Nawang duduk di tepi ranjang, menatap koper, tas travelling, dan ransel yang sudah siap di sudut kamar. Akhirnya, hari yang ia takutkan terjadi juga. Nawang memindai jam dinding. Pukul tujuh pagi lewat lima menit. Ia punya waktu sekitar satu jam sebelum pergi. Radit dan Nindi akan menjemputnya pukul delapan.

Di dapur, Bik Fatimah sedang memasak. Aroma nasi uduk, ayam goreng, telur dadar, dan tumisan sayur memenuhi udara. Ketika Nawang datang, mata Bik Fatimah memerah, seakan ia juga baru selesai menangis.

“Neng, sarapan dulu, ya. Bibik sudah membuat nasi uduk kesukaan Eneng. Biar Neng Nawang ada tenaga nanti.” Suaranya parau menahan tangis, tapi Bik Fatimah berusaha terlihat tegar.

Nawang menunduk. Ia kemudian duduk perlahan di kursi makan. Bik Fatimah menata piring untuknya, mengambilkan sepotong ayam goreng kesukaannya juga irisan telur dadar dan sayuran.

“Ayo, Neng, makan dulu,” tukas Bik Fatimah lirih. Nawang menatap makanan di hadapannya dengan pandangan hampa. Ia tak sanggup menyuap. Tenggorokannya kering.

“Bik...” suaranya serak. “Besok-besok kalau saya sudah pergi... jaga diri baik-baik, ya. Jangan terlalu capek. Jangan lupa makan.”

Bik Fatimah menggenggam tangan Nawang di atas meja. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Harusnya Bibik yang bilang begitu sama Eneng. Bibik yang khawatir... bagaimana nanti Neng Nawang hidup di rumah orang. Apa mereka sayang kepada Eneng atau tidak...” Suara Bik Fatimah sudah bercampur dengan tangis.

Nawang tersenyum getir, mencoba menenangkan. “Bibik jangan khawatir. Saya akan baik-baik saja.” Demi meyakinkan Bik Fatimah, Nawang mulai menyantap makanannya hingga tandas, walau terasa bagai duri di mulutnya.

“Bagus. Kalau perut kenyang, pikiran menjadi lebih tenang.” Bik Fatimah tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan tersusun rapi, lalu mendorongnya ke arah Nawang. “Ini Bibik siapkan bekal. Ada nasi uduk kesukaan Eneng dan sedikit uang. Jangan ditolak, Neng. Anggap saja... ini titipan doa Bibik.”

Nawang tertegun. Tangannya gemetar saat menerima bungkusan itu. Matanya berkaca-kaca, hatinya hangat sekaligus perih.

Ia berdiri, memeluk Bik Fatimah erat-erat. “Terima kasih, Bik... hanya Bik yang selalu ada untuk saya...”

Pelukan itu panjang, penuh air mata. Keduanya sadar, sepertinya ini adalah kali terakhir mereka bisa berpelukan. Karena Bik Fatimah juga akan diberhentikan. Ada beberapa pembantu baru yang akan bekerja. Radit dan keluarganyalah yang nantinya akan menempati rumah ini.

“Di dalam amplop berisi uang itu ada alamat dan nomor telepon Bibik di kampung. Apabila Neng Nawang membutuhkan bantuan Bibik, Neng bisa menjumpai Bibik di sana. Jangan lupa, masih ada perhiasan-perhiasan Bu Laily pada Bibik,” bisik Bik Fatimah lirih.

“Iya, Bik. Nanti pasti saya akan menelepon Bibik,” janji Nawang dengan napas tersengal. Beberapa waktu berlalu sampai akhirnya Bik Fatimah mengurai pelukan.

“Sebaiknya sekarang Neng mandi dan bersiap-siap. Sebentar lagi pasti Mas Radit dan Mbak Nindi akan datang.” Nawang mengangguk. Ia kemudian berjalan ke arah kamar dengan langkah gontai. Sebentar lagi, ia sudah bukan lagi bagian dari keluarga ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Yang Tak Kunjung Padam   58. Cinta Sendirian.

    Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe

  • Yang Tak Kunjung Padam   57. Rusuh.

    Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w

  • Yang Tak Kunjung Padam   56. Baku Hantam.

    Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan

  • Yang Tak Kunjung Padam   55. Indahnya Cinta.

    "Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng

  • Yang Tak Kunjung Padam   54. Modal Meraih Masa Depan.

    Nawang baru saja mengangkat pakaian dari jemuran ketika ia mendengar deru mobil berhenti di depan gang. Ia menegakkan tubuh. Jangan-jangan Pak Gatot. Sudah beberapa hari ini Pak Gatot meneleponnya, tapi ia abaikan. Pak Gatot mendapatkan nomor ponselnya dari Kenes. Kenes bilang pakdenya ingin menawarkan pekerjaan sampingan padanya, makanya tanpa rasa curiga Kenes memberikan nomornya. Di tengah kegamangan tentang siapa yang datang, tampak dua sosok muncul bersamaan: Nindy dengan wajah kaku, dan seorang pria berjas rapi membawa map tebal. Pak Syarir Siregar, pengacara keluarga mereka. Dulu Pak Siregar kerap menjumpai ayah tirinya di ruang kerja.“Mbak Nindy, Pak Siregar," sapa Nawang sopan dengan pakaian yang sudah kering di pelukanNindy tidak menjawab sapaan itu. Ia hanya melirik dingin, seolah kedatangannya kemari adalah suatu keterpaksaan. Sementara Pak Syahrir tersenyum sopan seperti biasa. "Siapa yang datang, Naw?" Bi Laila keluar dari dapur sambil mengelap tangan. Wajahnya langs

  • Yang Tak Kunjung Padam   53. Salah Paham yang Manis.

    Setelah suasana pasar kembali tenang dan Bu Hayati dibawa pulang oleh para pedagang lain, Nawang meraih lima bungkusan berisi ayam potong yang harus ia antar untuk para pelanggan yang rumahnya di sekitar pasar. Zulham sudah mengantar pesanan yang lokasinya agak jauh. Setelahnya, ia akan langsung pulang karena akan sekolah siang.Nawang berjalan memutari pasar, mencari jalan pintas ke rumah Bu Ratmi. Baru berjalan beberapa langkah, Nawang melihat seseorang berjalan cepat menuju deretan kios kosong di ujung pasar.Pria berambut cepak itu-anak buah Hilal. Pria selingkuhan Vonny. Naluri Nawang tiba-tiba terpacu. Sebenarnya ia tidak berniat menguping... tapi kakinya seakan bergerak sendiri mengikuti langkah pria itu.Ia melangkah pelan, bersembunyi di balik tumpukan karung bawang.Tak lama, seorang perempuan datang terburu-buru dari arah parkiran. Vonny. Ia mengenakan hoodie abu-abu, masker, dan kacamata hitam besar-namun ciri tubuh dan suaranya tak mungkin ia salah.Mereka bertemu di anta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status