LOGINPukul delapan pagi lewat lima menit, suara deru mobil hitam berhenti di depan rumah besar itu. Radit dan Nindi turun dengan wajah tegang. Tanpa basa-basi, keduanya langsung masuk ke rumah dan menuju kamar utama—kamar yang dulunya ditempati Pak Rasyid dan Bu Laily.
Nindi membuka lemari, lalu laci meja rias. Ia menggeledah dengan gerakan kasar, seolah mencari sesuatu yang sangat penting. Matanya terbelalak saat menyadari satu kotak perhiasan milik almarhumah ibu tirinya tak lagi berada di tempatnya.
“Mas Radit! Kotak perhiasan Tante Laily tidak ada!” seru Nindi, suaranya meninggi. Ia berbalik menatap Nawang yang berdiri kaku di ambang pintu kamar. “Kamu! Katakan, di mana kotak perhiasan ibumu yang semuanya dibeli oleh ayahku!”
Nawang terdiam. Tubuhnya gemetar, lidahnya kelu. Ia tidak berani mengungkapkan kebenaran bahwa Bik Fatimah-lah yang menyimpan perhiasan itu.
“Jawab!” bentak Nindi, melangkah cepat menghampirinya. “Jangan pura-pura bodoh! Kamu pasti mencurinya! Dasar maling! Kamu sama saja dengan ibumu. Ibumu maling suami orang, dan kamu maling perhiasan orang!”
Nawang menelan ludah, bibirnya bergetar. “Saya...”
Nindi meraih ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, wajahnya penuh amarah. “Aku akan telepon polisi! Biar kamu tahu rasanya masuk penjara karena mencuri!”
“Ndi, jangan gegabah...” Radit menyusul masuk ke kamar, mencoba menahan. Tapi Nindi sudah menekan layar ponselnya.
Tiba-tiba Bik Fatimah masuk dan memecah ketegangan. "Jangan, Mbak! Jangan laporkan Neng Nawang! Perhiasan itu... ada pada saya,” aku Bik Fatimah dengan suara serak.
Semua mata menoleh ke arah perempuan tua itu. Napas Bik Fatimah tersengal, tapi ia memberanikan diri melangkah maju. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan kunci kecil, lalu bergegas ke kamarnya. Tak lama, ia kembali dengan kotak merah beludru milik Bu Laily.
“Ini, Mbak. Perhiasan Bu Laily. Saya yang menyimpannya. Neng Nawang tidak tahu apa-apa.”
Nindi merenggut kotak itu dengan kasar dari tangan Bik Fatimah, lalu membukanya. Mata Nindi berkilat puas saat melihat isi di dalamnya—berbagai jenis kalung emas, gelang, cincin, dan anting-anting yang dulu kerap dipakai ibu tirinya. Dengan cepat, ia memasukkan kotak itu ke dalam tas besar yang sudah disiapkannya.
“Karena Bibik yang jadi maling, Bibiklah yang akan masuk penjara!” Nindi kembali menekan nomor kantor polisi.
“Bibik bukan maling, Mbak Nindi. Tolong jangan penjarain Bibik. Bibik hanya membantu Neng Nawang menyimpan barang-barang peninggalan almarhumah ibunya.” Bik Fatimah langsung bersimpuh di hadapan Nindi. Kata penjara menggentarkannya. Melihat Bik Fatimah menangis ketakutan sambil memeluk kaki Nindi membuat Nawang sedih.
“Jangan penjarakan Bik Timah, Mbak. Lagi pula, Mbak Nindi juga bukan pemilik perhiasan-perhiasan ini. Perhiasan ini milik ibu saya.” Nawang menyusul masuk, membela Bik Fatimah. Mendengar bantahan Nawang, Nindi melotot marah.
“Tapi dibeli dengan uang ayahku! Jadi secara hukum, perhiasan-perhiasan ini milikku!” Nindi makin emosi.
Nawang menggeleng. “Benar, akan menjadi harta gono-gini dan menjadi hak ahli waris—tapi kalau ayah dan ibu menikah secara resmi. Kalau siri, itu menjadi hak milik ibu dan akan menjadi hak saya. Tidak peduli memakai uang siapa saat membelinya. Itu kalau kita bicara secara hukum,” Nawang mempertahankan argumennya.
“Ayo, Bik, bangun. Jangan bersimpuh begini.” Nawang menarik Bik Fatimah agar berdiri. Ia bisa merasakan betapa gemetarnya tubuh ringkih perempuan tua itu.
“Baik, aku maafkan kali ini. Lain kali jangan berani-berani menyembunyikan barang-barang keluarga kami lagi,” ujar Nindi tajam. Ia tidak mau memperpanjang persoalan karena sadar posisinya kalah di mata hukum kali ini.
Radit menatap Nindi tajam, memberi peringatan lewat tatapan. Untung saja Nindi tidak bersikap gegabah. Ia lalu menatap Nawang dingin dan berbicara singkat, “Ambil barang-barangmu. Kita berangkat sekarang.”
Nawang menunduk dan berjalan keluar, diikuti oleh Nindi dan Bik Fatimah. Ia kemudian mengambil koper, tas travelling, dan ranselnya. Kakinya terasa sangat berat melangkah. Saat melewati Bik Fatimah, perempuan tua itu meraih tangannya erat-erat. Pelukannya singkat, tapi penuh arti.
“Neng...” bisiknya lirih di telinga Nawang. “Yang Mbak Nindi bawa itu hanya separuh. Separuh lagi masih Bibik simpan. Kalau suatu saat Neng membutuhkannya, bilang saja pada Bibik. Jangan takut. Itu hak Eneng.”
Nawang menahan tangis, hanya mampu mengangguk pelan. Air matanya mengalir deras, membasahi pundak Bik Fatimah. Lalu, dengan langkah terhuyung, ia mengikuti Radit dan Nindi keluar rumah. Keduanya sudah meneriakinya karena tidak sabar.
Pintu mobil terbanting. Mesin meraung. Dan rumah yang selama ini menjadi tempat segala kenangannya semakin menjauh dari pandangan.
Nawang duduk terpaku di kursi belakang mobil mewah itu, menatap kosong ke jendela. Jalanan yang mereka lalui berubah dari aspal mulus menjadi berdebu dan berlubang. Ia bisa merasakan setiap getaran roda mobil seperti menghantam ketakutan yang bersarang di dadanya. Dua jam perjalanan yang terasa seperti siksaan batin.
Di dalam kepalanya hanya ada pertanyaan tanpa jawaban: Bagaimana rasanya hidup di tempat asing yang bahkan tak ia kenal? Apakah bibinya benar-benar akan menerimanya? Atau ia akan kembali menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya?
Mata Nawang perlahan berkaca-kaca, menatap wajah tanpa ekspresi Radit dan Nindi di depan yang sibuk berbincang tanpa memperhatikannya. Ia merasa semakin kecil, semakin tidak berarti.
Setibanya di ujung jalan, mobil berhenti. Sebuah perkampungan padat penduduk yang terlihat kumuh menyambut mereka. Deretan rumah sempit, saluran air kotor, dan jalanan berlumpur berpadu menjadi satu panorama yang kontras dengan kemewahan mobil yang baru saja mereka tinggalkan.
Pandangan penduduk sekitar langsung menyorot mobil mereka dengan campuran rasa penasaran dan keheranan. Radit membuka pintu mobil, diikuti Nindi dan Nawang. Kepada Nawang, Radit memintanya mengeluarkan koper, tas travelling, dan ranselnya sekalian. Rumah Laila ada di gang sempit yang tak bisa dilalui mobil.
Beberapa remaja berdiri di sisi jalan, wajah mereka menunjukkan senyum yang menyerupai seringai. Salah satu dari mereka maju, menatap Radit dengan penuh arti.
“Om Bos, mobilnya mau dijagain nggak, nih? Kalau mau, kami bisa bantu jaga,” ucap remaja itu dengan suara sarkastik sambil menyeringai.
Radit menatapnya dingin, lantas mengeluarkan dompet dan mencabut selembar uang lima puluh ribuan.
Remaja itu menerima uang tersebut dan menciumnya penuh drama. “Oke, mobil aman, Om Bos. Tapi kalau mau lebih aman, kasih selembar lagi.”
Radit menghela napas panjang, menahan rasa jengkel. Namun, ia tak punya pilihan selain mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan lagi. Remaja itu tertawa puas, lalu melangkah mundur, membiarkan jalan terbuka untuk mereka.
Dengan wajah masam, Radit dan Nindi berjalan cepat memasuki gang sempit yang dipenuhi aroma tak sedap—bau kotoran ayam dan sampah basi yang menusuk hidung. Dengan langkah terseok karena membawa koper, tas besar, dan ransel di punggungnya, Nawang mengekor dari belakang. Sepanjang jalan, ia berusaha menahan napas karena bau yang menyengat.
Mereka memesan taksi online dan berangkat dari kampus. Di dalam mobil, Kenes terus mengoceh tentang film baru dan diskon makanan, berusaha mencairkan suasana. Nawang yang tadinya masih galau perlahan tertular semangat Kenes.Saat mendekati mall, mobil mulai melambat.“Jalannya ditutup, Mbak,” kata sopir taksi. “Ada pejabat lewat. Bisa muter, tapi agak jauh.”Kenes menoleh ke luar jendela. “Yah, padahal mall-nya udah kelihatan. Tinggal nyebrang aja, ya?”“Iya, Mbak,” jawab sang sopir.“Kami turun aja deh, Pak,” kata Kenes cepat. “Biar nggak kelamaan. Kami nyebrang dari sini aja.”Mereka turun di pinggir jalan. Mall sudah terlihat di seberang—tinggal menyeberang beberapa meter saja.Nawang mengikuti langkah Kenes yang setengah berlari, tak sabar ingin segera sampai. Sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang tak terkendali ke arah Kenes.“Awas, Nes—!”Nawang menjerit keras.Dalam hitungan detik, tubuh Kenes terpental. Suara benturan keras membuat Nawang menjerit histeris.“Astagfirul
Malam itu, Nawang hampir tidak memejamkan mata. Ia bolak-balik menatap langit-langit kamar; kata-kata Bi Laila berputar-putar di kepalanya.Nawang berbalik. Tatapannya membentur wajah Anisa yang sudah tertidur pulas. Ekspresi wajahnya murung. Nawang menghela napas panjang. Sebelum tidur tadi, Anisa marah padanya karena membiarkan ayahnya dihajar Hilal. Menurut Anisa, walau ayahnya salah, tidak perlu juga dipukuli hingga babak belur begitu. Ayahnya sudah tua. Bagaimana kalau tadi ayahnya sampai meninggal?Sedangkan Zulham, walau tidak mengatakan apa pun, air mukanya berbeda. Seperti Anisa, Zulham juga memendam kekesalan padanya. Cuma bibinya saja yang bersikap netral.Subuh menjelang, Nawang hanya tertidur sebentar. Saat bangun, tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berat.Di kampus, Nawang lebih banyak diam. Ia duduk di bangku kelas seperti biasa, mencatat seperlunya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya pucat, matanya sayu.Kenes yang duduk di sebelahnya beberapa kali me
Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe
Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w
Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan
"Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng







