Home / Romansa / Yang Tak Kunjung Padam / 1. Terusir Dari Rumah Sendiri.

Share

Yang Tak Kunjung Padam
Yang Tak Kunjung Padam
Author: Suzy Wiryanty

1. Terusir Dari Rumah Sendiri.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-10-21 21:40:19

Hening pagi itu pecah oleh suara pintu kamar yang terbuka tergesa.

“Neng Nawang... bangun, Neng,” suara parau Bik Fatimah merambat ke alam bawah sadar Nawang, yang masih terjerat dalam mimpi. “Ada tamu besar di ruang kerja Bapak.” 

Nawang menggeliat pelan. Kelopak matanya berat, seolah enggan berpisah dari sisa mimpi yang menenangkan. Baru malam tadi ia bisa terlelap, setelah seminggu penuh tak henti menangis—membasahi bantal dengan rindu yang tak lagi bersambut. Seminggu sudah sejak kecelakaan pesawat itu merenggut kedua orang tuanya sekaligus. Sejak saat itu, tidurnya selalu dihantui mimpi buruk. Baru pagi ini, untuk pertama kalinya, ia merasakan lelap. 

“Tamu besar siapa, Bik?” gumamnya setengah sadar. Jemarinya mengucek mata, dan tiba-tiba satu bayangan berkelebat di kepalanya. “Jangan bilang...”

“Tebakan Non benar. Anak-anak Pak Rasyid sudah menunggu,” suara Bik Fatimah terdengar cemas. “Mas Radit dan Mbak Nindi ada di ruang kerja.”

Seketika kesadaran Nawang kembali. Ia duduk di tepi ranjang dengan rambut kusut dan mata sembab. Tamu besar... selalu berarti masalah besar.

Cepat atau lambat, ia tahu saat ini akan datang. Mereka pasti akan membicarakan harta peninggalan Pak Rasyid.

Dengan langkah gontai, Nawang membasuh wajah. Air dingin mengguncang kantuk dan sisa tangisnya. Rambutnya ia rapikan seadanya, lalu ia bergegas.

Dan di sanalah mereka.

Raditya Kurniawan, putra tertua Pak Rasyid, duduk di kursi kesayangan ayahnya. Di hadapannya, Anindya Kurniawan—berwajah datar dan dingin. Begitu Nawang masuk, dua pasang mata itu menoleh serempak.

Nawang menarik napas panjang. Berhadapan dengan anak-anak kandung ayah tirinya selalu membuatnya merasa kerdil.

“Selamat pagi, Mas Radit, Mbak Nindi,” sapanya kaku. Kata-kata itu terdengar asing bahkan di telinganya sendiri.

“Baru bangun?” sindir Radit. Bibirnya tak memberi ruang pada senyum. “Kami sudah menunggu selama...” Radit memindai jam di pergelangan tangannya. “Lima belas menit.”

“Maaf, saya tidak tahu kalau Mas dan Mbak datang. Makanya—”

“Tidak usah diteruskan.” Radit mengibaskan tangan. “Kami ke sini bukan untuk basa-basi, tapi untuk memberitahu kalau besok kamu harus meninggalkan rumah ini.”

“Hah, besok? Ke... kenapa?” suara Nawang tercekat. Ia terperanjat dengan pemberitahuan tiba-tiba ini.

“Karena kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi,” jawab Nindi dingin. “Ayah kami dan ibumu sudah tiada, dan kamu juga bukan anak kandung ayah. Jadi, untuk apa kamu terus tinggal di sini?” ucap Nindi ketus.

“Ibumu juga menikah secara siri dengan ayah kami. Itu artinya, kamu tidak punya hak atas apa pun,” tambah Radit tegas.

“Tapi... saya sudah lama sekali tinggal di sini. Ini rumah saya juga...”

“Bukan!” potong Nindi. Matanya berkilat. “Ini rumah keluarga Kurniawan. Ibumu dulu cuma perawat ibu kami—pelakor keji, perusak rumah tangga orang!”

Kata itu menusuk telinga Nawang, pedih bagai sembilu. Lidahnya kelu. Ia tahu, meski ia menjelaskan, tak ada yang akan percaya. Ibunya tidak pernah merebut Pak Rasyid dari Bu Maryamah. Pak Rasyid menikahi ibunya setelah Bu Maryamah meninggal dunia.

“Saya… tidak tahu harus ke mana kalau kalian mengusir saya. Seumur hidup, saya hanya punya Ibu,” ucapnya lirih, hampir berbisik.

“Mau mendengar satu cerita?” Radit mengangkat alis. “Tapi sebaiknya kamu duduk dulu. Ceritanya panjang soalnya.”

Nawang menuruti. Firasatnya buruk—cerita itu pasti ada ringkasnya dengan dirinya.

“Dulu ada dua kakak beradik yatim piatu di perkampungan kumuh,” Radit memulai, suaranya tenang tapi dingin. "Si kakak cuma tamatan SD, tapi dia punya cita-cita mulia, yaitu menyekolahkan adiknya setinggi mungkin. Ia tidak mau berpacaran dan bekerja mati-matian siang malam demi membiayai pendidikan si adik. Tapi si adik malah hamil di luar nikah. Karena kecewa, sang kakak pun mengusir adiknya. Mereka pun berpisah sejak saat itu. Nama kakak beradik itu adalah Laila dan Laily."

Tubuh Nawang bergetar. Ia tahu siapa Laily itu—ibunya. Artinya, dia masih punya seorang bibi: Laila.

"Kamu sudah bisa menebak sisa ceritanya, bukan? Besok kami akan mengantarmu ke rumah bibimu, Laila. Mulai saat itu dan seterusnya, kamu akan tinggal di sana."

Nawang menatap Radit nanar. “Mas bilang... ibu saya dulu diusir Bi Laila. Kehadiran saya pasti akan ditolak...”

“Kami sudah lebih dulu berdiskusi,” kata Radit tidak sabar. “Bibimu bilang, dia bersedia menampungmu asal kamu bersedia hidup seadanya dan tidak banyak tingkah,” tegas Tukas Radit.

“Dan satu lagi,” Nindi menimpali. “Kamu juga harus ikut bekerja di sana.”

"Kerja? Kerja apa?" suara Nawang tercekat.

“Bibimu punya usaha ayam potong di pasar. Kamu harus ikut berjualan setiap pagi buta bersama suami dan kedua anaknya,” jelas Nindi.

Radit menambahkan dengan tajam, "Kamu jangan banyak bertingkah. Ingat, kamu bukan siapa-siapa sekarang. Jangan transmisi seperti tuan putri kalau kamu tidak mau bernasib sama seperti ibumu."

Nawang menggigit bibir, menahan tangis yang naik ke tenggorokan. Mereka akan membuangnya ke tangan orang asing—darah dagingnya, tapi asing. Ia tak tahu apakah kehadirannya akan diterima atau ditolak.

"Segera kemasi barang-barangmu. Dan jangan coba-coba membawa apa pun yang bukan milikmu. Besok pagi kamu akan kami jemput," ujar Radit sambil berdiri. Jasnya ia rapikan agar tidak ada bagian yang kusut. Nindi ikut berdiri menyusulnya.

"Kamu punya waktu satu hari untuk berkemas. Setelah itu, jangan menampakkan wajahmu di rumah ini lagi."

Mereka pun pergi.

Begitu pintu tertutup, tubuh Nawang limbung. Ia bersandar di dinding, membiarkan matanya air luruh kembali. Rumah ini—dinding, lantai, langit-langit—setiap sudutnya menyimpan banyak kenangan bersama ibu. Dan sebentar lagi, semua kenangan itu harus ia tinggalkan.

Ia seperti sampah tak berguna, dibuang begitu saja. Nawang ketakutan. Ia tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan ia hadapi di luar sana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Water Lily
kak bikin ceritanya cucu diwangkara dan yg lainnya, kangen sama mereka suka ku baca ulang
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Mungkin dari kecil sudah didik jadi cewe lemah si Nawang, padahal di jaman sekarng jd cewe harus strong dari kecil apalagi dah tau hanya sebatas nikah siri. Btw emng Nwang bukan anak pak Rasyid yah soalnya td bilang kk tiri. Klo sama bapak kan kandung kecuali beda ibu baru tiri
goodnovel comment avatar
Nining_Andri
Akhirnya nongol juga cerita baru kak suzy...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Yang Tak Kunjung Padam   60. Luka dan Rahasia.

    Mereka memesan taksi online dan berangkat dari kampus. Di dalam mobil, Kenes terus mengoceh tentang film baru dan diskon makanan, berusaha mencairkan suasana. Nawang yang tadinya masih galau perlahan tertular semangat Kenes.Saat mendekati mall, mobil mulai melambat.“Jalannya ditutup, Mbak,” kata sopir taksi. “Ada pejabat lewat. Bisa muter, tapi agak jauh.”Kenes menoleh ke luar jendela. “Yah, padahal mall-nya udah kelihatan. Tinggal nyebrang aja, ya?”“Iya, Mbak,” jawab sang sopir.“Kami turun aja deh, Pak,” kata Kenes cepat. “Biar nggak kelamaan. Kami nyebrang dari sini aja.”Mereka turun di pinggir jalan. Mall sudah terlihat di seberang—tinggal menyeberang beberapa meter saja.Nawang mengikuti langkah Kenes yang setengah berlari, tak sabar ingin segera sampai. Sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang tak terkendali ke arah Kenes.“Awas, Nes—!”Nawang menjerit keras.Dalam hitungan detik, tubuh Kenes terpental. Suara benturan keras membuat Nawang menjerit histeris.“Astagfirul

  • Yang Tak Kunjung Padam   59. Siapa Takut?

    Malam itu, Nawang hampir tidak memejamkan mata. Ia bolak-balik menatap langit-langit kamar; kata-kata Bi Laila berputar-putar di kepalanya.Nawang berbalik. Tatapannya membentur wajah Anisa yang sudah tertidur pulas. Ekspresi wajahnya murung. Nawang menghela napas panjang. Sebelum tidur tadi, Anisa marah padanya karena membiarkan ayahnya dihajar Hilal. Menurut Anisa, walau ayahnya salah, tidak perlu juga dipukuli hingga babak belur begitu. Ayahnya sudah tua. Bagaimana kalau tadi ayahnya sampai meninggal?Sedangkan Zulham, walau tidak mengatakan apa pun, air mukanya berbeda. Seperti Anisa, Zulham juga memendam kekesalan padanya. Cuma bibinya saja yang bersikap netral.Subuh menjelang, Nawang hanya tertidur sebentar. Saat bangun, tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berat.Di kampus, Nawang lebih banyak diam. Ia duduk di bangku kelas seperti biasa, mencatat seperlunya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya pucat, matanya sayu.Kenes yang duduk di sebelahnya beberapa kali me

  • Yang Tak Kunjung Padam   58. Cinta Sendirian.

    Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe

  • Yang Tak Kunjung Padam   57. Rusuh.

    Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w

  • Yang Tak Kunjung Padam   56. Baku Hantam.

    Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan

  • Yang Tak Kunjung Padam   55. Indahnya Cinta.

    "Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status