LOGINWanita itu tampak tangguh, meski usia dan kerasnya hidup terpancar jelas dari garis-garis di wajahnya. Matanya tajam menatap Radit dan Nindi, lalu jatuh pada sosok gadis muda di belakang mereka.
“Mas Radit... Mbak Nindi... dan ini... pasti Nawang?” suaranya berat, tapi ada rona yang tak bisa disembunyikan—antara keterkejutan dan ketegangan.
Nawang menunduk pelan, merasa tubuhnya semakin kecil di hadapan bibinya yang selama ini hanya ia kenal dari cerita-cerita Radit. Wajah bibinya ini ternyata mirip sekali dengan ibunya.
Wanita itu menarik napas panjang, mempersilakan mereka masuk. “Masuklah. Mari kita bicara.”
Di ruang tamu sempit yang hanya seluas kamar tidur standar, mereka duduk di kursi-kursi plastik murahan yang berderit setiap kali bergeser. Dinding rumah penuh noda lembap dan bercak-bercak hitam, tampaknya jarang dicat ulang. Di sisi lain, kipas angin tua berdengung pelan di sudut ruangan, seolah kelelahan berputar.
Laila duduk di bangku rotan pendek, menatap tamu-tamunya dengan mata waspada. Sesekali, matanya mencuri pandang pada Nawang yang duduk tertunduk, memeluk tasnya erat-erat—seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari dunia.
Beberapa menit kemudian, muncul seorang gadis muda dari dapur. Rambutnya dikuncir asal-asalan, mengenakan daster pudar, dan membawa nampan plastik berisi tiga cangkir teh panas dalam gelas bening yang tampak berkerak di tepinya. Uap tipis mengepul dari permukaan teh.
“Ini tehnya, Bu,” ucapnya singkat. Wajahnya cemberut. Jelas tidak menyukai tamu-tamunya.
Laila mengangguk dan memperkenalkan, “Ini Anisa, anak saya. Yang bungsu.”
Anisa meletakkan cangkir di meja asal-asalan. Nindi menoleh pada cangkir teh itu lalu spontan berjengit; wajahnya jelas menunjukkan ekspresi jijik. Ia buru-buru menghindar, bahkan tidak menyentuh cangkirnya.
Radit sedikit lebih sopan, meski tatapannya menyapu gelas teh itu dengan enggan. Ia hanya mengangguk kecil dan tidak menyentuh minuman itu sama sekali.
“Maaf, kami tidak bisa lama-lama,” ucap Radit cepat, berdiri. “Ini Nawang, seperti yang sudah kami bicarakan. Mulai hari ini, ia jadi tanggung jawab Bu Laila.”
Laila mengangkat alis, menatap tajam. “Kalau soal tinggal, saya sudah setuju. Tapi bagaimana dengan biaya kuliah Nawang? Ini baru tahun keduanya kuliah bukan? Dia masih harus menyelesaikan pendidikannya beberapa tahun nanti."
Radit menghela napas, terdengar malas. “Itu bukan urusan saya. Kami hanya membantu mencarikan tempat tinggal. Soal kuliah, dia bisa urus sendiri. Mungkin bisa sambil kerja. Atau kalau tidak sanggup, ya berhenti saja dulu.”
Nawang menegang. Kata-kata itu seperti palu yang menghantam harapannya. Ia menggigit bibir bawah, menahan air mata.
Jawaban Radit yang dingin dan tak berperasaan membuat Laila mendadak terdiam. Namun hanya sesaat. Dengan tenang, ia menyandarkan punggung ke kursi rotannya, menyilangkan tangan di dada, dan menaikkan sudut bibirnya sedikit—sebuah senyum tipis yang tidak menyenangkan.
“Begitu, ya?” ucap Laila datar. “Ya sudah, kalau kalian tidak mau bertanggung jawab, saya akan memanggil beberapa wartawan kenalan saya. Saya akan bilang kalau keluarga Kurniawan yang katanya terpandang itu ternyata menelantarkan adik tiri mereka, membuangnya seperti sampah. Padahal almarhumah ibunya membersamai ayah kalian selama tujuh belas tahun lamanya. Setia, penuh hormat, dan tak pernah menuntut dinikahi secara resmi.” Ia mengedip pelan. “Pasti berita itu menarik jika terpampang di media sosial. Saya jamin netizen akan menggoreng berita itu hingga viral.”
Radit sontak menoleh cepat, melotot. “Apa maksud Bu Laila?” suaranya naik satu oktaf, tapi terdengar lebih gugup daripada galak.
Laila tak bergeming. Ia menatap tajam Radit sambil bersedekap. “Saya kira Mas Radit cukup cerdas untuk paham. Saya tidak minta banyak. Kalian membuang tanggung jawab begitu saja pada saya—sebagai bibinya, oke, saya terima. Tapi setidaknya, kalian biayai kuliahnya sampai selesai. Kalau soal makan, saya bisa mengupayakannya,” tandas Laila datar.
Radit terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya melirik sekilas ke arah Nindi yang juga mulai kelihatan panik. Nama baik keluarga Kurniawan terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Apalagi bisnis ayah mereka masih berjalan atas nama keluarga besar—publikasi buruk bisa berdampak langsung.
“Baik,” desis Radit akhirnya, suaranya pelan tapi jelas. “Kami akan membiayai kuliah Nawang sampai selesai. Tapi hanya itu. Jangan minta macam-macam lagi.”
Laila mengangguk, tampak puas. “Baik. Kita sudah setuju dengan tugas masing-masing. Kalau kalian ingkar, siap-siap saja nama besar kalian terpampang di berita online,” ancam Laila.
Nindi bersuara, nadanya tajam. “Tapi jangan pikir kalian bisa bolak-balik minta uang. Kami sudah cukup bermurah hati.”
Laila tertawa kecil. “Tenang saja. Saya bukan pengemis. Pantang bagi saya meminta sesuatu yang bukan hak saya.”
Radit merapikan jasnya, masih terlihat kesal, namun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia berdiri, diikuti oleh Nindi yang menghentakkan kakinya kecil-kecil, tak senang.
“Baiklah. Kami pergi,” kata Radit singkat.
“Ingat, janji kalian. Jangan sampai media dan netizen yang menagihnya,” kata Laila mengingatkan dengan nada sarkastik.
Tanpa menjawab, Radit dan Nindi melangkah keluar dari rumah itu, kembali menyusuri gang sempit yang mulai ramai. Beberapa orang menatap mereka dengan pandangan penasaran. Mobil mewah mereka masih terparkir di ujung jalan, dijaga oleh dua remaja yang kini duduk santai di pinggir trotoar sambil mengunyah permen karet.
Setelah mobil mereka pergi, ruangan menjadi senyap. Nawang masih tertunduk, membeku. Laila berdecak pelan, lalu menatap Nawang yang masih duduk membisu seperti anak ayam kehilangan induk.
“Kamu dengar sendiri, kan?” katanya akhirnya dengan suara yang lebih tenang. “Kuliahmu aman. Tapi sisanya, kamu harus berjuang. Kehidupan orang miskin itu berat. Hidupmu tidak akan sama seperti saat masih tinggal di rumah mewah itu lagi.”
Nawang menatap bibinya, perlahan mengangguk.
Laila menarik napas berat, menatap gadis yang kini resmi berada dalam tanggung jawabnya. Wajah kerasnya mulai melunak. “Ya sudah... sini, taruh tasmu dulu. Kamu istirahat. Kita bicara nanti.”
Nawang mengangguk, suaranya hampir tak terdengar saat menjawab, “Iya, Bi.”
Dan di rumah yang asing, berbau ayam dan kerasnya hidup, Nawang membuka lembaran hidup yang baru—dengan ketakutan, tapi juga setitik harapan bahwa mungkin... hanya mungkin... ada tempat untuknya di dunia ini.
Mereka memesan taksi online dan berangkat dari kampus. Di dalam mobil, Kenes terus mengoceh tentang film baru dan diskon makanan, berusaha mencairkan suasana. Nawang yang tadinya masih galau perlahan tertular semangat Kenes.Saat mendekati mall, mobil mulai melambat.“Jalannya ditutup, Mbak,” kata sopir taksi. “Ada pejabat lewat. Bisa muter, tapi agak jauh.”Kenes menoleh ke luar jendela. “Yah, padahal mall-nya udah kelihatan. Tinggal nyebrang aja, ya?”“Iya, Mbak,” jawab sang sopir.“Kami turun aja deh, Pak,” kata Kenes cepat. “Biar nggak kelamaan. Kami nyebrang dari sini aja.”Mereka turun di pinggir jalan. Mall sudah terlihat di seberang—tinggal menyeberang beberapa meter saja.Nawang mengikuti langkah Kenes yang setengah berlari, tak sabar ingin segera sampai. Sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang tak terkendali ke arah Kenes.“Awas, Nes—!”Nawang menjerit keras.Dalam hitungan detik, tubuh Kenes terpental. Suara benturan keras membuat Nawang menjerit histeris.“Astagfirul
Malam itu, Nawang hampir tidak memejamkan mata. Ia bolak-balik menatap langit-langit kamar; kata-kata Bi Laila berputar-putar di kepalanya.Nawang berbalik. Tatapannya membentur wajah Anisa yang sudah tertidur pulas. Ekspresi wajahnya murung. Nawang menghela napas panjang. Sebelum tidur tadi, Anisa marah padanya karena membiarkan ayahnya dihajar Hilal. Menurut Anisa, walau ayahnya salah, tidak perlu juga dipukuli hingga babak belur begitu. Ayahnya sudah tua. Bagaimana kalau tadi ayahnya sampai meninggal?Sedangkan Zulham, walau tidak mengatakan apa pun, air mukanya berbeda. Seperti Anisa, Zulham juga memendam kekesalan padanya. Cuma bibinya saja yang bersikap netral.Subuh menjelang, Nawang hanya tertidur sebentar. Saat bangun, tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berat.Di kampus, Nawang lebih banyak diam. Ia duduk di bangku kelas seperti biasa, mencatat seperlunya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya pucat, matanya sayu.Kenes yang duduk di sebelahnya beberapa kali me
Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe
Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w
Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan
"Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng







