25 Maret 2003-Selasa
Hari H
Entah bagaimana harus menyebut pagi ini. Kelabu atau cerah. Kedua perasaan itu bergelayut begitu saja di dada Rosa. Setelah membereskan bajunya semalam, Rosa keluar kamar, namun Mardi sudah masuk ke kamarnya sendiri. Keraguan membuatnya membatalkan niat untuk mengetuk pintu kamar Mardi. Paling tidak, sebenarnya dia ingin menghabiskan waktu beberapa saat lebih lama bersama laki-laki itu.
Tadi dia dan Mardi hanya bertatapan muka pagi ini. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengeluarkan sekecap kata.
Rosa mengantar Mardi ke teras dengan kening berkerut dan bibir yang tertarik ke bawah. Gerung motor Mardi yang terakhir terdengar di telinganya. Tidak ada salam perpisahan. Tidak ada seulas senyum pun.
Giselle dan Rosa sedang menikmati hari Minggu mereka di rumah. Selama beberapa hari ini, keduanya sering meluangkan waktu bersama. Membaca koleksi novel milik Giselle, menonton film atau sekadar mengobrol ngalur-ngidul. Giselle berusaha menyerap seluruh cerita tentang kehidupan ibu dari calon anaknya itu. Rosa yang awalnya merasa canggung berada di rumah Giselle, lambat laun mulai bisa beradaptasi. Dia belajar cepat bagaimana kodratnya sebagai makhluk sosial yang dikaruniai akal budi bisa meleburkan diri ke dalam lingkungan yang sama sekali asing. Jika Giselle tidak ada di rumah, Rosa berkeliling rumah. Mengenali setiap sudut kemewahan yang hanya dihuni oleh dua orang. Malah lebih banyak pembantu daripada anggota keluarga pemilik rumah. Sudah seminggu lebi
Tidak banyak penambahan dekorasi untuk acara ulang tahun Giselle malam ini. Dari luar bahkan tidak menampakkan keramaian. Mobil yang berdatangan telah memenuhi halaman rumah, tidak ada yang diparkir di luar. Acara ulang tahun ekslusif, bagi kerabat saja. Orangtua Giselle dan David saling mengobrol di sofa. Adik David yang baru datang dari Inggris juga terlihat di antara kerumunan. Emma terlihat baru datang, bersama anak dan pengasuh anaknya. Ruang keluarga hanya dihias beberapa vas dengan bunga mawar berwarna-warni berukuran besar dan satu rangkaian besar bunga lily sebagai pusat perhatian di ruangan itu. Giselle? Iya, dia pun menjadi Putri Jelita malam ini, ditambah keanggunan luarbiasa yang memesona. Rambutnya tergerai, bergelombang indah, menutupi sebagian besar
Mobil meluncur perlahan keluar dari sebuah butik baju ibu hamil dan bayi.Untuk kesekian kalinya Giselle membelikan Rosa berbagai perlengkapan. Kali ini lengkap dengan baju senam dan matras untuk senam. Rosa membayangkan dirinya senam SKJ sedirian di atas matras itu, seperti saat dirinya masih di Sekolah Dasar. Tapi kali ini Rosa tidak banyak bertanya, karena sebenarnya pikirannya sedang berkelana di tempat lain. Dia tidak berani mengutarakan pada Giselle, jadi sepanjang perjalanan hanya diam membisu. “Tumben kamu diam terus. Kamu lagi sakit?” tanya Giselle. Rosa menggeleng. “Kamu harus terang kalau mau apa, sakit apa, apalah apalah, biar nggak membahayakan si bayi,&r
Rosa berselonjor santai di atas ranjangnya. Badannya bersandar di kepala ranjang yang terasa empuk. Kakinya bergerak-gerak santai, mengikuti alunan musik yang sayup-sayup terdengar merdu. Tubuhnya merasa nyaman. Tadi sempat merasa enek, tetapi sejak beberapa waktu lalu pulang dari dokter kandungan rasa mual itu tidak begitu menyiksanya lagi. Antara tersugesti atau takut pada Giselle. Rosa mengelus lengannya, sesekali menciumi telapak tangannya. Dia sangat menyukai wangi sabun pemberian Giselle. Sabun mahal yang harganya bisa membeli sabun mandi biasa puluhan batang. Belum lagi sampo yang ada di kamar mandi, katanya sampo sehat tanpa deterjen. Entahlah apa maksudnya itu. Yang pasti rambutnya kini semakin sehat bercahaya. “Halo…” Rosa mengangkat ponselnya yang berdering.&
Airmata Giselle bagai anak sungai, bercabang-cabang mengalir di pipinya. Pemandangan yang baru saja disaksikannya, seperti lahar panas menerpa dirinya dalam sekejapan mata. Suaminya mengelus perut perempuan lain??? Apa maksudnya??? “Sayang, percaya aku. Nggak ada apa-apa tadi. Aku berani bersumpah aku nggak bohong,” ujar David, berusaha menjelaskan dengan tenang. “Nggak ada apa-apa bagaimana?! Aku lihat pakai mata kepalaku sendiri, Rosa mengangkat bajunya di depan kamu!!! Apa yang nggak ada APA-APA?!” “Aku udah jelasin tadi, kan? Aku hanya penasaran bagaimana rasanya pegang perut yang ada bayinya. Itu saja. Kenapa kamu mesti marah-marah begini?” David berusaha merengkuh bahu Giselle, tetapi Giselle mengelak dan menjauh. Suara tan
Memasuki bulan ke delapan kehamilannya membuat dirinya bertambah malas. Hanya saat senam hamil dan berenang tubuhnya terpaksa bergerak. Atau saat tanpa sengaja mendengar suara David di lorong depan kamarnya, maka dia akan turun dari ranjang, mengendap, membuka pintu hanya berupa celah lalu menikmati sosok David diam-diam. Musik klasik menggema lembut di kamar Rosa. “Rosa!” panggil Giselle di luar pintu kamar. Rosa segera turun dari singasananya. Berusaha secepat mungkin turun, tetapi perutnya yang besar menghalanginya untuk terlalu tergesa-gesa. “Iya, Mbak,” sahut Rosa sambil membuka pintu. Di awal-awal, Giselle biasanya langsung membuka pintu kamar Rosa, tetapi sejak dia memergoki David memegang tangan Rosa, dia seolah menghindari kemungkin
“Rosa!” panggil Giselle tidak sabar memanggil Rosa dari ujung tangga. Rosa yang berada di kamarnya berusaha secepat mungkin meneliti penampilannya di kaca. Setelah itu bergegas keluar dari kamarnya. “Iya, Mbak!” sahut Rosa tak kalah kencang. Dengan perut sudah membesar sempurna, Hari ini jadwal kontrol terakhir ke dokter kandungan. Rosa menuruni tangga perlahan-lahan. Setiap kali kepalanya menengok ke ujung kakinya dari samping. Dia sudah tidak bisa melihat ujung kakinya karena ukuran perutnya sudah menghalangi pandangan. “Hati-hati!” seru Giselle. “Iya, Mbak…” sahut Rosa. Rasanya ingin dia berlari saja. Mereka berdua segera keluar rumah,
Giselle menatap nanar tumpukan dus-dus berisi susu formula yang baru datang beberapa hari lalu di ruang tamu. Dia sudah konsultasi dengan dokter anak, susu yang terbaik bagi Raynar. Dia bahkan sudah memesan susu itu sebelum Raynar lahir. Sekarang upayanya percuma. David dan ibunya tidak setuju rencananya agar Rosa segera keluar dari rumahnya. Dia berusaha menguatkan hati, dengan mantra yang selalu disebutkannya setiap saat hatinya merasa pedih: demi Raynar. “Apa itu, Sayang?” tanya David matanya menunjuk pada tumpukan susu mahal. “Buat Raynar,” jawab Giselle singkat. “Kan Raynar masih nyusu sama Rosa?” kata David lagi. Sungguh, laki-laki ini kurang peka pad