Share

Part 5: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

“Rosa!”

Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega.

“Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian.

“Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar.

Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?

            Orang-orang berjalan setengah berlari. Aku mencatat banyak hal tentang Jakarta ini dalam hati.    

            Enceng membuka pintu mobil dan aku terbelalak kagum. Mobil Enning bagus, warnanya hitam, besar, logo merek terkenal aku lihat di bagian depannya, aku  pernah lihat di televisi. Enning duduk di depan, di samping Enceng, dan aku duduk di bangku tengah.

Dengan lincah Enceng Ibrahim menyetir mobilnya, berusaha meloloskan diri dari kepungan bis yang bertebaran tidak teratur di terminal ini.

Mataku jelalatan, melihat banyaknya kendaraan di jalan raya. Apakah semua orang Jakarta kaya raya hingga mereka semua memiliki mobil?

Mobil Enning melaju dengan tersendat, antrian kendaraan di depan terlihat panjang. Sesekali Enning ngobrol denganku, bertanya tentang Eppa’ dan Ebo’.

Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba badanku terhempas ke depan!

Aku menabrak bagian belakang kursi yang diduduki Enning.

Cepat-cepat kubetulkan posisi duduk dan kudengar Enning menyerukan istighfar. Enceng membuka kaca pintunya, terlihat dari spion tengah, wajah Enceng berwarna merah, matanya terlihat galak.

“Awas lo kalau nyerempet!” teriaknya.

Rupanya Enceng memaki ke arah angkutan umum berwarna biru yang tiba-tiba berusaha menyela masuk ke jalur mobil Enceng.

Aku mengulurkan kepala, sopir angkutan tak terlihat dan tak kudengar sahutan apa pun darinya. Enceng menutup jendela.

“Jancok!” makinya. Enning hanya melirik suaminya.

Aku diam mendengar kata makian keluar dari Enceng Ibrahim, aku memaklumi rasa kesal karena mobil angkutan tadi sudah membahayakan orang lain. Tapi sopir angkutan itu tidak terlihat merasa bersalah, karena kata maaf pun tak kudengar tadi. Cuek, itu yang kutangkap.

Kata Enning, sebenarnya rumah mereka dekat, tapi kemacetan membuat mereka terpaksa menghabiskan waktu lebih lama di jalan. Setelah satu setengah jam, Enning menunjuk ke sebuah rumah gedung berwarna oranye. Mulutku menganga melihat rumah besar yang bagiku mewah—dibandingkan rumah Bapak di Madura. Ya iyalah....

“Mana anak-anak, Ning?” tanyaku begitu berada di dalam rumah yang terasa lengang.

“Ita, Said sama Fajar di rumah mbahnya. Orangtua Mas Ibrahim. Di Jakarta juga.”

Aku mengangguk. Aku baru sadar, anak SD pun sudah menyelesaikan ujiannya, sekarang saat liburan panjang bagi mereka.

“Mar! Saya ke pasar dulu!” Enceng berteriak dari depan.

“Iya! Nanti saya nyusul, Mas!” Enning berteriak tak kalah kencangnya. Suara motor menderu di luar, Enceng Ibrahim kelihatannya—sekali lagi—terburu-buru.

            Mengapa harus terburu-buru?

Enning menunjukkan kamar tidur yang boleh aku tempati. Kamarnya luas, dengan ranjang bagus dan lemari baju yang cantik.

“Kamu istirahat saja di sini, Ros. Kamar mandi di belakang. Sebelum maghrib saya pulang. Kita ngobrol lagi nanti. Saya ke pasar dulu sekarang.”

Aku mengangguk.

Dan seperti Enceng, Enning menyambar sebuah tas kecil di sofa, lalu keluar dengan gesit.

“Tutup pintu pagarnya, Ros!” Enning memerintah dan seketika deru mesin motornya mengalahkan jawaban iyaku.

Enning berangkat dengan tergesa-gesa pula.

Aku menutup pintu pagar rumah yang besar, besi tempa dengan ukiran bergambar seperti batik. Sebelumnya kulongokkan kepala keluar, menatap sederatan rumah yang berderet rapi.

Aku heran, rumah Eppa’ tidak berpagar, mengapa di sini semua berpagar tinggi? Mungkin semua orang kaya takut hartanya digarong maling. Kalau orang miskin apa yang bisa digarong lagi, selain harga diri yang kadang juga dijadikan bahan penambah dosa? 

Aku ke kamar untuk mengambil baju dan perkakas mandi. Aku tidak terasa capek, aku hanya ingin mandi.

Pikiranku salah, setelah mandi, aku menyantap makanan yang disediakan pembantu rumah tangga dengan pikiran melayang kepada Eppa’ dan Ebo’, lalu kekenyangan. Tidak yakin untuk bersikap lancang di rumah Enceng, aku memilih masuk kamar, alih-alih menyalakan televisi berukuran sangat besar di ruang keluarga. Aku berbaring di ranjang empuk dan tidak sampai semenit, aku sudah terbuai ke alam tidur.

            Beberapa saat sebelum terlelap, aku menerka-nerka, apa yang akan kukerjakan esok hari?

z

Kehidupan baru.

Semalam Enning memberitahu, selama beberapa waktu aku boleh ikut ke pasar, selama belum mendapatkan pekerjaan. Itu pun kalau aku mau. Pokoknya Enning benar-benar akan mendukungku.

Tak ada pertanyaan lagi bagaimana Enning mendapatkan semua perhiasan emas, rumah besar, dan mobil bagus. Enning dan Enceng bekerja seperti kuda. Bekerja keras. Malam menjadi siang, siang menjadi malam.

Enceng akan ke pasar induk untuk kulakan sayur-mayur segar, berangkat setiap jam sepuluh malam. Ada dua orang karyawan yang menemani. Lalu jam tiga subuh mereka baru  menyelesaikan acara kulakan itu. Dengan mobil pick-up besar, tumpukan sayuran segar itu akan langsung dikirim ke kios sayuran mereka di pasar. Enning memiliki dua kios di pasar yang berbeda. Satu dipegang Enceng, satu lagi Enning.

Mereka akan menurunkan sayuran jatah Enning terlebih dahulu, di kios sudah ada orang kepercayaan Enning yang menunggu.

Enceng dan Enning akan menjaga kios sampai jam dua siang, setelah itu mereka akan pulang ke rumah. Enceng beristirahat sampai waktu kulakan tiba lagi, sedangkan Enning akan sibuk dengan ketiga anaknya yang masih kecil, semua masih di sekolah dasar. Atau Enning akan sibuk mondar-mandir ke bank, mengurus keuangan mereka.

Jam setengah lima subuh Enning membangunkanku, menyuruhku bersiap-siap untuk berjualan di pasar. Jakarta sudah terlihat ramai pada jam lima pagi, mendahului matahari yang belum terbangun. Ketika aku bertanya pada Enning, apa yang mereka lakukan hingga perlu berada di jalanan sepagi ini?

Enning tertawa, sama seperti kita, katanya. Mencari uang.

Aku tiba-tiba merasa bersemangat. Uang. Aku juga ke Jakarta untuk mencari uang.

Hanya lima belas menit bersepeda motor, aku dan Enning tiba di kios pasar. Pasar sudah mulai ramai. Sebagian pedagang sedang merapikan barang dagangannya, sebagian lagi sudah duduk tenang menunggu pembeli. Masih subuh, tetapi hilir mudik pengunjung sudah mulai terlihat.

Aku duduk di samping Enning, menunggu pembeli. Asep, orang kepercayaan Enning juga sedang duduk santai di sisi seberang tempatku duduk.

Tiba-tiba seorang wanita seumuran Enning datang.

“Rame! Rame! Ayo, tahunya-tahunya!” teriaknya, dan dari logatnya aku tahu dia berasal dari Madura juga.

“Tumben telat datang, Kak?” tanya Enning pada wanita itu.

“Kesiangan, Le’[2],” jawabnya sambil menata dua kotak besar tahu di mejanya. Tak lama seorang laki-laki datang membawakan setumpuk tempe yang juga langsung ditumpuknya rapi di ujung meja.

“Sapa itu, Le’?” tanya penjual tahu itu pada Nyanya sambil menatapku.

Tang pona’an, ana’na kaka’e Madura[3],” jawab Enning. 

Penjual tahu itu meletakkan tahu yang dipegangnya, lalu bertolak pinggang sambil melihatku. Mulutnya mengeluarkan suara decakan.

“Me’ raddin[4]? Beda sama kamu yang hancurrrr!”

Enning tergelak kencang. Sedangkan aku hanya tersipu. Aku tidak mengatakan diriku cantik, tapi memang perawakanku langsing, badan tinggi, dan warna kulit yang putih terlihat berbeda sama sekali dengan Enning Marfu’a.

“Siapa namanya?” dengan logat Madura-nya yang membuat aku merasa masih berada di kampung halaman.

“Rosa,” jawabku malu-malu. Penjual tahu itu hanya mengangguk-angguk dan pembahasan tentang diriku terputus ketika seorang pembeli datang menyita perhatiannya.

Asep melirikku, aku tahu itu. Sejak aku tiba tadi, matanya sering menatapku. Tatapan khas laki-laki yang tidak begitu kumengerti.

Sepanjang hari itu aku pelajari, bagaimana Asep melayani orang yang berbelanja dan Enning yang dengan gesitnya bergerak lincah dan fasih berkomunikasi dengan pembeli. Sesekali aku membantu membungkus barang belanjaan, atau menerima uang dari mereka dan mengambil uang kembaliannya dari peti kayu milik Enning.

Saat siang hari, kotak kayu itu sudah penuh dengan uang. Aku memandangi Enning yang memilah uang itu dengan cepat, dia memasukkan hampir semuanya ke dalam tas kecil yang tak pernah lepas dari tubuhnya. Hanya ditinggal beberapa lembar uang receh sebagai kembalian.

Aku mulai belajar.

Jam satu siang Enning mengajakku makan. Pasar mulai lengang. Hanya segelintir pengunjung lalu lalang. Kami makan di warung nasi di dalam pasar. Tepat jam dua siang, Enning sudah menyuruh Asep menutup lapak. Semua uang diraupnya hingga ke uang logam. Bunyi gemerincing terdengar begitu ia memasukkannya ke dalam tas.

Asep merapikan sisa-sisa sayuran yang tidak terjual. Lalu menutupnya rapat dengan terpal plastik. Aku mengikuti langkah Enning ketika kudengar Asep memanggilku. Aku menoleh padanya.

Asep hanya tersenyum dan menggaruk-garuk kepalanya. Aku menatapnya bingung lalu mengejar Enning.

Begitu terus runtinitas yang kujalani. Di hari ketiga, sudah kuyakinkan Enning bahwa aku bisa menggantikan tugasnya melayani pembeli. Enning hanya perlu merapikan kotak kayu ajaibnya. Enning terlihat puas pada hasil kerjaku.

Tentang Asep, berkali-kali dia mendekatiku, namun aku merasa enggan. Aku datang ke Jakarta untuk bekerja, bukan untuk hal lainnya. Aku sama sekali tidak menarik, itu tidak menghasilkan uang.

Sesekali Eppa’ dan Ebo’ meneleponku, menanyakan kabar. Tak pernah sekali pun mereka absen untuk memberiku kekuatan melalui untaian indah doa mereka.

Ketika sebulan berlalu, Enning memanggilku. Wajahnya berseri-seri, di sebelahnya, Enceng duduk menemani dengan secangkir teh. Ketiga anaknya sedang bermain di luar rumah.

Aku menyangka wajahnya terlihat riang karena hari ini dagangan ludes habis tak ada sisa.  Aku duduk di seberang mereka berdua.  Tanpa mengatakan apa-apa, Enning meletakkan uang di meja tepat di hadapanku. Aku menatap Enning, Enceng dan uang itu bergantian.

“Kamu sudah membantu kita sebulan ini. Sejak kamu datang, dagangan kita bertambah laris. Ini sedikit uang buat kamu, tak banyak,” jelas Enning.

Aku membelalakkan mataku tak percaya!

“Tapi Oca bantu Enning dan Enceng tak bermaksud minta upah….” Aku menundukkan kepalaku saat mengatakan hal itu.

“Ini bukan upah. Saya sama Enceng kamu ini hanya berbagi rejeki. Ngerti kamu, Ros?”

Aku mengangkat wajahku, aku merasa malu … tapi bahagia.

“Ambil saja, ndak baik menolak rejeki.” Enceng Ibrahim menambahkan, terdengar suara mulutnya menyeruput teh panas.

“Mau kamu apakan uang itu, terserah kamu, Ros,” kata Enning lagi.

Aku tersenyum lebar akhirnya, tak perlu berpikir dua kali, aku tahu akan kuapakan uang ini. Tak berujung rasanya bahagia yang aku rasakan, setelah mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada mereka berdua. Lima ratus ribu! Angka yang sangat banyak bagiku. Tidak pernah aku memegang uang sebanyak ini sebelumnya.

Keesokan harinya, setelah lapak sayur tutup, aku meminta tolong Enning mengantarku ke suatu tempat, di mana aku akan menghabiskan seluruh uangku, aku rasa.

Enning tidak keberatan, beberapa saat kemudian aku sudah berdiri di dalam gedung yang ber- AC dingin, semua petugas berseragam rapi tampak tersenyum ramah.

Enning menunjuk ke pojok ruangan di mana sebuah meja kecil berdiri. Beberapa brosur dipajang di sampingnya.

Dengan petunjuk Enning, ia mengambil sebuah kertas dan aku menuliskan dengan ucapan bismillah:

MARTONI

Rp. 500.000,00

Tunai

Berita : dari Rosa

Martoni, nama Eppa’. Enning menandatangi slip transfer uang antar bank itu, lalu tersenyum dan mengajakku antri di loket teller.

Sengaja kukirimkan semua uang dari Enning, aku masih menyimpan beberapa ratus ribu di dompet, bekal dari Eppa’ dan Haji Dullah belum berkurang sepeser pun.

Aku melangkah keluar dari bank dengan langkah tegap, rasa percaya diriku melambung tinggi. Akan kubuktikan pada kedua orangtuaku, aku sanggup menjadi tulang punggung keluarga.

Panas sore hari masih menyengat tajam, di tengah perjalanan Enning mengajakku minum. Kami berhenti di salah satu kios di pinggir jalan, di depan sebuah toko.

Enning membelikanku minuman, dan satu untuk dirinya. Aku sedang menikmati sejuknya teh dingin melewati tenggorokan saat kulihat selembar kertas menempel di pintu sebuah toko. Aku memiringkan kepalaku, mengintip, toko peralatan bayi.

LOWONGAN KERJA

Aku terpana, haruskah aku pindah kerja?

***

[1] Enceng : panggilan Om dalam bahasa Madura.

[2] Le’ : bahasa Madura, Dik.

[3] Tang pona’an, ana’na kaka’e Madura : bahasa Madura, yang artinya : Keponakanku, anak kakak di Madura.

[4] Me’ raddin : bahasa Madura, yang artinya : Kok cantik?

Yustini Setia Darma

Rosa itu mirip saya pada saat saya memutuskan keluar dari Madura (yap, saya asli Madura :)) Penuh semangat dan selalu mikir bagaimana cara dapat uang banyak wkwkwkkwkwk

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status