Share

Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.

Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.

Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.

Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.

Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.

“Ning…” panggilku lirih.

Enning menoleh dan menyuruhku duduk.

“Ada apa, Ros?”

“Oca minta maaf sebelumnya—” Aku menggantung ucapanku.

“Kenapa? Ada masalah? Asep pasti! Nanti saya tegur dia!” kata Enning sewot, bahkan sebelum mendengar penjelasanku.

Aku tersenyum, Asep malah tak pernah ada dalam pikiran selama ini.

“Bukan. Oca ingin nyoba cari kerjaan di luar, Nyan.”

Roman wajah Enning berubah, jika tadi terlihat geram, kini mendadak berubah drastis menatapku dengan pandangan tidak percaya.

“Kenapa? Kamu kekurangan uang?”

“Tidak, Ning. Bukan masalah uangnya, tapi Oca ingin tahu dunia luar.” Aku membual. Aku hanya ingin yang lebih bagus. Uang yang lebih banyak.

“Pikirkan lagi Ros, Enceng itu lagi nyari lapak baru, biar kamu bisa pegang sendiri. Ini kesempatan bagus buat kamu.”

Aku sedikit terhenyak mendengar ucapannya.

Ada rasa tertarik sebenarnya, tapi aku harus melangkah maju untuk mengetahui dunia luar sana. Tidak di sini. Tidak.

“Makasih, Ning, makasih banyak. Oca masih ingin nyoba kerja dulu ke orang lain, Ning….”

Enning tepekur sejenak, namun kemudian senyum tipis terbentuk di wajah bulatnya.

“Saya tahu, saya mengerti, dari awal kamu sudah ngomong tentang ini. Kamu sudah dapat lowongannya?”

Aku menunjukkan sesobek kertas kecil lusuh di tanganku. Enning Marfu’a mengambil dan melihatnya sekejap, lalu mengembalikannya padaku.

“Beberapa hari lalu, waktu pulang dari bank, Oca lihat lowongan pekerjaan di toko. Oca mau coba nelpon.”

Enning tersenyum arif. Ini salah satu yang kusuka darinya, aku jarang melihatnya marah dan tidak pernah memaksakan kehendaknya pada orang lain.

“Sana telepon nomer itu sekarang.”

Aku tersenyum lebar dan kubalikkan badan berlari ke telepon rumah yang ada di ruang tamu.

Aku tekan nomor itu perlahan, disertai doa dalam hati. Semoga.

“Halo?” Suara wanita terdengar.

“Eh, iya, halo,” jawabku gugup, kupegang gagang telepon erat-erat.

“Ada keperluan apa?” Suara wanita itu lagi.

“Anu … saya mau kerja. Ada pengumuman cari karyawan…” sahutku sedikit gugup.

“O ... lowongan kerja…. Maaf ya, baru hari ini terisi.”

Aku memejamkan mata, ada rasa kecewa melanda.

“Apa … apa ada kerjaan lain?” tanyaku nekat sambil menggigit bibir.

“Belum ada sekarang ini sih. Kemarin memang lagi butuh dua orang karyawan.”

Aku diam, berpikir keras.

“Halo?”

Aku tersentak, lidahku terasa kelu, baru aku merasakan penolakan semacam ini, ternyata rasanya tidak enak.

“Maaf … maaf...” kataku akhirnya.

“Gini aja, kamu coba sebutin nomor telepon yang bisa dihubungi, saya akan simpan. Nanti kalau kita butuh karyawan lagi, saya hubungi kamu.”

Aku mengangguk tanpa sadar. Kusebutkan nomor telepon rumah ini, namaku lalu menutup telepon setelah memberi salam. Aku keluar ruangan menemui Enning lagi.

“Bagaimana?”

“Sudah ada yang kerja katanya, Ning…” jawabku lemas.,

“Nanti cari lagi yang lainnya. Memang tak mudah cari kerjaan di sini.”

Aku mengangguk lemas dan mengempaskan pantatku ke kursi di sebelahnya. Aku kecewa tapi ini tak membuatku jeri. Kuhabiskan sepanjang sore itu dengan sepupu terkecilku, Fajar, melupakan sedikit rasa sedih yang melanda.

Hari-hari berikutnya kulalui seperti biasa, namun kini setiap kali melihat kertas ditempel di tiang, tembok, pintu bahkan mobil—aku tahu ini konyol—aku akan berusaha membacanya. Menyipitkan mata dan aku akan menggunakan ingatan tajamku untuk menghafal nomor telepon yang disebutkan di sana.

Seminggu, dua minggu, banyak selebaran yang kubaca, banyak pula doa yang kudaraskan. Tetapi tidak ada pengumuman lowongan kerja yang kulihat. Yang terbanyak adalah kertas bekas kampanye pilkada dan yang kedua; jasa tukang sedot WC. Sama-sama berbau tajam.

Apakah benar sesulit ini mencari pekerjaan? Aku sudah menetapkan dalam hati saat dulu aku mencetuskan rencana merantau ke Jakarta, hanya tiga bulan waktu yang kusiapkan bagi diriku sendiri untuk menumpang hidup pada Enning, aku harus bisa mandiri.

Fajar sedang bercanda di teras bersamaku saat Enning memanggilku di satu sore hari yang mendung.

“Rosa! Ada telepon!”

Aku tersenyum, bangkit berdiri secepat kilat, padahal baru kemarin Bapak meneleponku, sekarang sudah menelepon lagi. Mungkin Ibu kangen padaku.

“Halo!” teriakku kencang, bersemangat seperti biasa.

“Ini dengan Rosa?”

Suara … bukan suara Eppa’ … bukan suara Ebo’….

Aku terkesiap.

“I … iya?”

“Saya dari toko peralatan bayi. Kamu masih berminat kerja di sini?”

Aku merasa tercekik tiba-tiba. Aku terkejut, batin dan pikiranku ternyata belum siap menerima kabar yang justru sedang kutunggu-tunggu.

“Halo?” Suara wanita diujung sana terdengar.

“Saya … iya, saya masih mau kerja,” jawabku.

“Hari ini kamu bisa datang ke toko saya? Interview sebentar.”

In-ter-fiu? Wawancara?

Aku melihat jam dinding, sudah pukul lima sore, sebentar lagi magrib.

“Saya .. maaf, boleh besok sore, jam tiga-an saya ke sana.”

Aku menunggu dengan berdebar, sekilas ada rasa menyesal aku tidak langsung bisa pergi ke tempatnya hari ini.

“Boleh.”

Oh … aku bernapas lega.

“Sudah tahu alamat toko saya?”

“Sudah.”

“Oke, kalau begitu saya tunggu kamu besok.”

Aku meletakkan gagang telepon perlahan setelah mengucapkan terima kasih, lalu....

“Ningggg!” Aku berteriak, berlari langsung ke dapur mencari Enning.

Kuceritakan padanya apa yang barusan kudengar. Ia tersenyum lebar, menepuk lenganku berkali-kali.

“Besok pulang dari pasar saya antar,” katanya.

Aku mengucapkan terima kasih dan berlari ke teras, mengangkat tinggi-tinggi tubuh bocah Fajar namun ia menggeliat kuat tidak suka aku bopong seperti itu. Kulepaskan dia, kembali ke permainannya. Aku duduk di kursi, mereka-reka apa yang akan terjadi besok. Aku rasa sejak berada di Jakarta aku terlalu sering mereka-reka, karena tidak ada yang bisa diperkirakan dengan keyakinan pasti di Jakarta.

Enning Marfu’a menepati janjinya, ia mengantarku ke toko peralatan bayi. Tepat pukul tiga sore, aku sudah duduk di hadapan seorang wanita. Aku meminta Enning tidak menunggu, aku sudah paham jalur angkutan untuk pulang ke rumah.

Wanita berkulit putih itu tersenyum padaku, aku rasa dia pemilik tokonya.

“Nama kamu, Rosa?”

Aku mengangguk. “Iya, Bu.”

“Panggil saya Ci Melan aja seperti yang lainnya di sini.”

“Iya ... Ci....”

Aku pikir in-ter-fiu itu semacam ujian, dimana aku harus mengisi berlembar-lembar pertanyaan. Ternyata bukan, dia hanya mengajakku ngobrol. Tentang diriku. Dalam hati aku terus berdoa agar aku diterima bekerja di sini, aku menyukai caranya berbicara padaku. Menganggapku sesama manusia.

“Baiklah. Saya cocok sama kamu, kalau kamu mau kerja, besok mulai datang pagi, toko buka mulai dari jam delapan, tutup jam lima sore.” Dia mengakhiri percakapan kami.

“Terima kasih, Ci Melan!” jawabku tegas.

“Sebagai gaji awal, saya tidak bisa kasi kamu banyak, delapan ratus setiap bulannya. Kamu keberatan?”

Aku menatapnya dalam, sebagai langkah awal, aku tak mempermasalahkan gaji.

“Tidak keberatan, Ci.”

“Baiklah, mulai besok. Saya tunggu.”

Aku beranjak berdiri, berjalan melalui rak-rak yang berjajar rapid an tersenyum tipis pada salah satu karyawan yang menatapku penuh penasaran.

Cukup bertanya pada pemilik kios kelontong yang ada di depan toko, dia langsung memberitahu jalur angkutan yang harus aku naiki. Hanya setengah jam sudah sampai di depan perumahan Enning, tinggal berjalan masuk beberapa meter.

Enning dan Enceng berada di teras, aku mengucapkan salam dan mencium tangan mereka berdua.

“Oca diterima kerja, Enning, Enceng.”

Enning mengucapkan hamdalah.  Enceng mengangguk-angguk tipis di antara kepulan asap rokoknya.

“Ingat Ros, kalau kamu tak betah, kamu masih punya pekerjaan  di sini,” kata Enning sambil tersenyum. Aku merasa lega, itu terdengar seperti bantal empuk yang siap menadah saat aku terjatuh.

Aku menceritakan pertemuanku dengan Ci Melan dan keinginanku untuk mencari tempat kos di dekat sana. Mereka tidak melarang sedikit pun, aku merasa ada angin segar berembus. Selanjutnya tinggal menunggu telepon dari Eppa’ dan Ebo’, ingin kusampaikan berita gembira ini pada mereka secepatnya.

Aku merasa inilah jalanku.

Hari pertama kerja kujalani dengan penuh semangat, Ci Melan mengajarkan bagaimana melayani pembeli, bagaimana membawa barang belanjaannya ke bagian kasir—yang dipegang oleh Ci Melan sendiri.

Sehabis jam kerja, Ci Melan memanggilku. Dia menunjukkan gang kecil pas di sebelah tokonya. Banyak kos-kosan murah di sana. Tidak mau membuang waktu, aku langsung memasuki gang kecil yang hanya muat dilalui oleh satu motor, dua kalau salah satunya mau mengalah mepet ke teras sempit salah satu rumah.

“Permisi, Bu? Di mana di sini yang ada kos-kosan?” tanyaku pada seorang wanita setengah baya yang tengah mencari kutu di kepala anak gadisnya.

Dia mendongak, “Noh … di sono, Neng, banyak. Di mari kagak ade, terus jalan ke sono. Entar neng liat dari rumah cat ijo, mulai dari sono, coba noh tanyain. Jam segini Si Engkong ada di rumah noh.”

Aku mengucapkan terimakasih dan dia kembali ke aktivisitasnya semula. Pemburu kutu, sama saja dengan di Madura, itu membuatku tersenyum sendiri.

Hanya beberapa meter, sebuah rumah dua lantai terbuat dari triplek bercat hijau tertangkap mata. Aku mengetuk pintu rumah itu, yang keluar seorang kakek, berkaos singlet dan berkain sarung.

“Permisi, Pak … di sini terima kosan?” tanyaku.

“Udeh penuh, Neng. Coba di sebelah noh, nyang tingkat juge. Kapan hari aye lihat ade nyang pindahan. Sono liat.”

Aku berterima kasih padanya dan melewati dua rumah, aku tiba di rumah yang dimaksud. Sama seperti rumah Si Engkong tadi, rumah ini juga bertingkat, tetapi terlihat lebih kokoh. Setelah beberapa kali mengucapkan salam, ada seorang pria muda—mungkin seusiaku— berpakaian seperti montir bengkel keluar.

Dia membalas salamku.

“Di sini terima kosan?” tanyaku.

Pria itu mengangguk, lalu berteriak kencang ke arah dalam rumah. “Nyakkkk! Ada nyang nyari!”

Pria itu tersenyum tipis padaku lalu keluar rumah, duduk di teras yang hanya cukup ditempati oleh bangku kayu panjang.

Seorang wanita tua berkerudung keluar dengan senyum lebar mengarah padaku.

“Ade ape, Neng? Nyari aye?”

“Ada kamar kosong, Bu?”

“Ng … ade sih. Tapi kecil, Neng. Mau liat? Kemari ikut aye!”

Aku mengikutinya, ke bagian belakang, melewati dapur, melewati kamar mandi dan deretan kamar.

Dia membuka pintu sebuah ruangan. Aku melongok ke dalam, benar-benar sempit. Lebih sempit dari kamarku di kampung. Sebuah kasur tergelar di lantai dan sebuah lemari kayu kecil di pojokan.

“Kagak ada ranjang, Neng. Ngampar aja, biar legaan dikit.”

Otakku berputar keras. Mempertimbangkan.

“Berapa sebulannya, Bu?”

Ibu itu memandangku, dari atas ke bawah, lalu berhenti di mataku.

“Buat Neng, nopek ceng aja deh. Aye kesian ama, Neng.”

Aku melongo. Nopek ceng? Berapa itu? Uang apa itu?

“No...pel...ceng?” tanyaku bingung.

Wanita itu tertawa geli sendiri.

“Si Koh Atay bikin penyakit menular sama aye. Dua ratus rebu, Neng. Biasanye ane kasi dua setengah, tapi kagak ape-ape, buat Neng doang. Tapi bayarnye jangan mulur-mulur yak! Kasihan aye.”

Aku tersenyum lebar.

“Iya, Bu. Makasih banyak. Makasih. Besok saya mulai pindah ke sini.”

“Iye, boleh, nanti aye bersihin sekali lagi, yak!?”

Aku mengangguk.

“Saya pulang dulu, Bu. Besok pagi saya langsung ke sini.”

Aku meraih tangannya, kucium dan meninggalkan dia dengan salam terucap. Diluar, aku mengangguk sedikit pada pria yang sedang duduk di teras sebelum melangkah lebar-lebar menuju jalan besar.

Keesokan harinya, Enning melepaskanku dengan berat hati. Enceng Ibrahim menasehati agar bisa menjaga diriku. Enning memaksaku membawa beberapa makanan kering ke kosan.

Aku memeluknya dan berjanji akan mengunjunginya sesekali.

Pagi ini terasa indah, cuaca pun seolah mendukung suasana hatiku. Hari pertama mandiri. Rasa bangga menyeruak di dalam dada, biarpun ada sedikit rasa getir. Namun aku yakin, jika Enning bisa hidup di kota ini, maka aku pun pasti bisa.

Sebelum ke toko, aku meletakkan tas dan barang bawaan ke kosan dulu. Tepat ketika pria muda yang kulihat kemarin sedang bersiap-siap pergi juga.

“Masuk aja. Nyak lagi di dapur. Aku Mardi.” Dia mengulurkan tangannya.

“Rosa,” balasku.

Dia cepat-cepat menutup jaket dan memakai helm lalu dalam hitungan detik, motornya sudah menghilang di antara beberapa warga yang hilir mudik.

Aku langsung ke kamar, dan begitu kulihat ibu kos di dapur, kuucapkan salam padanya.

“Eh, Neng udah kemari. Bentaran aye kasi sarapan anak aye dulu yak, Neng masuk-masuk aja rapihin barang-barang,” ujarnya sambil membawa sepiring ikan goreng ke luar dapur. Aku masuk kamar dan langsung keluar lagi begitu kudengar ibu kos berteriak-teriak.

“Mardiiii! Lu, Tongggg! Aye bilang sebentar sebentarrr! Malah ngibrit lu! Kagak nyarap lu, Tonggg!”

“Ada apa, Bu?” Aku menghampirinya. Bingung melihat Ibu itu mengacung-acungkan sendok ke udara dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih memegang sepiring lauk.

“Anak bontot aye kagak sarapan lagi! Aye udeh bela-belain gorengin nih ikan nila kesukaan die, malah kabur kerja!”

Aku hanya mampu tersenyum, tidak tahu harus bilang apa padanya. Si Ibu masih melongok ke ujung gang, mungkin berharap anaknya akan kembali. Hal ini membuatku tersenyum, sungguh suasana yang sangat asing bagiku. Tidak ada waktu untuk merapikan baju ke dalam lemari plastik kecil, aku segera mengunci pintu kamar dari luar lalu berpamitan pada ibu kos yang masih terdengar ngomel di dapur.

Ci Melan senang aku sudah menemukan tempat kos yang dekat dengan tokonya. Biar gampang dicariin, katanya. Aku mengangguk setuju,juga tidak perlu keluar ongkos.

Aku berusaha menjalani pekerjaanku dengan sungguh-sungguh. Memasuki bulan kedua, Ci Melan memintaku menggantikan dirinya menjadi kasir. Aku mengartikan ini sebagai ‘naik jabatan’, tanpa naik gaji. Tidak masalah.

Hari minggu siang ini aku berada di kosan, Ci Melan menutup tokonya lebih awal. Mau jenguk orang sakit katanya. Kampung halamanku di Madura berhawa panas, tetapi masih ada semilir angin pantai berembus dari sela-sela jendela kaca nako di kamarku. Di sini? Bahkan untuk bernapas pun rasanya sudah.

            Berada di dalam kamar saat siang hari begini—di saat musim kemarau sedang di puncaknya— membuatku seperti dipanggang hidup-hidup. Atau direbus? Karena keringat mengucur dalam hitungan detik. Benar-benar panas. Hilang sudah keinginan sekadar meluruskan punggung siang ini.

Aku keluar kamar dengan keringat yang sudah membasahi leher dan ketiak. Di luar kamar malah jauh lebih segar.

“Bang….” Aku menyapa Bang Mardi yang sedang duduk di ruang tamu, dengan koran di tangan dan cangkir kopi kosong di meja.

Dia menurunkan koran, menatapku. Aku tahu, mungkin aku terlihat seperti habis lari marathon di matanya.

“Habis bajak sawah, Ros?” tebakanku nyaris benar.

Aku tertawa sambil mengenyakkan tubuh ke kursi rotan di sampingnya kemudian mengambil selembar koran dan menjadikannya kipas.

“Kepanasan?”

Aku mengangguk. Bang Mardi meletakkan koran di meja kemudian ke dalam.

Bang Mardi mau apa?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status